Tafsir Bi al-Ra'yi (ijtihadi) pada masa Nabi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup sehari-hari bagi setiap umat muslim sepanjang masa. Oleh
karenanya setiap muslim di wajibkan untuk berusaha mengamalkannya, baik dalam
hal kehidupan duniawi terlebih lagi untuk masalah ukhrawi. Dan sebuah bukti
kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa Al-Qur’an sampai
saat ini masih relevan dan justru banyak dari Al-Qur’an yang terbukti secara
ilmiah, dan menjadi dasar hukum dalam pengembangan sains.
Hal ini tentu tidak
terlepas dari proses penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad para ulama yang
benar-benar mumpuni kapasitasnya sebagai seorang mufassir, sehingga di hasilkan
penafsiran yang tidak bertentangan dengan syariat.
Namun demikian, tidak
menutup kemungkinan tafsir bi al-ra’yi akan menghasilkan penafsiran yang
melenceng dari syariat dan tersebar ke masyarakat umum.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah tafsir bi al-Rayi pada masa
Nabi SAW?
2. Bagaimana pendapat
Nabi tentang tafsir bi al-Rayi?
3. Bagaimana pendapat para ulama tentang tafsir bi al-Rayi?
4. Apa kelebihan dan
kekurangan pada tafsir bi al-Rayi?
5. Apa saja kitab dan
mufassir yang memakai metode tafsir bi al-Rayi?
C.
Tujuan
1. Agar mengetahui sejarah tafsir bi al-Rayi pada masa
Nabi SAW
2. Agar mengetahui
pendapat Nabi SAW tentang tafsir bi al-Rayi
3. Agar mengetahui pendapat para ulama tentang tafsir bi al-Rayi
4. Agar mengetahui
kelebihan dan kekurangan pada tafsir bi al-Rayi
5. Agar mengetahui kitab
dan mufassir yang memakai metode tafsir bi al-Rayi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Bi Al-Ra’yi
Sebelum masuk kepada pembahasan
Tafsir bi al-Ra’yi dari masa ke masa, ada baiknya jika kita mengetahui
terlebih dahulu apa itu tafsir bi al-Ra’yi.
Secara bahasa al-ra’yu berarti
al-i’tiqadu (keyakinan), al-‘aqlu (akal), dan al-tadbiru (perenungan).
Ahli fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra’yu. Karena
itu, tafsir bi al-Ra’yi disebut juga sebagai tafsir bi al-‘aqly dan
bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad. [1]
Menurut istilah, tafsir bi
al-Ra’yi adalah upaya untuk memahami nash al-Qur’an atas dasar
ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang memahami betul bahasa Arab
dari segala sisinya, megerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti
syair-syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul asbab al-nuzul,
nasikh dan mansukh di dalam al-Qur’an, dan menguasai juga
ilmu-ilmu lainyang dibutuhkan seorang mufassir.[2]
`Al-Qur’an memperkenalkan dua macam Tafsir
bi al-ra’yi, yakni Tafsir bi al-ra’yi al-Mahmud (tafsir berdasar
nalar yang terpuji) dan Tafsir bi al-ra’yi al-Mazmum (Tafsir berdasar
nlar yang tercela).[3]
Memang ada penafsir-penafsir yang berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
untuk mendukung pendapat atau mazhab yang dianutnya, sehingga mereka menjadikan
al-Qur’an mengikuti pendapatnya, bukannya menjadikan al-Qur’an sebagai dasar
dan pendapatnya mengikuti tuntunan al-Qur’an. Mereka itu mencari pembenaran
bukannya mencari kebenaran. Mereka itulah yang diancam oleh riwayat yang
menyatakan:
من فسرالقران
براْيه فليتبواْ مقعده من النار
“Siapa yang menafsirkan
al-Qur’an berdasarkan pandangan nalarnya, yakni terlepas dari kaidah-kaidah
Tafsir, maka hendaklah dia menduduki/ mengambil tempatnya di neraka.”
Bahkan ath-Thabari
dalam Tafsirnya meriwayatkan bahwa Rasul Saw. bersabda:
من فسرالقران
براْيه فاصاب فقد اْخطاْ
“Sesiapa yang menafsirkan al-Qur’an
dengan nalarnya (yakni tanpa memperhatikan syarat-syarat yang dibutuhkan) dan
penafsirannya benar, maka dia tetap dinilai salah.”
Riwayat ini, siapapun sumbernya,
bermaksud menekankan perlunya menempuh cara yang benar dalam menafsirkan
al-Qur’an.
B.
Sejarah Tafsir bi al-ra’yi Pada Masa Nabi Saw.
Allah menganugerahi manusia aneka
potensi antara lain potensi untuk berpikir. Manusia dikecam, bahkan diancam
kalau enggan menggunakan potensi-potensinya, sebagaimana terdapat dalam
al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 179, Allah berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ
لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya: . Dan sungguh akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari
kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat
Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lengah.
Banyak sekali yang disebut oleh al-Qur’an
sebagai objek yang perlu dipikirkan, dan banyak pula kosakata yang digunakan
untuk maksud tersebut. Salah satu yang perlu diperhatikan dan disimak adalah
al-Qur’an. Disisi lain, sekian banyak problema baru yang bermunculan dari saat
ke saat yang memerlukan jawaban dan bimbingan, sedang hal tersebut tidak
ditemukan penjelasannya dari al-Qur’an dan sunnah. Dari sinilah lahir upaya
untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan sejak itulah lahir Tafsir bi
al-ra’yi. Walau sebenarnya tidak keliru dari segi subtansi jika dikatakan
bahwa penafsiran Nabi Saw. dan sahabat-sahabat beliau pun adalah Tafsir bi
al-ra’yi, karena mereka juga menggunakan nalar mereka dalam upaya memahami
al-Qur’an.[4]
Imam Syafi’i berkata, seperti yang ditulis al-Suyuti dalam al-Itqan, bahwa:
“Semua ketetapan hukum Nabi Saw. adalah hasil pemahaman beliau dari al-Qur’an
berdasar firman Allah yang artinya:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرٰكَ اللّٰهُۗ وَلَا تَكُنْ لِّلْخَائِنِيْنَ خَصِيْمًاۙ
“Sungguh Kami menurunkan kepadamu
al-Kitab dengan hak agar engkau menetapkan putusan antara manusia sesuai apa
yang ditunjukkan Allah kepadamu.”
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa sejarah Tafsir bi al-ra’yi pertama kali ada sejak al-Qur’an diturunkan
kepada Rasulullah Saw. Pada saat itu, Rasul menggunakan pemahamannya untuk
menafsirkan al-Qur’an guna menjawab berbagai persoalan para sahabat, keluarga,
serta umat islam pada saat itu.
C.
Sikap Nabi Saw. Terhadap Tafsir Bi al-Ra’yi
Al-Qur’an turun dengan Bahasa Arab,
bahasa yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw. dan bangsa Arab. Ketika al-Qur’an
diturunkan sebagai mu’jizat kepada Nabi Muhammad Saw., Nabi sangat
memahami al-Qur’an baik secara umum maupun pemahaman secara rinci.
Para sahabat saat itu, bisa langsung
bertanya seputar makna dan tafsir al-Qur’an kepada Nabi Saw. Ketika Nabi
menerima wahyu, beliau langsung menjelaskan maksud ayat yang diterimanya kepada
para sahabat. Karena itulah kemudian Nabi Muhammad disebut sebagai mufassir
awwal (penafsir pertama) al-Qur’an.
Rasulullah Saw. adalah penafsir
pertama al-Qur’an, sementara para sahabat mengutip penafsiran Rasul Saw.
Rasulullah Saw. menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an kepada para sahabat. Ini dapat
berupa jawaban terhadap pertanyaan para sahabat, atau hukum yang Rasul
sampaikan kepada mereka, baik berupa perkataan, perbuatan, atau penetapan.
Sebagaimana Rasul Saw. menjelaskan kepada mereka tentang cara pelaksanaan
shalat dan haji dengan bentuk perbuatan.[5]
صلو كماراْيتمونى اْصلى
Artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.” (H.R. Bukhari)
خذوا عني مناسككم
Artinya: “Ambillah dariku dalam hal peribadatan kalian.” (H.R.
Muslim)
Dari sini
jelas bahwasanya Rasulullah memperbolehkan untuk menafsirkan al-Qur’an dengan
nalar tetapi dengan syarat-syarat yang dibutuhkan. Adapun syarat-syarat
tersebut yakni sebagai berikut :[6]
1. Menguasai ilmu bahasa Arab agar dapat menerangkan
kosakata-kosakata sesuai penggunaan dan maksudnya
2. Menguasai ilmu Nahwu, karena makna itu berubah sesuai
dengan kedudukan I’rab-nya
3. Menguasai ilmu Sharaf, agar memahami perubahan bentuk
lafal dan kalimat
4. Memahami ilmu balaghah, agar dapat memilih makna yang
lebih kuat yang terkandung dalam satu lafal
5. Memahami ilmu ushulul fiqh agar dapat
menggali hukum dari ayat al-Qur’an
6. Menguasai ulumul qur’an
Doa yang selalu Rasulullah panjatkan untuk Ibn ‘Abbas
juga termasuk bentuk diperbolehkannya penafsiran, inilah doanya :
اللهم علمه الكتاب و الحكمة
“ Ya
Allah ajarkanlah ia Kitab dan hikmah”
Dan ada juga doa Rasulullah yang
berbunyi :
اللهم
فقهه فى الدين و علمه التأويل
“ Ya
Allah jadikanlah ia faham ilmu agama dan ajarkanlah ia takwil”[7]
Dan hadits Mu`adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW
mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِمُعَادٍ: بِمَ تَقْضِى؟ قَالَ:
بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ:
أَقْضِى بِمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا
قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي.
(رواه
الترمذي).قَالَ: الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَفَقَّ رَسُوْلَ رَسُوْلِه
Artinya: “Rasulullah SAW bertanya, dengan apa kamu
menghukumi?, Ia menjawab, dengan apa yang ada di dalam Kitab Allah. Bertanya
Rasulullah, jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Dia menjawab, aku
memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah. Rasul bertanya lagi, jika
tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Mu`adz, aku ber-Ijtihad dengan
pendapatku. Rasulullah bersabda, Alhamdulillah, yang telah menyepakati utusan
dari Rasul-Nya.[8]
Berdasarkan landasan-landasan diatas, kami pemakalah
menyimpulkan bahwasanya Rosulullah tidak melarang dan tidak juga menganjurkan
dalam menafsirkan secara nalar, dengan kata lain Rosulullah memperbolehkan
untuk menafsirkan secara nalar dengan catatan memenuhi kriteria sebagai
mufassir.
D.
Sikap
Ulama Terhadap Tafsir Bi Al-Rayi
Sebagian ulama membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan akal, dan
sebagian ulama yang lain melarang adanya penafsiran dengan akal atau tafsir
bir-ra’yi. Berikut adalah beberapa pendapat ulama yang membolehkan tafsir
bir-ra’yi:
7.
Ulama’ yang membolehkan tafsir
dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang menyebutkan beberapa alasan yang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1) Nash Al-Quran
a. [QS. Shaad:29][9]
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ
إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ
ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Ini adalah sebuah
kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran”
Ayat ini
mengisyaratkan agar manusia mau memperhatikan al-Qur’an secara lebih lanjut
dengan cara memikirkannya dan agar dapat mengambil pelajaran darinya. Maka
dalam hal ini, diperbolehkan menggunakan ra’yi.
b. [QS. An-Nisa’:83][10]
… وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى
ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ
يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ ...
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).”
Ketika mengetahui kekuatan atau
kelemahan umat Islam, orang-orang munafik langsung menyebarkan dan
menyiarkannya dengan tujuan menipu dan menakut-nakuti umat Islam, atau
menyalurkan berita itu kepada pihak musuh. Seandainya masalah aman dan takut
itu mereka kembalikan kepada Rasulullah saw. atau ulû al-amr, yaitu para
pemimpin dan pembesar-pembesar sahabat, atau seandainya mereka bermaksud
mencari hakikat yang sebenarnya, mereka pasti akan mengetahuinya langsung dari
Rasulullah dan pemimpin-pemimpin sahabat. Kalau bukan karena karunia Allah
dengan pemantapan iman dalam hatimu dan pencegahan fitnah, dan bukan pula karena
rahmat-Nya yang mengantarkanmu kepada kemenangan dan keberuntungan, maka
sebagian besar kalian tentu akan mengikuti bujukan setan. Dan hanya sebagian
kecil saja yang selamat dari bujukan dan godaannya.
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci”
Orang yang tidak mau mempelajari
dengan ra’yi mereka, diibaratkan seperti hatinya yang terkunci.
2)
Jika tafsir bira’yi tidak boleh, maka
ijtihad pun dilarang. Akibatnya, akan banyak sekali hukum yang tidak tergali.
Hal ini tentu tidak benar padahal pintu ijtihad sampai sekarang tetap terbuka.
Seorang mujtahid mendapat pahala walau ijtihadnya salah. Rasulullah Saw pun
tidak menafsiri ayat demi ayat.[12]
3) Nabi Saw pernah
mendoakan Ibnu Abbas ra, “Ya Allah, berilah ia pemahaman yang dalam tentang
agama dan ajarilah ia tafsir”.
Jika tafsir hanya
boleh melalui riwayat atau melalui apa yang didengar dari Nabi, tentu doa ini
tidaklah ada gunanya. Doa Rasul untuk Ibnu Abbas ini merupakan bukti bahwa
boleh menggunakan ra’yu atau ijtihad dalam tafsir.[13]
8. Sedangkan beberapa
pendapat para ulama yang melarang adanya tafsir bir-ra’yi adalah sebagai
berikut:
1)
Para
ulama menjelaskan bahwa hukum menggunakan dan menyampaikan tafsir bil ra’yi
yang mazmum tidak boleh atau haram, karena tafsir ini hanya berpedoman kepada
akal semata tanpa didasari kepada ilmu.[14]
Abu Hamid al-Ghazaliy (w. 505 H) dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin juga
menjelaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi al-mazmum ini dilarang, karena ijtihadnya
tidak didasari kepada ilmu, dan sebagai konsekuensi bagi pelakunya adalah
neraka sebagai tempat tinggalnya di akhirat kelak.[15]
2)
Menafsirkan Al-Qur’an dengan
ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram,
berdasarkan firman Allah,
وَلَا تَقۡفُ مَا
لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ
أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔول
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya” (QS. Al-Isra: 36).
1) [An-Nahl:44]
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ
وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Pada ayat ini ada kata-kata, “agar
kamu menerangkan pada umat manusia……” itu menunjukkan, selain Rasulullah
tidak boleh menerangkan (menafsirkannya).
Kelompok pertama menjawab “Itu
benar, tetapi Rasulullah tentu tidak menerangkan segala sesuatu secara
keseluruhan. Maka yang tidak beliau terngkan boleh dijelaskan oleh ulama dengan
berpedoman kepada keterangan beliau. Bukankah akhir ayat tersebut berbunyi “dan
supaya mereka memikirkan”[16]
2) Sejumlah hadits
اتقوا الحديث عني الا ما علمتم فمن
كذب علي متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Hati-hati. Jangan
bicara tentang (ajaran) ku kecuali yang kamu ketahui. Barang siapa yang
mendustakan aku secara sengaja, maka hendaklah bersiap-siap ke neraka. Dan
siapa saja yang berbicara tentang Al-Quran dengan ra’yu (akal dan
pendapat)-nya, berarti ia menyiapkan tempat di neraka” (HR. At-Tirmidzi).[17]
3) Sejumlah riwayat
bahwa para sahabat dan tabiin memandang masalah menafsiri al-Quran masalah
besar sehingga mereka hati-hati dan tidak berani menafsirinya dengan ra’yu
Contoh:
Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam meriwayatkan, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
pernah di tanya tentang maksud kata “abba” dalam firman
Allah “wa fakihatan wa abban” (QS. ‘Abasa : 31), beliau
menjawab, “Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan
menyanggahku untuk berpijak, jika aku mengatakan tentang kalamullah yang saya
tidak tahu apa maksudnya?” (HR. Ibnu Abi Syaibah).[18]
E.
Kelebihan dan kekurangan Tafsir Bi Ra’yi
Menurut Prof. Dr. Amin Suma, dalam
bukunya Ulumul Qur’an, tafsir bir-ra’yi memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya terletak pada kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh
komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga
dengan tafsir bir-ra’yi memungkinkan untuk menjelaskan beberapa ayat yang
sebelumnya dipahami secara sempit oleh mufassir, menjadi luas dan dinamis,
seperti halnya kata qalam yang awalnya hanya di artikan sebagai pena,
dapat di artikan sebagai teknologi di zaman modern seperti mesin ketik atau
komputer.[19]
Adapun kelemahan dari tafsir
bir-ra’yi terletak pada kemungkinan penafsiran yang dipaksakan, subjektif dan
pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang
sesungguhnya dengan kecenderungan subjektivitas mufassirnya.[20]
Kelebihan yang lainnya adalah:
a.
Mufassir
bisa memberikan cakrawala yang luas dalam menafsirkan al
Qur’an
sesuai dengan kondisi dan situasi
b.
Kemungkinan
mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat al-Qur’an secara dinamis
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
c.
Menkadikan
tafsir al-Qur’an dapat berkembang dalam menjawab segala permasalahan yang
timbul seiring dengan kehidupan umat islm sepanjang masa
d.
Mendorong
umat islam untuk senantiasa berfikir dan bertadabbur atas kebesaran ayat-ayat
al-Qur’an, dan tidak lekas menerima apa adanya (taqlid) terhadap ulama’-ulama’
salaf
e.
Lebih
rasional, relatif dinamis dan mudah menyesuaikan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi
Kekurangan:
a.
Mufassir
menjustifikasikan pendapatnya dengan al-Qur’an padahal al-Qur’an tidak
demikian.
b.
Mufassir
akan menafsirkan al-Qur’an dengan penafsiran yang salah, karena kedangkalan
ilmu pengetahuan mufassir atau tidak memenuhi persyaratan sebagai mufassir.
c.
Sulit
menghidarkan diri dari subyektivitas mufassirnya dan dalam hal-hal tertentu
cenderung dipaksakan.
F.
Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-Ra’yi
1.
Al
Bahr al muhit : Muhammad al Andalusi
2.
Ghara’ib
Al-Qur’an Wa Raghib al Furqan : Nizamuddin
An-Nisabur
3.
Ruh
Al Ma’ani fi tafsir Al-Qur’an Al-‘adhim was as-sab al masani : Allamah Al-Alusi
Selanjutnya juga dikenal kitab-kitab tafsir bi-ra’yi dari kalangan
Mu’tazilah seperti :
1.
Tanzih
Al-Qur’a ‘an Al-Matai’in : Al-Qadhi
‘abdul jabbar.
2.
Amali
Asy-syarifah al-Murtada : Abu Al-Qasim
‘Ali At-Tahir.
3.
Al-Kasysyaf
‘an Haqa’iq At-Tanzil wa ‘uyun Al-aqawil fi wujud Al-Aqawil fi wujud At-Tanzil : ‘Abu Al-Qasim Mahmud Bin
‘umar Az-Azamakhsyari.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tafsir bir-ra’yi adalah penjelasan
tentang ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan akal yang merupakan bentuk dari
ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang sahih, serta menggunakan kaidah-kaidah
yang murni dan tepat.
Tafsir bir-ra’yi sudah muncul pada masa
rasulullah Saw. Diantaranya ketika beliau menyetujui jawaban dari Mu`adz Ibnu Jabal ketika diutus ke Yaman untuk menjadi
hakim di Yaman. Dalam menghukumi sesuatu, Jika Mu’adz tidak mendapatkan dari
al-Qur’an, ia memutuskan dengan apa yang diputuskan oleh Rasulullah (hadis). Namun
jika tidak dapat juga, ia ber-ijtihad dengan pendapatnya sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang status hukum tafsir bir-ra’yi, ada
ulama yang membolehkan untuk menafsirkan Al-Qur’an, dan ada yang melarang
dengan keras menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis. Namun jika di cermati kedua
ulama sebenarnya hanya perbedaan dalam hal lafzhi, intinya kedua pendapat
sama-sama melarang penafsiran Al-Qur’an bir-ra’yi tanpa kaidah-kaidah khusus
yang harus di kuasai seorang mufassir sebelum menafsir Al-Qur’an.
B.
Saran
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih belum sempurna, dan untuk menjadi
sempurna, kami sangat membutuhkan masukan dari pembaca. Untuk itu kami
mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan berbagai masukan dan kritik demi
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Ak, Khalid
Abdurrahman. 1986. Ushul al Tafsir wa Qawaiduhu Beirut: Dar al Nafais.
Departemen Agama Publik Indonesia, Mukadimah Al-Qur’an dn Tafsirnya.
Al-Dzahabi, Muhammad Husein.
2003. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Al-Qahirah: Maktabah Wahbah.
Adz-Dzahabi,
Muhammad Husein. 2009. Ensiklopedia
Tafsir. Terj. H. Nabhani Idris. Jakarta : Kalam Mulia.
Al-Ghazaliy , Abu Hamid. 1992.
Ihya’ Ulumuddin. Kairo: Dar al-Hadis.
Anshori. Tafsir
Bil Ra’yi. 2010. Jakarta : Gaung Persada Press Jakarta.
Al-Qaththan,
Syaikh Manna’. 2004. Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj.
Mudzakir
AS, Bogor:
Pustaka Litera
AntarNusa.
Al-Rumiy, Fahd
ibn Abdurrahman ibn Sulaiman. 1422 H. Ushul al-Tafsir Wa Manahijuhu.
Riyadh: Maktabah al-Taubah. cet. Ke-6.
Ash Shaabuniy, Muhammad Ali. 1998. Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin
Bandung: Pustaka Setia.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera
Hati.
Sufyan, Muhammad. 2015. Tafsir
wal mufasirun, Medan : Perdana Publishing.
Al-Syarbini, al-Khatib. Al-Siraj
al-Munir Fi al-I’anah Ala Ma’rifah Kalam Rabbina.
At-Tirmidzi, Muhanmad ibn ‘Isa ibn
Surah. Sunan al-Tirmidzi. No
1327.
[1] Khalid
Abdurrahman Al-‘Ak, Ushul al Tafsir wa Qawaiduhu, (Beirut: Dar al-Nafais,
1986), hal. 167.
[2] Husein
Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah,
2003), Jilid 1, hal. 183.
45.
54-55
[9] Muhammad Husein
Adz-Dzahabi. Ensiklopedia Tafsir. Terj. H. Nabhani Idris. (Jakarta :
Kalam Mulia. 2009). Hal. 246
[14]
Fahd ibn Abdurrahman ibn Sulaiman al-Rumiy, Ushul al-Tafsir Wa
Manahijuhu, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422 H), cet. Ke-6, hal. 80.
[15]
Abu Hamid al-Ghazaliy, Ihya’ Ulumuddin, (Kairo: Dar al-Hadis,
1992), hal. 378-380.
[16] Ibid. Hal. 242
[18] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2004), hal. 489
[19] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih
Bahasa Aminuddin (Bandung:
Pustaka Setia.1998). Hlm. 368
Komentar
Posting Komentar