Ruang lingkup ilmu filsafat


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan bumi dan langit beserta isinya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa agama Islam menjadi agama yang di ridhoi oleh Allah SWT dan agama yang di terima di sisi-NYA. Dan juga atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Ruang Lingkup Ilmu, Filsafat, dan Agama” Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang di berikan dalam mata kuliah Islam Dan Ilmu Pengetahuan di perguruan tinggi Fakultas Ushuluddin Program Studi Ilmu Alqur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi, mengingat akan keterbatasan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu, Kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besar nya utamanya kepada Bapak Dosen saya yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini, Jazakallhu ahsanal jaza.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan hati. Dalam sejarah pun dicatat perkembangan pengetaahuan manusia mulai dari filsafat dampai pada ilmu pengetahuan. Pada zaman Yunani kuno yang ditandai dengan perubahan pola pikir manusia dari mitosentris kepada logosentris, sehingga manusia pada waktu itu tidak lagi berpikir mitos terhadap gejala alam, tetapi mulai berpikir bahwa hal itu merupakan hal yang bersifat kausalitas. Sehingga, manusia pada waktu itu tidak pasif, melainkan proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan objeck penelitian dan pengkajian.
Jejak sejarah awal filsafat ini mula-mula ditandai oleh munculnya tokoh-tokoh pemikir besar pada zamanya, seperti Thales, Anaximandros dan Anaximanes. Tahales adalah orang pertama yang mempersoalkan “subtansi terdalam dari segala sesuatu”. Dan hal ini, muncul kemudian pengertian-pengertian kebenaran yang hakiki.
“Kenalilah dirimu sendiri”. Siapakah kita ini, manusia, makhluk kecil yang nampak tiada bermakna di tengah alam raya yang maha luas? Pertanyaan besar yang diajukan oleh Socrates ini menjadi padang perburuan baru bagi pemikir kefilsafatan yang datang kemudian. Dari orientasi pemikran terhadap diri manusia ini muncul orientasi pemikiran terhadap segala alam yang maujud untuk diabdikan bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Sebagaimana kita lihat kini, kemudian berkembang ilmu-ilmu pengetahuan khusus yang implementasinya dalam wujud tegnologi.
Di dalam Al-Qur’an Allah memuji oranag-orang yang mampu berpikir dengan benar (ulul albab) dan meninggikan derajat orang-orang yang beriman lagi berilmu seperti yang telah di jelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Mujadalah ayat 11. Dan hal ini yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab yakni علم يعلم علما - - yang mengikuti wazan فعل -
يفعل فعلا - : yang berarti memahami, mengerti benar-benar, sedangkan dalam kamus besar bahasa indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.
Berikut pendapat para ahli tentang difinisi ilmu di antaranya adalah Ashely Montagu, guru besar Antropologi di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah “pengetahuan yang disusun dalam suatu sistem yang berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji”.
Di dalam bukunya Prof. Wan Mohd Nor mengatakan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang di susun secara konsisten dan kebenaranya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut…. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.[1]
Hasojo, guru besar antropologi di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu:
1. Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan.
2. Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum yang ketetapanya dan kenbenaranya diuji dengan pengalaman praktis.
Dari keterangan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, dan syarat tertentu yaitu sistetematik, rasional, objektif, dapat diukur dan terbuka. Ilmu ataupun filsafat sama-sama mencari pengetahun, dan pengetahuan yang di cari ialah pengetahuan yang benar. Dalam segi ini maksud kedua-duanya sama tetapi dalam persamaan itu ada perbedaan. Pengetahuan ilmu melukiskan sedangkan pengetahuan filsafat menafsirkan
Dari seluruh paparan banyak ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati pancaindra manusia.[2]
B. Manfaat Ilmu
Karena kedudukanya yang sangat mulia, ilmu juga memiliki tujuan yang mulia pula. Dalam Islam, tujuan utama dari ilmu adalah untuk mengenal Allah swt. Dan meraih kebahagiaan (سعادة ) sebab ilmu mengkaji tentang “ayat-ayat” (tanda-tanda) baik ayat Kauni atau Qauli yang menjadi petunjuk bagi yang ditandai, yaitu Allah Sang pencipta. Prof. Naquib al-Attas memberikan gambaran singkat tentang tujuan ilmu yang juga menjadi tujuan utama pendidikan-yaitu: The purpose for seeking knowledge in islam is to inculcate goodness and justice in man as man and individual self. The aim of education in islam is therefore to produce a good man the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inclucation of adab.
Artinya: Tujuan mencari ilmu di dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dan keadilan dalam diri manusia sebagai pribadi dan jati diri. Tujuan pendidikan di dalam Islam adalah untuk menghasilkan manusia yang baik. Unsur dasar yang melekat dalam konsep pendidikan Islam adalah adanya pendidikan tentang adab.
Sementara itu al-Attas mendifinisikan “adab” sebagai berikut: Adab is recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one's proper place in relation to that reality and one's physicial, intellectual and spiritual capacities and potentials.
Adab adalah pengakuan atas kenyataan bahwa pengetahuan dan ketertiban diperintahkan secara hierarkis/ tersusun sesuai dengan berbagai tingkatan dan pangkat mereka, dan tempat yang tepat sehubungan dengan kenyataan dan kapasitas dan potensi fisik dan intelektual seseorang.[3]
C. Pengertian Filsafat
Sebenarnya ketika seseorang melemparkan sebuah pertanyaan: what is Philosopy? Apakah filsafat itu?, menurut para ahli dan orang-orang yang melakukan perjalanan jauh dalam dunia filsafat, kita tetap sulit untuk mendapatkan sebuah jawaban definitif terhadap pertanyaan tersebut. Setiap jawaban yang disuguhkan tidak pernah mendapatkan jawaban yang final. Sebab perbincangan filsafat bukan sebatas wacana intelektual, pemikian, konsep-konsep, dan teori-teori abstrak filosofis, melainkkan juga perenungan, penghayatan, pengembaraan tanpa henti dan petualangan hidup.
Meskipun demikian, untuk membantu memudahkan kita memahami makna tersebut, mari kita tengok sekilas arti filsafat dari berbagai demensi. Secara historis sosiologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang merupakan gabungan dua kata: philo dan sophia. Philo berarti cinta, dan sophia berarti kebijaksanaan (yang mencakup peengetahuan, keterampilan, pengalaman). Jadi filsafat berarti mencintai kebijaksanaan; The love and pursuit of wisdom.
Namun, dalam konteks historis Yunani klasik, makna istilah sophia tersebut bukan hanya kebijaksanaan dalam pemahaman kita hari ini yang terkadang bersifat parsialistik. Para bijak bestari dari Yunani klasik dahulu, memakai sophia bukan hanya kebijaksanaan dan kearifan saja, melainkan juga meliputi mengenal kebenaran pertama yaituTuhan, pengetahuan yang luas, kebijakan intelektual, pertimbangan yang sehat sampai keterampilan, dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan persoalan-persoalan praktis.
Di sini makna sophia, bersifat integralistik-holistik: bukan hanya kearifan tentang kehidupan dengan segala perkakasnya, melainkan juga kearifan tentang pencipta kehidupan manusia yakni Tuhan.[4]
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan, secara sederhana hal ini berarti bahwa tujuan filsafat ialah megumpulkan pengetahuan manusia seebanyak mungkin, dan menerbitkan dan mengatur semua itu di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang layak.[5]
D. Signifikansi/ pentingnya Filsafat
Pertama, pendobrak mitos-mitos palsu dalam tradisi. Ketika filsafat pertama kali muncul ke permukaan masyarakat Yunani klasik, mereka telah sangat lama percaya terhadap mitos-
mitos. Tatkala mereka melihat pelangi, misalnya, masyarakat Yunani kuno akan menanggapi bahwa pelangi merupakan dewi yang bertugas sebagai pesuruh dewa-dewa lain. Dari itu filsafat justru hadir untuk mempertanyakan nilai kebenaranya, filsafat datang untuk melihat dan mengukur sejauh mana pijakan argumentasi rasionalitisnya.
Kedua, filsafat dapat menguji asumsi-asumsi fundamental dalam kehidupan umat manusia: pandangan umum, keyakinan-keyakinan masyarakat, ideologi-ideologi, bahkan keberagamaan kita. Contoh, sebagai seorang muslim, secara normatif kita merasa keyakinan kita sebagai muslim merupakan hidayah atau keistimewaan yang di anugrahkan Tuhan kepada kita. Pradigma seperti ini seringkali membuat nyaman hati kita, padahal hakikat keberagamaan adalah proses pembenahan diri untuk selalu meningkatkan kualitas kebajikan yang terus menerus tanpa henti.
Ketiga, memperkaya perspektif dalam menata kehidupan, filsafat mengajarkan kita untuk memandang realitas dengan perspektif yang plural, ambigu, dan sarat interpretasi. Sebagai contoh sederhana, jika manusia dikaji dari aspek jasmaninya secara fisikal, maka akan melahirkan ilmu biologi, dan jika manusia dikaji dari aspek adat istiadatnya, bahasanya, dan asal usulnya maka akan melahirkan ilmu antropologi, dan masih banyak contoh lainya.
Keempat, untuk membebaskan kita dari tirani/ penguasaan kebiasaan. Ada sebuah kisah untuk mmperjelas makna ini
Alkisah ada seorang yang buta sejak lahir, dia tidak pernah menyaksikan apapun selain kegelapan, suatu hari sebuah konsep operasi baru ditemukan untuk bisa menyembuhkan cacat buta yang di alami lelaki ini.
“Saya mempunyai kabar baik untukmu” kata sang dokter, “engkau akan bisa melihat”
“seperti apakah melihat itu?” tanya lelaki buta tersebut, sebab ia tidak mempunyai pengalaman dalam melihat.
Sang dokter dan teman-teman lelaki buta tersebut berusaha menjelaskan seperti apa maksud dari melihat itu. Namun lelaki tersebut tidak faham tentang apa-apa yang di ceritakan dokter dan teman-teman lelaki tersebut, lalu ia berkata “saya tidak faham apa yang anda maksud dengan hijau,bintang-bintang yang bersinar di cakrawala”.
Akhirnya semua orang yang hadir memaklumi terhadap perkataan lelaki buta tersebut. Namaun ia masih mempunyai kesempatan melihat jika dia mengiginkan operasi tetap di laksanakan, si lelaki tersebut terus memikirkan tentang arti melihat tersebut, dan akhirya dia
memanggil sang dokter, seraya dengan polos bertanya, “Apakah saya masih bisa menggunakan tongkat ini ketika saya sudah bisa melihat?”, “Sebab saya tidak ingin melihat, jika saya harus melepaskan tongkat saya ini”.[6]
Kisah tersebut hanya berakhir sampai disitu saja, penulis sengaja tidak memberikan interpretasi terhadaap cerita tesebut, supaya orang yang membaca mempunyai kesempatan untuk mengungkapakan sudut pandang mereka.
E. Pengertian Agama
Agama mudah diucapkan dan di uraikan oleh orang awam, tetapi sangat sulit didefinisikan oleh para ilmuan. Begitu yang di tulis oleh Prof. Syekh Abdurahman Badaran dalam bukunya Al-Madkhal Ila Al-Adyan. Maka tidak mengherankan jika ditemukan begitu beragam dan berbeda uraian tentang “Agama” dan keberagaman bukan saja dalam pengertian terminologi tetapi juga etimologi. Ada pakar yang berkata Agama terdiri dari kata “A” yang berarti tidak dan Gama yang berarti kacau. Sehingga agama bermakna “tidak akacau” atau bisa diistilahkan sebagai tuntuanan yang melahirkan keteraturan/ ketiadaan kekacauan, pakar lain mengatakan, kata “Agama” terambil dari bahasa Indo-Germania yang berarti “jalan” sehingga agama adalah jalan menuju kebahagiaan/ nirwana.
Dalam bahasa Al-Qur’an, “Agama” ditunjukan dengan kata دين . Kata yang terdiri dari tiga hurf Arab itu, د (Dal), ي (Ya), dan ن (Nun), mengandung arti hubungan antara dua pihak, yang salah satu dari keduanya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Kata دين
(Dain), misalnya, berarti utang, yang menggambarkan hubungan antara pemberi dan penerima utang di mana si pemberi berkedudukan lebih tinggi. Begitu juga dengan kata Din yang berarti pembalasan. Yang membalas memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang menerima balasan.
Nah, Din dalam arti agama adalah “Hubungan manusia dengan satu kekuatan yang jauh melibihinya di mana manusia patuh kepada kekuatan itu, antara lain penggerak pertama, yang mahamutlak, pencipta alam, kehendak mutlak, yang di atas, yang maha kuaa, Yahwa, Allah, dan sebagainya. Yang Maha, disini oleh penganutnya dinilai memiliki kekuatan yang ditakuti dan atau di kagumi sifat-sifat-Nya itulah yang dinamai Tuhan, Dewa, dan aneka nama lain. Bahkan Al-Qur’an menilai siapa yang patuh kepada sesuatu, maka sesuatu
tersebut telah dijadikanya ilah/ tuhanya karena kata tersebut pada mulanya berarti yang dipatuhi. Demikian firman Allah dalam QS. Al-Jatsiyah {45}: 23.
Kaum musyrik pun, yang mempersekutukan Tuhan dengan aneka berhala, menamai berhala-berhala mereka dengan “tuhan-tuhan” dan hubungan kepatuhan mereka terhadap berhala-berhala itu dinilai sebagai agama/ keberagamaan. Rasul Muhammad di perintah Allah untuk menyampaikan kepada mereka-dansiapapun yang berbeda agama: Lakum Dinukum Wa liya Din/ bagimu agamamu dan bagiku agamaku {QS. Al-Kafirun 109: 6}. Jadi orang kafir yang mengingkari kerasulan Muhammad pun memiliki agama.
Kehadiran “Yang Di Atas” itu dirasakan oleh setiap insan tanpa mendifinisikanya. Kita dapat berkata bahwa perasaan itu lahir karena adanya dorongan untuk melakukan hubungan antara jiwa manusia dengan suatu kekuatan yang di yakini Maha Agung. Manusia merasakan bahwa kekuatan itu adalah andalanya. Masa depanya berkaitan erat dengan kekuatan itu, sedang kemaslahatanya tercapai melalui hubungan baik dengan-Nya. Oleh karena itulah, semua agama mengenal sholat, doa, dan pemujaan.[7]
F. Manfaat Beragama
Pada mulanya, kita secara umum mengenal dan memeluk agama kaena pengaruh lingkungan keluarga dan tradisi yang mapan dalam masyarakat. Setelah melalui proses belajar, bergaul, dan bertambahnya usia, seseorang tentunya akan memiliki alasan dan penjelasan rasional mengapa memeluk agama, meskipun tidak semua keyakinan dan penglaman beragama bisa dijelaskan secara logis-rasional. Hal ini dikarenakan terkadang yang menjalani agama dengan rasa (dzauq), ketimbang pertimbangan rasional.
Sesuangguhnya, jika diselami lebih dalam, hampir semua agama memiliki dua kutub fundamental yang sama. Bermula dari keyakinan adanya Tuhan Sang pencipta dan pemilik semesta, agama berujung pada keyakinan adanya keabadian jiwa setelah kematian. Sebagaiman semua agama mengenal konsep surga-neraka dengan pengertianya yang berbeda-beda,tentu saja, hal yang paling diharapkan oleh orang beragama adalah memperoleh jaminan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan lebih-lebih kebahagiaan di akhirat kelak.
Dalam masyarakat barat modern ataupun tradisional, banyak ditemukan komunitas yang meyakini adanya Tuhan dan kehidupan akhirat, namun tidak mau terikat dengan institusi dan ajaran agama yang formal. Mereka berbuat baik semata dengan mengikuti hati nuraninya.[8]
G. Persamaan antara Filsafat, Ilmu dan Agama
Agama dan filsafat sebenernya memiliki kesamaan, yaitu bahwa keduanya mengejar suatu hal yang dalam bahasa Inggris disebut Ultimater yaitu hal-hal yang sangat penting mengenai masalah kehidupan, dan bukan suatu hal yang remeh. Orang yang memegang filsafat dan agama tentunya sama-sama menjunjung tinggi apa yang dianggapnya penting dalam kehidupan.[9]
Persamaan :
1. Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
2. Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
3. Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4. Ketiganya mempunyai metode dan sistem.Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.[10]
H. Perbedaan antara Filsafat, Ilmu dan Agama
FILSAFAT DAN ILMU
Apakah filsafat sama dengan ilmu pengetahuan? Harus kita tegaskan sejak awal bahwa keduanya tidak sama. Tetapi, yang terpenting adalah bahwa keduanya saling berhubungan.
Perbedaan filsafat dengan ilmu pengetahuan juga tampak jelas ketika berhadapan untuk melihat masalah-masalah kenyataan yang bersifat praktis. Ilmu pengetahuan bersifat binformasional dan analitis untuk bidang-bidang tertentu, tetapi filsafat tidak sekedar memberikan informasi dari kehidupan hanya menjadi satu bagian saja yang harus dikaitkan dengan pengetahuan lainnya.
Jadi, bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah anak dari filsafat. Filsafat disebut sebagai “ibu dari ilmu pengetahuan” (mother of science). Dilihat dari sejarahnya, pengetahuan manusia dimulai dengan filsafat, ketika filsafat adalah kegiatan untuk menjelaskan gejala-gejala kehidupan yang belum terpecah-pecah menjadi berbagai (bidang)
ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi, fisika kimia, biologi,psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu komunikasi,ilmu bahasa, dan lain-lain.
Jadi, ilmu berkaitan dengan lapangan yang terbatas, sedangkan filsafat mencoba menghubungkan diri dengan berbagai pengalaman manusia untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih utuh dan lengkap. Perbedaan antara ilmu dan filsafat bisa terangkum dalam tabel ini.
ILMU

FILSAFAT
Anak filsafat

Induk ilmu

Objeknya terbatas (bidangnya saja)

Filsafat memiliki objek lebih luas, sifatnya universal
Deskriptif dan analitis, memeriksa semua gejala melalui unsur terkecilnya untuk memperoleh gambaran senyatanya menurut bagian-bagiannya

Sinoptik, memandang dunia dan alam semesta sebagai keseluruhan untuk dapat menerangkannya, menafsirkannya, dan memahaminya secara utuh.

Menekankan fakta-fakta untuk melukiskan objeknya, netral, dan mengabstrakkan faktor keinginan dan penilaian manusia

Bukan hanya menekankan keadaan sebenarnya dari objek, melainkan juga bagaimana seharusnya objek itu. Manusia dan nilai merupakan faktor penting

Memulai sesuatu dengan menggunakan asumsi-asumsi

Memeriksa dan meragukan segala asumsi-asumsi

Menggunnakan metode eksperimen yang terkontrol dengan cara kerja dan sifat terpenting, menguji sesuatu dengan menggunakan indra manusia

Menggunakan semua penemuan ilmu pengetahuan, menguji sesuatu berdasarkan pengalaman dengan menggunakan pikiran.[11]

FILSAFAT DAN AGAMA
Filsafat berbeda dengan agama, tetapi juga ada yang menganggap agama sebagian bagian dari filsafat. Ketika kita mendefinisikan filsafat sebagai kegiatan yang menggunakan pikiran mendalam, menyeluruh, rasional, dan logis, agama tampak sebagai suatu pemikiran yang bukan hanya dangkal, melainkan juga suatu hal yang digunakan tanpa menggunakan pikiran sama sekali.
Dari titik ini agama tampak sebagai hal yang malah menentang filsafat. Pertentangan ini tampak dalam berbagai ekspresi, yang paling tampak barang kali adalah pertentangan antara orang yang berpegangan teguh pada pikiran spekulatif serta tidak rasional agama dan para filusuf yang muncul ditengah-tengah meluasnya pemikiran agama. Kita dapat melihat pertentangan semacam itu pada era munculnya era pencerahan di Eropa, ketika para agamawan memusuhi para filsul dan pemikiran moderen. Misalnya Copernicus dengan filsafatnya dan pandangannya tentang alam semesta ~ bahwa pusat tata surya adalah matahari ~ ditentang oleh para agamawan (gereja) yang memegang pandangan lama bahwa pusat tata surya adalah bumi. Pertentangan ini mengakibatkan Copernicus dibunuh.
Agama dan filsafat sebenernya memiliki kesamaan, yaitu bahwa keduanya mengejar suatu hal yang dalam bahasa Inggris disebut Ultimater yaitu hal-hal yang sangat penting mengenai masalah kehidupan, dan bukan suatu hal yang remeh. Orang yang memegang filsafat dan agama tentunya sama-sama menjungjung tinggi apa yang dianggapnya penting dalam kehidupan.
Menurut David Trueblood dalam bukunya phylosophy of religion, perbedaan antara agama dan filsafat tidak terletak pada bidang keduanya, tetapi dari cara kita menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat berarti berfikir, sedangkan agama berarti mengabdi diri. Orang yang belajar filsafat tidak saja mengetahui soal filsafat, tetapi lebih penting adalah bahwa ia dapat berfikir. Begitu juga dengan orang yang mempelajari agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, tetapi butuh untuk membiasakan dirinya dengan hidup secara agama.
William Temple mengatakan, “Filsafat itu menuntut pengetahuan untuk beribadat. Pokok dari bukan pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi hubungan antara manusia dan Tuhan.[12]
FILSAFAT
AGAMA
Filsafat berarti berfikir, jadi yang pentingialah ia dapat berfikir
Agama berarti mengabdi diri, jadi yang penting ialah hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu
Menurut William Tample, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami
Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat yang terutama merupakan hubungan manusia dengan Tuhan
C.S. Lewis membedakan “enjoymen” dan “contemplation”, misalnya laki-laki mencintai perempuan. Rasa cinta
Agama dapat dikiaskan dengan enjoymen atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdia (dedication) atau contentmen.
daisebut enjoymen, sedangkan memikirkan rasa cintannya disebut contemplation, yaitu pikiran sipecinta tentang rasa cintanya itu
Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang diingin dan tenang
Agama banyak berhubungan dengan hati
Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya
Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya
Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain, biasanya bersikap lunak
Agama oleh pemeluk-pemeluknya, akan diperhatikan dengan habis-habisan sebab mereka telah terikat dan mengabdikan diri
Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya, sering mengeruhkan pikiran pemeluknya
Agama disamping memenuhi pemeluknya dengan sangat dan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya. Filsafat penting dalam mempelajari agama
Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen walaupun argumennya sendiri
Perbedaan :
1. Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita). Sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
2. Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
3. Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error.
Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.
4. Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
5 Filsafat memberikan penjelasan yang terakhar, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
6. Filsafat dan ilmu bersumber pada kekuatan akal, sedangkan agama bersumber pada wahyu.
7. Filsafat didahului oleh keraguan, ilmu didahului oleh keingintahuan, sedangkan agama diawali oleh keyakinan.[13]
I. Interkoneksi atau Relasi antara Filsafat, Ilmu, dan Agama
Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara ketiganya, akan tetapi kita akan melihat apakah ketiganya dapat hidup berdampingan secara damai. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu.
Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari
kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.[14]
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia. Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat".
Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.[15]
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi
masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.[16]
Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama. Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir.
Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah. Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya. Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-
filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat.[17]
Filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Kemudian yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan: Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Filsafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.[18]
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandangan yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah. Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena,semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.[19]










BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun antara filsafat, ilmu, dan agama memiliki perbedaan, tetapi ada titik persamaanya yaitu ketiganya mencari sebuah kebenaran dan memberikan sebuah jawaban bagi permasalahan-permasalahan kehidupan. Sehingga antara filsafat, ilmu dan agama memiliki relevansi sebagai berikut:
1. Filsafat, ilmu, dan agama sama-sama mencari kebenaran. Sebagai contoh pengetahuan tentang manusia.
2. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Contoh tentang bayi tabung.
3. Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.
Dengan demikian antara filsafat, ilmu dan agama tidak ada pertentangan jika didudukkan dalam proporsi dan bidangnya masing-masing.


[1] Ardian husaini, filsafat ilmu perspektif barat, Gema insani Jakrta 2013, hlm: xx

[2] Hanafixart.blogspot.co.id/2014/11/filsafat-ilmu-dan-agama-pengertian.html?m=1
[3] Ardian husaini, filsafat ilmu perspektif barat, Gema insani Jakrta 2013, hlm: 32

[4] Zaprulkhan, M.Si., filsafat umum dalam pendekatan tematik, PT Raja Grafindo Jakarta, hlm: 3-4
[5] Louis o. katttsoff, pengantar filsafat, Tiara Wacana Yogya 2004, hlm: 3

[6] Zaprulkhan, M.Si., filsafat umum dalam pendekatan tematik, PT Raja Grafindo Jakarta, hlm: 25-34

[7] Komaruddin hidayat, agama mempunyai seribu nyawa, noura books, hlm: v-vii.

[8] Komaruddin hidayat, agama mempunyai seribu nyawa, noura books, hlm: 3-8.
[9] A. Susanto, Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam dimensi, 2011, Jakarta, hal. 127
[10] Ibid. Hal. 128

[11] Endang Saifuddin Anshari, ilmu, filsafat, & agama,1979,Jakarta, Bulan Bintang, hal: 60
[12] Drs. Sidi Gazalba, sistematika filsafat , Jakarta: N.V. Bulan Bintang, 1981, hal:132

[13] Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan , Jakarta: Rineka Cipta,1997, hal: 92-94
[14] Drs. Inu Kencana Syafiie, filsafat kehidupan, Jakarta: Bumi Aksara,1995, hal: 152-153

[15] Ibid, Hal:154
[16] Drs. Sidi Gazalba, sistematika filsafat, Jakarta: N.V. Bulan Bintang, 1981 hal:214

[17] Ibid, hal:215-216

[18] Drs. Inu Kencana Syafiie, filsafat kehidupan, Jakarta: Bumi Aksara,1995 hal:83
[19] Achmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1990, hal: 22-23


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir