pengertian sunnah (macam-macamnya, periwayatannya, kebenarannya, fungsinya, kedudukannya)
PEMBAHASAN
Wahbah Zuhaili dalam kitabnya ushul
fiqh al-Islami memilih kata sunah untuk sumber hukum yang kedua setelah
al-Qur'an ini. Mengapa bukan istilah khabar
atau atsar? Karena kata sunah
lebih tepat disbanding dengan kata khabar
dan atsar. Kata khabar itu pengertiannya sama dengan hadits
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau kepada sahabat atau selainnya
berupa ucapan, perbuatan, taqrir dan
sifat. Adapun atsar adalah hadis marfu’ atau maukuf tetapi ularna fiqh
lebih cenderung memilih maukuf.
Sunah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak (disepekati)
setelah al-Qur'an. Menurut fuqaha sunah mengandung dua pengertian, pertama
ibadah yang bukan wajib (nafal) dan
kedua lawan dari bid'ah.[2]
Kata "sunah" (سنّة)berasal dari bahasa Arab yang terbentuk dari kata سنّ-يسنّ. Secara
bahasa artinya jalan atau cara. Dalam al-Qur'an kata sunah disebut sebanyak 16 kali, yang
tersebar dalarn beberapa surat yang mengandung arti kebiasaan yang berlaku dan
jalan yang diikuti, seperti firman Allah SWT.
قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيْرُواْ فِي الْاَرْضِ فَانْظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الْمُكَذِّبِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya telah berlalu jalan-jalan (kebiasaan) sebelum
kamu. Karena itu, berjalanlah kamu dimuka bumi ini. Dan perhatikanlah oleh kamu
semua bagaimana kesudahan orang-orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran/3:
137)
Adapun menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu
Zahra. Sunah mengandung arti:
أَقْوَالُ النَّبِيِّ وَأَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ
Artinya: “Perkataan,perbuatan, dan pengakuan Nabi”.
Dengan demikian apa yang datang dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi terhadap suatu
peristiwa dapat dikatakan sunah.[3]
B. Macam-macam
Sunnah
Dilihat dari
bentuknya sunah dapat dibedakan menjadi:
1. Sunah
Qauliyah
Sunah qauliyah dilihat dari jumlahnya paling banyak dibanding
sunahfi'liyah dan taqririyah. Sunah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam berbagai kondisi yang didengar
oleh sahabat dan disampaikannya kepadaorang lain.Contohnya sahabat mendengar
bahwasanya Nabi berkata:
لَا
ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh
membuat kesusahan dan tidak boleh membalasdengan kesusahan juga”.
Dalam sunah qauliyah terdapat permasalahan yang
tampaknya perlu dipertegas karena ada dua bentukyang dapat keluar dari lisan
Nabi.Pertama, bisa berupa perkataanNabi(sunah
qauliyah) bisa juga berupaayat alQur'an. Untuk membedakan apakah itu qauliyah atau alQur'anmaka dapat
diteliti,jika yangkeluar dari lisan Nabi itu ayat alOur'an, makabiasanya Nabi
menyuruh sahabatnya untuk menghafal, menulis, dan mengurutkannya
sesuaipetunjukAllah. Jika yang keluardari lisanNabiini berupa sunah qauliyah
maka Nabi melarang untuk menuliskannya karena khawatir akan bercampur
dengan al-Quran.
2.
Sunah Fi'liyah
Semua perbuatan dan
tingkah laku Nabi yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat Nabi semuanya
disebut dengan sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi dapat beraneka ragam
bentuknya. Hal ini, dapat dilihat dari kedudukun Nabi sebagai manusia biasa dan
sebagai utusan Allah.
Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah
dikerjakan oleh manusia pada umumnya seperti cara makan dan minum, berdiri,
duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan mencukur kumis. Kesemuanya
merupakan tabiat Nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama bahwa
kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu sebagai
sunah untuk diikuti. Tetapi sebagian ulama yang lain, mengatakan bahwa
kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak berdampak hukum dengan demikian
tidak harus diikuti.
Kedua, perbuatan Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi
tetapi tidak wajib bagi umatnya seperti Nabi wajib shalat dhuha, tahajud, dan
berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah wajib. Nabi boleh
kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya tidak boleh lebih dari empat.
Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang
terkandung dalam al-Qur'an seperti tentang cara shalat, puasa, haji, jual beli,
dan utang piutang, maka semua perbuatan itu
berdampak kepada pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi tetapi juga
bagi umatnya. Hal ini diperkuat oleh beberapa hadits Nabi,diantaranya:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي
أُصَلِّي(رواه البخاري)
Artinya:
“Shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat.” (HR. Bukhari)
خُدُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
(رواه مسليم)
Artinya:
“Ambillah dariku tentang cara-caraku dalam beibadah haji.” (HR. Muslim)
3. Sunah Taqririyah
Maksudnya ialah sikap Nabi
terhadap suatu kejadian yang dilihatnyaberupa perbuatan
dan ucapan sahabat.
Sikap Nabi itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, tidak menunjukkan
tanda-tanda mengingkari atau menyetujuinya atau melahirkan anggapan baik
terhadap perbuatan itu sehingga dengan adanya ikrar Nabi perbuatan itu dianggap
sebagai perbuatan Nabi yang hukumnya boleh dilakukan. Contoh,ketika Nabi
mendiamkanorang yang memakan binatang dhab (sebangsa biyawak).Dengan
sikapdiam Nabiitu berartiboleh hukumnya memakandaging tersebut. Karenaseandainyaharam
niscayaNabi tidak diam, pasti beliaumelarangnya. Contohlain,ketika Nabi menepuk
dada Muadz bin Jabalsetelah diutus oleh Nabi ke negeri Yaman yang menandakan
bahwa nabi membenarkan semua yang dikatakan oleh Muadzbin Iabal serayaberkata "Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongankepada utusan Rasul-Nya".[4]
C. Periwayatan Sunnah
Ketiga
macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah)
disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya
dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai
kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad
ketiga Hijriah.
Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu: berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi
sampai kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas orang yang
membawa khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar
dari segi kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
Dari segi jumlah pembawa
khabar, ulama membawa khabar itu kepada tiga tingkatan:
1. Khabar mutawatir,
yaitu khabar yang disampaikan secara
berkesinambungan oleh orang banyak
kepada orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai
jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2. Khabar masyhur,
yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian
disampaikan kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula kepada
orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3. Khabar ahad,
yaitu khabar yang disampaikan dan diterima dari nabi secara perorangan dan
dilanjutkan periwayatannya samapai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
Perbedaan yang
jelas diantara ketiganya adalah:
1. Khabar mutawatir
diterima dan disampaiakan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir.
2. Khabar masyhur
yaitu khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perseorangan,
kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawatir.
3. Khabar ahad diterima
dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara
perorangan.
Tingkat
kebenarannya yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, khabar masyhur,
lalu barulah khabar ahad.
D. Kebenaran khabar dari segi Ibarat yang
Digunakan Pembawa berita dalam menyampaikan berita
Sebagaimana
telah diuraikan bahwa kebenaran suatu
Sunnah Nabi tergantung pada kebenaran
berita yang disampaikan pembawa berita tentang Sunnah itu. Tingkat kebenaran berita dapat diketahui
dari kuantitas pembawa berita, juga dari ibarat yang digunakan pembawa berita
itu.
Dalam
hal ini terdapat beberapa tingkat kebenaran:
1. Tingkat yang terkuat, bila pembawa berita
mengatakan, “Saya mendengar bahwa Nabi bersabda” atau “Nabi memeberitakan
kepada saya” atau, “Nabi berbicara dengan saya”.
Bentuk
penyampaian seperti ini menunjukkan suatu seperti tentang adanya ucapan nabi dan tidak ada kemungkinan lain.
2. Penyampaian berita berkata, “Rasul Allah
berkata.” Bentuk seperti ini, dan yang biasa ditemui dalam periwayatan, menurut
zhahirnya memang berbentuk penukilan berita, tetapi tidak menunjukkan secara
jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri secara langsung ucapan Nabi itu.
3. Bila pembawa berita mengatakan, “Nabi menyuruh
kami berbuat ini”, atau “Nabi melarang
kami mengerjakan itu”. Kelemahan periwayatan seperti ini karena
ditemukan ada dua kemungkinan dalam ucapannya
itu. Pertama dalam hal pendengarnya terhadap ucapan Nabi. Kedua tentang adanya
“suruhan”, karena seorang pendengar kadang menganggap sesuatu seperti suruhan
tetapi sebenernya bukan suruhan.
4. Pembawa berita berkata, “Adalah nabi Muhammad
SAW menyuruh begini atau melarang begitu”. Pemberitaan dalam bentuk ini lebih
lemah dibandingkan dengan tiga bentuk sebelumnya karena adanya
kemungkinan-kemungkinan sebagaimana terdapat pada tingkat sebelumnya, juga ada
kemungkinan yang menyuruh atau melarang bukan Nabi secara langsung.
5. Si pembawa berita berkata bahwa ia melakukan
sesuatu kemudian ia meng-hubungkan kepada suatu masa dengan Nabi dan tidak ada
reaksi dari Nabi tentang itu. Hal tersebut menjadi dalil kebolehan berbuat
sesuatu itu.
E. Fungsi Sunnah
Dalam
uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum
dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum
dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian fungsi
Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Dengan
demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
Sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam
hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang
tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam
bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam
al-Qur’an.
Umpamanya
firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
وَ أَقيموا
الصلاة واتوا الز كاة ....
Dan diriknlah
shalat dan tunaikanlah zakat....
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang
dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
·
Menjelaskan
arti yang masih samar dalam al-Qur’an
·
Merinci
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar
·
Membatasi
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
·
Memperluas
maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang
secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan
bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an.
Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya”.
Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu
pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas.
Dari tiga poin
di atas, kemudian fungsi hadis dapat dijabarkan dalam beberapa poin yang oleh
ulama diperinci keberbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat
makna fungsi penjelasan (bayan) hadis
terhadap al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :[5]
(1) BayanTaqrir [6]
Posisi hadis
sebagai penguat (taqrir ) atau memperkuat keterangan al-qur’an
(ta’kid ). Sebagian ulama menyebut bayan ta’kid atau bayan
taqrir . Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-qur’an, misalnya
hadis tentang shalat, zakat, puasa, dan haji, menjelaskan ayat-ayat al-qur’an
tentang hal itu juga.
Dari
Ibnu Umar R.A berkata: rasulullah SAW bersabda: islam didirikan atas lima
perkara; menyaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan bahwa
Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa
ramadhan. (HR. Al-Bukhari) .
Hadis di atas
memperkuat keterangan perintah shalat, zakat, danp uasadalam AL-qur’an surah
Al-Baqarah (2): 83 dan 183 dan perintah haji pada surah Al-Imran (3): 97. 2.
(2) Bayan Tafsir [7]
Hadis sebagai
penjelas (tafsir ) terhadap Al-qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak
pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai
berikut :
Tafshil Al-Mujmal
Hadis
memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat
global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya
bayan tafshil atau bayan
tafsir . Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam Al-qur’an hanya
diterangkan secara global, yaitu dirikanlah shalat, tanpa disertai petunjuk
bagaimana pelaksanaannya; berapa kali sehari semalam, berapa rakaat,
kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu terdapat
pada hadis Nabi, misalnya sabda Nabi:
“Shalatlah
sebagaimana engkau melihataku shalat.” (HR. Al-Bukhari)
D.
Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Umat Islam
telah sepakat bahwa sunnah mempunyai kedudukan dalam sumber hukum islam. Sunnah
menempati urutan kedua sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an. Maknanya,
ada keharusan mengikuti Hadis bagi umat islam baik berupa perintah maupun
larangan,sama halnya dengan kewajiban untuk berpegang pada Al-Qur’an.
Untuk mengetahui sejauh mana
kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam, dapat dilihat beberapa dalil naqli
dan ‘aqli berikut:
a). Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an
yang menerangkan tentang tetap teguh memegang tali agama Allah swt.,mentaati
Rasul karena ia adalah utusan-Nya kepada umat manusia. dalil Al-Qur’an tentang
kedudukan hadis: Ali ‘Imran ayat 17,32dan an-Nisa’ayat 59,136. al-Hasyr ayat 7,
al-Maidah ayat 92, an-Nur ayat 54.[8]
يا ايها الذين ا
منوا اطيعواالله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم فاءن تنازعتم فى شىء فردوه الى
الله والرسول
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman
taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulnya dan ulil amri dari kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah). (Q.S. an-Nisa’:59)
و ما كان لموء من ولا موء منة اذا قضى الله و
رسوله امر ان يكون لهم الخيرة من ا مرهم
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
mukmin dan perempuan yang mukmin,apabila Allah dan Rasulnya tidak menetapkan
suatu ketetapan, aka nada bagi mereka pilihan yang lain.” (Q.S.Al-Ahzab:36)
b). Ijma’u’sh-shahabat
Sahabat
telah sepakat menetapkan wajibul ‘ittiba’ terhadap Al-Hadis,baik pada masa
Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Ketika Rasulullah masih hidup,
para sahabat begitu konskuen mentaati perintah nabi saw. mengikuti
perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. ketika Rasul telah wafat,
para sahabat bila tidak menemukan dalam Al-Qur’an tentang sesuatu perkara
,mereka akan mencarinya dalam hadist. Abu Bakar sendiri apabila tidak ingat
ketentuan dalam sebuah hadist , kemudian menanyakan kepada siapa yang masih
mengingatnya.[9]
Umar dan sahabat lainya pun demikian , dan dikalangan tabiin tidak ada yang mengingkarinya
karena itu merukan ijma’ shahabat.
Abdurrhman bin
Yazid pernah melihat seorang lelaki melakukan ihram di musim haji dengan
mengenakan pakaian yang berjahit. Abdurrahman pun menegur orang tersebut agar
melepas pakaiannya dan memintanya mengikut sunnah Nabi saw. tentang cara
berpakaian saat berihram. Lelaki itu berkata kepadanya,” Coba bacakan kepadaku
ayat Al-Qur’an yang mengahruskanku melepas pakaianku ini”. Abdurrahman
membacakan firman Allah ini,”Apapun yang diberikan Rasul kepada kalian,terimalah,
Dan apa saja yang ia larang bagi kalian tinggalkanlah.”(Q.S.al-Hasyr :7).[10]
Permasalahan tentang baju berjahit ketika ihram memang tidak ada dalam
al-Qur’an, tetapi dijelaskan oleh Hadis. begitulah kedudukan sunnah terhadap
syar’i.
c). Menurut Petunjuk Akal
Dalam
melaksanakan tugas agama, yakni menyampaikan hukum-hukum syariat kepada umat,
kadang-kadang beliau menyampaikan hal itu berdasarkan wahyu yang diturunkan
Allah swt. terkadang beliau berijtihad sendiri pada suatu permasalahan yang tidak
ada pada wahyu. hasil ijtihad tersebut berlaku sampai ada nash yang
menasakhkannya. Maka layaklah apabila peraturan atau inisiatif beliau , baik
dari wahyu maupun ijtihad beliaukita tempatkan sebagai hukum yang positif.
dalam surat al-Hasyir Allah berfirman:
“Apa-apa yang disampaikan
Rasulullah kepadamu,terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu
tinggalkanlah.”(Q.S.Al-Hasyir: 7)
Golongan yang Menolak Kehujjahan
Al-Hadist
Disamping
adanya kesepakatan dikalangan umat muslim tentang kehujjahan hadits,terdapat
pula penolakkan dari sejumlah kecil
golongan umat muslim tentang hadist sebagai sumber syari’at setelah
al-Qur’an. Berikut alasan mereka:
1. firman
Allah swt. :
“Dan
kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu sebagai penjelas segala sesuatu.”(An-Nahl: 89)
Mereka
yang menolak hadits bependapat bahwa ayat diatas mengandung makna Al-Qur’an itu
telah mencakup seluruh persoalan agama,hukum-hukum,penjelasan,serta perincian
sedetail-detailnya,hingga tidak memerlukan lagi yang lain,seperti hadist.
Bahkan mereka berkesimpulan bahwa jika masih memerlukannya, niscaya didalam
Al-Qur’an masih terdapat sesuatu yang
dilalaikan.
2. Bahkan
andaikata al-Hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah memerintahkan untuk
menulisnya dan sahabat pasti telah membuat dewan hadist untuk disatukan, agar
tidak dilupakan dan hilang. Yang demikian itu agar diterimakaum muslimin sacar
qath’i. sebab dalil yann dhannytidak sah berhujjah
Ini hanyalah pendapat sebagian kecil umat islam, dan tentu saja
semua alasan penolakan hadist sebagai hujjah ialah suatu kesalahan karena
Al-Qur’an dan al-Hadist adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
sebagai sumber hukum bagi umat islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Idris,Studi Hadis,Jakarta: Kecana Prenada Media Group,2010
Ranuwijaya,Utang ,Ilmu Hadis,Jakarta: PT GMP,1995
Rahman,Fatchur,Ikhtisar Musthalahul Hadits,Bandung:
PT Alma’arif,1974
Khan,Abdul
Majid, UlumulHadis,Amzah, Jakarta, 2013
Shidiq,Sapiudin.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.2014
As-Shalih,Shubhi,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,Jakarta: Pustaka
Firdaus,1997
Al-Khatib ,Muhammad ‘Ajaj,Ushul Al-Hadits,Jakarta: Gaya
Media Pratama,1998
Hasan,Khalid Ramadhan,
Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998)
Abu Zahra,Muhammad,
Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.),
[1]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet. ke-2, hlm.
54.
[2]
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998), Cet. ke-1,
hlm. 148.
[3]
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.), hlm. 105.
[4]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah,
tt.), hlm. 37
[5]Abdul Majid Khan, UlumulHadis,Amzah, Jakarta, 2013,
cet-II.Hlm. 18
[6]Abdul Majid Khan, UlumulHadis,Amzah, Jakarta, 2013,
cet-II.Hlm. 18-19
[7]Abdul Majid Khan, UlumulHadis, Amzah, Jakarta, 2013,
cet-II.Hlm. 19-21
[8]
Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis,Jakarta: PT GMP,1995,H.20
[9]Fatchur
Rahman,Ikhtisar Musthalahul Hadits,Bandung: PT
Alma’arif,1974,h.62
[10]Shubhi
As-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,Jakarta: Pustaka
Firdaus,1997.cet.3,h.254
Komentar
Posting Komentar