filsafat Yunani (perkembangan dan hubungan nya dengan agama, seni, dan ilmu)


Daftar isi

Kata Pengantar...............................................................................................................................2
Daftar Isi........................................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan.........................................................................................................................4
Bab II Pembahasan
A. Kelahiran filsafat Yunani. …...................………………………..............................................5
B. Antara Mytos dan logos  ...........................................................................................................7
C. Hubungan filsafat dengan agama, ilmu dan seni …………….................................................10
1. Filsafat dan Agama
2. Filsafat dan Ilmu
3. Filsafat dan seni
Bab III Penutup
A. Kesimpulan.............................................................................................................................19
B. Saran........................................................................................................................................19
DaftarPustaka..............................................................................................................................20






BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah telah mencatat bahwa tanah kelahiran dan  perkembangan filsafat adalah Yunani. Lahirnya filsafat di Yunani merupakan hal yang benar-benar menakjubkan, karena tidak ada jawaban yang benar-benar memuaskan untuk menjelaskannya. Seperti bangsa-bangsa lainnya Yunani sangat kaya dengan Mitos-mitos yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, akan tetapi di bandingkan bangsa lainnya, bangsa Yunani mampu merubah mitos-mitos itu   menjadi satu rangkaian yang sistematis. Kemampuan itulah yang menandakan bahwa bangsa Yunani telah mampu menggeser peranan mitos ke arah logos, walaupu pada kenyataannya seluruh mitologi itu tidak di tinggalkan secara keseluruhan.[1] 
Berikut ini adalah bagian-bagian filsafat Yunani dan ringkasan beberapa alirannya yang utama. Filsafat Yunani terbagi kedalam empat bagian, : 1. Thales hingga Sokrates (abad ke-7 SM hingga ke-5 SM), beriorentasi pada Kosmologi, yakni perhatian para filsuf adalah pada terciptanya dan terbentuknya alam semesta beserta unsur-unsurnya. 2. Sokrates, Plato, Aristoteles (abad ke 5 SM dan ke 4SM) ; beriorentasi pada fsiologi-psikologi yang tidak luput dari teori-teori metafisika. 3. Sejak kematian Plato hingga timbulnya Neoplatonisme (akhir abad ke 4 SM hingga abad ke 3 SM) brorientasi pada moral, etika. 4. Neoplatonisme (dari abad ke 3 SM hingga abad ke 6 SM), berorientasi pada Religius mistis.[2]


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kelahiran filsafat Yunani
Yunani adalah negeri yang seimbang dan terbuka, yang terbentang di jantung laut Mediterania. Pemikiran Yunani berkembang ketika gelombang peperangan mereda, yaitu sekitar abad ke 12 SM. Di negeri Elea di Asia kecil antara abad ke 12 SM dan ke 8 SM, mulai tumbuh suatu peradaban yang merupakan unsur Achaea (bangsa Yunani) dan Asia.[3] Sebelum filsafat Yunani muncul, kebudayaan Yunani telah menjadi ciri khas berfikir yang filosofi, sebagaimana mitos-mitos yang berkembang di Yunani adalah bagian yang menentukan kelahiran filsafat. Oleh karena itu filsafat Yunani bukanlah semata-mata hasil ciptaan filosof, melainkan kelanjutan dari kultur Yunani sebelum masa filsafati.  
Menurut Juhaya.S. Pradja (2003 : 50-58) para filosof Yunani yang pertama tidak lahir di tanah airnya sendiri, melainkan di tanah perantauan di Asia Minor. Dahulu bangsa Yunani banyak yang menjadi perantau, karena tanah di daerahnya yang tidak subur, serta banyak teluk yang menjorok ke daratan,menjadikan tidak banyak tanah yang baik untuk tempat tinggal. Mereka yang merantau itu hidup makmur dari perniagaan dan pelayaran. Sehingga kemakmuran itu memberikan mereka kelonggaran untuk melakukan hal lain selain mencari penghidupan. Waktu luang itu mereka gunakan untuk memperkuat kemuliaan hidup dengan seni, dan mengembangkan buah fikiran (ide-ide). Itulah sebabnya, Miletos di Asia Minor kota tempat mereka merantau menjadi tempat lahirnya filosof-filosof Yunani yang pertama, seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Mereka di sebut Filosof Alam, karena tujuan filsafat mereka ialah memikirkan masalah alam besar, dari mana terjadinya alam.[4] 
Ciri pemikiran filsafat Yunani ialah adanya cara berfikir yang tidak relevan dengan realitas yang ada, atau keberadaan yang benar-benar nyata menurut pemahaman filosofis bukan eksistensi yang sesungguhnya, karena setiap realitas menyembunyikan hakikatnya yang paling hakiki. Sebagaimna adanya api yang kemudian padam. Lalu, orang mencari kemana perginya api, apakah berubah menjadi benda lain atau bersembunyi di dalam benda lain sehingga gesekan besi dapat mengeluarkan api, bahkan gesekan batu dan kayu kering ?. oleh karena itu, hakikat api yang sesungguhnya bukanlah realitas yang biasa terlihat seperti awan, melainkan terletak di balik keberadaanya yang dapat berubah-ubah dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Cara berfikir demikianlah yang di pandang sebagai ciri filsafat yang kemudian di sebut sebagai “ketidakselarasan” antara logika dan realitas.
Pada zaman Yunani kuno terdapat tiga priode masa sejarah filsafat, yaitu masa awal, masa keemasan, dan masa Helenitas dan Romawi.
pertama : Masa awal filsafat Yunani kuno di tandai dengan tercatatnya tiga nama filosof yang berasal dari daerah Miletos, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Selain ketiga nama tersebut beberapa nama dari daerah lain, seperti : Herakleitos, dari Ephesos. Phitagoras di Italia selatan. Peminides dari Elea. Dan Demokritos, dari Abdera. Pemikiran Thales di tullis oleh murid-muridnya, yaitu Anaximandros dan Anaximenes. Perhatiannya adalah pada alam dan kejadian alamiah terutama dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi, namun mereka meyakini bahwa perubahan-perubahan itu terdapat suatu asas yang berbeda. Thales menyebut asas air , Anaximandros menyebutnya dengan asas yang tidak terbatas (to apeiron), dan Anaximenes menyebutnya dengan asas udara.
 Selanjutnya, Herakleitos berpendapat bahwa asas itu adalah api. Menurut pendapatnya, api adalah lambang perubahan. Ia berpendapat bahwa di dunia ini tidak ada suatu apa pun yang tetap, definitif, dan sempurna.
Pemikiran Phytagoras berbeda dengan flosof pada masanya, kecuali dengan Anaximandros. Ia tidak mengannggap perlunya asas pertama yang dapat di tentukan dengan pengenalan indra karena segala hal dapat di terangkan atas dasar bilangan. Ia mengemukakan tangga nada yang sepadan dengan perbandingan antar bilangan. Oleh karena itu Phytagoras terkenal dengan pengembang ilmu pasti dengan mengemukakan dalil Phytagorasnya (teori Phytagoras).
Perminides dari Elea pada masa awal Filsafat yunani kuno mengemukakan “metafisika” yaitu bagian filsafat yang mempersoalkan “ada” (being) yang berkembang menjadi “yang ada sejauh ada” (being being as such). Parmedines juga berpendapat “yang ada, ada, dan yang tidak ada, tidak ada” tidak ada mempunyai arti bahwa prulalitas itu tidak ada.
Filosof berikutnya kembali pada kesaksian indra, antara lain Demokritos bersama Leucippus membangun dan mengajukan teori yang di kenal dengan istilah atomisme. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang yang ada terdiri atas bagian-bagian kecil yang tidak dapat di bagi lagi (atom-atom, atomos). Meskipun bentuk atom itu kecil yang tidak dapat di lihat oleh mata, ia selalu bergerak sehingga membentuk realitas yang tampak pada indra manusia.
Kedua : Masa keemasan Yunani kuno di tandai oleh sejumlah nama besar, seperti Prikles yang tinggal di Athena, yang menjadi pusat dari penganut berbagai aliran filsafat yang ada pada masa itu. Pada masa itu pula pemikiran sofistik, yang penganutnya di sebut kaum Sofis, yaitu kaum yang pandai berpidato yang tidak lagi menaruh perhatian pada alam, tetapi menjadikan manusia sebagai pusat studinya. Tokohnya adalah Protagoros. Pemahamanya memperlihatkan sifat-sifat relatifisme (kebenran yang relatif), tidak pada kebenaran yang tetap dan defenitif. Benar, baik, dan bagus selau berhubungan dengan manusia, tidak mandiri sebagai kebenaran yang mutlak.
Pemikir-pemikir seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Hipocrates, Pyitagoras, Democritos,, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Warisan mereka dalam bidang ilmu dan filsafat merupakan penambahan baru yang tidak tertandingi dalam khazanah ilmu pengetahuan.[5]
Ketiga : Fase Helenisme, adalah fse ketika pemikiran filsafat hanysa di miliki oleh orang-orang Yunani, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-5 SM sampai ahir abad ke-4 SM. Adapun fase Hellesnisme Romawi iyalah fase yang datang sesudah fase Helenisme, dan meliputi semua pemikiran filsafat yang ada pada masa kerajaan Romawi, yang ikut serta membicarakan peninggalan pikiran Yunani, antara lain pemikiran Romawi di Barat dan pemikiran di Timur yang ada di Mesir dan Siria. Fase ini di mulai dari ahir abad ke-4 SM sampai pertengahan abad ke-6 M di Bizantium dan Roma, atau sampai pertengahan abad ke-7 M di Iskandariah, hingga pada masa penerjemahan di dumia Arab. [6]
B.     Antara Mitos dan Logos
Mitologi merupakan faktor yang mendahului filsafat dan "seolah-olah" mempersiapkan ke arah timbulnya filsafat. Memang benar, filsuf-filsuf pertama menerima obyek penyelidikannya dari mitologi, yaitu alam semesta dan kejadian-kejadian yang setiap orang dapat menyaksikan di dalamnya. Mitologi Yunani memang menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta itu, tetapi jawaban-jawaban serupa itu justru diberikan dalam bentuk mite, yang meloloskan diri dari tiap-tiap kontrol pihak rasio.[7]
Mitos atau mite adalah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah masa lalu (masa lampau), yang mengandung penafsiran tentang alam semesta serta keberadaan makhluk di dalamnya, dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos dapat mengacu kepada cerita tradisional (cerita kuno).[8] Pada umumnya, mitos menceritakan kejadian alam semesta, dunia dan para makhluk penghuninya, bentuk topografi, kisah para mahkluk supranatural, dan sebagainya. Mitos bisa muncul dari catatan peristiwa sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan.
Sedangkan logos, termasuk konsep salah satu kunci dalam agama Yahudi. Kata logos dalam bahasa Ibrani, davar, sangat erat hubungannya dengan penciptaan, kristologisoteriologi, dan teologi. Kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sabda, atau "buah pikiran" yang diungkapkan dengan perkataan, pertimbangan nalar, atau arti. Dalam bahasa Ibrani, davar berarti hal yang berada di belakang, yang berarti firman Tuhan, yang dianggap sejajar dengan sofia (hikmat), yaitu perantara (wasilah) Tuhan dengan makhluk ciptaannya.[9]
Sekitar abad ke-6 S.M. sudah mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan. Sejak saat itu manusia mulai mencari jawaban-jawaban rasional tentang masalah-masalah yang diajukan oleh alam semesta. Logos (akal budi, rasio) mengganti mitos (mythos), dengan begitulah filsafat dilahirkan. Bisa dikatakan bahwa kata "logos" mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan kata "rasio". Logos berarti baik kata (tuturan, bahasa) maupun juga rasio.
Meskipun filsafat lahir pada saat rasio mengalahkan mite, tetapi tidak berarti seluruh mitologi ditinggalkan begitu saja secara mendadak. Sebenarnya proses itu berlangsung secara berangsur-angsur saja. Seluruh filsafat Yunani dapat dianggap sebagai suatu pergumulan yang panjang antara mitos dan logos. Dan justru sebenarnya tidak sulit untuk menunjukkan pengaruh mitlogi atas filsuf-filsuf yang pertama. Namun demikian, pada abad ke-6 S.M., di negeri Yunani telah terjadi sesuatu yang benar-benar baru.[10]
Filsuf-filsuf pertama memandang dunia atas cara yang belum pernah dipraktekkan oleh orang lain. Mereka tidak lagi mencari keterangan tentang alam semesta dalam peristiwa-peristiwa mitis pada awal mula yang harus dipercaya begitu saja, sebab belum ada kemungkinan untuk membuktikan kebenarannya. Mereka tidak membatasi diri atas mite-mite yang telah diturunkan dalam tradisi, setinggi-tingginya ditambah dalam imajinasi puitis, seperti pada HESIODOS (750 S.M.). Mereka sudah mulai berpikir sendiri. Di belakang kejadian-kejadian yang dapat diamati oleh umum, mereka mencari suatu keterangan yang memungkinkan untuk dapat mengerti tentang kejadian-kejadian itu.
Tidak dapat disangkal lagi, keterangan-keterangan semacam itu bagi telinga kita sekarang ini sering kali agak "naif" kedengarannya. Tetapi yang terpenting adalah cara rasional dan logis yang mereka gunakan untuk mendekati problem-probem yang ditemui dalam alam semesta. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah pelangi (rainbow). Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi adalah seorang "Dewi" yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewa-dewa lain.[11] Tanggapan semacam ini dapat kita baca mengenai HOMEROS (850 S.M.), misalnya. Tetapi XENOPHANES (570-480 S.M.), salah seorang di antara filsuf-filsuf pertama, mengatakan bahwa pelangi merupakan suatu awan.
Kira-kira satu abad sesudahnya, ANAXAGORAS (499-428 S.M.) sudah mengerti bahwa pelangi disebabkan oleh pantulan matahari dalam awan-awan. Dan justru karena cara pendekatan seperti itulah yang bersifat rasional, dan dapat dibuktikan oleh siapa saja, terbukalah kemungkinan untuk mendebatkan hasil-hasilnya secara leluasa dan untuk umum. Satu jawaban akan menampilkan pertanyaan-pertanyaan lain, dan kritik atas suatu keterangan akan menuntut timbulnya keterangan lain, sehingga dalam suasana rasional ini perkembangan dan kemajuan ilmiah menjadi sangat mungkin.
Kalau kita katakan bahwa filsafat lahir karena logos telah mengatakan mitos, berarti sekali lagi harus kita tekankan bahwa kata filsafat di sini meliputi filsafat maupun ilmu pengetahuan, sebagaimana keduanya sekarang dibedakan dalam terminologi modern. Bagi orang Yunani, filsafat merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya. Baru berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan, berbagai ilmu satu demi satu melepaskan diri dari filsafat, supaya memperoleh otonominya.
Dari sebab itu, filsuf-filsuf selanjutnya seperti RENE DESCRATES alias CARTESIUS (1596-1650), IMMANUEL KANT (1724-1804), GEORGE W. F. HEGEL (1770-1831), EDMUND HUSSERL (1859-1938), dan ilmuwan-ilmuwan lainnya seperti ISAAC NEWTON (1642-1727), MAX PLANCK (-), ALBERT EINSTEIN(1879-1955) mempunyai leluhur-leluhur yang sama di negeri Yunani. Bangsa Yunani mendapat kehormatan yang bukan kecil, bahwa merekalah yang "menelorkan" cara berpikir ilmiah. Kata J. Burnet"it is an adequate description of science to say that it is thinking about the world in the Greek way....". Adalah suatu penggambaran tepat mengenai ilmu pengetahuan, bila dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah berpikir tentang dunia dengan gaya Yunani.
Dengan demikian mereka termasuk pendasar pertama kultur barat, bahkan kultur sedunia, sebab cara pendekatan ilmiah semakin menjadi unsur hakiki dalam suatu kultur universal yang merangkun seluruh kebudayaan di seluruh dunia.
C. Hubungan Filsafat dengan Agama, Ilmu dan Seni
1)      Filsafat dan Agama
a.       Pengertian Agama
Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta berasal dari kata a dan gama. A berarti ‘tidak’ dan ‘gama’ berarti kacau. Jadi, kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.[12]
Sementara menurut Jhon R. Bennet, sebagaimana yang dikutip oleh Endang S. anshari, agama, religi, dan din adalah satu system credo (tata-keimanan atau tata-keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan satu system ritus (tata-peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak itu serta system norma (tata-kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud.[13]
Agama, religi, dan din masing-masing mempunyai arti etimologis sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri. Akan tetapi dalam arti teknis terminologis istilah ketiga istilah itu mempunyai inti makna yang sama.[14] 
     Pengertian agama di atas menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari keridhaan Tuhan. Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa , yang mengatur seluruh alam beserta isinya.
     Dalam penjelasan selanjutnya agama dibedakan dengan agama wahyu dan agama bukan wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada keesaan Tuhan, ada nabi yang bertugas menyampaikan ajaran kepada manusia dan ada kitab suci yang dijadikan rujukan dan tuntutan tentang baik dan buruk. Sedangkan pada agama yang bukan wahyu tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan, dan tidak ada nabi.[15]

b.      Persamaan dan Perbedaan Filsafat dan Agama
      Yang paling pokok dari persamaan dari agama dan filsafat adalah sama-sama bertujuan untuk mencari kebenaran. Filsafat dengan usahanya sendiri berusaha menemukan hakikat sesuatu baik tentang alam, manusia, dan Tuhan. Begitu juga dengan agama, dengan karakteristiknya sendiri agama juga memberikan jawaban atas segala persoalan asasi perihal alam, manusia dan Tuhan. Filsafat dan agama juga sama-sama mengkaji tentang kebajikan, baik dan buruk, dan lain-lain.[16] Agama yang dimaksud disini adalah agama samawi.
      Perbedaan antara agama dan filsafat terletak pada dasar dan metode dalam menghampiri kebenaran tersebut. Agama dalam dalam menghampiri kebenaran dengan bersumber atau berdasarkan wahyu dari Tuhan yang tertuang dalam kitab suci. Sedangkan filsafat berdasarkan pengembaraan akal budi atau rasio manusia secara radikal dan integral, dengan tidak mau terikat oleh apapun juga, kecuali oleh “tangannya” sendiri, yaitu logika.[17]
      Kebenaran yang diperoleh filsafat adalah kebenaran nisbi (relative), karena sekedar berdasarkan akal budi (ra’yu, reason, rede, verstand, vernunft) manusia, sedangkan manusia sendiri adalah institute atau “instansi” yang tidak sempurna. Kebenaran agama adalah kebenaran mutlak (absolut) dan sempurna, karena agama berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Besar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna, yaitu allah SWT.[18]
      Agama mendahulukan kepercayaan daripada pemikiran, sedangkan filsafat mempercayakan sepenuhnya kekuatan kepada pemikiran.[19]
c.       Hubungan Agama dan Filsafat
      Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu terbatas, terutama oleh subjeknya (sang penyidik), oleh objeknya (baik objek formalnya maupun objek materialnya) dan juga oleh metodologinya. Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat. Jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan juga alternative tentang suatu masalah asasi yang sama terdapat pelbagai jawaban filsafat (para filosof) sasuai dan sejalan dengan titik tolak sang ahli filsafat itu. Agama memberi jawaban tentang banyak soal asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu yang dipertanyakan, namun tidak terjawab secara bulat oleh filsafat.[20]
      Akan tetapi perlu ditegaskan di sini juga tidak semua persoalan manusia terdapat jawabanya dalam agama. Persoalan tersebut misalnya adalah soal-soal yang kecil yang tidak prinsipil, persoalan-persoalan yang tidak secara jelas tersurat dalam al-Qur’an (dan as-Sunnah) yang diserahkan kepada ijtihad,dan persoalan yang tetap merupakan misteri dikabuti rahasia yang tiada yang tidak terjangkau akal budi dan fakultas-fakultas rohaniah manusia lainya karena keterbatsanya, yang merupakan ilmu (dengan sifat mutlak) Allah swt, yang karena bijaksananya, tidak dilimpahkan kepada manusia, seperti hakikat ruh dan lain sebagainya.[21]
      Pada prinsipnya antara ilmu, filsafat dan agama mempunyai hubungan yang erat dan saling terikat antara satu dengan lainya. Dimana ketiganya memiliki kekuatan daya gerak dan refleksi yang berasal dari manusia. Dalam diri manusia terdapat daya yang menggerakkan ilmu, filsafat dan agama yaitu mlalui akal pikir, rasa dan keyakinan.[22]
      Akal pikiran manusia sebagai daya gerak dan berkembangnya ilmu dan filsafat. Sedangkan keyakinan menjadi daya gerak agama. Ilmu diperoleh melalui akal pikiran manusia dari pengalaman (empiris) dan indra (riset). Filsafat mendasarkan pada otoritas akal murni secara bebas, sedangkan agama mendasarkan diri pada otoritas wahyu.
      Selain itu, masih dalam kaitan antara ilmu, filsafat dan agama, bahwa filsafat mengkaji tentang kebijaksanaan. Manusia berusaha untuk mencari kebijaksanaan, mencari dengan cara ilmiah tentang kebenaran. Akan tetapi manusia tidak akan sampai pada derajad bijaksana, karena hanya Tuhan sajalah yang bersifat bijaksana. Manusia hanya berusaha mencari kebijaksanaan, mencari kebenaran dengan cara yang ilmiah. Selain itu, segala aktivitas manusia yang berkenaan dengan pemahaman terhadap dunia secara keseluruhan dengan jiwa dan pikiranya merupakan bagian dari kajian filsafat. Filsafat sama halnya dengan agama, sama-sama mengkaji tentang kebijakan, tentang Tuhan, baik dan buruk dan lain-lain. Itulah sebabnya maka filsafat mempunyai hubunngan yang dekat dengan agama di satu sisi dan ilmu pengetahuan di sisi lain.[23]
      Hubungan yang lebih dekat lagi, dapat disaksikan bahwa hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal pikiran (filsafat) akan terjawab melalui wahyu atau agama. Begitu juga dengan filsafat, membahas persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan.
      Peran agama terhadap filsafat adalah meluruskan filsafat yang spekulatif kepada kebenaran yang mutlak yang pada agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama adalah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan  pemikiran yang kritis dan logis. Hal ini didukung pernyataan yang menyatakn bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan agama, malahan filsafat yang sejati itu adalah terkandung dalam agama.

2)      Filsafat dan Ilmu
Pengertian Filsafat
Pengertian Filsafat Sepintas, antara ilmu dan filsafat terlihat sama saja. Tetapi bila ditelaah lebih jauh, akan terlihat perbedaan yang nyata antara keduanya. Namun demikian, tentu ada sisi-sisi persamaan dan juga perbedaan-perbedaan. “Walaupun filsafat muncul sebagai salah satu ilmu pengetahuan, akan tetapi ia mempunyai struktur tersendiri dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai ilmu pengetahuan”.[24] Tentu saja sedikit banyak bagi setiap ilmu pengetahuan berlaku, bahwa ilmu itu mempunyai struktur dan karakteristik tersendiri. Studi tentang ilmu kedokteran adalah sesuatu yang berbeda sekali dengan sejarah kesenian, dan ilmu pasti/matematika sesuatu yang berlainan sekali dengan ilmu pendidikan. Akan tetapi untuk filsafat, hal yang “tersendiri” ini berlaku dengan cara yang dasarnya lain.[25] Ini menunjukkan bahwa filsafat memiliki akar lebih dalam daripada ilmu pengetahuan. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa filsafat adalah dasar-dasar ilmu pengetahuan itu sendiri. Henrich Rombach, menyebutkan satu persatu sejumlah titik perbedaan antara ilmu dan filsafat. Pertama-tama, melalui filsafat kita dapat menanyakan mengenai sifat dan eksistensi dari suatu ilmu dan pengetahuan, akan tetapi “tidak ada suatu bidang di luar filsafat, yang kiranya dapat mengajukan pertanyaan yang menyangkut filsafat secara keseluruhan”. Fakta ini saja, secara fundamental sudah membedakan filsafat dari setiap ilmu pengetahuan yang lain. Bagi Plato, objek filsafat adalah penemuan kenyataan atau kebenaran mutlak, lewat dialektika.[26] Barangkali tempat tersendiri yang diduduki filsafat, lebih jelas lagi terlihat dari hal yang berikut. Begitu suatu ilmu pengetahuan menyadari tujuannya sendiri dan batas-batas ruang lingkup kerjanya, ilmu itu menunjukkan kemajuan dan perkembangan yang cukup merata dan logis. Setiap ilmu pengetahuan –keturunan demi keturunan – terus membangun berdasarkan asasnya semula dan dengan demikian berkembang secara berkesinambungan. Bahkan krisis-krisis dari apa yang dinamakan penelitian dasar pun hanya menyebabkan kerusuhan saja – bagaimanapun dahsyatnya kadang-kadang kerusuhan itu akan tetapi tidak ada yang musnah. Akan tetapi mengenai filsafat tidak ada “pembangunan yang logis”. Filsafat tidak mengenal pembangunan yang tenang dan merata, yang tadinya merupakan persoalan. Filsafat pasti mengenal sesuatu seperti perkembangan, dan mempunyai kontinyuitasnya sendiri. Jika tidak demikian halnya, bagaimana orang dapat berbicara tentang suatu “sejarah filsafat”? akan tetapi ini semua secara fundamental berbeda dengan pada ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Pengertian Ilmu J. Arthur Thompson dalam bukunya ”An Introduction to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah deskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiris yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah-istilah yang sederhana mungkin.6 Secara bahasa, Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengetahui, memahami dan mengerti benar-benar.
>. Pengertian Ilmu
Dalam bahasa Inggris disebut Science, dari bahasa Latin yang berasal dari kata Scientia (pengetahuan) atau Scire (mengetahui). Sedangkan dalam bahasa Yunani adalah Episteme (pengetahuan). Dalam kamus Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang tersusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu.7 Dalam Encyclopedia Americana, ilmu adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis. Paul Freedman, dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan ilmu sebagai: bentuk aktifitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. 8 S.Ornby mengartikan ilmu sebagai susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta. Poincare, menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses untuk memperoleh suatu ilmu adalah dengan melalui pendekatan filsafat. 9 Menurut . Slamet Ibrahim. Pada zaman Plato sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh dikatakan tidak ada. Seorang filosof (ahli filsafat) pasti menguasai semua ilmu pengetahuan. Perkembangan daya berpikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praktis dikalahkan oleh perkembangan ilmu yang didukung oleh teknologi. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Sehingga ada anggapan filsafat tidak dibutuhkan lagi. Filsafat kurang membumi sedangkan ilmu lebih bermanfaat dan lebih praktis. Padahal filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan universal dan hal ini tidak dapat diperoleh dalam ilmu. Sehingga filsafat dapat ditempatkan pada posisi dimana pemikiran manusia tidak mungkin dapat dijangkau oleh ilmu.
>. Hubungan Filsafat dengan Ilmu
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektual manusia Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, di samping di kalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, demikian juga di kalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat.[27] Adapun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berpikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berpikiran terbuka serta sangat konsen pada kebenaran, di samping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan sistematis. Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukumhukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal- hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuantemuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni. Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berpikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda. Dengan demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi Gazalba, Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau eksperimen); batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang di luar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”.[28] Sementara itu Oemar Amin Hoesin mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat.[29] Dari sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajiannya sendiri-sendiri.
Berikut ini kami paparkan secara ringkas perbedaan antara filsafat dan ilmu:
Ilmu
Filsafat
  1. Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
  2. Obyek penelitian yang terbatas
  3. Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu.
4.      Bertugas memberikan jawaban.
a.       Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
b.      Keseluruhan yang ada
  1. Menilai obyek renungan dengan suatu makna, misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb.
d.      Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu

3)      Filsafat dan Seni
a.       Pengertian Seni
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata seni memiliki banyak arti, ada empat makna yang berbeda yang disebutkan pada KBBI. Seni menurut KBBI ialah keahllian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi keindahannya).
Pada Plato dan Rousseau, seni adalah hasil peniruan alam dengan segala seginya. Clive Bell, seorang filsuf seni klasik modern, seni adalah significant form (bentuk bermakna), menurutnya, semua system estetik dimulai dari pengalaman pribadi subjek tentang terjadinya emosi yang khas, ketika seseorang melihat karya seni (seni lukis), dalam dirinya akan timbul suatu perasaan atau emosi yang khas, yang tidak sama dengan dengan perasaan sehari-hari kita seperti marah, sedih, gembira, mulia, dll. Perasaan khas tersebut disebut emosi estetik yang muncul dari penangkapan atas struktur estetika karya seni. Leo Tolstoi (1828-1910) Sastrawan Rusia terkemuka,

b.      Hubungan antara Seni dan Filsafat
Filsafat Seni merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan teori tentang penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni. Seni sangat erat kaitannya dengan filsafat keindahan (estetika). Filsafat sendiri adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Jadi, dalam filsafat objeknya tidak membatasi diri. Dalam filsafat membahas objeknya untuk sampai kedalamannya, sampai keradikal dan totalitas.
Cabang dari filsafat adalah estetika. Estetika membahas tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman dan keindahan. Dalam hal ini apa yang disebut seni itu baru ‘ada’ kalau tejadi dialog saling memberi dan menerima antara subjek seni (penanggap) dengan subjek seni (benda seni). Inilah yang disebut ‘relasi seni’. Dalam istilah lain dikatakan kalau terjadi ‘jodoh’ antara penanggap dan benda seni. Seni itu dikatakan indah tergantung dari penanggap seni. Tidak semua orang menganggap seni yang ia lihat itu selalu indah.
Karena karya seni tidak selalu “indah” seperti dipersoalkan dalam estetika, maka lahirlah apa yang dinamakan filsafat seni untuk menjawab tentang apa hakekat seni itu. Perbedaan estetika dan filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja. Estetika mempersoalkan hakekat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni mempersoalkan hanya karya atau benda seni atau artefak yang disebut seni.



BAB III
KESIMPULAN
A.    KESIMPULAN
Perkembangan filsafat Yunani kuno terbagi pada tiga bagian yaitu, masa awal, masa keemasan, dan masa Helenisme.
Masa awal : Masa awal filsafat Yunani kuno di tandai dengan tercatatnya tiga nama filosof yang berasal dari daerah Miletos, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes.
Masa keemasan : Masa keemasan Yunani kuno di tandai oleh sejumlah nama besar, seperti Prikles yang tinggal di Athena, yang menjadi pusat dari penganut berbagai aliran filsafat yang ada pada masa itu.
Fase Helenisme : Fase Helenisme, adalah fse ketika pemikiran filsafat hanysa di miliki oleh orang-orang Yunani, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-5 SM sampai ahir abad ke-4 SM
Dalam perkembangan nya filsafat Yunani tidak terlepasa dari berbagai Mitos, yang kemudian berkembang jadi logos yang mendasari pemikiran para filsuf pada waktu itu. Latar belakang pemikirannya yaitu tentang alam dan asal usulnya, yang kemudian melahirkan banyak teori. Sehingga berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian tidak hanya membahsa tentang alam saja, mealinkan berbagai hal, seperto : ilmu agama, seni, dan ilmu pengetahuan.
B.     Saran
Sebagai manusia tidak luput dari kesalahan, kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, dan masih banyak terjadi kesalah di sana-sini, untuk itu dengan tangan terbuka kami sangat mengharapkan masukan dan kritikan dari saudara-saudara sekalian yang membaca makalah ini.


Daftara pustaka
Wahyu Murtiningsih, 2014. para filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, IRCiSoD,Yogyakarka.

Hanna al-Fakruhi dan Khalil al-Jurr, 2014. Riwayat filsafa Arab jilid I, Dar al-jil, Beirut.

Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.si, 2008. Filsafat umum dari Mitologi sampai Teofilosofi,. pustaka setia, Bandung.
Kees Bertens, 1989. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles, Kanisius, Yogyakarta.
Wikipedia: Ensiklopedia Bebas.

A .susanto, 2011. Filsafat Ilmu, Bumi aksara, Jakarta.

Endang saifudin, 1993. Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam Dan Umumnya, Raja grafindo persada, Jakarta.

Rombac, H. 1965. De Actualiteit van de wijsbebegeerte-Amsterdam, Dalam Gerard Beekman.

 Filosofie, Filosofen, Filosoferen, terj. R.A. Rivai, Filsafat: para Filosof Berfilsafat, 1984.
Erlangga, Jakarta.

Gerard Beekman, Filosofie, hlm. 76.

Lorens Bagus, Rumus Filsafat, hlm. 244
Harold H titus, 1959.  Living Issues ini Philosophy, (New York, Amerika Book,). Yang dikutip oleh Uhar Suharsaputra, dalam Filsafat Ilmu, Jilid I, (Jakarta: Universitas Kuningan, 2004).

Sidi Gazalba, 1976. Sistematika Fisafat (Jilid 1-4), Bulan Bintang, Jakarta

Oemar Amin Hoesen,1964. Filsafat Ilmu, (: Bulan Bintang,  Jakarta.


[1] para filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, Wahyu Murtiningsih,IRCiSoD,Yogyakarka, 2014. Pada pengantar ha l5-6
[2] Riwayat filsafa Arab jilid I, Hanna al-Fakruhi dan Khalil al-Jurr, Dar al-jil, Beirut 2014, hal 35.
[3] Riwayat filsafa Arab jilid I, Hanna al-Fakruhi dan Khalil al-Jurr, Dar al-jil, Beirut 2014, hal 35.
[4] Filsafat umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.si. pustaka setia, Bandung, 2008,
[5] Filsafat umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.si. pustaka setia, Bandung, 2008,
[6] Filsafat umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.si. pustaka setia, Bandung, 2008,
[7] Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 18.
[8] Wikipedia: Ensiklopedia Bebas.
[9] Ibid.
[10] Bertens, op. cit., hlm. 17
[11] Bertens, loc. cit.
[12] A. susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: bumi aksara, 2011), hlm 125.
[13] Endang saifudin a., Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam Dan Umumnya, cet.4,  (Jakarta: raja grafindo persada, 1993) hlm 9.
[14] Ibid, 9.
[15] A. Susant, A. susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: bumi aksara, 2011 125.
[16] A. Surant A. susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: bumi aksara, 2011.,133.
[17] . Endang saifudin a., Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam Dan Umumnya, cet.4,  (Jakarta: raja grafindo persada, 1993), 115.
[18] Ibid,116.
[19] A. Surant, Filsafat Ilmu, (Jakarta: bumi aksara, 2011, 126.
[20] Endang saifudin a., Ilmu Filsafat………, 174.
[21] Ibid, 175.
[22] A. susant A. Filsafat Ilmu, (Jakarta: bumi aksara, 2011, 132.
[23] A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: bumi aksara, 2011, 133.
[24] Rombac, H. De Actualiteit van de wijsbebegeerte-Amsterdam, 1965, dalam Gerard Beekman, Filosofie, Filosofen, Filosoferen, terj. R.A. Rivai, Filsafat: para Filosof Berfilsafat, (Jakarta: Erlangga 1984), hlm. 76.
[25] Gerard Beekman, Filosofie, hlm. 76.
[26] Lorens Bagus, Rumus Filsafat, hlm. 244.
[27] Harold H titus, Living Issues ini Philosophy, (New York, Amerika Book, 1959). Yang dikutip oleh Uhar Suharsaputra, dalam Filsafat Ilmu, Jilid I, (Jakarta: Universitas Kuningan, 2004), hlm. 88.
[28] Sidi Gazalba, Sistematika Fisafat (Jilid 1-4), (Jakarta: Bulan Bintang: 1976).
[29] Oemar Amin Hoesen, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hlm. 65.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir