Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat karunianya kami
bisa menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Metode
Tafsir. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah curahkan kepada nabi kita
Nabi Muhammad saw beserta keluarga, kerabat, dan sahabatnya hingga kita umatnya
yang mengikuti sunah-sunah beliau.
Ucapan
terima kasih kami haturkan kepada segenap pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini. Terlebih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing
kami hingga tersusunlah makalah ini. Selanjutnya, kami merasa bahwa makalah ini
masih diperlukan banyak perbaikan. Oleh karenanya kritik dan saran yang
konstruktif kami harapkan dari para pembaca.
Akhirnya
mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kita semua khususnya bagi penyusun
sendiri.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. PengertianTafsirIjmali..........................................................................5
B. Sejarah dan perkembangan...................................................................6
C. Kelebihan dan kekurangan....................................................................7
D. Mengenal kitab dan
mufassirnya...........................................................8 .
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................11
B. Saran
....................................................................................................11
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
Upaya
memahami Al-Qur’an melalui kegiatan tafsir telah menjadi salah sesuatu yang
amat penting. Hal ini dikarenakan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang
tidak pernah ada habisnya untuk dikaji. Selain itu, Al-Qur’an adalah kitab suci
dan sumber ajaran bagi umat Islam yang menjadi inspirator, pemandu
gerakan-gerakan umat Islam sepanjang abad sejarah pergerakan umat, sehingga
pemahaman-pemahaman yang aktual dan kontekstual berperan penting bagi maju dan
mundurnya umat Islam.
Upaya penafsiran al-Quran telah
berlangsung sejak nabi masih hidup. Nabi sangat memahami al-Qur’an dengan
sempurna baik secara global dan terperinci. Setelah berlalu masa ke-Nabian para
sahabat menukil penafsiran Nabi, dan ber ijtihad untuk ayat-ayat yang belum
sempat di tafsirkan Nabi. Ibn Khaldun berkata dalam mukaddimahnya menjelaskan,
: Al-Qur’an di turunkan dalam bahasa Arab, sesui dengan tata bahasa mereka.
Karena itu semua orang Arab memahamiya dan mengetahuimana-maknanya, baik
dalamkosa kata maupun dalam struktur kalimat nya, namun demikian mereka
berbeda-beda dalam tingkat pemahamnnya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh
sesorang di antara merekaboleh jadi di ketahui yang lain.[1]
Ditinjau dari segi metode, penafsiran
terhadap Al-Qur’an yang berkembnag hingga saat ini dapat dibedakan menjadi
empat macam, yaitu : metode tafsir tahlili,
metode tafsir ijmali, metode tafsir muqarrran, dan metode tafsir maudhu’i.
Dalam makalah ini, akan
dikemukakan salah satu metode penafsiran diatas, yakni metode penafsiran ijmali pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Metode ijmali adalah corak
penafsiran yang hanya menguraikan makna-makna umum yang di kandung oleh ayat
yang di tafsirkan, namun penafsir di harapkan dapat menjelaskan makna-makna
dalam bingkai suasana Qur’ani. Mufassir tidak perlu menyinggung Asbab al-nuzul,
munasabah, apalagi makna kosakata dan segi keindahan bahasa al-Qur’an. Akan
tetapi sang mufassir langsung menjelaskan kandungan ayat secara umum, baik dari
segi hukum dan hikmah yang dapat di tarik.[2]
Metode
tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa
uraian panjang lebar. ”Metode Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat Qur’an
secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan
enak dibaca. Sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam
mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.[3] Dengan demikian, ciri-ciri
dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib
mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili
adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global
tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara
terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang
lebar.
Sebagai
contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama
dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak
ditemui rincian atau penjelasan yang memadai.
Penafsiran tentang [ ال م ], misalnya, dia
hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula penafsiran [ الكتاب ], hanya
dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian
sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan
tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima ayat
pertama itu ia membutuhkan 7 halaman[4]. Hal ini disebabkan
uraiannya bersifat analitis dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung
oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari al-Qur’an atau
hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama, juga tidak
ketinggalan argumen semantik.[5]
B. Sejarah dan
Perkembangan
Sejarah perkembangan tafsir dimulai
pada masa Nabi dan para sahabat. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu
secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai. Dalam tafsir
mereka pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru
apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang
pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an.[6]
Metode
ini, kemudian diterapkan oleh al-Suyuthi di dalam kitabnya al-Jalalain, dan
al-Mirghami di dalam kitabnya Taj al-Tafsir. Kemudian diikuti oleh metode
tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’tsur, kemudian tafsir ini berkembang dan
mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus
dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu,
seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya. Dapat dikatakan, bahwa
corak-corak serupa inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya tafsir
maudhu’i atau disebut juga dengan metode maudhu’i [metode tematik]. Lahir pula
metode muqarin [metode perbandingan], hal ini ditandai dengan dikarangnya
kitab-kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip, seperti Durrat
al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil oleh al-Khathib al-Iskafi [w.240 H] dan
al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an oleh Taj al-Qurra’ al-Karmani [w.505
H], dan terakhir lahirlah metode tematik [maudhu’i]. Meskipun pola penafsiran
semacam ini [tematik] telah lama dikenal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, namun
menurut M.Quraish Shihab, istilah metode maudhu’i yang dikenal sekarang ini,
pertama kali dicetuskan oleh Ustadz al-Jil [Maha Guru Generasi Mufasir], yaitu
Prof. Dr. Ahmad al-Kuumy[7].
Lahirnya
metode-metode tafsir tersebut, disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat
yang selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya
mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang
turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi dan
kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat
memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada
kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi
cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmal]. Itulah sebabnya Nabi
tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang
pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an seperti lafal [ ظلم ] dalam ayat 82 surah al-An’am: ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَنَهُم بِظُلْمٍ
أُولَئِكَ لَهُمُ ٱلأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
٨٢﴿
﴾Artinya:
”Orang-orang yang berimana dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan
kezaliman [aniaya], mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk)”
Ayat
ini cukup mengganggu pikiran umat pada saat itu, karena mengandung makna bahwa
mereka yang mencampur adukan iman dengan aniaya tidak akan memperoleh keamanan
dan petunjuk. Ini berarti, seakan-akan percuma mereka beriman karena tak akan
bebas dari azab, sebab mereka percaya bahwa tak ada di antara mereka yang tidak
pernah melakukan aniaya. Tetapi, mereka merasa tenang dan puas setelah Nabi saw
menafsirkan [ ظلم ] di dalam ayat itu
dengan [ شرك ] dengan mengutif ayat 13 surah Luqman,
sebagai berikut yang : Artinya: ”Janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kezaliman yang besar”[8]
Berdasarkan kenyataan historis
tersebut, dapat dikatakan bahwa kebutuhan umat Islam saat itu terpenuhi olah
penaafsiran yang singkat [global], karena mereka tidak memerlukan penjelasan
yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dimungkiri bahwa memang pada abad
pertama berkembang metode global [ijmali] dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an,
bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global [ijmali]
terasa lebih praktis dan mudah dipahami, kemudian metode ini banyak diterapkan.
Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada periode awal, seperti:
al-Suyuthi dan al-Mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental yaitu
al-Jalalain, al-Mirghani di dalam kitab Taj al-Tafsir, dan lain-lain. Tetapi
pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai
di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi
logis terhadap perkembangan yang beragam.
C.
Kelebihan
dan Kekurangan
Kelebihan metode ijmali di antaranya, adalah:
a.
Praktis dan mudah dipahami: Tafsir yang menggunakan
metode ini terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Tanpa berbelit-belit
pemahaman al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya. Pola penafsiran
serupa ini lebih cocok untuk para pemula. Tafsir dengan metode ini banyak
disukai oleh ummat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyakat.
b.
Bebas
dari penafsiran israilliyat:
Dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan, maka tafsir ijmali relatif
murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran Israillyiat yang kadang-kadang tidak
sejalan dengan martabat al-Qur’an sebagai kalam Allah yang Maha Suci. Selain
pemikiran-pemikiran Israiliat, dengan metode ini dapat dibendung
pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat
al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh seorang
teologi, sufi, dan lain-lain.
c.
Akrab dengan bahasa al-Qur’an: Tafsir ijmali ini
menggunakan bahasa yang singkat dan padat, sehingga pembaca tidak merasakan
bahwa ia telah membaca kitab tafsir. Hal ini disebabkan, karena tafsir dengan
metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab
tersebut. Kondisi serupa ini tidak dijumpai pada tafisr yang menggunakan metode
tahlili, muqarran, dan maudhu’i. Dengan demikian, pemahaman kosakata dari
ayat-ayat suci lebih mudah didapatkan dari pada penafsiran yang menggunakan
tiga metode lainnya.[9]
Kelemahan dari metode ijmali antara
lain:
a. Menjadikan
petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh,
sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh,
tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam
suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan
menggabungkan kedua ayat tersebuat akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan
dapat terhindar dari kekeliruan.
b. Tidak ada
ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode
ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian dan pembahasan yang
memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Oleh karenanya, jika
menginginkan adanya analisis yang rinci, metode global tak dapat diandalkan.
Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode
ini. Namun tidak berarti kelemahan tersebut bersifat negatif, kondisi demikian
amat posetif sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode global.[10]
Di
antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya
Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adzhin
olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan
Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Muyasasar karangan Syaikh Abdul
al-Jalil Isa, dan sebagainya.
D. Mengenal
Kitab dan Mufassirnya
Ulama
yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada periode awal, seperti:
al-Suyuthi dan al-Mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental yaitu
al-Jalalain, al-Mirghani di dalam kitab Taj al-Tafsir, dan lain-lain. Tetapi
pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai
di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi
logis terhadap perkembangan pemikiran Islam.[11]
Bebeliau
adalah Jalaludin al-Mahalli, dengan nama lengkapnya, Muhammad bin Ibrahim
al-Mahalli asy-syafi’i , bangsa Arab suku Taftasani. Dalam kitab
HusnulMuhadarah di sebutkan bahwa iya lahir di Mesir 791 H. Al-Mahalli adalah
simbol kecerdasan dan kepandaian sehingga seorang ulama pada masanya
menggambarkan bahwa kecerdasannya menembus mutiara. Pada awal perjalanannya
menempuh mazhab salaf, iya sangat saleh dan wara dan di kenal suka ber-Amar
ma’ruf Nahi munkar. Ia belajar kepada sejumlah ulama dengan kehidupan yang
sangat sederhana, menulis banyak kitab dengan sangat ringkas, dan ada yang
dalam bentuk revisi, dengan bahasa yang baik dan tepat dalam menganalisa. Di
antara karyanya adalah, syarah jam’u al-Jawami dalam Ushul Fiqih, syarah
al-Minhaj dalam fiqih syafi’i, syarah al-waraqat dan tafsir Jalalain.[12]
Jalaluddin
al-Mahalli memulai penulisan tafsirnya dari awal surah al-Kahfi sampai dengan
akhir surah al-Nisa, setelah itu barulah iya menafsirkan surah al Fatihah
sampai selesai. Kemudian meninggal dunia sehinnga iya tidak sempat menyelesaikannya[13]. Adapun Jalaluddin
as-Suyuti, Beliau adalah al-Hafidz Jalaluddin Abil Fadlil Abdurrahman Abu Bakar as-sayuti, di lahirkan pada bulan Rajab
tahun 849 H dan wafat pada bulan Jumadil ula 911 H. Imam as-Suyuti belajar dari
600 orang guru, mendapat 150 Ijazah riwayat hadis dan telah mengarang kitab
yang mencapai 500 kitab. Ibn Imad salah seorang gurunya pernah mengatakan bahwa
muridnya, al-Hafidz as-sayuti memiliki nama-nama kitab yang besar, dan utuh
yang apabila di himpun bisa mencapai 500 karya.
Imam Sayuti mengatakan bahwa dia
menyusun kitab tafsir dan yang berkaitan dengannya sebanyak 75 risalah dan
kitab. [14]
Imam as-Suyuti datang sesudah
al-Mahalli untuk menyempurnakan penulisan tafsir al-mahalli. As-Suyuti memulai
penulisan tafsirnya dari surah al-Baqarah sampai dengan surah al-Isra’, tafsir
surah al- Fatihah iya letakkan pada akhir tafsir al-Mahalli, agar terletak ber
urutan dengan nya. [15]
Contoh tafsir ijmali
Surah al-Kahfi ayat satu dan dua :
1.. الحمد (segala puji) iyalah menggambarkan
kebaikan yang bersifat lillahi لله (bagi Allah ) maha tinggi dia. Apakah yang
di maksud dengan alhamdulillah ini bersifat pemeberitahuan untuk di imani atau,
di maksudkan hanya untuk memuji keapadanya, atau yang di maksudkan adalah
keduanya. Memang di dalam menangapi masalah ini ada beberapa hipotesis, tetapi
yang lebih banyak mengandung faedah dalah pendapat ketiga, yaitu untuk di imani
dan sebagai pujian kepadanya أنزل على عبده
(yang telah menurunkan kepada hambanya), yaitu Nabi Muhammad الكتاب Al-Qur’an. [ولم يجعل له (dan dia tidak menjadikan padanya)
di dalam al-Qur’an . [عوجا] (kebengkokan) perselisihan atau
pertentangan. Jumlah kalimat dalam [ولم يجعل له عوجا]
berkedudukan menjadi hal atau keterangan keadaan lafadz al-Kitab.
2.[ ققيما ](sebagai jalan
lurus) bimbingan yang lurus; lafadz qayyiman menjadi hal yang kedua
dari lafadz al-Kitab di atas tadi, dan sekaligus mengukuhkan makna yang pertama.
[ لينذ ر ] (untuk
memperingatkan) menakut-nakuti orang kafir dengan al-Qur’an itu [بأ سا] ( akan siksaan) akan adanya azab [ شد يد من لد نه]
( yang sangat keras adari sisinya) dari sisi Allah [و يبشر المؤ منين
الذ ين يعلمون الصلحت ان لهم اجراحسنا] (dan memberi berita gembira kepada
orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal sholeh, bahwa mereka akan
mendapatkan pembalasan yang baik(.[16]
Jalaludin al-Mahalli
menafsir bagian yang di tafsirinya dengan bahasa yang sangat ringkas, namun
begitu indah dan sangat detail. Cara ini kemudian di ikuti oleh as-Suyuti yang
menginginkan kitab tersebut ditulis dalam satu cara dan warna, sebagimana yang
di utarakannya dalam mukaddimahnya.
Di akhir surah al-Isra’, iya
menyebutkan bahwa iya telah menyelesaikan sisa tafsir al-Mahalli selama 40 hari.
Dan dia (as-Suyuti) mengatakan bahwa dalam menulis tafsirnya iya mengikuti
tafsir al-Mahalli. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa as-Suyuti telah
menempuh cara al-Mahalli dalam menyebutkan apa yang di pahaminya dari firman
Allah, dalam mengambil ucapan atau pendapat yang lebih kuat, dalam i’rab
terhadap kalimat yang di butuhkan yang mashur dengan bahsa yang lembut dan
ringkas tanpa memanjangkan pengutipan keterangan yang tidak di setujui dan
i’rab-i’rab yang terdapat dalam kitab-kitab bahasa Arab. [17]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode
tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk menafsirkan al-Qur’an dengan cara
singkat dan global tanpa uraian panjang lebar dan metode ini juga menjelaskan
ayat-ayat Qur’an tersebut secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Metode
tafsir ijmali adalah metode tafsir yang telah di gunakan oleh Nabi muhammad SAW
sebagai Mufassir awal untuk menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan
global, metode ini di gunakan agar pesan yang tersirat dalam ayat-ayat
al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah oleh ummat Islam.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan
tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga
dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran
bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
DAFTAR
PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, 1988. Metodologi
Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar
Salim, Muin. 2005. Metodologi
Ilmu Tafsir. Jogjakarta
Shihab,
Quraish. 2013 kaidah tafsir,
Tangerang, lentera hati.
Jurnal, Hujair
AH. Sanaky, Dosen tetap faultas Tarbiyah UIN Yogyakarta.
al-Mahalli ,Imam
Jalaluddin -dan al-Suyuti Jalaludin. 2009 ,Tafsir Jalalain, penerjemah
Bahrun abu bakar, Bandung , sinar baru Algensindo
Abd Halim
Mahmud, Prof. Dr. Mani’. 2006, Metodologi Tafsir : kajian komperehensif
metode para ahli tafsir, penerjemah, Faizah Shaleh dan sahdianor, Jakarta,
PT Raja Garfindo persada
al-Qathan,
Syaikh Manna. 2005, Pengantar studi al-Qur’an, penerjemah, H Aunur
rafiq, Jakarta, pustaka al-kautsar
Husen
Adz-Zahabi, Dr. Muhammad.2009, At-Tafsir wa Mufassirun, penerjemah H,
Nabhani Idris. LC . Jakarta , Kalam mulia
[1] Syaikh
Manna al-Qathan. 2005 Pengantar studi al-Qur’an, penerjemah, H Aunur rafiq,
Jakarta pustaka al-kautsar, hal 422.
[2] Quraish
Shihab, kaidah tafsir, (Tangerang, lentera hati, 2013) hal 381
[4] Tafsir al-Maraghi, juz I, jilid I, cet.
Ke-3, Dar al-Fikr, 1989, hlm.39-45, dan dalam Nashruddin Baidan, hlm.17
[6] Jurnal,
Hujair AH. Sanaky, Dosen tetap faultas Tarbiyah UIN Yogyakarta
[7]
Quraish Shihab. 1986. Tafsir al-Qur’an dengan Metode Mawdhu’i,
dalam Bustami A. Ginani et.,al, Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Qur’an,
Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an. hlm. 34. dalam Nashruddin Baidan, Metode
Penafsiran al-Qur’an, hlm. 3-4.
[9] Jurnal,
Hujair AH. Sanaky, Dosen tetap faultas Tarbiyah UIN Yogyakarta
[10] Jurnal,
Hujair AH. Sanaky, Dosen tetap faultas Tarbiyah UIN Yogyakarta
[11] Jurnal,
Hujair AH. Sanaky, Dosen tetap faultas Tarbiyah UIN Yogyakarta,
[12] Dr.
Muhammad husen Adz-Zahabi.2009, At-Tafsir wa Mufassirun, penerjemah H, Nabhani
Idris. LC . Jakarta , Kalam mulia.
[13] Syaikh
Manna al-Qathan. 2005 Pengantar studi al-Qur’an, penerjemah, H Aunur rafiq,
Jakarta pustaka al-kautsar
[14] Prof.
Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud. 2006, metodologi Tafsir : kajian komperehensif
metode para ahli tafsir, penerjemah, Faizah Shaleh dan sahdianor, Jakarta, PT
Raja Garfindo persada
[15] Prof.
Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud. 2006, metodologi Tafsir : kajian komperehensif
metode para ahli tafsir, penerjemah, Faizah Shaleh dan sahdianor, Jakarta, PT
Raja Garfindo persada
[16] Imam
Jalaluddin al-Mahalli-dan Jalaludin al-Suyuti. 2009 ,Tafsir Jalalain,
penerjemah Bahrun abu bakar, Bandung , sinar baru algensindo
[17] Dr.
Muhammad Husen Adz-Zahabi.2009, At-Tafsir wa Mufassirun, penerjemah H, Nabhani
Idris. LC . Jakarta , Kalam mulia.
Komentar
Posting Komentar