(kaidah tafsir), kalimat yang jika bertemu artinya berbeda, dan jika terpisah artinya sama


BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW dengan sunnahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nash al-Qur’an atau al-Sunnah, namun pada masa berikutnya, masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun tersebar ke berbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan gemilang. Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah arab dengan corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus baru yang tidak terselesaikan dengan rujukan lahir nash semata-mata. Untuk menghadapi hal itu para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap mempedomani nash- nash al-Qur’an atau Hadits dan hanya melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi.
Bahasa al-Qur’an yang turun dengan bahasa Arab punya keunikan tersendiri yang tidak di miliki/ tidak terdapat dalam bahasa lain. Salah satunya adalah beberapa kata yang seolah-olah sama makna nya, tetapi dalam kondisi tertentu maknanya berbeda. Hal ini lah yang akan pemakalah coba jelaskan beberapa contoh kata itu.


BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Al-Qur’an terdapat kalimat yang, Jika masing-masing kata tersebut berdiri sendiri dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut akan memiliki makna yang sama satu sama lain. Namun, jika kedua kata tersebut terdapat dalam satu susunan kalimat, makna kedua kata tersebut justru berlainan, atau dua kata yang jika berkumpul lafadznya maka berbeda maknanya. Namun, jika tidak berkumpul lafadznya maka  berkumpullah maknanya (mempunyai makna yang sama), makna kata yang satu mencakup makna kata yang lain. Di antaranya :

a.      Al-Iman dan Islam

Jika keduanya berkumpul dalam satu dalil maka “islam” berkaitan dengan amalan lahiriyah, misalnya: shalat, puasa, zakat, membaca Al-Qur`an, dll. Sedangkan “iman” berkaitan dengan  amalan batin. Seperti apa yang di riwayatkan mengenai Abdul Qais, yaitu pada saat para delegasi itu di perintahkan untuk beriman kepada Allah semata, Nabi bertanya kepada mereka, “apakah kalian mengetahui makna iman?, mereka menjawab : Allah dan Rasul Nya lebih mengetahui. Lalu Nabi bersabda : iman adalah bersyahadat bahwa tiada tuhan melainkan Allah, dan Muhammad utusan Allah, mendirikan Shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan...... al-hadits.
Adapun jika disebutkan terpisah maka “islam” juga mencakup “iman”, dan sebaliknya. Contohnya:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Pada ayat ini Al-Islam bermakna al Iman, akan tetapi pada awalnya iman dan islam adalah dua hal yang berbeda. Dalilnya adalah hadis yang mengisahkan pertanyaan malaikat Jibril kepada Nabi SAW.[1]
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Mu`minuun: 1)
Bukan berarti orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang memiliki amal batin saja tetapi tidak mempunyai amal badan. Maka “iman” dalam ayat ini mencakup amal batin dan amal badan sekaligus.
Kemudian dalam surah Al-Hujurat ayat 14 :
قالَتِ الأَعرابُ آمَنّا ۖ قُل لَم تُؤمِنوا وَلٰكِن قولوا أَسلَمن
Artinya : orang orang Arab Badui itu berkata  : kami telah beriman, katakanlah : kamu  belum beriman  tapi katakan lah kami telah tunduk.
Ayat ini berkaitan dengan orang-orang Arab Badui yang di sebutkan dalam surah al-Fath, mereka mengatakan “kami telah beriman” agar mereka dapat meyelamatkan jiwa dan harta mereka. Akan tetapi sebenarnya mereka belum beriman sama sekali. Makna وَلٰكِن قولوا أَسلَمن -(katakan lah kami telah tunduk), yakni tunduk karena takut di bunuh. Karena hakikat keimanan adalah memberikan pembenaran dengan hati, tidak sekedar dengan lisan saja. Sementara hakikat Islam adalah menerima apa yang di bawa oleh Nabi SAW secara zhahiriyah.[2]
b.       Al-Birr dan Taqwa
Kata “birr” mempunyai arti melaksanakan perintah, sedangkan “taqwa” artinya menjauhi larangan. Contohnya:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa …” (QS. Al-Ma`idah: 2)
Ibnu Athiyah berkata : “Makna kedua lafaz ini adalah, bahwa kebajikan itu mencakup hal yang wajib dan sunnah, sedang kan Takwa adalah memelihara kewajiban. Jika salah satu dari kedua kata ini di gunakan sebagai pengganti bagi kata yang satunya, maka itu di lakukan dengan majaz. [3]
Akan tetapi jika lafaznya terpisah maka “birr” dan “taqwa” mempunyai arti yang saling mencakupi yaitu melaksanakan perintah sekaligus menjauhi larangan. Contoh:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ
“Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Maka al-Bir bisa di artikan sebagai_seluruh kebaikan yang di ridhai Allah. Dan Takwa adalah bentuk kebaikan yang di fokuskan dalam hati, atau engkau membangun dinding pembatas dengan Azab Allah, dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan nya.

c.       Faqir  dan Miskin
Sebagian ulama berbeda pendapat tentang makna “faqir” dan “miskin” jika kedua kata tersebut berkumpul, apakah faqir yang lebih parah ataukah miskin. Abu Ja’far At-Thabari berkata : fakir adalah orang yang membutuhkan namun ia tidak meminta-minta dan merendahkan diri kepada orang lain untuk sesuatu hal. Sedangkan miskin adalah orang yang membutuhkan dan meminta-minta kepada orang lain.[4] Ada yang berpendapat bahwa “faqir”adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan sama sekali, sedangkan “miskin” adalah orang yang mempunyai penghasilan tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya. Contoh dibedakannya faqir dan miskin dalam satu dalil:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Adapun jika disebutkan bersendirian maka berkumpullah makna keduanya. Jika disebutkan faqir saja maka termasuk di dalamnya miskin, dan sebaliknya. Contoh:
فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. Ar-Ruum: 38)
إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu.”(QS. Al-Baqarah 271)






d.      Al-Itsm wa al-Udwan
 وَلا تَعاوَنوا عَلَى الإِثمِ وَالعُدوانِ
(dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran)
Al-Itsm ketika di sebut berbarengan dengan al-Udwan maka perbuatan dosa yang di tunjukkan adalah bersifat mendurkai Allah. Maksudnya adalah, hendaklah satu sama lain di antara kalian, tidak tolong menolong dalam berbuat dosa, yakni dalam hal meniggalkan perintah Allah. [5]
Dalam kitab Mujam al-Wasith disebutkan bahwa Itsm adalah perbuatan dosa yang pelakunya berhak memperoleh siksa. Pengertian senada dikemukakan Mufassir al-Baydawi sebagaimana dikutip Toshihiko Izutsu, ia mengatakan itsm adalah Dzanb yang pelakunya pantas memperoleh hukuman.
Sementara itu, Al-Raghib al-Ashfahaniy memberi beberapa pemahaman tentang arti itsmPertamaitsm mengandung arti segala bentuk perbuatan yang menghalangi (menghambat) untuk melakukan kebaikan, yang berbuah pahala. KeduaItsm berarti dusta, karena dipahami bahwa perbuatan dusta merupakan kumpulan dari perbuatan ItsmKetigaal-Itsm lawan kata dari al-Birr. Dengan mengutip hadis Nabi, al-Ashfahaniy menjelaskan bahwa al-itsm dipahami sebagai perbuatan yang menggelisahkan hati.[6]



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa kata/ kalimat yang kalau di lihat secara zahirnya memiliki kesamaan makna dan arti, akan tetapi pada dasarnya memiliki arti yang berbeda. Ada juga kalimat kata sinonim yang jika terdapat dalam satu kalimat maknanya bisa berbeda, akan tetapi jika terdapat dalam kalimat yang terpisah memiliki kesamaan makna. Hal ini dapat kita jumpai di dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an, seperti dalam surah Al-Hujurat ayat 14, yang membahas tentang Iman dan Islam, dalam ayat ini Iman dan Islam mempunyai arti masing-masing, yang mana satu dengan yang lainnya berbeda secara makna dan arti. Kemudian dalam Al-Baqarah ayat 183 iman di sebutkan tanpa menghadirkan Islam. Yang mana Iman bisa berarti Islam dan sebaliknya. Begitu juga kalimat-kalimat lainnya, seperti yang berkaitan dengan masalah Faqir dan Miskin pada surah At-Taubah ayat 60, Nabi dan Rasul pada surah al-A’raf, al-Itsm dan al-Udwan dalam surah Al-Maidah ayat dua, dan masih banyak lagi yang belum bisa kami sebutkan.
B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan maupun penulisan serta isi dari makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu dengan tangan terbuka penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran serta masukan untuk kedepannya penulis bisa lebih baik lagi.


Daftar pustaka
Aziz, Amir Abd. Dirasat Fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983
Chirzin, Muhammad, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 2003. Cetakan II
Dahlan, Abd. Rahman dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.
Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1356 H. Jilid II
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia,
2004
Al-Makin, Apakah Tafsir Masih Mungkin? dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Al-Qattan, Manna. Mabahits fiUlum al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993
Muhammad bin jarir at-Thabari, Abu Ja’far, Tafsir At-Thabari , penerjemah oleh : Abdul somad dan Yusuf hamdani, Jakarta, Pustaka Azzam, 2008
al-Qhurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qhurthubi, penerjemah Akhmad khatib, Jakarta, Pustaka Azzam, 2009


[1] Hadis kisah malaikat Jibril ini hadis mutafaq alaih, (diriwayatkan ole imam Bukhari dan Muslim). Imam Bukhari meriwayatkan pada pembahasan tentang keimanan, Bab pertanyaan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, mengenai iman dan Islam. Sedangkan Imam Muslim pada pembahasan tentang keimanan, Bab : defenisi keimanan dan bagian-bagian nya . lihat al-lu’lu wal marjan
[2] Syaikh Imam al-Qhurthubi, Tafsir Al-Qhurthubi, penerjemah Akhmad khatib, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2009)
[3] Syaikh Imam al-Qhurthubi, Tafsir Al-Qhurthubi, penerjemah Akhmad khatib, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2009)
[4] Abu Ja’far muhammad bin jarir at-Thabari, Tafsir At-Thabari , penerjemah oleh : Abdul somad dan Yusuf hamdani, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2008) jilid 12
[5] Abu Ja’far muhammad bin jarir at-Thabari, Tafsir At-Thabari , penerjemah oleh : Abdul somad dan Yusuf hamdani, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir