Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

BAB II
PEMBAHASAN
DZAHIR DAN TA’WIL

A.    DZAHIR
a.      Defenisi Dzahir
Dzahir dalam sudut arti etimologi dapat diartikan dengan ‘’jelas, tampak ,terang,  . sedangkan secara terminologi di artikan sebagai berikut :
Dalam istilah ushul, Dzahir adalah lafaz yang menunjukkan makna dengan petunjuk yang kuat, ada kemungkinan diarahkan ke makna yang lain.[1]
Prof. Dr. Wahbah zuhaili dalam kitabnya Ushul fiqhi al-Islami mendefinisikan dzahir sebagai berikut :
الظاهرهو كل لفظ او كلام ظهرالمعنى المراد به للسامع بصغته من غير توقف على قر ينة خارجية او تامل سوأ كان مسوقا للمعن امراد ام لا
Artinya : Dzahir adalah setiap lafal atau ucapan yang telah jelas maksudnyabagi orang yang mendengarnya tanpa tergantung pada indikator lain ataupun angan-angan, baik mengantarkan pada makna yang di maksud maupun tidak
Sedangkan asy-Syaukani dalam kitbanya Irsyadu al-Fukhul ilaa Tahqiqi al-Haq min Ilmi al-Wushul mendefinisikan sebagai berikut :
الظا هر المتردد بين امرين وهو في احدهما اظهر
Artinya : Dzahir adalah lafal yang artinya berada diantara dua arti , namun salah satu di antaranya lebih jelas atau tidak nampak.
Dari defenisi di atas, dapat di pahami bahwa Dzahir adalah lafadz yang menunjukkan atas makna dengan petunjuk yang mencapai taraf zhan atau suatu dalil yang memungkinkan atau bahkan memerlukan ta’wil suapaya tidak terjadi ke salah pahaman.



b.      Contoh-contoh Dzahir[2]
Ø  Surat al-Dzariyat : 47 dan al-Fath : 10
والسماء بنينها بأييد         .......يد الله فوق أيد يهم
Pada ayat tersebut di temukan lafadz أيد yang memiliki dua arti yaitu : ‘’tangan dan kekuasaan’’. Tetapi lafadz ini menurut arti dzahirnya adalah ‘’tangan’’. Jadi arti dzahir-nya adalah tangan sekalipun dapat di artikan dengan kekuasaan sebagi arti majaznya, sebab untuk menentukan arti kekuasaan masih memerlukan argumentasi yang kuat dan harus sesuai. Jika tetap tidak bisa menunjukkan argumentasi lafal ايد di artikan dengan kekuasaan, maka lafal tersebut harus di artikan sesuai dzahirnya, yaitu tangan.
Ø  Al-Baqarah :275
وأحل الله البيع وحرم الربوا
Pada ayat ini di temukan lafadz yang menjelaskan hukum halalnya jual beli dan hukum haramnya riba. Arti tersebut termasuk lafal yang dzahir, sebab hanya pada arti seperti itu saja yang selama ini dapat dipahami dari sisi dzahir ayat, lantaran tidak ada karinah (indikasi) lain yang dapat merubah pada arti asli dari lafal dzahirnya.
    Jika di kaji dan di lacak secara mendalam, dzahir dalam disiplin ilmu ushul fiqih merupakan bagian dari waadlih al-dilalah. Dalam tingkatan ini dzahir menempati tingkatan paling rendah, artinya termasuk lafaz yang kejelasan maknaya paling rendah di bandingkan dengan nash, mufassar, dan muhkam.
c.       Hukum-hukum lafal Dzahir
Dari definisi lafal dzahir beserta contohnya diatas dapat di ambil pemahaman bahwa semua ketentuan lafal yang di ambil dari dalil dzahir harus di artikan sesuai dengan arti dzahirnya, kecuali  di temukan argumentasi dari dalil yang yang lain yang sangat kuat untukdi jadikan sebagai dasar mengarikannya kepada arti lain atau merevisinya.
Lafal dzahir apabila berbentuk general (umum) yang memungkinkan untuk di takshis maka harus di takhshis, dan apbila berbentuk mutlak yang mungkin di batasi (muqayyad) maka harus di taqyid. Adapun tokoh yang berpegang pada dalil-dalil dzahir dalam setiap penetapan hukum adalah Dawud bin ali al-Dahiri (w :270 H) dan kemudian di lanjutkan oleh muridnya yang bernama Ibnu Hazm yang di andalusia, dengan karyanya yang berjudul, al-Muhalla.

B.     TA’WIL
a.       Defenisi Ta’wil
Al-Ta’wil ( التأويل) secara bahasa berasal kata dasar awwala, yu’awwalu, yang artinya : penjelasan. Ta’wil dengan arti ini semakna dengan al-Tafsir.[3] Menurut istilah para pakar ushul fiqih berbeda pandangan dalam mendefinisikannya, di antaranya adalah :
Ø  Al-Amidiy
التأويل هو حمل اللفظ على غير مد لو له الظاهرمنه مع احتما له بدليل يعضده
Artinya : ta’wil adalah membawa lafal (dzahir) yang memiliki makna probabilitas (ihtimal, kemungkinan-kemungkinan) kepada arti lain yang di dukung oleh dalil.
Ø  Imam al-Ghazali
التأويل هو عبرة عن احتمال يعضده دليل يصير به اغلب على الظن من المعن الذي يدل عليه الظا هر
Artinya : Ta’wil adalah sebuah ungkapan tentang pengambilan arti dari lafal yang bersifat probabilitas yang di dukung oleh dalil dan menjadikannya sebagai arti yang lebih kuatdari pada arti yang di tunjukkan oleh lafal dzahir.
Ø  Abdul Wahab Khallaf
التأويل هو صرف الفظ عن ظاهربد ليل
Artinya : Ta’wil adalah memalingkan lafal dari arti lahiriahnya karena ada dalil.
Dari beberapa definisi di atas dapat di ambil sebuah pemahaman bahwa ta’wil adalah memindahkan suatu perkataan dari arti yang jelas (dzahir) kepada arti yang lain (marjuh) yang kemungkinan lebih sesuai karena terdapat alasan yang kuat.
Mena’wilkan atau memalingkannya dari makna dzahir-nya kepada makna yang lain tidaklah sah apabila tidak di dasarkan oada dalil syar’i yang sah, seperti di dasarkan kepada hawa nafsu dan ingin menang sendiri, karena hal ini merupakan tindakan mempermainkan hukum dan nash-nashnya. [4]
Oleh sebab itu adanya ketidak sesuaian antara arti lahir dengan arti hakiki menjadi penyebab adanya penakwilan, sehingga dalil hasil penta’wilan yang semestinya tidak kuat (marjuh) menjadi kuat (rajih).
b.      Kriteria atau syarat-syarat Ta’wil
Pada dasarnya ta’wil di lakukan supaya para mujtahid tidak salah dalam melakukan ijtihad bil ra’yi, sehingga pengalaman syari’ah tetap sesuai dengan arti lahiriah ayat yang bisa di amalkan. Dari faktor inilah, syarat-syarat ta’wil di ambil dari teks syari’ah yang sudah ada dan tersedia di dalam nya, sehingga hasil penakwilan di anggap benar dan bisa di terima. Syarat-syarat ta’wil di antaranya sebagai-berikut:
1.      Lafal yang di ta’wil harus betul-betul lafal yang memiliki kriteria lafal yang boleh di ta’wil dan masih dalam kajiannya. Seperti :
v  Harus sesuai dengan ilmu tata bahasa Arab.
v  Dapat di pakai sepanjang pengertian bahasa.
v  Sesuai dengan ketentuan syara’ dan istilah-istilah yang sudah ada
2.      Ta’wil harus berdasarkan dalil yang shahih yang bisa menguatkan pada hasil penta’wilannya.
3.      Lafal ta’wil harus mencakup arti yang telah di hasilkan melalui ta’wil bahasa.
4.      Ta’wil tidak boleh bertentangan dengan nash qoth’iy.
5.      Arti dari hasil penta’wilan harus lebih kuat dari pada lahiriyah nya yang di kuatkan oleh dalil.
6.      Seseorang yang menta’wil harus betul-betul orang yang ahli dalam menta’wil.
c.       Klasifikasi ta’wil
v  Ta’wil shahih, yaitu pena’wilan yang di dasarkan pada dalil.
v  Ta’wil fasid, yaitu ta’wil yang di dasarkan pada dalil yang keliru.
v  La’bun, yaitu ta’wil yang tidak di dasarkan pada dalil.



Ta’wil yang di dasarkan pada dalil ada dua yakni :
·         Ta’wil qarib
Ta’wil qarib adalah ta’wil yang dalam penta’wilannya berdasarkan pada dalil-dalil terendah, artinya berdasarkan pemahaman logis, tekstual atau kontekstual, atau pena’wilan yang dapat mengunggulkan mu’awwal atas dzahir dengan dalil yang sederhana.[5] Contoh dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6 :
يأيها الذين أمنوا إذا قمتم إلى الصلوة فاغسلوا ؤجوهكم وأيديكم إلى المرافق
Dalam ayat ini jika diartikan secara lahiriah lafal, berarti kewajiban berwudlu itu setelah shalat dilaksanakan. Arti ini bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang mewajibkan lebih dahulu wudlu, sedang syarat itu harus didahulukan, baik melalui hukum akal ataupun syara’. Dengan demikian lafal   اذ قمتم  الي  الصلاة harus ditakwilkan dengan cara mengubah arti hakikinya kepada arti majaznya yaitu : اذا اردتم atau اذا  عزمتم .
Ta’wil ini dinilai qarib karena makna lahiriyah ayat tersebut tidak dapat dibenarkan. Sehingga, dengan hanya logika diatas, pentakwilan tersebut menjadi unggul.
·         Ta’wil Ba’id
Ta’wil Ba’id adalah ta’wil yang persyaratannya tidak dapat di penuhi dalam suatu penta’wilan berdasarkan pada dalil terendah. Maka darii itu jika, ternyata dalam penta’wilan itu di temukan adanya penyimpangan dari persyaratan tersebut itu harus di tolak. Contoh :
‘’perintah Nabi SAW kepada sahabat Ghailan atsaqafi ketika masuk Islam masih mempunyai sepuluh istri. Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan “أمسك أربعا وفارق سائر هن” (pertahankan empat orang istrimu dan ceraikan lah yang lainnya). Dalam hadits ini secara jelas tetapnya ke absahan ikatan suami istri tanpa adanya akad baru dan tidak mensyaratkan tajdid al-Aqdi. Namun para pengikut mazhab Hanafi menta’wil hadits ini. Jika prosesi nikah di lakukan secara bersama-sama, maka lafadz أمسك harus di ta’wil menjadi أبتدئ (mulailah kembali akad nikahmu). Karena seluruhnya di hukum batal, sehingga harus di mulaidari awal, bukan dengan membiarkannya.



BAB III
A.    Kesimpulan
Dzahir dalam kajian ilmu Ushul fiqih adalah, lafadz yang menunjukkan atas makna dengan petunjuk yang mencapai taraf zhan, atau suatu dalil yang memungkinkan atau bahkan memerlukan ta’wil supaya tidak terajadi kesalah pahaman.
Ta’wil adalah memindahkan suatu perkataan dari arti yang jelas ke kepada arti yang lain (marjuh) yang kemungkinan lebih sesuai karena terdapat alasan yang kuat.
Mena’wilkan atau memalingkannya dari makna dzahir-nya kepada makna yang lain tidaklah sah apabila tidak di dasarkan oada dalil syar’i yang sah, seperti di dasarkan kepada hawa nafsu dan ingin menang sendiri, karena hal ini merupakan tindakan mempermainkan hukum dan nash-nashnya. Dalam perkembangan nya ta’wil terbagi lagi kepada ta’wil shahih, ta’wil fasid, dan la’bun. Yang masing-masing punya pengertian berbeda-beda.
B.     Saran
            Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.




Daftar pustaka
Zein, Ma’shum, Dr.KH , 2014, menguasai ilmu Ushul Fiqh,  pustaka pesantren.

Abidin Ahmad, Zainal, Ushul fiqih.

syafe’i,  Rachmat, 1999, Ilmu Ushul fiqh,  Bandung : CV pustaka setia.

Tim kodifikasi Anfa, Tashilu Lubbil Ushul, pengantar memahami Lubbul Ushul, terjemah dan kajian Lubbul Ushul Asy-saikh al-Islam Zakaria al-Anshari, Kediri : (Lirboyo press, 2015).

Khallaf, abu wahab, 2014, Ilmu ushul fiqih, Semarang : Dina utama Semarang



           



[1] Tim kodifikasi Anfa, Tashilu Lubbil Ushul, pengantar memahami Lubbul Ushul, terjemah dan kajian Lubbul Ushul Asy-saikh al-Islam Zakaria al-Anshari, Kediri : (Lirboyo press, 2015), hal 198
[2] Dr.KH Ma’shum Zein, menguasai ilmu Ushul Fiqh, ( pustaka pesantren, 2014), hal 344.
[3] Dr.KH Ma’shum Zein, menguasai ilmu Ushul Fiqh, ( pustaka pesantren, 2014), hal 345, dan Prof. Dr. Rachmat syafe’i, Ilmu Ushul fiqh, ( Bandung : CV pustaka setia, 1999) hal 170-171


[4] Drs.Zainal Abidin Ahmad, Ushul fiqih, hal 129.
[5] Dr.KH Ma’shum Zein, menguasai ilmu Ushul Fiqh, ( pustaka pesantren, 2014), hal 350.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir