pengertian sunnah (macam-macamnya, periwayatannya, kebenarannya, fungsinya, kedudukannya)


PEMBAHASAN
A.      Pengertian Sunah[1]
Wahbah Zuhaili dalam kitabnya ushul fiqh al-Islami memilih kata sunah untuk sumber hukum yang kedua setelah al-Qur'an ini. Mengapa bukan istilah khabar atau atsar? Karena kata sunah lebih tepat disbanding dengan kata khabar dan atsar. Kata khabar itu pengertiannya sama dengan hadits yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau kepada sahabat atau selainnya berupa ucapan, perbuatan, taqrir dan sifat. Adapun atsar adalah hadis marfu’ atau maukuf tetapi ularna fiqh lebih cenderung memilih maukuf.
Sunah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak (disepekati) setelah al-Qur'an. Menurut fuqaha sunah mengandung dua pengertian, pertama ibadah yang bukan wajib (nafal) dan kedua lawan dari bid'ah.[2]
Kata "sunah" (سنّة)berasal  dari bahasa Arab yang terbentuk dari kata سنّ-يسنّ. Secara bahasa artinya jalan atau cara. Dalam al-Qur'an kata sunah disebut sebanyak 16  kali, yang tersebar dalarn beberapa surat yang mengandung arti kebiasaan yang berlaku dan jalan yang diikuti, seperti firman Allah SWT.
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيْرُواْ فِي الْاَرْضِ  فَانْظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya telah berlalu jalan-jalan (kebiasaan) sebelum kamu. Karena itu, berjalanlah kamu dimuka bumi ini. Dan perhatikanlah oleh kamu semua bagaimana kesudahan orang-orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran/3: 137)
Adapun menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Zahra. Sunah mengandung arti:
أَقْوَالُ النَّبِيِّ وَأَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ
Artinya:Perkataan,perbuatan, dan pengakuan Nabi”.
Dengan demikian apa yang datang dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi terhadap suatu peristiwa dapat dikatakan sunah.[3]
B.     Macam-macam Sunnah
Dilihat dari bentuknya sunah dapat dibedakan menjadi:

1.      Sunah Qauliyah
Sunah qauliyah dilihat dari jumlahnya paling banyak dibanding sunahfi'liyah dan taqririyah. Sunah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam berbagai kondisi yang didengar oleh sahabat dan disampaikannya kepadaorang lain.Contohnya sahabat mendengar bahwasanya Nabi berkata:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh membuat kesusahan dan tidak boleh membalasdengan kesusahan juga”.
Dalam sunah qauliyah terdapat permasalahan yang tampaknya perlu dipertegas karena ada dua bentukyang dapat keluar dari lisan Nabi.Pertama, bisa berupa perkataanNabi(sunah qauliyah) bisa juga berupaayat al­Qur'an. Untuk membedakan apakah itu qauliyah atau al­Qur'anmaka dapat diteliti,jika yangkeluar dari lisan Nabi itu ayat al­Our'an, makabiasanya Nabi menyuruh sahabatnya untuk menghafal, menulis, dan mengurutkannya sesuaipetunjukAllah. Jika yang keluardari lisanNabiini berupa sunah qauliyah maka Nabi melarang untuk menuliskannya karena khawatir akan bercampur dengan al-Quran.

2.      Sunah Fi'liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat Nabi semuanya disebut dengan sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi dapat beraneka ragam bentuknya. Hal ini, dapat dilihat dari kedudukun Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan Allah.
Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan oleh manusia pada umumnya seperti cara makan dan minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tetapi sebagian ulama yang lain, mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak berdampak hukum dengan demikian tidak harus diikuti.
Kedua, perbuatan Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi tidak wajib bagi umatnya seperti Nabi wajib shalat dhuha, tahajud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah wajib. Nabi boleh kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya tidak boleh lebih dari empat.
Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an seperti tentang cara shalat, puasa, haji, jual beli, dan utang piutang, maka semua perbuatan itu  berdampak kepada pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi tetapi juga bagi umatnya. Hal ini diperkuat oleh beberapa hadits Nabi,diantaranya:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي(رواه البخاري)
Artinya: “Shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat.” (HR. Bukhari)
خُدُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ (رواه مسليم)
Artinya: “Ambillah dariku tentang cara-caraku dalam beibadah haji.” (HR. Muslim)

3.      Sunah Taqririyah
Maksudnya ialah sikap Nabi terhadap suatu kejadian yang dilihatnyaberupa perbuatan dan ucapan sahabat. Sikap Nabi itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, tidak menunjukkan tanda-tanda mengingkari atau menyetujuinya atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu sehingga dengan adanya ikrar Nabi perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan Nabi yang hukumnya boleh dilakukan. Contoh,ketika Nabi mendiamkanorang yang memakan binatang dhab (sebangsa biyawak).Dengan sikapdiam Nabiitu berartiboleh hukumnya memakandaging tersebut. Karenaseandainyaharam niscayaNabi tidak diam, pasti beliaumelarangnya. Contohlain,ketika Nabi menepuk dada Muadz bin Jabalsetelah diutus oleh Nabi ke negeri Yaman yang menandakan bahwa nabi membenarkan semua yang dikatakan oleh Muadzbin Iabal serayaberkata "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongankepada utusan Rasul-Nya".[4]

C.   Periwayatan Sunnah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad ketiga Hijriah.
 Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas orang yang membawa khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
                 Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membawa khabar itu kepada tiga tingkatan:
1.     Khabar mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan  secara berkesinambungan oleh orang banyak  kepada orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2.     Khabar masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3.     Khabar ahad, yaitu khabar yang disampaikan dan diterima dari nabi secara perorangan dan dilanjutkan periwayatannya samapai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
Perbedaan yang jelas diantara ketiganya adalah:
1.     Khabar mutawatir diterima dan disampaiakan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir.
2.     Khabar masyhur yaitu khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perseorangan, kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawatir.
3.     Khabar ahad diterima dan disampaikan   kemudian  secara beranting sampai ke ujungnya secara perorangan.
Tingkat kebenarannya yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, khabar masyhur, lalu barulah khabar ahad.

D.   Kebenaran khabar dari segi Ibarat yang Digunakan Pembawa berita dalam menyampaikan berita
Sebagaimana telah diuraikan bahwa kebenaran  suatu Sunnah Nabi tergantung  pada kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang Sunnah  itu. Tingkat kebenaran berita dapat diketahui dari kuantitas pembawa berita, juga dari ibarat yang digunakan pembawa berita itu.
         Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat kebenaran:
1.      Tingkat yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar bahwa Nabi bersabda” atau “Nabi memeberitakan kepada saya” atau, “Nabi berbicara dengan saya”.
Bentuk penyampaian seperti ini menunjukkan suatu seperti tentang adanya ucapan  nabi dan tidak ada kemungkinan lain.
2.      Penyampaian berita berkata, “Rasul Allah berkata.” Bentuk seperti ini, dan yang biasa ditemui dalam periwayatan, menurut zhahirnya memang berbentuk penukilan berita, tetapi tidak menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri secara langsung ucapan Nabi itu.
3.      Bila pembawa berita mengatakan, “Nabi menyuruh kami berbuat ini”, atau “Nabi melarang  kami mengerjakan itu”. Kelemahan periwayatan seperti ini karena ditemukan ada dua kemungkinan dalam  ucapannya itu. Pertama dalam hal pendengarnya terhadap ucapan Nabi. Kedua tentang adanya “suruhan”, karena seorang  pendengar  kadang menganggap sesuatu seperti suruhan tetapi sebenernya bukan suruhan.
4.      Pembawa berita berkata, “Adalah nabi Muhammad SAW menyuruh begini atau melarang begitu”. Pemberitaan dalam bentuk ini lebih lemah dibandingkan dengan tiga bentuk sebelumnya karena adanya kemungkinan-kemungkinan sebagaimana terdapat pada tingkat sebelumnya, juga ada kemungkinan yang menyuruh atau melarang bukan Nabi secara langsung.
5.      Si pembawa berita berkata bahwa ia melakukan sesuatu kemudian ia meng-hubungkan kepada suatu masa dengan Nabi dan tidak ada reaksi dari Nabi tentang itu. Hal tersebut menjadi dalil kebolehan berbuat sesuatu itu.

E.   Fungsi Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian  fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1.      Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur’an.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
وَ أَقيموا الصلاة واتوا الز كاة ....
Dan diriknlah shalat dan tunaikanlah zakat....
2.      Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
·         Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an
·         Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar
·         Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
·         Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an
3.      Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an.  Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya”.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas.
 
Dari tiga poin di atas, kemudian fungsi hadis dapat dijabarkan dalam beberapa poin yang oleh ulama diperinci keberbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan)  hadis terhadap al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :[5]

(1)   BayanTaqrir [6]
          Posisi hadis sebagai penguat (taqrir ) atau memperkuat keterangan al-qur’an (ta’kid ). Sebagian ulama menyebut bayan ta’kid  atau bayan taqrir . Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-qur’an, misalnya hadis tentang shalat, zakat, puasa, dan haji, menjelaskan ayat-ayat al-qur’an tentang hal itu juga.
                 Dari Ibnu Umar R.A berkata: rasulullah SAW bersabda: islam didirikan atas lima  perkara; menyaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa ramadhan.   (HR. Al-Bukhari) .
Hadis di atas memperkuat keterangan perintah shalat, zakat, danp uasadalam AL-qur’an surah Al-Baqarah (2): 83 dan 183 dan perintah haji pada surah Al-Imran (3): 97. 2.

(2)   Bayan Tafsir [7]
                 Hadis sebagai penjelas (tafsir ) terhadap Al-qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak  pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai berikut :
Tafshil Al-Mujmal 
                 Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil  atau bayan tafsir . Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam Al-qur’an hanya diterangkan secara global, yaitu dirikanlah shalat, tanpa disertai petunjuk bagaimana  pelaksanaannya; berapa kali sehari semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu terdapat pada hadis Nabi, misalnya sabda Nabi:
“Shalatlah sebagaimana engkau melihataku shalat.” (HR. Al-Bukhari)

D.  Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Umat Islam telah sepakat bahwa sunnah mempunyai kedudukan dalam sumber hukum islam. Sunnah menempati urutan kedua sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an. Maknanya, ada keharusan mengikuti Hadis bagi umat islam baik berupa perintah maupun larangan,sama halnya dengan kewajiban untuk berpegang pada Al-Qur’an.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam, dapat dilihat beberapa dalil naqli dan ‘aqli berikut:
 a). Dalil Al-Qur’an
            Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang tetap teguh memegang tali agama Allah swt.,mentaati Rasul karena ia adalah utusan-Nya kepada umat manusia. dalil Al-Qur’an tentang kedudukan hadis: Ali ‘Imran ayat 17,32dan an-Nisa’ayat 59,136. al-Hasyr ayat 7, al-Maidah ayat 92, an-Nur ayat 54.[8]
يا ايها الذين ا منوا اطيعواالله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم فاءن تنازعتم فى شىء فردوه الى الله والرسول
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulnya dan ulil amri dari kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah). (Q.S. an-Nisa’:59)

و ما كان لموء من ولا موء منة اذا قضى الله و رسوله امر ان يكون لهم الخيرة من ا مرهم
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan yang mukmin,apabila Allah dan Rasulnya tidak menetapkan suatu ketetapan, aka nada bagi mereka pilihan yang lain.”      (Q.S.Al-Ahzab:36)
 b). Ijma’u’sh-shahabat
            Sahabat telah sepakat menetapkan wajibul ‘ittiba’ terhadap Al-Hadis,baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Ketika Rasulullah masih hidup, para sahabat begitu konskuen mentaati perintah nabi saw. mengikuti perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. ketika Rasul telah wafat, para sahabat bila tidak menemukan dalam Al-Qur’an tentang sesuatu perkara ,mereka akan mencarinya dalam hadist. Abu Bakar sendiri apabila tidak ingat ketentuan dalam sebuah hadist , kemudian menanyakan kepada siapa yang masih mengingatnya.[9] Umar dan sahabat lainya pun demikian , dan dikalangan tabiin tidak ada yang mengingkarinya karena itu merukan ijma’ shahabat.
Abdurrhman bin Yazid pernah melihat seorang lelaki melakukan ihram di musim haji dengan mengenakan pakaian yang berjahit. Abdurrahman pun menegur orang tersebut agar melepas pakaiannya dan memintanya mengikut sunnah Nabi saw. tentang cara berpakaian saat berihram. Lelaki itu berkata kepadanya,” Coba bacakan kepadaku ayat Al-Qur’an yang mengahruskanku melepas pakaianku ini”. Abdurrahman membacakan firman Allah ini,”Apapun yang diberikan Rasul kepada kalian,terimalah, Dan apa saja yang ia larang bagi kalian tinggalkanlah.”(Q.S.al-Hasyr :7).[10] Permasalahan tentang baju berjahit ketika ihram memang tidak ada dalam al-Qur’an, tetapi dijelaskan oleh Hadis. begitulah kedudukan sunnah terhadap syar’i.
c). Menurut Petunjuk Akal
            Dalam melaksanakan tugas agama, yakni menyampaikan hukum-hukum syariat kepada umat, kadang-kadang beliau menyampaikan hal itu berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah swt. terkadang beliau berijtihad sendiri pada suatu permasalahan yang tidak ada pada wahyu. hasil ijtihad tersebut berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. Maka layaklah apabila peraturan atau inisiatif beliau , baik dari wahyu maupun ijtihad beliaukita tempatkan sebagai hukum yang positif. dalam surat al-Hasyir Allah berfirman:
Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu,terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.”(Q.S.Al-Hasyir: 7)

Golongan yang Menolak Kehujjahan Al-Hadist
Disamping adanya kesepakatan dikalangan umat muslim tentang kehujjahan hadits,terdapat pula penolakkan dari sejumlah kecil  golongan umat muslim tentang hadist sebagai sumber syari’at setelah al-Qur’an. Berikut alasan mereka:
1.      firman Allah swt. :
“Dan kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu sebagai penjelas segala sesuatu.”(An-Nahl: 89)
Mereka yang menolak hadits bependapat bahwa ayat diatas mengandung makna Al-Qur’an itu telah mencakup seluruh persoalan agama,hukum-hukum,penjelasan,serta perincian sedetail-detailnya,hingga tidak memerlukan lagi yang lain,seperti hadist. Bahkan mereka berkesimpulan bahwa jika masih memerlukannya, niscaya didalam Al-Qur’an  masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
2.      Bahkan andaikata al-Hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah memerintahkan untuk menulisnya dan sahabat pasti telah membuat dewan hadist untuk disatukan, agar tidak dilupakan dan hilang. Yang demikian itu agar diterimakaum muslimin sacar qath’i. sebab dalil yann dhannytidak sah berhujjah
Ini hanyalah pendapat sebagian kecil umat islam, dan tentu saja semua alasan penolakan hadist sebagai hujjah ialah suatu kesalahan karena Al-Qur’an dan al-Hadist adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan sebagai sumber hukum bagi umat islam.







DAFTAR KEPUSTAKAAN
Idris,Studi Hadis,Jakarta: Kecana Prenada Media Group,2010
Ranuwijaya,Utang ,Ilmu Hadis,Jakarta: PT GMP,1995
Rahman,Fatchur,Ikhtisar Musthalahul Hadits,Bandung: PT Alma’arif,1974
Khan,Abdul Majid, UlumulHadis,Amzah, Jakarta, 2013
Shidiq,Sapiudin.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.2014
As-Shalih,Shubhi,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,Jakarta: Pustaka Firdaus,1997
Al-Khatib ,Muhammad ‘Ajaj,Ushul Al-Hadits,Jakarta: Gaya Media Pratama,1998
Hasan,Khalid Ramadhan, Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998)
Abu Zahra,Muhammad, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.),










[1] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet. ke-2, hlm. 54.
[2] Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998), Cet. ke-1, hlm. 148.
[3] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.), hlm. 105.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah, tt.), hlm. 37
[5]Abdul Majid Khan, UlumulHadis,Amzah, Jakarta, 2013, cet-II.Hlm. 18

[6]Abdul Majid Khan, UlumulHadis,Amzah, Jakarta, 2013, cet-II.Hlm. 18-19

[7]Abdul Majid Khan, UlumulHadis, Amzah, Jakarta, 2013, cet-II.Hlm. 19-21

[8] Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis,Jakarta: PT GMP,1995,H.20
[9]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahul Hadits,Bandung: PT Alma’arif,1974,h.62
[10]Shubhi As-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,Jakarta: Pustaka Firdaus,1997.cet.3,h.254

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir