ilmu psikologi dalam pandangan Islam


BAB I

 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Psikologi adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk kejiwaan manusia. Penyelidikan tentang gejala-gejala kejiwaan itu sendiri mula-mula dilakukan oleh para filsof Yunani kuno. Psikologi baru diakui menjadi cabang ilmu independen setelah didirikan laboratorium psikologi oleh Wilhem Wundit pada tahun 1879.[1] Yang kemudian sangat berpengaruh bagi perkembangan psikologi selanjutnya, para sarjana psikologi mulai menyelidiki gejala-gejala kejiwaan secara sistematis dan obyektif.
            Apabila dilihat dari perspektif ilmiah kontemporer, psikologi Islam booleh dibilang tidak ada. Tetapi apabila dilihat dari perspektifilmiah Islam, Psikologi Islam sesungguhnya telah ada sejak adanya Islam sendiri, baik dalam prinsip-prinsip dasar, konsep-konsep filosofis, maupun teori-teori yang didasarkan atas empiris-eksperimental.
            Islam telah memberikan pedoman bagi manusia secara lengkap dan paripurna, juga Islam tidak hanya menerima pemikiran dan teori-teori psikologi dari barat begitu saja, tetapi dalam Islam ada filterisasi pemikiran dan teori barat yang centederung antoposentris serta dilandasi oleh nilai-nilai sosial budaya yang sangat rasional dan sekuler. Islam memiliki paradigma sendiri yang unik, meskipun demikian dalam hal-hal tertentu, Islam sangat terbuka terhadap pemikiran dan teori mereka.[2]





B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan Ilmu Jiwa?
2.      Bagaimana perkembangan jiwa itu?
3.      Apa saja prinsip-prinsip perkembangan jiwa ?
4.      Apa perbedaan antara pandangan ilmu jiwa sekuler dengan ilmu jiwa Islam?

C.    Tujuan Masalah

1.      Mengetahui definisi Ilmu Jiwa.
2.      Mengetahui perkembangan jiwa.
3.      Mengetahui prinsip-prinsip perkembangan jiwa.
4.      Mengetahui perbedaan antara pandangan ilmu jiwa sekuler dengan ilmu jiwa Islam.















BAB II
PEMBAHASAN
Islam dan Psikologi
A.     Definisi Ilmu Jiwa
Definisi Ilmu jiwa, : ilmu menurut KBBI adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang di susun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat di gunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. Sedangkan jiwa adalah, : roh manusia, (yang ada dalam tubuh yang menyebabkan  seseorang hidup), seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan.[3]
Jadi dapat di simpulkan bahwa ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang perihal kebatinan manusia, kerohanian, yang meliputi perasaan, pikiran dan angan-angan manusia.
Sedangkan jiwa (nafs) dalam perspektif Al-Qur’an sangat berbeda. Kata nafs’ (jiwa) merupakan kata yang memiliki banyak makna yang harus di pahami sesuai dengan penggunaannya. Kata nafs dalam Al-Qur’an memiliki makna sebagai berikut:[4]
1.      Jiwa atau sesuatu yang memmiliki eksistensi dan hakikat. Nafs dalam artian ini terdiri atas tubuh dan ruh, sebagaimana tampak pada ayat Al-Qur’an :
dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa di balas dengan jiwa ..... (al-Maa’idah : 45)
Dan kalau kami menghendaki, niscaya kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya ..... (as-Sajadah : 13)
2.      Nyawa yang memicu adanya kehidupan. Apabila nyawa hilang, maka kematian pun menghampiri. Nafs dalam artian ini tampak dalam artian Al-Qur’an :
sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi ) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka “ (at-Taubah : 55)
3.      Diri atau suatu tempat dimana hati nurani bersemayam. Nafs dalam artian ini selalu di nisbahkan kepada Allah dan juga kepada manusia, sebagaimana tampak dalam ayat Al-Qur’an :
dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) nya (al-Imran : 28)
engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau maha megetahui perkara yang gaib-gaib (al-Maa’idah : 116)
4.      Suatu sifat pada diri manusia yang memiliki kecendrungan kepada kebaikan dan juga kejahatan, sebagaimana tampak dalam ayat Al-Qur’an :
“maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu di bunuhnya lah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi” (al-Maa’idah 30)
“yakup berkata, sebenarnya dirimu sendiri lah yang memandang baik perbutan (yang buruk ) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah saja lah yang di mohon pertolongan-Nya” (Yusuf : 18)
5.      Sifat pada diri manusia yang berupa perasaan dan indra yang di tinggalkannya ketika ia tertidur, sebagaimana tampak dalam ayat Al-Qur’an :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah tahanlah jiwa orang yang telah ia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang di tetapkan..... (az-Zumar : 42)

6.      Satu gaya bahasa yang majemuk yang berarti “saling”. Bila di katakan “hormatilah dirimu “, maka yang di maksud adalah satu anjuran agar satu dengan yang lainnya saling menghormati. Nafs  dalam bentuk seperti ini tampak pada ayat Al-Qur’an :
maka bertobatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu”       (al-Baqarah : 54)
7.      Satu kata umum yang berlaku untuk lelaki, wanita, dan juga kaum (kabilah), sebagaiman tampak dalam ayat Al-Qur’an :
dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah Dia menciptakan  untukmu istri-istri (pasangan) dari jenis mu sendiri” (ar-Ruum : 21)
sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaum mu sendiri” (at-Taubah : 128)
8.      Seseorang tertentu (yakni Nabi Adam a.s.), sebagaiman tampak dalam ayat Al-Qur’an :
hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mua yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam)” (an-Nisaa’ : 1)
Sedangkan jiwa menurut imam Al-Gazali adalah kesempurnaan yang pertama tanpa melalui kesempurnaan yang lain terhadap fisik alamiah yang sifatnya mekanistik, atau memiliki alat-alat tertentu yang di pakai oleh kesempurnaan tersebut untuk memperoleh kesempurnaan berikutnya.[5]
B.     Perkembangan jiwa
Perkembangan adalah sebuah pemaparan tentang kondisi manusia yang terus mengalami perubahan ke tingkat yang lebih tinggi, yang berlangsung secara alami dan terus menerus. Salah satu metode yang di gunakan adalah psikoterapi, yaitu metode perawatan orang sakit. Akan tetapi psikoterapi sekarang di guanaka pada orang sehat, atau pada mereka yang mempunyai hak untuk memiliki kesehatan psikis. Abdul Mujib memberi kesimpulan bahwa, psikoterapi selain di gunakan untuk fungsi kuratif (penyembuhan), juga berfungsi preventif (pencegahan), dan konstruktif (pemeliharaan dan pengembangan). Ketiga hal tersebut memiliki objek, yaitu fisik (jiwa) dan psikis (nafs). [6]
Dalam perkembangannya para ilmuan mengkualifikasikan jiwa (nafs) menjadi beberapa macam, ada yang membaginya menjadi tujuh tingkatan, dan ada juga yang membaginya menjadi lima tingkatan saja.[7] Namun dalam makalah ini kami akan menuliskan kualifikasi jiwa (nafs) menurut Dr. Sayyid Abdul Hamifd Mursa, yang membagi tingkatan nafs menjadi tujuh tingkatan sesuai dengan yang ada dalam Al-Qur’an :
1)     Nafs Mujadilah (yang membela diri)
يَوۡمَ تَأۡتِي كُلُّ نَفۡسٖ تُجَٰدِلُ عَن نَّفۡسِهَا.... ١١١
“(ingatlah) suatu hari ketika tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya sendiri ...” (an-Nahl : 111)

2)     Nafs Mutadiyah (yang mendapat petunjuk)
..... فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ.....١٠٨
barang siapa yang mendapat petunjuk, maka sesungguhnya (petunjuk itulah) untuk kebaikan dirinya sendiri.....” (Yunus : 108)

3)     Nafs Mujahidah (yang berusaha)
وَمَن جَٰهَدَ فَإِنَّمَا يُجَٰهِدُ لِنَفۡسِهِۦٓۚ ......٦
“Dan barang siapa yang berjihad (berusaha), maka sesungguhnya jihadnya (hasil usahanya) itu adalah untuk dirinya sendiri..” (al-Ankabut : 6)

4)     Nafs Syakirah (yang bersyukur)
........ وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ......... ١٢
...dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersukur untuk dirinya sendiri..(Luqman : 12)

5)     Nafs Salihah (orang shaleh)
مَّنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا فَلِنَفۡسِهِۦۖ........ ٤٦
“...Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri..” (Fushshilat : 46)
6)     Nafs Syahihah (yang kikir)
“..dan siapa yang di pelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung.....

7)     Nafs Khairah (yang baik)
........وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَلِأَنفُسِكُمۡۚ...... ٢٧٢
“...Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri.”... (al-Baqarah : 272)
Pemaknaan kata nafs pada ayat-ayat di atas pada dasarnya belum cukup menggambarkan kondisi jiwa manusia secara keseluruhan. Karena suatu bagian itu boleh berbilang dan tidak terbatas jumlahnya.
Pembagian nafs pada lima bagian, atau tujuh bagian, tidak menunjukkan bahwa nafs (jiwa) manusia sangat beragam dan bermacam-macam. Pembagian ini hanya menunjukkan suatu kondisi tertentu yang di alami manusia dari waktu-ke waktu. Walaupun seorang individu secara permanen mengalami satu kondisi saja, namun itu berarti yang lainnya di abaikan. Perubahan nafs (jiwa) dari satu kondisi ke kondisi lainnya berlangsung secara bertahap dan tidak tiba-tiba. Perubahan yang terjadi secara bertahap itu terjadi hingga setiap individu bisa terbiasa meninggalkan kondisi lamanya untuk kemudian beradaptasi dengan kondisinya yang baru.
Kaitannya dengan fisik, berkaitan erat dengan peristilahan biologi, yaitu “pertumbuhan”, karena yang di tonjolkan adalah perkembangan fisik. Pertumbuhan fisik kemudian mempengaruhi perkembangan psikis, misalnya bertambahnya fungsi otak pada anak yang memungkinkan anak daat tertawa, berjalan, berbicara, dan sebagainya.
C.      Prinsip-prinsip perkembangan
1.      Perkembangan itu merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Hal ini karena manusia secara terus menerus berkembang yang dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar sepanjang hayat.
2.      Setiap aspek perkembangan, baik fisik, emosi dan intellegensi maupun sosial merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berkorelasi positif.
3.      Perkembangan terjadi secara teratur mengikuti pola atau arah tertentu.
Setiap tahap perkembangan merupakan hasil dari tahap sebelumnya dan merupakan syarat bagi perkembangan selanjutnya. Menurut Yelon dan Weinsten (1977), arah dan pola perkembangan itu adalah :
a.       Cephalocaudal ( mulai dari kepala ke kaki) dan proximal-distal (dari tengah ke pinggir seperti paru-paru, jantung dsb, ke bagian tangan).
b.      Struktur mendahului fungsi, yakni bahwa anggota tubuh individu akan dapat berfungsi setelah kematangan struktur terjadi. Misalnya mata akan dapat melihat setalah otot-ototnya sudah matang.
c.       Perkembangan itu berdiferensiasi. Perkembangan berlangsung dari umum ke khusus dalam semua aspek perkembangan, menyangkut fisik, maupun psikis. Misalnya bayi menendang-nendangkan kakinya secara sembarangan sampai ia dapat mengkordinasikannya untuk merangkak atau berjalan.
d.      Perkembangan itu berlangsung dari egosentris (hanya memperhatikan dirinya saja) menuju perspektivisme.
e.       Perkembangan berlangsung dari Outter control (bergantung pada orang lain, terutama orang tua) to inter control (misalnya dapat bertindak mengambil keputusan sendiri).
4.      Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan.
Perkembangan fisik dan psikis mencapai kematangannya pada waktu yang berbeda, ada yang lambat, ada yang cepat. Misalnya tangan dan kaki mencapai perkembangan maksimum pada masa remaja, sedangkan imajinasi kreatif berkembang dengan cepat pada masa kanak-kanak.
5.      Setiap fase perkembangan pasti mempunyai ciri khas.
6.      Setiap individu yang normal akan mengalami fase perkembangan.[8]

D.     Perbedaan antara pandangan ilmu jiwa Sekuler dengan ilmu jiwa Islam
Psikologi Islam merupakan pandangan Islam tentang manusia yang tidak harus dikaitkan-kaitkan dengan pandangan Psikologi Barat. Berbeda dengan Psikologi Barat yang pandangan filsafatnya didasarkan pada spekulasi filosofis tentang manusia, maka psikologi Islam didasarkan pada sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Ada dua alasan mendasar mengapa kita perlu psikologi Islam. Alasan yang paling utama adalah karena Islam mempunyai pandangan sendiri tentang manusia. Al-Qur’an, sumber utama agama islam, adalah kitab petunjuk, didalamnya terdapat rahasia mengenai manusia. Allah, sebagai pencipta manusia, tentunya tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia. Lewat Al-Qur’an, memberitakan rahasia-rahasia tentang manusia. Karenanya, kalau kita ingin tahu manusia lebih nyata dan sungguh-sungguh, maka Al-Qur’an (wahyu) adalah sumber yang selayaknya dijadikan acuan utama.
Menurut ajaran islam, cara untuk memahami manusia dan alam semesta dapat dilakukan melalui dua pintu, yaitu ayat kauniyah dan ayat kauliyah. Diungkapkan oleh Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, untuk menggali manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Qur’an dan Al-Hadis (ayat kauliyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan, dan merefleksikan kejadian-kejadian yang berbeda di alam semesta dan terjadi pada diri manusia (ayat kauniyah) dengan menggunakan akal, indera, intuisi.[9]
Psikologi islam akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi islam melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi islam bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata Tuhan tentang manusia.
Oleh karena itu, psikologi islam sangat memperhatikan apa yang Tuhan katakan tentang manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata mendasarkan diri pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita pahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan Tuhan.[10]
Kajian tentang diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-Qur’an:
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ {53}
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami   di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S. Fushshilat:53).
Pendekatan psikologi dalam hal ini dapat digunakan untuk membuka rahasia sunna-tullah yang bekerja pada diri manusia (ayat nafsani), dalam pengertian menemukan berbagai asas, unsur, proses, fungsi dan humum-hukum mengenai kejiwaan manusia.[11]
Psikologi sekuler berpandangan bahwa perilaku kehidupan manusia sangat dipenga-ruhi oleh tri-dimensi: dimensi fisik-biologis, psiko-edukasi, dan sosio-kultural, sedang dimensi spiritual tidak mendapatkan tempat dalam ruang kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa hanya dengan menggunakan kemam-puan intelektual semata dapat ditemukan dan diungkapkan asas-asas kejiwaan.
Psikologi tradisional (sekuler) berasumsi bahwa alam semesta secara keseluruhan bersifat materi, tanpa makna dan tujuan. Menurut psikologi sekuler, manusia tidak lebih dari organisme tubuh, pikiran manusia berkembang berasal dari sistem syaraf tubuh semata dan tidak mengakui  adanya dimensi spiritual.  
Menurut psikologi Islami, alam semesta diciptakan berdasarkan kehendak Tuhan, dan mencerminkan eksistensi-Nya. Al-Qur’an berkata: “bahwa milik Allah-lah Timur dan Barat, kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Tuhan berada”. (Q.S. Al-Baqarah: 115).
Kini dunia Islam berada di bawah pengaruh budaya sekuler Barat, banyak mahasiswa muslim sangat tergila-gila terhadap semua aspek peradaban yang datang dari Barat, termasuk teori-teori Psikologi Barat. Malik B. Badri dalam bukunya Dilema Psikologi Muslim mengungkapkan: ada tiga fase perkembangan sikap psikolog muslim terhadap psikologi modern yang berasal dari Barat, yaitu: fase infantuasi, fase rekonsiliasi dan fase emansipasi.[12]
Untuk memecahkan berbagai persoalan di atas, meminjam tipologi Jamaluddin Ancok, setidaknya pengembangan Psikologi Islami dapat dibagi menjadi tiga cara. Pertama, psikologi dipakai sebagai pisau analisis masalah-masalah psikologis umat Islam. Kedua, Islam dijadikan “pisau analisis bagi pengkajian psikologi. Ketiga, membangun konsep psikologi baru yang didasarkan pada nilai-nlai Islam.[13]
Dua cara tersebut di atas memiliki keunggulan sekaligus kelemahan. Usaha pertama mempunyai kelebihan, yaitu kita memanfaatkan psikologi untuk memberikan penjelasan problem umat Islam serta mening-katkan sumber daya umat Islam. Sedangkan kekurangannya bahwa konsep-konsep psikologi mempunyai keterbatasan dan bahkan kemung-kinan bias yang sangat besar, karena seringkali mereduksi  Islam ke dalam pengertian yang parsial dan tidak utuh.[14]
Cara kedua, keunggulannya adalah mencoba melakukan studi kritis terhadap psikologi sehingga mengetahui kelebihan dan kelemahan konsep psikologi. Kelemahan cara ini adalah awal berpijak pembahasannya adalah menggunakan konsep psikologi, sehingga sering kali terjebak dalam memandang persoalan lebih berangkat dari pemahaman terhadap konsep psikologinya daripada Islamnya.[15]


BAB III
PENUTUPAN
A.     Kesimpulan
bahwa ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang perihal kebatinan manusia, kerohanian, yang meliputi perasaan, pikiran dan angan-angan manusia.
Jiwa seseorang juga mengalami perkembangan. Perkembangan adalah sebuah pemaparan tentang kondisi manusia yang terus mengalami perubahan ke tingkat yang lebih tinggi, yang berlangsung secara alami dan terus menerus. Menurut Dr. Sayyid Abdul Hamifd Mursa, kualifikasi nafs ada 7 macam, yakni Nafs Mujadilah, Nafs Mutadiyah, Nafs Mujahidah, Nafs Syakirah, Nafs Salihah, Nafs Shahihah, dan Nafs Khairah.
Dalam proses perkembangan itu pasti memiliki prinsip-prinsip, yakni bahwasannya perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti, terjadi secara teratur mengikuti pola atau arah tertentu, terjadi pada tempo yang berlainan, setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas, setiap individu yang normal akan mengalami fase perkembangan.
Adapun perbedaan pandangan antara ilmu jiwa sekuler dengan ilmu jiwa Islam adalah  Psikologi Barat yang pandangan filsafatnya didasarkan pada spekulasi filosofis tentang manusia, sedangkan psikologi Islam didasarkan pada sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis.


           

                                             



DAFTAR PUSTAKA
Sarwano, Sarlito Wirawan. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh  Psikologi.   Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Hartati ,Nety, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.
Izzuddin, Taufiq Muhammad. Panduan lengkap dan praktis psikologi Islam, di terjemahkan oleh Sari Narulita Lc, dkk. Jakarta, Gema insani press. 2006.
Dra.Netty Hartati, Msi. Bambang Suryadi, Phd. Dkk. Psikologi dalam tinjauan Tasawuf. Jakarta, UIN Jakarta Press  2004.   
Sapuri, Rafi. Psikoogi Islam : tuntunan jiwa manusia modren, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2009.

Nashori, Fuad. Agenda Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002.

Ancok, Djamuludin, dkk, Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Hannna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
           
Malik B. Badri, The Dilemma of Muslim Psychologists, terj. Siti Zainab Luxfiati, Pustaka Firdaus, 1996,




[1] Sarlito Wirawan Sarwano, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). Cet.III.
[2] Dra. Nety Hartati, dkk. Islam dan Psikologi. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet.I, hlm. 2.
[3] KBBI
[4] Taufiq Muhammad Izzuddin, Panduan lengkap dan praktis psikologi Islam, di terjemahkan oleh Sari Narulita Lc, dkk, (Jakarta, Gema insani press, cet 1. 2006), hal 70 dst.
[5] Dra.Netty Hartati, Msi. Bambang Suryadi, Phd. Dkk. Psikologi dalam tinjauan Tasawuf, (Jakarta, UIN Jakarta pres, cetakan ke 1, 2004). Hal 144
[6] Rafi Sapuri, psikoogi Islam : tuntunan jiwa manusia modren, (Jakarta, Pt Rajagrafindo Persada, cetakan 1, 2009)
[7] Taufiq Muhammad Izzuddin, Panduan lengkap dan praktis psikologi Islam, di terjemahkan oleh Sari Narulita Lc, dkk, (Jakarta, Gema insani press, cet 1. 2006)
[8] Dra. Nety Hartati, dkk. Islam dan Psikologi. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet.I, hlm. 16-17.
[9] Fuad Nashori, Agenda Psikologi Islam, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002), hlm. 61.
[10] Djamuludin Ancok, dkk, Psikologi Islam, (PustakaPelajar, Yogyakarta:2011), hlm. 148-149.
[11] Hannna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1997, cet.ke-2), hlm. 4.
[12] Malik B. Badri, The Dilemma of Muslim Psychologists, terj. Siti Zainab Luxfiati, (Pustaka Firdaus, 1996, cetakan ke-6), hlm. 81-84.
[13] Djamuludin Ancok, dkk, Ibid., hlm. 3-4.
[14] Ibid, hlm. 4.
[15] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir