Tafsir Ahkam ayat Al-Qatl (pembunuhan) dengan Sariqah (pencurian)


Bab II
Pembahasan

A.    Pembunuhan
1.      Pengertian
Pembunuhan dalam bahasa Arab disebut dengan  qatl yang berarti ”perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa”. Dalam kamus Bahasa Indonesia, pembunuhan diartikan sebagai “sebuah tindakan mematikan atau menghilangkan nyawa orang lain”. Sementara menurut Abd al-Qadir ‘Audah, pembunuhan adalah menghilangkan nyawa manusia dengan perbuatan manusia.
            Dengan merujuk pada al-Qur’an, para ulama membagi pembunuhan ke dalam dua jenis, pembunuhan sengaja (al-qatl al-‘amd) dan pembunuhan tidak sengaja. Para ulama memberikan definisi berbeda-beda terhadap pembunuhan sengaja. Perbedaan itu dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam memahami kata “sengaja”. Sebagian memahami kesengajaan ditentukan oleh niat dan maksud pelaku pembunuhan, sementara menurut sebagian yang lain ditentukan oleh alat yang digunakan pelaku pembunuhan
            Al-Naisaburi berpendapat, pembunuhan sengaja adalah tindakan yang dimaksudkan untuk membunuh orang lain dengan sebab atau perantara yang diyakini dapat menyebabkan kematian seseorang, baik dengan cara melukai maupun cara yang lainnya. Menurut Taqiyyudin al-Husaini pembunuhan sengaja adalah perbatan yang sengaja dilakukan untuk mengakhiri hidup seseorang dengan menggunakan sesuatu baik terlihat maupun tidak terlihat termasuk sihir. Menurut Abdul Qadir ‘Audah, pembunuhan sengaja adalah tindakan menghilangkan nyawa orang dengan maksud untuk membunuh. Sementara bagi al-Jasshash, pembunuhan sengaja adalah perbuataan (penghilangan nyawa orang lain) yang disengaja dengan menggunakan alat senjata disertai kesadaran atas perbuatannya. [1]
            Definisi yang lebih rinci dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili. Menurutnya, pembunuhan sengaja adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan sesuatu yang dapat mematikan, baik dengan benda tajam atau lainnya, baik secara langsung maupun dengan sebab perantara, seperti besi dan senjata dan kayu besar, jarum yang ditusukkan pada anggota tubuh yag dapat mematikan maupun anggota tubuh lain yang tidak dapat mematikan langsung tapi dapat menimbulkan pembengkakakan dan penyalit parah yang mengantarkan yang bersangkutan pada kematian, atau memotong jari-jari kemudian menjalar dan kemudian dapat mematikan. Senada dengan definisi tersebut, al-Wahidi juga memberikan definisi pembunhuhan sengaja sebagai sebuah tindakan yang dimaksudkan untuk membunuh dengan alat seperti pedang dan alat-alat lain yang pada umumnya dapat mematikan baik melukai atau tidak melukai seperti batu dan besi yang berat atau semacamnya.
            Dari beberapa definisi diatas, sebagian ulama menetapkan unsur kesengajaan sebagai unsur utama dalam sebuah tindakan yang disebut sebagai pembunuhan sengaja, tanpa memperhatikan cara yang ditempuh dan alat yang digunakan oleh pelaku.

2.      Kriteria Pembunuhan Sengaja
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sebuah tindakan pembunuhan disebut sebagai pembunuhan yang di sengaja jika sebuah perbuatan disertai dengan maksud dan niat untuk membunuh. Tidak hanya adanya unsur kesengajaan, alat yang digunakan juga bisa menentukan sebuah tindakan disebut sebagai pembunuhan sengaja atau tidak sengaja.
Jadi, kriteria pembunuhan sengaja ditentukan oleh maksud dan niat pelakunya, disamping juga alat yang digunakan pada umumnya memang untuk membunuh, atau dapat mematikan, atau dipersiapkan untuk membunuh, misalnya senjata tajam seperti pedang, senjata api atau semacamnya. Secara rinci kriteria pembunuhan dalam kategori sengaja adalah sebagai berikut :
1)      Setiap tindakan yang disengaja untuk membunuh tanpa memperhatikan alat yang digunakan.
2)      Menggunakan alat yang biasanya tidak mematikan tapi dilakukan secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kematian korban.
3)      Membunuh dengan menggunakan alat berat.
4)      Pembunuhan secara pasif.[2]
3.      Sanksi Perdata (diyat) pembunuhan sengaja
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Allah melarang keras tindakan menghilangkan nyawa seseorang tanpa alasan yang dibenarkan sehingga pelakunya diancam dengan hukuman yang sangat berat. Jika di akhirat diancam dengan neraka dan siksaan yang besar, maka di dunia di hukum qishash. Namun karena tindak pidana ini lebih dominan sebagai urusan hak adami, maka Allah memberikan hak kepada pihak keluarga korban untuk memilih antara balasan setimpal berupa dilaksanakannya hukuman qishash atau memberikan maaf terhadap pelakunya. Dalam QS. Al-Isra’ (17) ayat 33 disebutkan: Barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya.
Karena itu, hukuman qishash bisa dibatalkan jika pelaku mendapatkan ampunan dari pihak keluarga korban. Sebagai gantinya pelaku diwajibkan membayar sanksi perdata berupa denda tebusan (diyat). Dalam sebuah ayat disebutkan:
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya (keluarganya), hendaklah pihak yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah pihak yang diberi maaf (pelaku) membayar tebusan kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih (Al-Baqarah [2]: 178.

Ayat ini tegas memberikan alternatif lain dalam pidana pembunuhan selain hukuman qishash. Mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja bias berdamai dengan keluarga korban. Perdamaian itu diganti dengan pembayaran tebusan (diyat). Artinya, hukuman qishash bisa tak dijalankan jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan dari keluarga korban dengan konsesi pembayaran diyat (uang tebusan) yang telah ditetapkan. Setelah pelaku memberikan tebusannya maka tidak ada hukuman lain bagi dirinya, sebab tebusan adalah pengganti hukuman qishash. Karena itu, pihak keluarga korban, tidak boleh menuntut lebih dari aturan yang ditetapkan ini. Sebab, jika hukuman dan sanksi di luar itu dilakukan, maka hal itu merupakan tindakan yang melampaui batas yang diancam dengan siksaan sangat pedih di akhirat kelak.

Surah al-Maidah ayat 32 dan 95
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºsŒ $oYö;tFŸ2 4n?tã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ¼çm¯Rr& `tB Ÿ@tFs% $G¡øÿtR ÎŽötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7Š$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZŽÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ šÏ9ºsŒ Îû ÇÚöF{$# šcqèùÎŽô£ßJs9 ÇÌËÈ  
32. oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.


Penjelasan ayat
{مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرائيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيراً مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ}
قوله تعالى: {مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ} أي من جراء ذلك القاتل وجريرته. وقال الزجاج: أي من جنايته؛ يقال: أجل الرجل على أهله شرا يأجل أجلا إذا جنى؛ مثل أخذ يأخذ أخذ. قال الخنوت:
وأهل خباء صالح كنت بينهم ... قد احتربوا في عاجل أنا آجله
أي جانيه، وقيل: أنا جاره عليهم. وقال عدي بن زيد:
أجل أن الله قد فضلكم ... فوق من أحكا صلبا بإزار
وأصله الجر؛ ومنه الأجل لأنه وقت يجر إليه العقد الأول. ومنه الآجل نقيض العاجل، وهو بمعنى يجر إليه أمر متقدم. ومنه أجل بمعنى نعم. لأنه انقياد إلى ما جر إليه. ومنه الإجل للقطيع من بقر الوحش؛ لأن بعضه ينجر إلى بعض؛ قاله الرماني. وقرأ يزيد بن القعقاع أبو جعفر: {مِنْ أجْلِ ذَلِكَ} بكسر النون وحذف الهمزة وهي لغة، والأصل {مِنْ إجْلِ ذَلِكَ} فألقيت كسرة الهمزة على النون وحذفت الهمزة. ثم قيل: يجوز أن يكون قوله: {مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ} متعلقا بقوله: {مِنَ النَّادِمِينَ} ، فالوقف على قوله: {مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ} . ويجوز أن يكون متعلقا بما بعده وهو {كَتَبْنَا} . فـ {مِنْ أَجْلِ} ابتداء كلام والتمام {مِنَ النَّادِمِينَ} ؛ وعلى هذا أكثر الناس؛ أي من سبب هذه النازلة كتبنا. وخص بني إسرائيل بالذكر وقد تقدمته أمم قبلهم كان قتل النفس فيهم محظورا - لأنهم أول أمة نزل الوعيد عليهم في قتل الأنفس مكتوبا، وكان قبل ذلك قولا مطلقا؛ فغلظ الأمر على بني إسرائيل بالكتاب بحسب طغيانهم وسفكهم الدماء. ومعنى {بِغَيْرِ نَفْسٍ} أي بغير أن يقتل نفسا فيستحق القتل. وقد حرم الله القتل في جميع الشرائع إلا بثلاث خصال: كفر بعد إيمان، أو زني بعد إحصان، أو قتل نفس ظلما وتعديا. {أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ} أي شرك، وقيل: قطع طريق.
وقرأ الحسن: {أَوْ فَسَاداً} بالنصب على تقدير حذف فعل يدل عليه أول الكلام تقديره؛ أو أحدث فسادا؛ والدليل عليه قوله: {مَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ} لأنه من أعظم الفساد.
وقرأ العامة: {أَوْ فَسَادٍ} بالجر على معنى أو بغير فساد. {فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً} اضطرب لفظ المفسرين في ترتيب هذا التشبيه لأجل أن عقاب من قتل الناس جميعا أكثر من عقاب من قتل واحدا؛ فروي عن ابن عباس أنه قال: المعنى من قتل نبيا أو إمام عدل فكأنما قتل الناس جميعا ومن أحياه بأن شد عضده ونصره فكأنما أحيا الناس جميعا. وعنه أيضا أنه قال: المعنى من قتل نفسا واحدة وانتهك حرمتها فهو مثل من قتل الناس جميعا، ومن ترك قتل نفس واحدة وصان حرمتها واستحياها خوفا من الله فهو كمن أحيا الناس جميعا. وعنه أيضا. المعنى فكأنما قتل الناس جميعا عند المقتول، ومن أحياها واستنقذها من هلكة فكأنما أحيا الناس جميعا عند المستنقذ. وقال مجاهد: المعنى أن الذي يقتل النفس المؤمنة متعمدا جعل الله جزاءه جهنم وغضب عليه ولعنه وأعد له عذابا عظيما؛ يقول: لو قتل الناس جميعا لم يزد على ذلك، ومن لم يقتل فقد حيي الناس منه. وقال ابن زيد: المعنى أن من قتل نفسا فيلزمه من القود والقصاص ما يلزم من قتل الناس جميعا، قال: ومن أحياها أي من عفا عمن وجب له قتله؛ وقاله الحسن أيضا؛ أي هو العفو بعد المقدرة. وقيل: المعنى أن من قتل نفسا فالمؤمنون كلهم خصماؤه؛ لأنه قد وتر الجميع، ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا، أي يجب على الكل شكره. وقيل: جعل إثم قاتل الواحد إثم قاتل الجميع؛ وله أن يحكم بما يريد. وقيل: كان هذا مختصا ببني إسرائيل تغليظا عليهم. قال ابن عطية: وعلى الجملة فالتشبيه على ما قيل واقع كله، والمنتهك في واحد ملحوظ بعين منتهك الجميع؛ ومثاله رجلان حلفا على شجرتين ألا يطعما من ثمرهما شيئا، فطعم أحدهما واحدة من ثمر شجرته، وطعم الآخر ثمر شجرته كلها، فقد استويا في الجث. وقيل: المعنى أن من استحل واحدا فقد استحل الجميع؛ لأنه أنكر الشرع.
وفي قوله تعالى: {وَمَنْ أَحْيَاهَا} تجوز؛ فإنه عبارة عن الترك والإنقاذ من هلكة، وإلا فالإحياء حقيقة - الذي هو الاختراع - إنما هو لله تعالى. وإنما هذا الإحياء بمنزلة قول نمروذ اللعين: {أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ} فسمى الترك إحياء. ثم أخبر الله عن بني إسرائيل أنهم جاءتهم الرسل بالبينات، وأن أكثرهم مجاوزون الحد، وتاركون أمر الله.

Firman Allah ta’ala  y7Ï9ºsŒ@ô_r&ô`ÏB, “oleh karena itu”, yakni disebabkan sang pembunuh itu dan dosanya. Az-Zujaz berkata , “ yakni, karena dosanya.” Dikatakan, ajala arajul ala ahlihi ya ‘jalu ajlaan, (seorang lelaki berbuat kriminal terhadap keluarganya), jika dia melakukan tindakan criminal, seperti akhadza ya ‘khadzu akhdzan. Al Khinaut berkata,
“dan penduduk Khaba yang shaleh, dimana aku ada diantara mereka.
Sesungguhnya mereka telah diperangi karena kesalahan masa lalu yang pernah aku lakukan.”
Yakni, yang pernah aku melakukannya. Menurut satu pendapat, yang pernah aku lakukan kepada mereka
Adi bin Zaid berkata,
“Benar, sesungguhnya Allah telah mengutamakan kalian diatas orang-orang mengikat sarung(nya) dipinggang.”
            Makna asal ajl  adalah al jar (tarikan). Dari kata ajl  itulah muncul kata ajal (batas waktu), sebab ajal ini merupakan waktu dimana akad yang pertama atau sebelumnya ditarik kepadanya. Dari kata ajl itu pula muncul kata ajal (nanti), lawan kata dari ‘aajil (segera). Sebab kata ajal ini merupakan waktu dimana perkara yang terdahulu ditarik kepadanya. Dari kata ajl itu pula muncul kata ajal yang berarti “ya”. Sebab kata ajal ini merupakan kepatuhan/kesetujuan terhadap hal-hal yang ditarik kepadanya. Dari kata ajl itu pula muncul kata al ijl  yang berarti potongan perut binatang liar. Sebab sebagian dari potongan perut binatang liar itu menarik sebagian yang lain.demikianlah yang dikatakan Ar-Rumani.
            Nama Bani Israil disebutkan secara khusus dalam ayat itu, padahal ada umat-umat lain sebelum mereka, dimana pada umat-umat yang lain itupun pembunuhan merupakan suatu perkara terlarang bagi mereka, karena bani israil merupakan umat pertama yang mendapatkan ancaman secara tertulis bila mereka yang menghilangkan nyawa seseorang. Sebelum mereka, ancaman itu hanya berupa ucapan/firman Tuhan semata. Dalam hal ini, Allah membebani kaum bani israil dengan ancaman tertulis, disebabkan oleh kedurhakaan dan pembunuhan yang telah mereka lakukan. [3]
            Makna firman Allah : C§øÿtRŽötóÎ/ “bukan karena orang itu (membunuh) orang lain. ”  adalah bukan karena orang itu membunuh orang lain, sehingga orang itu berhak untuk dibunuh. Dalam hal ini, Allah telah mengharamkan pembunuhan pada semua syari’at, kecuali karena tiga faktor : kafir setelah beriman, berzina setelah menikah, dan menghilangkan nyawa seseorang secara dzalim dan melampaui batas.
Makna  7 ÇÚöF{$#Îû Š$|¡sù ÷rr& “atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi”, yakni kemusyrikan. Menurut satu pendapat, perampokan atau pembegalan.
            Al Hasan membaca firman Allah itu dengan Š$|¡sù,- yakni dengan nashab, karena memperkirakan adanya fi’il yang ditunjukkan awal pembicaraan. Perkiraan fi’il tersebut adalah : aw ahadtsa fasaadan, atau menciptakan kerusakan.” Dalil atas hal ini adalah firman Allah : `tB Ÿ  ÎC§øÿtR ŽötóÎ/ $G¡øÿtR @tFs%, “barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain. Sebab pembunuhan adalah pengrusakan yang paling hebat.
            Adapun mayoritas ulama, mereka membaca firman Allah tersebut dengan فساد yakni dengan jar, dimana maknanya adalah “bukan karena berbuat kerusakan”. $YèÏJy_}¨$¨Z9$#Ÿ@tFs%$yJ¯Rr'x6sù  maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Lafazh yang digunakan para mufasir untuk susunan tasybih ini beragam, sebab hukuman yang diperuntuk bagi orang yang membunuh semua manusia adalah lebih besar daripada hukuman yang diperuntukkan bagi orang yang membunuh satu orang.
            Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata :”makna firman Allah tersebut adalah, barangsiapa yang membunuh seorang nabi atau seorang pemimpin yang adil, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia seluruhnya.
            Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas, dia berkata :”barangsiapa yang membunuh satu orang dan melanggar keharamannya, maka dia itu seperti orang yang membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa yang tidak membunuh seorangpun, menjaga keharamannya, dan memelihara kehidupannya karena takut kepada Allah , maka dia itu seperti orang yang memelihara kehidupan manusia seluruhnya. [4]
            Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah tersebut adalah, maka seakan-akan  dia telah membunuh manusia seluruhnya menurut orang yang dibunuh. Barangsiapa yang memelihara kehidupannya dan menyelamatkannya dari kebinasaan, maka seakan-akan dia telah memelihara manusia seluruhnya menurut orag yang diselamatkan.
            Mujahid berkata, “Makna firman Allah tersebut adalah, bahwa orang yang membunuh seorang mukmin secara sengaja, maka Allah menjadikan neraka jahanam sebagai balasan untuknya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya, serta menyiapkan untuknya siksaan yang pedih.” Mujahid berkata, “Jika dia membunuh manusia seluruhnya, maka (hukuman yang akan diberikan kepadanya) tidak lebih dari itu. Barangsiapa yang tidak membunuh seorang pun, maka sesungguhnya manusia telah hidup karenanya.”
            Ibnu Zaid berkata, “Makna firman Allah tersebut adalah, barangsiapa yang membunuh seseorang, maka dia harus diqishash, sebagaimana diharuskan jika membunuh manusia seluruhnya. Adapun yang dimaksud dengan barangsiapa yang memelihara kehidupannya adalah orang yang memberi maaf terhadap orang yang wajib untuk dibunuh.” Pendapat ini pun dikemukakan oleh Al Hasan. Yakni, maaf tersebut adalah maaf yang diberikan setelah ada kemampuan untuk menjatuhkan hukuman qishash.
            Menurut satu pendapat, makna firman Allah tersebut adalah, barangsiapa yang membunuh seseorang maka orang yang beriman seluruhnya adalah musuhnya. Sebab dia telah mengaganggu semua orang. Sedangkan orang yang memelihara kehidupannya, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Yakni, semua orang wajib berterima kasih kepadanya.
            Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah tersebut adalah, Allah menetapkan dosa orang yang membunuh satu orang sama dengan dosa yang membunuh semua orang. Namun demikian, Allah berhak untuk menetapkan apa yang Dia kehendaki.[5]
            Menurut pendapat yang lain lagi, firman Allah tersebut khusus untuk kaum Bani Israil sebagai hukuman bagi mereka.
            Ibnu Athiyah berkata, “Secara global, tasybih tersebut adalah riil secara keseluruhannya. Orang yang melakukan pelanggaran terhadap satu orang, adalah dipandang sama dengan orang yang melakukan pelanggaran terhadap semua orang. Contohnya adalah dua orang yang bersumpah tidak memakan buah dari sebatang pohon, salah satu dari keduanya kemudian memakan buah pohon tersebut sebanyak satu butir, sedangkan yang lainnya memakannya seluruhnya. Dalam hal ini, kedua orang tersebut sama-sama telah melanggar sumpah.”
            Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah tersebut adalah, barangsiapa yang menganggap halal (darah) seseorang, maka sesungguhnya dia telah menganggap halal (darah) senmua orang.sebab dia telah mengingari syari’at.
            Pada firman Allah Ta’ala: وَمَنْ أَحْيَاهَا   “Dan barangsiapa yang memlihara kehidupan seorang manusia,” terdapat majaz. Sebab firman Allah itu merupakan sebuah ibarat untuk ‘tidak membunuh dan tidak membinasakan seseorang’. Sebab jika tidak demikian, maka ( dalam hal ini perlu diketahui bahwa) kehidupannya yang sesungguhnya yang tak lain adalah penciptaan adalah milik Allah. Yang dimaksud dengan kehidupan dalam firman Allah tersebut adalah sama dengan apa yang dimaksud dengan kehidupan dalam ucapan Namrud terlaknat: أَنَا أُحْيِ وَأُمِيْتُ   “Saya dapat menghidupak dan mematikan.” (Qs. Al Baqarah [2] : 258)
            Selanjutnya, dalam ayat tersebut Allah memberitahukan tentang kaum Bani Israil, yaitu bahwa kepada mereka telah daaing rasul-rasul Allah dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, namun sebagian besar di antara mereka justru melampaui batas dan meninggalakn apa yang Allah perintahkan.[6]
Surat al-Maidah ayat 95 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=çGø)s? yøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur ×Pããm 4 `tBur ¼ã&s#tFs% Nä3ZÏB #YÏdJyètGB Öä!#tyfsù ã@÷WÏiB $tB Ÿ@tFs% z`ÏB ÉOyè¨Z9$# ãNä3øts ¾ÏmÎ/ #ursŒ 5Aôtã öNä3YÏiB $Nƒôyd x÷Î=»t/ Ïpt7÷ès3ø9$# ÷rr& ×ot»¤ÿx. ßQ$yèsÛ tûüÅ3»|¡tB ÷rr& ãAôtã y7Ï9ºsŒ $YB$uϹ s-räuÏj9 tA$t/ur ¾Ín͐öDr& 3 $xÿtã ª!$# $£Jtã y#n=y 4 ô`tBur yŠ$tã ãNÉ)tFZuŠsù ª!$# çm÷ZÏB 3 ª!$#ur ÖƒÍtã rèŒ BQ$s)ÏGR$# ÇÒÎÈ  
95. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan[436], ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad[437] yang dibawa sampai ke Ka'bah[438] atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin[439] atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu[440], supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu[441]. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.

[436] Ialah: binatang buruan baik yang boleh dimakan atau tidak, kecuali burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing buas. dalam suatu riwayat Termasuk juga ular.
[437] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[438] Yang dibawa sampai ke daerah Haram untuk disembelih di sana dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
[439] Seimbang dengan harga binatang ternak yang akan penggganti binatang yang dibunuhnya itu.
[440] Yaitu puasa yang jumlah harinya sebanyak mud yang diberikan kepada fakir miskin, dengan catatan: seorang fakir miskin mendapat satu mud (lebih kurang 6,5 ons).
[441] Maksudnya: membunuh binatang sebelum turun ayat yang mengharamkan ini.

Penjelasan Ayat
[يا ايها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ] اي لا تقتلوا الصيد وانتم محرمون بحج او عمرة
[ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم ] أي من قتل الصيد في حالة الإحرام ، فعليه جزاء يماثل ما قتل من النعم وهي (الإبل والبقر والغنم )
[يحكم به ذوا عدل منكم ] أى يحكم بالمثل حكمان عادلان من المسلمين
[هديا بالغ الكعبة] أى حال كونه هديا ينحر، ويتصدق به على مساكين الحرم ، فإن لم يكن للصيد مثل من النعم ، كالعصفور والجراد فعليه قيمته
[او كفارة طعام مساكين ] أى واذا لم يجد المحرم مثل ما قتل من النعم فيقوم الصيد المقتول ، ثم يشترى به طعام فيصرف لكل مسكين مد منه
[او عدل ذلك صياما ليذوق وبال أمره ] أي عليه مثل ذلك الطعام صياما يصومه ، عن كل مد يوما، ليذوق سوء عاقبه هتكه لحرمة الإحرام ! قال في التسهيل : عدد تعالى ما يجب في قتل المحرم للصيد، فذكر أولا الجزاء من النعم ، ثم الطعام ، ثم الصيام ، ومذهب مالك والجمهور أنها على التخيير، وهو الذي يقتضيه العطف ب (او) وعن ابن عباس أنها على الترتيب
[عفا الله عما سلف ] أى من قتل الصيد قبل التحريم
[ومن عاد فينتقم الله منه ] أى ومن عاد الى قتل الصيد وهو محرم ، فينتقم الله منه في الآخرة
[والله عزيز ذو انتقام ] أى غالب على أمره منتقم ممن عصاه

            “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram”, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu dalam keadaan berihram,haji dan umrah. “Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,” barang siapa membunuh binatang buruan dalam keadaan berihram, maka baginya denda yang seimbang sebagai ganti dari binatang yang dibunuhnya, Yaitu menggantinya dengan unta, sapid an kambing. “Menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu,” Menurut putusan yang seimbang oleh dua orang yang adli dari golongan umat Islam. “Sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah,´sebagai hewan kurban yang disembelih dan dipersembahkan kepada orang-orang miskin disekitar Ka’bah. Apabila dia ia tidak mendapatkan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruannya seperti burung gereja dan belalang, maka baginya mengganti sepadannya. “Atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin,” atau apabila orang yang berihram tidak menemukan hewab yang seimbang dengan hewan bururannya, maka hendaklah ia membeli makanan untuk diberikan kepada orang-orang miskin, seyiap orang miskin satu mud. “Atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya ia merasakan akibat buruk dari melanggar kehormatan berihram. Dalam At-Tashil dikatakan, “Allah menghitung-hitung apa yang diwajibkan dalam membunuh hewan buruan bagi orang yang berihram; Allah menyebut pertama kali dendanya yaitu hewan y ternak, makanan, kemudian berpuasa. Menurut madzhab Maliki dan mayoritasa Ulama, denda itu boleh dipilih satu diantara tiga, karena huruf athof ‘au’ bberfungsi untuk memilih. Sedangkan menurut Ibnu Abbas denda itu harus berurutan. “Allah telah memafakan apa yang telah lalu,” bagi orang yang membunuh hewan buruan sebelum datangnya keharaman. “Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya.” Barangsiapa kembali membunuh hewan bururuan sedangkan ia berihram, maka ia akan mendapatkan siksaan di akhirat. “Allah Maha Kuasa lagi empunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, berhak menyiksa orang yang durhaka kepada-Nya.[7]
            “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut,” dihalakna bagimu hai sekalian manusia binatang uruan laut, baik kamu dalam keadaan iheram ataupun tidak. “dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan,” Dan makanan yang lezat bagimu yang berasal dari laut seperti ikan dan yang lainnya, berguna dan untuk kekeuatan kamu dan sebagai bekal bagi orang-orang yang dalam perjalanan. “Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatan buruan darat, selama kamu dalam ihram," Dan diharamkan atasmu binatang buruan darat, selam kamu dalam ihram. “Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan,” TAkutlah kepada Allah yang akan membangkitkan kalian pada hari kiamat. Dia akan membalas amal-amal kamu. Ini adalah ancaman dari-Nya.[8]

Surat An-nisa’ ayat 92

$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Átƒ 4 bÎ*sù šc%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ㍃̍óstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( bÎ)ur šc%Ÿ2 `ÏB ¤Qöqs% öNà6oY÷t/ OßgoY÷t/ur ×,»sVÏiB ×ptƒÏsù îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& ㍃̍øtrBur 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( `yJsù öN©9 ôÉftƒ ãP$uÅÁsù Èûøïtôgx© Èû÷üyèÎ/$tFtFãB Zpt/öqs? z`ÏiB «!$# 3 šc%x.ur ª!$# $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ6ym ÇÒËÈ  
92. dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[334], dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[335] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

[334] Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin.
[335] Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
[336] Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[337] Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.
Penjelasan ayat
وما كان لمؤمن ان يقتل مؤمنا إلا خطا ] أى لا ينبغي لمؤمن ولا يليق به ان يقتل مؤمنا إلا على وجه الخطأ ، لأن الايمان زاجز عن العدوان
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى اهله إلا ان يصدقوا ] أى ومن قتل مؤمنا على وجه الخطأ فعليه اعتاق رقبة مؤمنة ، لأن اطلاقها من أسر الرق كإحيائها ، وعليه دية مؤداة إلى ورثة المقتول ، إلا إذا عفا الورثة عن القاتل فأسقطوا الدية . . لقد أوجب الشارع في القتل الخطأ شيئين : الكفارة وهي تحرير رقبة مؤمنة في مال القاتل ، والدية وهي مائة من الابل على أهل القاتل
[ فإن كان من قوم عدو لكم وهو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة ] أى ان كان المقتول خطأ مؤمنا ، وقومه كفار أعداء - وهم المحاربون - فإنما على قاتله الكفارة فقط دون الدية ، لئلا يستعينوا بها على المسلمين
وان كان من قوم بينكم وبينهم ميثاق فدية مسلمة الى اهله وتحرير رقبة مؤمنة ] أى وان كان المقتول المؤمن خطأ من قوم كفرة ، بينكم وبينهم عهد كأهل الذمة ، فعلى قاتله دية تدفع الى أهله لاجل معاهدتهم ، ويجب ايضا على القاتل اعتاق رقبة مؤمنة
[ فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين توبة من الله ] أى فمن لم يجد الرقبة ، فعليه صيام شهرين متتابعين عوضا عنها ، شرع تعالى لكم ذلك لاجل التوبة عليكم
[ وكان الله عليما حكيما ] أى عليما بخلقه حكيما فيما شرع . . ثم بين تعالى حكم القتل العمد ، وجريمته النكراء وعقوبته الشديدة

            “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah.” Tidak seyogyanya bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin kecuali karena tidak sengaja, karena iman adalah pencegah dari bermusuhan, “dan barangsiapamembunuh seorang mukmin karena tersalah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta mambayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan cara tidak sengaja, hendaklah dia memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dengan memerdekakannya dari perbudakan, berarti dia seperti menghidupkannya. Kemudian dia juga harus membayar diyat yang diserahkan kepada ahli waris si korban terbunuh,terkecuali jika ahli warisnya mengampuni si pembunuh, makagugurlah diyat. Dalam hokum syariat, pembunuhan tidak sengaja melahirkan du kewajiban. Pertama, membayar kaffarat yaitu memerdekakan budak yang berimandari harta si pembunuh. Kedua, diyat yaitu membayar seratus unta.[9]
            “Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memredekakan hamba sahaya ynag mukmin.” Jika yang terbunuh dengan tidak sengaja adalah orang yang beriman dari kaum kafir yang memusuhimu, kaum itu adalah yang memerangi umat Islam, maka yang membununya hanya diwajibkan membaayar kafarat saja tanpa membayardiyat, supaya mereka tidak meminta bantuan kepada orang-orang Islam. “Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antar mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahay yang beriman.” Dan jika yang korban yang terbunuh dengan tidak sengaja adalah orang kafir yang diantara kamu dan mereka perjanjian seperti ahli dzimmah, maka bagi yang membunuh wajib membayar diyat yang diberikan kepada keluarganya, disebabkan adanya perjanjian dengan mereka. Selain itu diwajibkan juga bagi yang membunuh untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman. “Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia ( si  pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah.” Barangsiapa tidak menemukan budak untuk dimerdekakan, maka hendaklah dia berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti memerdekakan budak, sebagaiman yang disyariatkan Allah kepada kamu agar Allah menerima taubat kamu. “Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana terhadap apa yang disyariatkan-Nya.
            Kemudian Allah menjelaskan hukuman pembunuhan dengan sengaja dan balasannya keras, firman-Nya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia didalamnya,” barang siapa membunuh seorang mukmin mengetahui dengan imannya secara sengaja membunuhnya, maka hukumannya adalah neraka Jahannam, dia kekal didalamnya.  Menurut mayoritas ulama; hal inilah yang menjadi dasar bahwa orang yang membunu orang mukmin menjadi kafir, demikian pendapat Ibu Abbas. “Dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adab yang besar baginya.” Dan dia (si pembunuh) memperoleh murka yang sangat keras dari Allah, dijauhkan dari rahmat-Nya dan siksa yang  pedih di akhirat.[10]

           
           



B. Pencurian
-Surah al-Maidah (5) ayat 38-39 :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ                      
a.       Makna mufradat
 السَّارِقُ        : secara harfiah kata ini berarti mencuri, yaitu mengambil hak    milik     orang lain secara sembunyi-sembunyi atau tanpa diketahui oleh pemiliknya.
نَكَالًا            : kata nakal berarti pembalasan (‘iqab), yang diharapkan dapat mencegah terjadinya tindak pencurian.
b.      Syarah ayat
Firman Allah :
     وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
                 Potonglah tangan laki-laki dan perempuan yang mencuri (sebagai) balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Ayat ini dimulai dengan kata as-sariq (laki-laki yang mencuri), tidak dimulai dengan kata as-sariqah (perempuan yang mencuri), yaitu kebalikan dari ayat mengenai zina; didahulukan az-zaniyah (perempuan yang menncuri) dari az-zani (laki-laki yang berzina). Hal ini secara implisit menggambarkan bahwa pencurian itu lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.[11]

الْقَوْلُ فِي تَأْوِيلِ قَوْلِهِ تَعَالَى: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حِكِيمٌ يَقُولُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ: وَمَنْ سَرَقَ مِنْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ , فَاقْطَعُوا أَيُّهَا النَّاسُ يَدَهُ. ولِذَلِكَ رَفَعَ السَّارِقَ وَالسَّارِقَةَ , لِأَنَّهُمَا غَيْرُ مُعَيَّنَيْنِ , وَلَوْ أُرِيدَ بِذَلِكَ سَارِقٌ وَسَارِقَةٌ بِأَعْيَانِهِمَا لَكَانَ وَجْهُ الْكَلَامِ النَّصَبَ. وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ ذَلِكَ: «وَالسَّارِقُونَ وَالسَّارِقَاتُ»حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيعٍ , قَالَ: ثنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ , عَنِ ابْنِ عَوْنٍ , عَنْ إِبْرَاهِيمَ , قَالَ: فِي قِرَاءَتِنَا قَالَ: وَرُبَّمَا قَالَ فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ: «وَالسَّارِقُونَ وَالسَّارِقَاتُ فَاقْطَعُوا أَيْمَانَهُمَا»حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيعٍ , قَالَ: ثنا ابْنُ عُلَيَّةَ , عَنِ ابْنِ عَوْنٍ , عَنْ إِبْرَاهِيمَ: فِي قِرَاءَتِنَا: «وَالسَّارِقُونَ وَالسَّارَقَاتُ فَاقْطَعُوا أَيْمَانَهُمَا» وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْنَا مِنْ مَعْنَاهُ , وَصِحَّةِ الرَّفْعِ فِيهِ , وَأَنَّ السَّارِقَ وَالسَّارِقَةَ مَرْفُوعَانِ بِفِعْلِهِمَا عَلَى مَا وَصَفْتُ لِلْعِلَلِ الَّتِي وَصَفْتُ. وَقَالَ تَعَالَى ذِكْرُهُ: {فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا} [المائدة: 38] وَالْمَعْنَى أَيْدِيَهُمَا الْيُمْنَى؛ كَمَا: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ , قَالَ: ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُفَضَّلٍ , قَالَ: ثنا أَسْبَاطٌ , عَنِ السُّدِّيِّ: {فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا} [المائدة: 38] الْيُمْنَى "حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيعٍ , قَالَ: ثنا أَبِي , عَنْ سُفْيَانَ , عَنْ جَابِرٍ , عَنْ عَامِرٍ قَالَ: فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ: «وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمَانَهُمَا» ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي السَّارِقِ الَّذِي عَنَاهُ اللَّهُ , فَقَالَ بَعْضُهُمْ: عَنَى بِذَلِكَ سَارِقَ ثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ فَصَاعِدًا؛ وَذَلِكَ قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ , مِنْهُمْ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ. وَاحْتَجُّوا لِقَوْلِهِمْ ذَلِكَ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ قِيمَتُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ " وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ عَنَى بِذَلِكَ: سَارِقَ رُبْعِ دِينَارٍ أَوْ قِيمَتِهِ. وَمِمَّنْ قَالَ ذَلِكَ الْأَوْزَاعِيُّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ. وَاحْتَجُّوا لِقَوْلِهِمْ ذَلِكَ بِالْخَبَرِ الَّذِي رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْقَطْعُ فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا» [ص:409] وَقَوْلُهُ: {جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ} [المائدة: 38] يَقُولُ: " مُكَافَأَةً لَهُمَا عَلَى سَرِقَتِهِمَا وَعَمَلِهِمَا فِي التَّلَصُّصِ بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ {نَكَالًا مِنَ اللَّهِ} [المائدة: 38] يَقُولُ: " عُقُوبَةً مِنَ اللَّهِ عَلَى لُصُوصِيَّتِهِمَاوَكَانَ قَتَادَةُ يَقُولُ فِي ذَلِكَ مَا: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ , قَالَ: ثنا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ , قَالَ: ثنا سَعِيدٌ , وَقَوْلُهُ: {وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ} [البقرة: 228] يَقُولُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ: وَاللَّهُ عَزِيزٌ فِي انْتِقَامِهِ مِنْ هَذَا السَّارِقِ وَالسَّارِقَةِ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَهْلِ مَعَاصِيهِ , حَكِيمٌ فِي حُكْمِهِ فِيهِمْ وَقَضَائِهِ عَلَيْهِمْ. يَقُولُ: فَلَا تُفَرِّطُوا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ فِي إِقَامَةِ حُكْمِي عَلَى السَّارِقِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْجَرَائِمِ الَّذِينَ أَوْجَبْتُ عَلَيْهِمْ حُدُودًا فِي الدُّنْيَا عُقُوبَةً لَهُمْ , فَإِنِّي بِحُكْمِي قَضَيْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ , وَعِلْمِي بِصَلَاحِ ذَلِكَ لَهُمْ وَلَكُمْ

            Dalam tafsir At-Thabari, Abu Ja’far berkata : Allah SWT. Berfirman : “Hai, manusia, barangsiapa mencuri dari kalangan laki-laki atau perempuan, maka potonglah tangannya. Oleh karena itu, kedudukan dua lafazh tersebut rafa’ lantaran keduanya berbeda. Kalau saja keduanya sama, maka kalam disini akan dibentuk dalam keduudukan nashab. Dalam hal ini terdapat bukti yang menguatkan pendapat kami secara makna dan kebenaran posisi rafa’  disini, bahwa lafaz as-sariq dan as-sariqah berkedudukan marfu'  dengan kata kerja asalnya yang dijadikan sifat untuk keduanya.
Firman Allah :    فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا  maknanya adalah kedua tangannya. Maksudnya adalah tangan sebelah kanan. Riwayat yang sesuai dengan  dengan pendapat tersebut adalah :
Muhammad bin Al Hussain menceritakan kepadaku, ia berkata : Ahmad bin Mufadhdhal menceritakan kepada kami, ia berkata : Ashbath menceritkan kepada kami dari As-Suddi, mengenai firman-Nya,  فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا  maka potonglaah kedua tangannya.”maksudnya adalah tangan sebelah tangan.
Mereka kemudian berselisih pendapat mengenai pencuri yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut. Namun menurut Abu Ja’far pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku khusus dari segi nilai cirinya, yakni orang yang mencari sebesar seperempat dinar atau sesuatu yang senilai dengannya, lantaran shahihnya hadis dari Rasulullah SAW berikut ini.
“Hukum potong tangan pencuri (diberlakukan pada kasus pencurian) seperempat dinar dan lebih.” [12]
            Hukuman potong tangan ini menunjukan bahwa Al-Quran sangat menghargai hak milik atau harta seseorang, itulah sebabnya Al-Quran menetukan hukuman yang amat berat kepada orang yang mengganggu hak milik tersebut.[13]
            Takwil firman Allah : جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ  ([sebagai] pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah)
            Abu Ja’far berkata : sebagai konsekuensi dari pencurian yang mereka lakukan dan perbuatan mereka yang bermaksiat kepada Allah.
            نَكَالًا مِنَ اللَّهِsebagai siksaaan dari Allah,” maknanya adalah hukuman dari Allah atas perbuatan mereka yang  dilakukan oleh keduanya.[14]
            Ada dua cara seseorang mengambil hak milik orang lain; pertama, mengambil dengan cara terang-terangan, kedua, mengambilnya secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh pemiliknya. Dalam istilah fiqh, yang pertama disebut dengan ghasab (merampas) dan yang terakhir disebut dengan sirqah (mencuri). Pelaku tindak rampasan atas hak milik orang lain dituntut agar menyerahkan kembali barang yang dirampas kepada pemiliknya; ia harus mengganti kekurangan yang terjadi pada barang yang dirampasatau membayar sewa selama barang itu berada padanya. Jika ia tidak mau, maka yang berwajib harus memaksanya.
Firman Allah :

فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
            Apabila para pelaku tindak pencurian itu telat bertaubat kepada Allah, maka Dia akan mengampuninya. Hukuman potong tangan yang dikenakan atasnya menjadi batal jika ia sudah bertaubat sebelum tertangkap atau ia dimaafkan oleh orang yang mempunyai barang. Akan tetapi, barang yang telah dicuri teap wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Unuk memastikan berlakunya tindak pencurin oleh seseorang dan diberlakukan hukuman atasnya harus dibuktikan dengan saksi atau pengakuan tersangka.[15]
الْقَوْلُ فِي تَأْوِيلِ قَوْلِهِ تَعَالَى: فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [ص:411] يَقُولُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ فَمَنْ تَابَ مِنْ هَؤُلَاءِ السُّرَّاقِ , يَقُولُ: مَنْ رَجَعَ مِنْهُمْ عَمَّا يَكْرَهُهُ اللَّهُ مِنْ مَعْصِيَتِهِ إِيَّاهُ إِلَى مَا يَرْضَاهُ مِنْ طَاعَتِهِ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ؛ وَظُلْمُهُ: هُوَ اعْتِدَاؤُهُ وَعَمَلُهُ مَا نَهَاهُ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ سَرِقَةِ أَمْوَالِ النَّاسِ. يَقُولُ: وَأَصْلَحَ نَفْسَهُ بِحَمْلِهَا عَلَى مَكْرُوهِهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالتَّوْبَةِ إِلَيْهِ مِمَّا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ. وَكَانَ مُجَاهِدٌ فِيمَا ذُكِرَ لَنَا يَقُولُ: تَوْبَتُهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ , الْحَدُّ الَّذِي يُقَامُ عَلَيْهِ .وَقَوْلُهُ: {فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ} [المائدة: 39] يَقُولُ: " فَإِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ يُرْجِعُهُ إِلَى مَا يُحِبُّ وَيَرْضَى عَمَّا يَكْرَهُهُ وَيَسْخَطُ مِنْ مَعْصِيَتِهِ. [ص:412] وَقَوْلُهُ: {إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 173] يَقُولُ: " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ ذِكْرُهُ سَاتِرٌ عَلَى مَنْ تَابَ وَأَنَابَ عَنْ مَعَاصِيهِ إِلَى طَاعَتِهِ ذُنُوبَهُ بِالْعَفْوِ عَنْ عُقُوبَتِهِ عَلَيْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتَرْكِهِ فَضِيحَتَهُ بِهَا عَلَى رُءُوسِ الْأَشْهَادِ , رَحِيمٌ بِهِ وَبِعِبَادِهِ التَّائِبِينَ إِلَيْهِ مِنْ ذُنُوبِهِمْ


            Sedangkan menurut Abu Ja’far dalam kitab At-Thabari : Firman Allah   فَمَنْ تَابَmaka barangsiapa bertobat.” Maksudnya adalah orang-orang yang mencuri. Dalam arti, orang yanag kembali kejalan Allah dari perbuatan maksiat kepada-Nya, dan kembali taat setelah berbuat dzalim.
            Kezhalimannya adalah melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah atasnya, yaitu mencuri harta benda orang lain, serta memperbaiki dirinya sendiri dengan menjauhi hal-haal yang dibenci oleh Allah dengaan taat dan bertobat kepada-Nya dari perbuatan maksiat yang telah dilakukan.
            Mujahid mengatakan yang dimaksud “tobatnya” dalam pembahasan ini adalah melaksanakan hukuman yang ditimpakan kepadanya.
            Takwil firman-Nya :   فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ  (maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya)
            Maknanya adalah, Allah SWT mengembalikannya kepaada cinta-Nya daan keridhaaan-Nya, setelah sebelumnya melakukan sesuatu yang dibenci-Nya, yakni bermaksiat kepada-Nya.
            Firman-Nya,  إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ   “Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang.” Maknanya adalah, sesungguhnya Allah menutupi dosa orang yang bermaksiaat kepada-Nya jika ia bertobat kepada-Nya, meutupi dengan ‘permaafan’ sehingga tidak lagi disiksa pada haari kiamat kelak. Dia juga menutupi dosa-dosa itu dari penglihatan orang lain. Allah maha Penyayang terhadapnya dan terhadap orang-orang yang bertobat kepada-Nya.       [16]
C. Perbedaan Pendapat Ulama
            Para ulama sepakat mengenai hukuman yang harus ditimpakan kepada pelaku pencurian, yaitu potong tangan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menentukan batas jumlah minimal atau harga barang yang dicuri yang membuat wajibnya pelaku dikenakan hukuman potong tangan. Perbedaan itu adalah sebagai berikut :
1.      Ahli Zhahir, mereka berpendapat ayat 38 suraah al-Maidah ini adalah bersifat umum, maka pemahamannya harus juga berlaku umum. Jadi, setiap pencuri itu harus dihukum dengan potong tangan, baik harta yang dicuri itu banyak ataupun sedikit. Hal ini sessuai pula dengan pendapaat Ibnu Abbas ketika ditanya oleh Najdah al-Hanafi mengenai pengertian ayat ini :  وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا Apakah pengertian ayat tersebut berlaku umum ataau khusus?” Ia menjawab : “ayat itu berlaku umum.” Pendaapat ini jugaa didasarkan atas sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Nabi bersabda :

لُعِنَ السَّارِقُ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ  فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

Terkutuklah pencuri, yang mmencuri sebiji telur maka taangannya dipotong. Dan pencuri tali maka tangannya dipotong.

Jumhur ulama menilai hadis ini telah di mansukh-kan.

2.      Imam Malik berpendapat bahwa batas minimal barang yang dicuri yang membuat pencurinya  dikenakaan hukuman potong tangan adalah tiga dirham atau yang sseharga dengannya. Pendapat ini didassarkan ataas sabda Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar :
عن ابنِ عُمر أن رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قطع سارقا في مَجنٍ قيمتُهُ ثلاثةُ دراهِمَ

Dari Ibnu Umar, baahwa Rasulullah SAW. memotong (tangaan) pencuri majn yang harganya tiga dirham.

3.      Abu Hanifah berrpendapat, bahwa batas minimalnya sepuluh dirham. Pendapat ini didasarkan atas  sabda Nabi yang diterima dari Aisyah. Ia berkata :

Pada masa Rasulullah SAW. tangan pencuri tidak dipotong jika haarga perisai pada masa itu adalah sepeuluh dirham.”

4.      As-Syafi’i berkata, batas minimal harga barang yang dicuri itu adalah seperempat dinar. Jika kurang dari itu, maka pelaku pencurian itu tidak dikenakan hukuman potong tangan. Yang dijadikan hujjah oleh mazhab ini adalah sabda Nabi yang diterima dari Aisyah :

Diterima dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah berkata :”Tangan pencuri tidak dipotong, kecuali kalau (yang dicurinya itu sampai harganya)  seperempat dinar atau lebih.”

Selain dari hadis diatas, mazhab ini juga ber-hujjah dengan hadis lain, yaitu :

Diterima dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah berkata : dipotong tangaan pencuri (kalau barang yang dicurinya itu sampai) seperempat dinar atau lebih.

5.      Ahmad bin Hambal menjelaaskan pula, bahwa batas minimal harta yang dicuri itu adalah seeperempat dinar atau tiga dirham. Pendapat inidisarkan atas hadiss mengenai majn di atas, dimana aharganya adalah seperempat dinar ataau tigaa dirham.[17]

Para ulama tidak sepakat mengenai hukuman yang haruss ditimpakan kepada  pelaku perammpokan atau teroris. Perbedaan itu adalah sebagai berikut.

1.      Menurut Mujahid, Dhihak, dan Nakh’i, yang juga dianut oleh mazhab Malik, bahwa imam memilih salah satu dari empat hukuman yng dijelaskan dalam ayat diatas, yaitu dibunuh, disalib, dipotong taangan dan kaki, atau diusir dari tempat tinggalnya.

Pendapat ini didasarkan atas redaksi ayat diataass yang menggunakan au, sebab au dalam kaidah bahasa Arab mempunyai makna takhyir (pilihan). Hal ini sesuai dengan pendapat ibnu Abbas, yand dikutip oleh Ash-Shabuni dalam bukunya “Tafsir Ayat al-Ahkam”. Ia mengatakan : “setiap lafal yang terletak setelah au, yang terdapat dalam al-Quran adaalah bermakna takhyir (pilihan).

2.      Kaum Syafi’iyah menjelaskan pula hukuman yang harus ditimpakan kepada pelaku  peraampokan atau terroris adalah tergantung kepada bentuk kejahatan atau pelanggaran yang mereka lakukan. Mazhab ini menjelaskan :
a.       Apabila pelaku membunuh dan mengambil harta korban, maka ia  harus disaalib dan dibunuh.
b.      Apabila pelaku mengambil harta dan tidak membunuh, maka hukumannya potong tangan.
c.       Apabila pelaku hanya menakut-nakuti, yang dapat meresahkan orang ramaai, ddan ia tidaak membunuh serta tidak pula mengambil harta maka hukumannya ia harus diusir.

Pendapat ini sesuai juga dengan kaum salaf, mereka menetapkan hukuman atas pelakau kejaahatan tersebut berdasarkan urutan ayat diatas.

3.      Abu Hanifah menegaskan pula, bahwa imam (hakim) harus memilih satu diantaraa empat hukuman, khusus bagi pelaku yang membunuh dan mengambil harta. Hukumaan yang empat itu adalah sebagai berikut :
a.       Memotong tangan dan kaki serta membunuhnya
b.      Memotong tangan dan kaki serta menyalibnya.
c.       Menyalibnya saja.
d.      Membunuhnya saja.[18]

Perbedaan pendapat ini dilatar belakangi oleh perbedaan dalam menafsirkan ayat 38 diatas. Mazhab Malik, misalnya, berangkaat dari makna au,  sedangkan Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya atas bentuk tindak kejahatan yang dilakukan. Adapun mazhab Asy-Syafi’I mendasaarkan pendapatnya atass dua hal, yaitu urutan hukuman yang terdapat dalam ayat dan bentuk tindak kejahatan yang dilakukan. Maka dengaan demikian, terlihat bahwa mazhab Asy-Syafi’i mengompromikan dua pendapat sebelumnya.[19]






DAFTAR PUSTAKA

Dr. Lilik UmmI Kaltsum, M.A & Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.A, Tafsir Ahkam (Ciputat : UIN Press, 2015)
Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008)
Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag., Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Amzah, 2013)
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari(Jami’ Al-Bayan an Tanwil Ayi Al-Quran), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), Jilid 8, hlm.869

Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni, Shafawatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2011)
Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008)



[1] Dr. Lilik Ummu Kaltsum, M.A & Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.A, Tafsir Ahkam (Ciputat : UIN Press, 2015), hlm. 116
[2] Dr. Lilik Ummu Kaltsum, M.A & Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.A, Tafsir Ahkam (Ciputat : UIN Press, 2015), hlm.119
[3] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hlm. 350
[4] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hlm.351
[5] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hlm.352
[6] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hlm.353
[7] Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni, Shafawatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2011), hlm. 101
[8] Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni, Shafawatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2011), hlm. 101
[9] Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni, Shafawatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2011), hlm. 694
[10] Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni, Shafawatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2011), hlm. 695
[11] Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag., Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm. 329
[12] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari(Jami’ Al-Bayan an Tanwil Ayi Al-Quran), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), Jilid 8, hlm.866
[13] Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag., Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm.334
[14] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari(Jami’ Al-Bayan an Tanwil Ayi Al-Quran), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), Jilid 8, hlm. 862
[15] Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag., Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm.334
[16] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari(Jami’ Al-Bayan an Tanwil Ayi Al-Quran), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), Jilid 8, hlm.869
[17] Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag., Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm.337
[18] Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag., Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm.338
[19]Ibid,  hlm.338

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir