Tafsir Tabiin dalam perkembangan penafsiran al-quran
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
Puja dan Puji syukur kami haturkan kepada Allah Swt karena atas berkat rahmat
dan hidayah-Nya-lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah Metode Tafsir dengan
tepat waktu. Shalawat serta salam mari kita curah limpahkan kepada junjungan
alam yaitu Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman
kegelapan hingga zaman terang benderang. Kami mengucapkan terima kasih banyak
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan serta penyusunan makalah
ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan, baik itu dalam konteks materi (isi) maupun teknis
penulisan. Kekurangan-kekurangan tersebut tidak lain disebabkan oleh kelemahan
dan keterbatasan ilmu yang kami miliki.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat
kepada kita semua, Aamin..
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... I
DAFTAR ISI................................................................................................ III
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.
Tujuan......................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A.
Pengertian
Tabi’in Sebagai Mufassir............................................................. 3
B.
Sarana-sarana
yang Membantu Tabi’in dalam Menafsirkan Ayat..................... 4
C.
Ciri-ciri
Tafsir Tabi’in dan Perbedaannya dengan Tafsir Sahabat..................... 6
BAB III PENUTUP......................................................................................... 8
DAFTAR ISI................................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tak dapat dipungkiri bahwa studi
al-Qur’an selalu berkembang sejak Al-Qur’an diturunkan hingga sekarang ini.
Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan
merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an memang tidak
pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada
umumnya ingin selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani
kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang
terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu
dan pemacu bagi perkembangan tafsir.
Maka dalam sejarah berkembangnya,
tafsir memberikan bentuk tafsir atau corak metode tafsir yang berbeda-beda,
baik itu yang dilakukan sejak masa periode klasik (masa rasullulah SAW) lalu
sampai masa periode tafsir modern atau kontoporer yang dilakukan para ulama
atau inteletual muslim. Dalam hal ini akan melihat bagaimana tafsir tabi’in
yang bisa dibilang termasuk ke dalam masa klasik (tafsir bil ma’tsur).
Sarjanawan mengatan bahwa berakhirnya tafsir priode abad pertama yaitu masa
generasi sahabat, lalu dilanjutkan abad kedua tafsir adalah periode tabi’in.
Tafsir pada masa tabi’in telah mengalami perkembangan sesuai dengan pekembangan
masalah-masalah yang muncul pada saat itu. Para mufassir ini konsentrasi pada
apa yang ada dalam Al-Qur’an, riwayat sahabat dan ijtihad atas kajian terhdap
kitabullah. Manakalah mereka tidak menemukan jawaban dari keterangan nabi atau
hadist dan sahabat, terpaksa melakukan ijtihad agar menemukan jawabannya.
Di dalam makalah ini akan dipaparkan
sedikit mengenai pengertian tabi’in sebagai mufassir, sarana-sarana, serta
persamaan dan perbedaan corak tafsir tabi’in dengan sahabat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan Tabi’in sebagai mufassir ?
2.
Apa saja
sarana-sarana yang digunakan oleh Tabi’in dalam menafsirkan ayat ?
3.
Bagaimana
ciri-ciri tafsir tabi’in ?
4.
Apa perbedaan
antara tafsir tabi’in dengan tafsir sahabat ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Tabi’in.
2.
Untuk
mengetahui sarana yang digunakan tabi’in dalam menafsirkan ayat.
3.
Untuk memahami ciri-ciri
tafsir tabi’in.
4.
Untuk
mengetahui perbedaan antara tafsir tabi’in dengan tafsir sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tabi’in Sebagai Mufassir
Menurut bahasa:
kata tabi’in merupakan jamak dari kata tâbi’i (تابعي) atau tâbi’
(تابع) yang
merupakan isim fa’il dari kata tabi’ahu (تبعه) yang bermakna “yang
berjalan dibelakangnya”. Sedangkan menurut istilah: tabi’in adalah orang yang
bertemu dengan sahabat yang muslim dan mati dalam keadaan islam. Ada juga yang
mengatakan “orang yang bersama sahabat”[1].
Dalam kitab
at-Tafsir wa al-mufassirun, adz-Dzahabi mengatakan bahwasanya para sahabat
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan bahasa mereka sendiri bahasa arab, asbab an-Nuzul, dan hal-hal yang
melingkupi turunnya al-Qur’an. Jika mereka menemukan sesuatu ayat atau
permasalahan yang sulit dipahami, mereka merujuk langsung pada Rasulullah.
Sedangkan para mufassir dikalangan tabi’in, mereka berburu kepada para sahabat
dan banyak mengambil penafsiran para sahabat, namun mereka juga berijtihad
dengan pemahaman mereka sendiri.
Sebagaimana
sebagian sahabat terkenal dalam bidang tafsir, sebagian tabi’in yang belajar
dari mereka juga terkenal dalam bidang tafsir. Mereka bertumpu pada
sumber-sumber yang ada pada masa awal, ditambah pemahaman dan ijtihad mereka.
Ini suatu keniscayaan bila para tabi’in juga menimba dengan timba mereka
sendiri didalam menafsirkan al-Qur’an, karena alasan mendesak bahwa tafsir yang
mereka riwayatkan dari Rasulullah saw. dan para sahabat belum mencangkup
seluruh ayat al-Qur’an melainkan terbatas pada ayat-ayat yang sulit dipahami
oleh orang-orang pada masanya. Dengan jawaban masyarakat dari masa Nabi saw.
kebutuhan akan tafsir sedikit demi sedikit bertambah dengan apa yang sulit
mereka pahami. Karena itu, mereka berkecimpung dalam bidang tafsir dari
kalangan tabi’in perlu menyingkap kesulitan itu, menjelaskan masalahnya, menambah
kejelasan bagi ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tingkat kebutuhan dan
pertanyaan mereka sambil berpegang teguh kepada sarana-sarana pemahaman,
penelitian, praktik-praktik berpikir dan bernalar, disamping riwayat ma’tsur
yang mereka miliki.
Adapun para
tabi’in yang terkenal dalam bidangnya adalah
murid-murid Ibnu Abbas dan murid-murid Ibnu Mas’ud. Yang meriwayatkan
tafsir dari Ibnu Abbas ialah Mujahid ibn Jabr, Atha’ ibn Abi Rahah dan Ikrimah
Maula Ibnu Abbas. Semua beliau ini dari ulama Makkah dari golongan Mawali. Yang
paling banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah Ikrimah dan yang paling
sedikit ialah Mujahid.
Semasyhur-masyhur
tabi’in yang meriwayatkan hadits tafsir dari Ibnu Mas’ud ialah Alqamah
an-Nakh’y, Masruq ibn Al-Ajda’ al-Hamdany, Ubaidah ibn Amr as-Silmany dan
Al-Aaswad ibn Yazid an-Nakh’y.
B.
Sarana-sarana
yang Membantu Tabi’in dalam Menafsirkan dan Contoh-contohnya
Menurut ustadz Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam memahami kitab Allah, para Mufassir mengacu
pada
:
a.
Al-Qur’an
b.
Riwayat Nabi SAW
c.
Penafsiran Sahabat
d.
Keterangan Ahli Kitab
e.
Ra’yu dan Ijtihad para tabi’in[2]
Tafsir yang dinukilkan dari Rasulullah dan para
sahabat tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang
semasa dengan mereka. Seiring perjalanan waktu, kesulitan dalam memahami Al-qur’an ini kian meningkat ketika
era Nabi SAW dan para sahabat kian jauh, sehingga para Tabi’in yang berkecimpung dibidang tafsir perlu untuk melengkapi kekurangan ini, lalu mereka menambahkan penafsiran sesuai tingkat kesulitan pemahaman yang ada. Setelah itu, generasi setelah tabi’in
datang, lalu mereka menyempurnakan penafsiran al-Qur’an secara bertahap dengan mengacu
pada pengetahuan tentang bahasa arab yang mereka kuasai,
kisah-kisah shahih yang terjadi di era turunnya al-Qur’an dan sejumlah perangkat pemahaman dan media-
media pembahasan lain yang menjadi acuan bagi mereka.
Kemudian yang menjadi sarana tabi’in dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah
madrasah tafsir yang dibuat oleh para sahabat. Adapun madrasah-madrasah tafsir
pada masa tabi’in terbagi menjadi :[3]
1.
Madrasah Ibnu Abbas di
Makkah
Banyak ulama tafsir terkenal di kalangan tabi’in. Namun thabaqat ulama
Makkah mereka adalah murid-murid Ibn Abbas telah menempati posisi terdepan di
bidang ini. Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir,
sebagaimana disebutkan oleh Ibn Taimiyyah. Murid Ibn Abbas yang paling populer
ada lima, yaitu :
a)
Mujahid ibn Jabr
Mujahid dilahirkan pada tahun 21 H dan wafat pada tahun 103 H. Ia
adalah Mujahid ibn Jabr Al-Makki Maula al-Sa’ib Ibn Abi al-Sa’ib, murid
Ibn Abbas paling tsiqah r.a. Ia adalah imam yang tsiqah, alim dan
ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
Mujahid adalah orang yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir.
Diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn
Abbas sebanyak tiga puluh kali”. Ada juga riwayat yang menyatakan tiga kali
saja. Tidak ada pertentangan antara kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang
sampai 30 kali adalah untuk hafalan, bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang
kedua adalah untuk penafsiran dan penghayatan kandungannya. Mujahid berkata,
aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku
berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa ia turun dan bagaimana ia turun.
Sehubungan dengan ini, imam Nawawi berkata, ‘apabila datang kepadamu tafsir
dari Mujahid maka cukuplah untukmu”. Artinya tafsir itu sudah cukup, tidak
perlu lagi tafsir yang lain.
b)
Said ibn Jubair
Ia adalah Muhammad Said ibn Jubair Ibn Hisyam al-Asadi (27 H- 114 H),
berasal dari Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari imam-imam
dari kalangan mereka. Yang terpenting adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia
termasuk pemuka dan imam tabiin. Ia sangat menguasai tafsir, hadist dan fiqh.
Ia telah berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir darinya.
Di samping menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan
menggunakan bacaan-bacaan itu. Kemampuan qira’ah seperti itu telah memberinya
keluasan untuk memahami Al-Qur’an, mengetahui makna-maknanya dan mencermati
rahasia-rahasianya. Namun hal demikian, ia menahan diri dari mengemukakan
pendapatnya sendiri. Ini membuat sebagian ulama lebih mendahulukan tafsirnya
dibanding tafsir Mujahid dan murid-murid Ibn Abbas lainnya. Qatabadah
rahimahullah mengatakan bahwa Sa’id adalah tabi’in mengerti tafsir.
c)
Ikrimah
Ia adalah Abu Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas (25
H-105H), berasal dari Barbar kawasan Maghrib. Ia termasuk tabi’in pilihan dan
pembesar mufasissirin dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia meriwayatkan dari
Ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke
berbagai negara. Ia pernah pergi ke Afrika dan berkunjung ke Yaman, Syam, Irak
dan Khurasan untuk menyebarkan ilmunya. Ia telah mencapai derajat yang tinggi
dalam bidang keilmuan, khususnya dibidang tafsir.
Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul dihadapanku lima
orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka, yaitu Atha’,
Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id dan Mujahid melemparkan
pertanyaan-pertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir
kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat
ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan
masalah ini. Diantara pujian orang kepadanya adalah perkataan Jabir ibn Zaid
bahwa Ikrimah adalah orang yang paling alim. Juga perkataan al-Syafi’I : Tidak
ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dibanding Ikrimah. Dan masih
banyak komentar-komentar yang memujinya dan menunjukkan status ilmiahnya. Meski
demikian, ulama berbeda pendapat berkenaan dengan ke-tsiqah-annya.
Sebagian mengatakan ia adalah tsiqah, sedang yang lain mengatakan ia
tidak tsiqah. Tak seorang pun mencela keadilannya. Imam al-Bukhari
berkata : “Tidak seorang pun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah”.
d)
Atha’ ibn Abi Rabah
Ia adalah Abu Muhammad ibn Atha’ ibn Abi Rabah al-Makki (27 H-115 H),-
Ia termasuk pemuka tabi’in. Ia meriwayatkan dari sejumlah besar sahabat
Rasulullah SAW. antara lain Ibn Abbas, Ibn Umar dan Ibn Amr ibn al-Ash. Bahkan
ia pernah bercerita bahwa ia menjumpai sekitar dua ratus sahabat. Ia adalah
orang yang tsiqah, faqih dan alim. Ia meriwayatkan banyak hadist. Di
Makkah puncak fatwa kembali kepadanya dan ia hidup hampir seratus tahun. Abdul
Aziz ibn Rafi’ berkata, Atha’ ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab,
aku tidak tahu. Dikatakan kepadanya : Mengapa engaku tidak menjawab dengan
pendapatmu sendiri ? Ia berkata, aku malu kepada Allah mengemukakan pendapatku
sendiri di muka bumi ini.
e)
Thawus ibn Kaisan
al-Yamani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Thawus ibn Khaisan al-Yamani
(33H-106H), orang pertama dari thabaqah Yaman dari kalangan tabi’in,
berasal dari Persi. Kisra mengirimkannya ke Yaman. Lalu ia tinggal disana dan
menjadi ahli ilmu dan amal. Ia menjumpai sekitar lima puluh sahabat Nabi SAW.
Sebuah riwayat menyatakan bahwa ia berhaji sebanyak empat puluh kali. Ia
mustajab do’anya. Ibn Abbas r.a. berkata, saya menduga, Thawus adalah penghuni
surga. Ia juga meriwayatkan dari empat Abdullah dan yang lain. Namun sejak awal
ia adalah murid Ibn Abbas, karena ia meriwayatkan dari Ibn Abbas lebih banyak
dibanding dari yang lain. Ia merupakan ayat di bidang ilmu, ibadah, zuhud dan
takwa. Ia juga menjadi ahli ibadah yang zahid sampai wafat tahun 106 H.
2.
Madrasah Ubay bin Ka’ab
di Madinah
Adapun di Madinah al-Munawwarah, tempat memancarnya hidayah dan
menancapnya iman, maka guru tafsir kaum tabi’in disana adalah seorang sahabat
agung yaitu Ubay ibn Ka’ab. Ditambah sahabat-sahabat lain yang memilih tetap
tinggal di Dar al-Iman. Para tabi'in banyak menafsirkan Al-Qur’an yang kemudian
disebarluaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini
telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan kata lain
pada aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi, kalau
begitu tafsir bi al - ra’yi tidak perlu dijauhi sepanjang memiliki argumentasi
yang kuat, baik dari sisi bahasa maupun logika.
Dari kalangan tabi’in yang terkenal dibidang tafsir di Madinah ada
tiga, yaitu :
a)
Abu al-Aliyah adalah
Rafi’ibn Mihran al-Rayyabi maula al-Rayyabi
Ia msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Ia termasuk
periwayat Ubai ibn Ka’b dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah
al-Rabi’ ibn Anas, seorang tabi’i tsiqah. Banyak ulama memberikannya
kesaksian akan keilmuannya dan keutamaannya. Para penulis al-Kutub al-Sittah
telah menyepakatinya. Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling
kuat.
b)
Muhammad ibn Ka’ab
al-Qurzi
Ia telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas, di samping
meriwayatkan dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah (perantara). Ia dikenal tsiqah,
adil dan wara’. Ia alim dibidang hadis dan takwil Al-Qur‟an. Ibn Aun berkata,
aku belum pernah melihat orang yang lebih alim tentang takwil Al-Qur’an
dibanding al-Quradhi. Ibn Hibban berkata, ia termasuk pemuka warga Madinah
dalam hal ilmu dan keagamaan. Ia ditakhrij oleh penulis al-Kutub al-Sittah.
Ia wafat tahun 118 H.
c)
Zaid ibn Aslam
Ia adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi al-Madani al-Faqih
al-Mufassir Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka tabi‟in dan
termasuk imam tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsiqah-an dan
keadilannya. Ia memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan
Al-Qur‟an dengan ra’yunya. Banyak yang mengambil tafsir darinya, yang
terkenal di antaranya adalah putranya, Abdurrahman dan Malik ibn Anas Imam Dar
al-Hijrah. Ia wafat tahun 136 H.
3.
Madrasah Ibnu Mas’ud di
Kuffah
Seperti halnya di Makkah terdapat Ibn Abbas sebagai guru tafsir pada
masa tabi'in, di Irak terdapat Abdullah ibn Mas'ud yang diberi kepercayaan oleh
Umar untuk memimpin Kuffah. Di Kuffah beliau juga mengajarkan tafsir kepada
penduduk Kuffah (dipandang para ulama sebagai cikal bakal lahirnya ahli ra'yi).
bersifat ra’yi dalam hal ini wajar karena jauh dari pusat study hadist yang ada
di madinah sebagai akibatnya maka timbul banyak masalah khilafiyyah dalam
menafsirkan al-quran yang selanjutnya memunculkan metode istidlal (mengambil
ayat sebagai dalil yang bersifat deduktif). Di antara murid-muridnya yang
terkenal adalah :
a)
Alqamah Ibn Qais
Ia lahir disaat Rasulullah SAW masih hidup. Ia meriwayatkan dari
Umar, Utsman, Ibn Mas’ud dan lain-lain. Ia termasuk periwayat paling populer
dari Ibn Mas‟ud. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Imam Ahmad
berkata, ia seorang tsiqah dari ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub
al-Sittah. Ia meninggal pada tahun 61 atau 62 H.
b)
Masruq ibn al-Ajda’ ibn
Malik ibn Umayyah al-Hamdzani al-Kufi al-Abid
Ia seorang yang wara’ dan zahid. Ia banyak menyertai Ibn Mas‟ud,
disamping meriwayatkan pula dari Khulafa’urrasyidin dan yang lain. Ia imam di
bidang tafsir, alim terhadap Kitabullah.
Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ibn Ma’in berkata, ia
tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
c)
Al-Aswad ibn Yazid ibn
Qais al-Nakha’i (Abu Abdirrahman)
Ia termasuk pembesar tabi’in dan termasuk periwayat Ibn Mas‟ud. Ia
meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Hudzaifah, Bilal dan yang lain. Ia tsiqah
saleh, mengena Kitabullah. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Para
penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia meninggal di Kufah
tahun 74 atau 75 H.
d)
Murrah al-Hamadzani
Ia adalah Abu Isma’il Murrah ibn Syarahil al-Hamadzani al-Kufi al-Abid,
yang dikenal dengan Murrah al-Thayyib dan Murrah al-Khair karena banyak ibadah,
sangat wara’ dan sangat takwa. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ubai ibn
Ka’b, Abdullah ibn Mas’ud dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah
al-Sya‟bi dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang
lain. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ia di takhrij oleh para
penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 76 H.
e)
Amir al-Sya’bi
Ia adalah Abu Amr Amir ibn Syarahil al-Sya’bi al-Himyari al-Kufi
al-Tabi‟i al-Jalil Qadli Kufah. Ia meriwayatkan dari Umar, Ali dan Abdullah ibn
Mas’ud, meski ia tidak mendengar langsung dari mereka. Ia juga meriwayatkan
dari Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Meski
banyak ilmu, ia sangat berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah dengan
pendapatnya sendiri. Ibn Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti Sa’id
ibn alMusayyab dan Amir al-Sya‟bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur‟an dan
mereka menahan diri dari menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap
hati-hati. Tiga hal yang aku tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati
yaitu Al-Qur’an, ruh dan ra’yu. Ia wafat tahun 109 H menurut pendapat yang
masyhur.
f)
Al-Hasan al-Bashri
Ia adalah Abu Sa’id al-Hasan al-Bashri ibn Abi al-Hasan Yassar
al-Bashri maula alAnshar. Ibunya adalah Khayyirah muala umm Salamah. Ia lahir
setelah kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab. Ia meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar,
Anas dan sejumlah sahabat dan tabi’in. Ibn Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun,
ilmuwan yang agung, fashih, tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai
dikatakan bahwa ia adalah tuan kalangan tabi’in. Hadistnya ada di alKutub
al-Sittah. Ia wafat tahun 110 H dalam usia 88 tahun.
g)
Qatadah ibn Di’amah
al-Sadusi
Nama kun-yahnya Abu al-Khaththab al-Akmah, keturunan Arab, tinggah di
Bashrah. Ia termasuk periwayat Ibn Mas‟ud, disamping meriwayatkan dari Anas ibn
Malik, Abu al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah, Atha‟ ibn Abi Rabah dan yang lain.
Ia memiliki daya hapal yang kuat, luas wawasannya dibidang syair dan memahami
benar sejarah Arab, silsilah mereka dan menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia
sangat pandai dan bidang tafsir dan banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku
mendengar Ahmad ibn Hanbal, dan ia menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya
panjang lebar, lalu ia membeberkan ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang
berbagai pendapat dan tafsir serta menilainya hafidh da faqih, lalu berkata,
sedikit sekali engkau bisa menemui orang yang melebihinya, kalu sepadan mungkin
saja. Ia wafat tahun 117 H dalam usia 56, menurut pendapat yang masyhur.
Dalam
menafsirkan Al-Qur’an terkadang para tabi’in melakukan ijtihad dengan 2
cara
:
1.
Mereka kadang – kadang mengutamakan pendapat
seorang sahabat dari pendapat sahabat yang lain, hal ini jika pendapat yang diutamakan itu
menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.
Mereka sendiri
berijtihad
Faktor-faktor yang mendukung Ijtihad tabi’in dalam menafsirkan
al-Qur’an adalah:
1.
Pemahaman
mereka terhadap tata bahasa arab dan segala bentuk rahasianya
2.
Pemahaman
mereka terhadap kebiasaan atau watak orang arab
3.
Pengetahuan
mereka terhadap kisah-kisah israilliyat
4.
Daya pikir yang
kuat dan pengetahuan yang luas
Metode yang digunakan pada masa tabi’in tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in
mengambil tafsir dari sahabat yang
dikenal dengan tafsir bil ma’tsur. Contoh : pada surah Al-Imron ayat
133
* (#þqããÍ$yur 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB öNà6În/§ >p¨Yy_ur $ygàÊótã ßNºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur ôN£Ïãé& tûüÉ)GßJù=Ï9 ÇÊÌÌÈ
dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa,
Penafsiran kata Muttaqin
dalam
ayat diatas, dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya menjelaskan bahwa
yang dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik diwaktu lapang
maupun diwaktu sempit, dan orang-orang yang saling memaafkan. Contoh lain, Mujahid
dengan beberapa sarjana segenerasinya memberikan interpretasi ayat-ayat
al-Qur’an yang dijadikan sebagai pijakan metaforis terhadap teks keagamaan.
Salah satu contohnya adalah penafsiran Mujahid terhadap al-Baqarah ayat 65
ôs)s9ur ãLäê÷HÍ>tã tûïÏ%©!$# (#÷rytFôã$# öNä3YÏB Îû ÏMö6¡¡9$# $oYù=à)sù öNßgs9 (#qçRqä. ¸oytÏ% tûüϫš»yz ÇÏÎÈ
“dan Sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar
diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah
kamu kera yang hina".
Frasa "jadilah engkau kera yang
hina" oleh Mujahid tidak diartikan secara fisik bahwa orang berubah
wujud menjadi kera, akan tetapi hanya perilakunya. Hal ini disebabkan kalimat
tersebut merupakan permisalan, matsal, yang dipakai oleh Tuhan, seperti halnya
dalam al-Jumu'ah ayat 5:
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا
التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
Artinya : "Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan taurat kepadanya, kemudian mereka tidak memikulnya,
adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal".[4]
C.
Ciri-ciri
Tafsir Tabi’in dan Perbedaannya dengan Tafsir Sahabat
Telah
dijelaskan bahwa tafsir tabi’in tidak jauh berbeda dengan tafsir di masa
sahabat, misalnya dari segi metode menafsirkan al-Qur’an. Metode yang digunakan
tabi’in sebagai berikut.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an,
seperti yang dilakukan sahabat.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan hadis Nabi.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir
sahabat.
- Ijtihad, jika mereka tidak menemukan
jawaban di dalam al-Qur’an, hadis, dan tafsir sahabat.[5]
Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi
wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi setelah banyak ahli kitab
masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka isra’iliyat yang
kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Misalnya yang diriwayatkan dari Abdullah
bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik ‘Aziz bin
Juraij. Di samping itu, pada masa ini mulai timbul silang pendapat mengenai
status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat
mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat
keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya
dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.[6]
Sementara perbedaan
tafsir di masa tabi’in dan tafsir di masa sahabat adalah:
1.
Di masa sahabat al-Qur’an belum ditafsirkan
secara menyeluruh, sedangkan di masa tabi’in tafsir telah mencakup sebagian
besar ayat al-Qur’an.
2.
Pada masa sahabat perbedaan pemahaman tidak banyak
terjadi, sedangkan di masa tabi’in perbedaan pemahaman semakin banyak.
3.
Sahabat merasa cukup hanya dengan makna ayat
secara global, sedangkan di masa tabi’in muncul penafsiran terhadap setiap ayat
dan kosa kata.
4.
Pada masa sahabat belum terjadi perbedaan
mazhab, sedangkan di masa tabi’in banyak terjadi perbedaan mazhab.
5.
Pada masa sahabat tafsir masih dalam
bentuk hadis dan riwayat, sedangkan di masa tabi’in tafsir sudah mulai menjadi
disiplin ilmu tersendiri, meskipun masih berbentuk riwayat.
6.
Pada masa sahabat tafsir hanya sedikit dimasuki
riwayat isrā’iliyāt, sedangkan di masa tabi’in tafsir banyak merujuk
kepada riwayat isrā’iliyāt dan Ahli Kitab.[7]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam metode
menafsirkan al-Qur’an tidak jauh berbeda antara generasi sahabat dengan
generasi tabi’in. Sementara dalam persoalan karakteristiknya, maka
karakteristik tafsir generasi sahabat berbeda dengan karakteristik tafsir
tabi’in. Karateristik tafsir tabi’in telah mencakup sebagian besar ayat
al-Qur’an, perbedaan pemahaman semakin banyak, muncul penafsiran terhadap
setiap ayat dan kosa kata, banyak terjadi perbedaan mazhab, tafsir sudah mulai
dibukukan, tafsir masih dalam bentuk hadis dan riwayat, tafsir sudah mulai
menjadi disiplin ilmu tersendiri meskipun masih berbentuk riwayat, serta tafsir
banyak merujuk kepada riwayat isrā’iliyāt dan Ahli Kitab.
DAFTAR PUSTAKA
Tahan, Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits. Markaz al-Hadi li
ad-Dirasat. Kuwait. 1415 H.
Adz-Dzahabi,
Muhammad Husain. At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Kuwait. 2010.
Al-Qattan, Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Terj. Aunur
Rafiq El-Mazni. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2004.
Samsurrohman. Pengantar Ilmu Tafsir. Amzah. Jakarta. 2014.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Ushulun Fit Tafsir Pengantar
Dan Dasar-Dasar Mempelajari Ilmu Tafsir. Al – Qowam. Solo. 2014.
Hasbi As-Shiddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu
Tafsir. Pustaka Rezki Putra. Semarang. 2000.
Masyhuri. Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah
Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah. Artikel.
[1] Mahmud Tahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Kuwait: Markaz
al-Hadi li ad-Dirasat, 1415 H), h.155
[2] Muhammad Husain Ad-Zahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun
(Kuwait, 2010) , jilid I hlm. 99-100
[3]
Hasbi As-Shiddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu Tafsir,
(Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000); Masyhuri, Merajut Sejarah
Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad
Ketiga Hijriyah, Artikel; Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Ushulun Fit
Tafsir Pengantar Dan Dasar-Dasar Mempelajari Ilmu Tafsir; dan sumber-sumber
relevan lainnya.
[4] Mujahid bin Jabr, Abi al-Hajjaj, Tafsir Mujahid, (Beirut:
Darul kutubil Ilmiyah, 2005)
[5] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah,
2014), hal 67
[6] Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Terjm. Aunur
Rafiq el-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hlm. 428
[7] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah,
2014), hal 66
Komentar
Posting Komentar