Tafsir bil al-ra'yi (ijtihadi) pada masa Nabi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT berkat rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Sholawat serta salam kami
curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bimbingan dan sumbangan pemikiran
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1.
Dosen mata kuliah Metode Tafsir, yang telah memberi ilmu dan pengarahan dalam makalah
ini.
2.
Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
3.
Sahabat-sahabat yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya
sebagai balasan atas amal baik dari semua pihak yang telah disebutkan di atas.
Sadar akan kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, kami mohon maaf jika
ada penulisan yang kurang berkenan di hati bapak dosen dan juga pembaca. Kritik
dan saran sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A.
Latar
Belakang 4
B.
Rumusan
Masalah 4
C.
Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN 5
A.
Pengertian Tafsir bi al-ra’yi 5
B.
Sejarah Tafsir Bi Al-Rayi Pada
Masa Nabi SAW 6
C.
Sikap Nabi Terhadap Tafsir Bi Al-Rayi 7
D.
Pendapat Ulama Seputar Tafsir Bi Al-Rayi 8
E.
Kelebihan dan
Kekurangan Tafsir Bi Al-Rayi 12
F.
Kitab dan Mufassir Bi Al-Rayi 13
BAB III PENUTUP 14
A.
Kesimpulan 14
B.
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup
sehari-hari bagi setiap umat muslim sepanjang masa. Oleh karenanya setiap
muslim di wajibkan untuk berusaha mengamalkannya, baik dalam hal kehidupan
duniawi terlebih lagi untuk masalah ukhrawi. Dan sebuah bukti kekuasaan
Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa Al-Qur’an sampai saat ini
masih relevan dan justru banyak dari Al-Qur’an yang terbukti secara ilmiah, dan
menjadi dasar hukum dalam pengembangan sains.
Hal ini tentu tidak terlepas dari
proses penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad para ulama yang benar-benar mumpuni
kapasitasnya sebagai seorang mufassir, sehingga di hasilkan penafsiran yang
tidak bertentangan dengan syariat.
Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan tafsir bi al-ra’yi akan menghasilkan penafsiran yang melenceng dari syariat dan tersebar ke
masyarakat umum.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah tafsir bi al-Rayi pada masa
Nabi SAW?
2.
Bagaimana pendapat Nabi tentang tafsir bi al-Rayi?
3.
Bagaimana pendapat para ulama tentang tafsir bi al-Rayi?
4.
Apa kelebihan dan kekurangan pada tafsir bi al-Rayi?
5.
Apa saja kitab dan mufassir yang memakai metode tafsir bi al-Rayi?
C. Tujuan
1.
Agar mengetahui sejarah tafsir bi al-Rayi pada masa
Nabi SAW
2.
Agar mengetahui pendapat Nabi SAW tentang tafsir bi al-Rayi
3.
Agar mengetahui pendapat para ulama tentang tafsir bi al-Rayi
4.
Agar mengetahui kelebihan dan kekurangan pada tafsir bi al-Rayi
5.
Agar mengetahui kitab dan mufassir yang memakai metode tafsir bi
al-Rayi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir Bi Al-Ra’yi
Sebelum masuk kepada pembahasan Tafsir bi al-Ra’yi dari masa
ke masa, ada baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa itu tafsir bi
al-Ra’yi.
Secara bahasa al-ra’yu berarti al-i’tiqadu (keyakinan),
al-‘aqlu (akal), dan al-tadbiru (perenungan). Ahli fiqih yang
sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra’yu. Karena itu,
tafsir bi al-Ra’yi disebut juga sebagai tafsir bi al-‘aqly dan bi
al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad. [1]
Menurut istilah, tafsir bi al-Ra’yi adalah upaya untuk
memahami nash al-Qur’an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir)
yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, megerti betul lafadz-lafadznya
dan dalalahnya, mengerti syair-syair Arab sebagai dasar pemaknaan,
mengetahui betul asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh di
dalam al-Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lainyang dibutuhkan seorang mufassir.[2]
`Al-Qur’an memperkenalkan dua macam Tafsir bi al-ra’yi, yakni
Tafsir bi al-ra’yi al-Mahmud (tafsir berdasar nalar yang terpuji) dan Tafsir
bi al-ra’yi al-Mazmum (Tafsir berdasar nlar yang tercela).[3]
Memang ada penafsir-penafsir yang berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
untuk mendukung pendapat atau mazhab yang dianutnya, sehingga mereka menjadikan
al-Qur’an mengikuti pendapatnya, bukannya menjadikan al-Qur’an sebagai dasar
dan pendapatnya mengikuti tuntunan al-Qur’an. Mereka itu mencari pembenaran
bukannya mencari kebenaran. Mereka itulah yang diancam oleh riwayat yang
menyatakan:
من
فسرالقران براْيه فليتبواْ مقعده من النار
“Siapa yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan pandangan
nalarnya, yakni terlepas dari kaidah-kaidah Tafsir, maka hendaklah dia
menduduki/ mengambil tempatnya di neraka.”
Bahkan ath-Thabari dalam Tafsirnya
meriwayatkan bahwa Rasul Saw. bersabda:
من
فسرالقران براْيه فاصاب فقد اْخطاْ
“Sesiapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan nalarnya (yakni tanpa
memperhatikan syarat-syarat yang dibutuhkan) dan penafsirannya benar, maka dia
tetap dinilai salah.”
Riwayat ini, siapapun sumbernya, bermaksud menekankan perlunya
menempuh cara yang benar dalam menafsirkan al-Qur’an.
B.
Sejarah Tafsir
bi al-ra’yi Pada Masa Nabi Saw.
Allah menganugerahi manusia aneka potensi antara lain potensi untuk
berpikir. Manusia dikecam, bahkan diancam kalau enggan menggunakan
potensi-potensinya, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat
179, Allah berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ
لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya:
. Dan sungguh akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan
manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti
hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lengah.
Banyak sekali yang disebut oleh al-Qur’an sebagai objek yang perlu
dipikirkan, dan banyak pula kosakata yang digunakan untuk maksud tersebut.
Salah satu yang perlu diperhatikan dan disimak adalah al-Qur’an. Disisi lain,
sekian banyak problema baru yang bermunculan dari saat ke saat yang memerlukan
jawaban dan bimbingan, sedang hal tersebut tidak ditemukan penjelasannya dari
al-Qur’an dan sunnah. Dari sinilah lahir upaya untuk menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dan sejak itulah lahir Tafsir bi al-ra’yi. Walau sebenarnya
tidak keliru dari segi subtansi jika dikatakan bahwa penafsiran Nabi Saw. dan
sahabat-sahabat beliau pun adalah Tafsir bi al-ra’yi, karena mereka juga
menggunakan nalar mereka dalam upaya memahami al-Qur’an.[4]
Imam Syafi’i berkata, seperti yang ditulis al-Suyuti dalam al-Itqan, bahwa:
“Semua ketetapan hukum Nabi Saw. adalah hasil pemahaman beliau dari al-Qur’an
berdasar firman Allah yang artinya:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتٰبَ
بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرٰكَ اللّٰهُۗ وَلَا تَكُنْ
لِّلْخَائِنِيْنَ خَصِيْمًاۙ
“Sungguh Kami menurunkan kepadamu al-Kitab dengan hak agar engkau
menetapkan putusan antara manusia sesuai apa yang ditunjukkan Allah kepadamu.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejarah Tafsir bi al-ra’yi
pertama kali ada sejak al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Saw. Pada saat
itu, Rasul menggunakan pemahamannya untuk menafsirkan al-Qur’an guna menjawab
berbagai persoalan para sahabat, keluarga, serta umat islam pada saat itu.
C.
Sikap Nabi Saw.
Terhadap Tafsir Bi al-Ra’yi
Al-Qur’an turun dengan Bahasa Arab, bahasa yang digunakan oleh Nabi
Muhammad Saw. dan bangsa Arab. Ketika al-Qur’an diturunkan sebagai mu’jizat kepada
Nabi Muhammad Saw., Nabi sangat memahami al-Qur’an baik secara umum maupun
pemahaman secara rinci.
Para sahabat saat itu, bisa langsung bertanya seputar makna dan
tafsir al-Qur’an kepada Nabi Saw. Ketika Nabi menerima wahyu, beliau langsung
menjelaskan maksud ayat yang diterimanya kepada para sahabat. Karena itulah
kemudian Nabi Muhammad disebut sebagai mufassir awwal (penafsir pertama)
al-Qur’an.
Rasulullah Saw. adalah penafsir pertama al-Qur’an, sementara para
sahabat mengutip penafsiran Rasul Saw. Rasulullah Saw. menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an kepada para sahabat. Ini dapat berupa jawaban terhadap pertanyaan
para sahabat, atau hukum yang Rasul sampaikan kepada mereka, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau penetapan. Sebagaimana Rasul Saw. menjelaskan kepada
mereka tentang cara pelaksanaan shalat dan haji dengan bentuk perbuatan.[5]
صلو
كماراْيتمونى اْصلى
Artinya: “Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari)
خذوا عني
مناسككم
Artinya: “Ambillah
dariku dalam hal peribadatan kalian.” (H.R. Muslim)
Dari sini jelas bahwasanya Rasulullah memperbolehkan
untuk menafsirkan al-Qur’an dengan nalar tetapi dengan syarat-syarat yang
dibutuhkan. Adapun syarat-syarat tersebut yakni sebagai berikut :[6]
1. Menguasai
ilmu bahasa Arab agar dapat menerangkan kosakata-kosakata sesuai penggunaan dan
maksudnya
2. Menguasai
ilmu Nahwu, karena makna itu berubah sesuai dengan kedudukan I’rab-nya
3. Menguasai
ilmu Sharaf, agar memahami perubahan bentuk lafal dan kalimat
4. Memahami
ilmu balaghah, agar dapat memilih makna yang lebih kuat yang terkandung dalam
satu lafal
5. Memahami
ilmu ushulul fiqh agar dapat menggali hukum dari ayat
al-Qur’an
6. Menguasai ulumul
qur’an
Doa yang selalu Rasulullah panjatkan untuk Ibn ‘Abbas
juga termasuk bentuk diperbolehkannya penafsiran, inilah doanya :
اللهم علمه الكتاب و الحكمة
“ Ya Allah ajarkanlah ia Kitab dan hikmah”
Dan ada
juga doa Rasulullah yang berbunyi :
اللهم
فقهه فى الدين و علمه التأويل
“ Ya Allah jadikanlah ia faham ilmu agama dan
ajarkanlah ia takwil”[7]
Dan hadits
Mu`adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi
hakim di Yaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِمُعَادٍ: بِمَ تَقْضِى؟ قَالَ:
بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ:
أَقْضِى بِمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا
قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي.
(رواه الترمذي).قَالَ: الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَفَقَّ رَسُوْلَ رَسُوْلِه
Artinya:
“Rasulullah SAW bertanya, dengan apa kamu menghukumi?, Ia menjawab, dengan apa
yang ada di dalam Kitab Allah. Bertanya Rasulullah, jika kamu tidak mendapatkan
dalam Kitab Allah? Dia menjawab, aku memutuskan dengan apa yang diputuskan
Rasulullah. Rasul bertanya lagi, jika tidak mendapatkan dalam ketetapan
Rasulullah? Berkata Mu`adz, aku ber-Ijtihad dengan pendapatku.
Rasulullah bersabda, Alhamdulillah, yang telah menyepakati utusan dari
Rasul-Nya.[8]
Berdasarkan
landasan-landasan diatas, kami pemakalah menyimpulkan bahwasanya Rosulullah
tidak melarang dan tidak juga menganjurkan dalam menafsirkan secara nalar,
dengan kata lain Rosulullah memperbolehkan untuk menafsirkan secara nalar
dengan catatan memenuhi kriteria sebagai mufassir.
D.
Sikap Ulama Terhadap Tafsir Bi Al-Rayi
Sebagian ulama membolehkan
penafsiran Al-Qur’an dengan akal, dan sebagian ulama yang lain melarang adanya
penafsiran dengan akal atau tafsir bir-ra’yi. Berikut adalah beberapa pendapat
ulama yang membolehkan tafsir bir-ra’yi:
7.
Ulama’ yang membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang
menyebutkan beberapa alasan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)
Nash Al-Quran
a.
[QS. Shaad:29][9]
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ
إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ
ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Ini adalah sebuah kitab yang
Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”
Ayat ini mengisyaratkan agar manusia mau memperhatikan
al-Qur’an secara lebih lanjut dengan cara memikirkannya dan agar dapat
mengambil pelajaran darinya. Maka dalam hal ini, diperbolehkan menggunakan
ra’yi.
b.
[QS. An-Nisa’:83][10]
… وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى
ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ
يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ ...
“Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil
Amri).”
Ketika mengetahui kekuatan atau kelemahan umat Islam, orang-orang
munafik langsung menyebarkan dan menyiarkannya dengan tujuan menipu dan
menakut-nakuti umat Islam, atau menyalurkan berita itu kepada pihak musuh.
Seandainya masalah aman dan takut itu mereka kembalikan kepada Rasulullah saw.
atau ulû al-amr, yaitu para pemimpin dan pembesar-pembesar sahabat, atau
seandainya mereka bermaksud mencari hakikat yang sebenarnya, mereka pasti akan
mengetahuinya langsung dari Rasulullah dan pemimpin-pemimpin sahabat. Kalau
bukan karena karunia Allah dengan pemantapan iman dalam hatimu dan pencegahan
fitnah, dan bukan pula karena rahmat-Nya yang mengantarkanmu kepada kemenangan
dan keberuntungan, maka sebagian besar kalian tentu akan mengikuti bujukan
setan. Dan hanya sebagian kecil saja yang selamat dari bujukan dan godaannya.
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci”
Orang
yang tidak mau mempelajari dengan ra’yi mereka, diibaratkan seperti hatinya
yang terkunci.
2)
Jika tafsir bira’yi tidak boleh, maka ijtihad pun dilarang. Akibatnya,
akan banyak sekali hukum yang tidak tergali. Hal ini tentu tidak benar padahal
pintu ijtihad sampai sekarang tetap terbuka. Seorang mujtahid mendapat pahala
walau ijtihadnya salah. Rasulullah Saw pun tidak menafsiri ayat demi ayat.[12]
3)
Nabi Saw pernah mendoakan Ibnu Abbas ra, “Ya Allah, berilah ia
pemahaman yang dalam tentang agama dan ajarilah ia tafsir”.
Jika tafsir hanya boleh melalui
riwayat atau melalui apa yang didengar dari Nabi, tentu doa ini tidaklah ada
gunanya. Doa Rasul untuk Ibnu Abbas ini merupakan bukti bahwa boleh menggunakan
ra’yu atau ijtihad dalam tafsir.[13]
8.
Sedangkan beberapa pendapat para ulama yang melarang adanya tafsir
bir-ra’yi adalah sebagai berikut:
1)
Para ulama menjelaskan bahwa hukum
menggunakan dan menyampaikan tafsir bil ra’yi yang mazmum tidak boleh atau
haram, karena tafsir ini hanya berpedoman kepada akal semata tanpa didasari kepada
ilmu.[14]
Abu Hamid al-Ghazaliy (w. 505 H) dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin juga
menjelaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi al-mazmum ini dilarang, karena ijtihadnya
tidak didasari kepada ilmu, dan sebagai konsekuensi bagi pelakunya adalah
neraka sebagai tempat tinggalnya di akhirat kelak.[15]
2)
Menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada
dasar yang sahih adalah haram, berdasarkan firman Allah,
وَلَا تَقۡفُ مَا
لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ
كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔول
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra: 36).
1)
[An-Nahl:44]
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ
وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Pada ayat ini ada kata-kata, “agar
kamu menerangkan pada umat manusia……” itu menunjukkan, selain Rasulullah
tidak boleh menerangkan (menafsirkannya).
Kelompok pertama menjawab “Itu benar, tetapi Rasulullah tentu tidak
menerangkan segala sesuatu secara keseluruhan. Maka yang tidak beliau terngkan
boleh dijelaskan oleh ulama dengan berpedoman kepada keterangan beliau.
Bukankah akhir ayat tersebut berbunyi “dan supaya mereka memikirkan”[16]
2)
Sejumlah hadits
اتقوا الحديث عني الا ما علمتم فمن
كذب علي متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Hati-hati. Jangan bicara tentang
(ajaran) ku kecuali yang kamu ketahui. Barang siapa yang mendustakan aku secara
sengaja, maka hendaklah bersiap-siap ke neraka. Dan siapa saja yang berbicara
tentang Al-Quran dengan ra’yu (akal dan pendapat)-nya, berarti ia menyiapkan
tempat di neraka” (HR. At-Tirmidzi).[17]
3)
Sejumlah riwayat bahwa para sahabat dan tabiin memandang masalah
menafsiri al-Quran masalah besar sehingga mereka hati-hati dan tidak berani
menafsirinya dengan ra’yu
Contoh:
Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam
meriwayatkan, Abu Bakar Ash-Shiddiq, pernah di tanya tentang maksud kata “abba” dalam
firman Allah “wa fakihatan wa abban” (QS. ‘Abasa : 31), beliau
menjawab, “Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan
menyanggahku untuk berpijak, jika aku mengatakan tentang kalamullah yang saya
tidak tahu apa maksudnya?” (HR. Ibnu Abi Syaibah).[18]
E.
Kelebihan dan
kekurangan Tafsir Bi Ra’yi
Menurut Prof. Dr. Amin Suma, dalam bukunya Ulumul Qur’an, tafsir
bir-ra’yi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya terletak pada
kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara
dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga dengan
tafsir bir-ra’yi memungkinkan untuk menjelaskan beberapa ayat yang sebelumnya
dipahami secara sempit oleh mufassir, menjadi luas dan dinamis, seperti halnya
kata qalam yang awalnya hanya di artikan sebagai pena, dapat di artikan
sebagai teknologi di zaman modern seperti mesin ketik atau komputer.[19]
Adapun kelemahan dari tafsir bir-ra’yi terletak pada kemungkinan
penafsiran yang dipaksakan, subjektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit
dibedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan
subjektivitas mufassirnya.[20]
Kelebihan
yang lainnya adalah:
a.
Mufassir bisa memberikan cakrawala yang
luas dalam menafsirkan al
Qur’an sesuai dengan kondisi dan situasi
b.
Kemungkinan mufassir dapat menafsirkan
seluruh komponen ayat al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
c.
Menkadikan tafsir al-Qur’an dapat
berkembang dalam menjawab segala permasalahan yang timbul seiring dengan
kehidupan umat islm sepanjang masa
d.
Mendorong umat islam untuk senantiasa
berfikir dan bertadabbur atas kebesaran ayat-ayat al-Qur’an, dan tidak lekas
menerima apa adanya (taqlid) terhadap ulama’-ulama’ salaf
e.
Lebih rasional, relatif dinamis dan
mudah menyesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi
Kekurangan:
a.
Mufassir menjustifikasikan pendapatnya
dengan al-Qur’an padahal al-Qur’an tidak demikian.
b.
Mufassir akan menafsirkan al-Qur’an
dengan penafsiran yang salah, karena kedangkalan ilmu pengetahuan mufassir atau
tidak memenuhi persyaratan sebagai mufassir.
c.
Sulit menghidarkan diri dari
subyektivitas mufassirnya dan dalam hal-hal tertentu cenderung dipaksakan.
F.
Kitab-Kitab
Tafsir Bi Al-Ra’yi
1.
Al Bahr al muhit : Muhammad al
Andalusi
2.
Ghara’ib Al-Qur’an Wa Raghib al
Furqan :
Nizamuddin An-Nisabur
3.
Ruh Al Ma’ani fi tafsir Al-Qur’an
Al-‘adhim was as-sab al masani : Allamah Al-Alusi
Selanjutnya
juga dikenal kitab-kitab tafsir bi-ra’yi dari kalangan Mu’tazilah seperti :
1.
Tanzih Al-Qur’a ‘an Al-Matai’in : Al-Qadhi
‘abdul jabbar.
2.
Amali Asy-syarifah al-Murtada : Abu Al-Qasim
‘Ali At-Tahir.
3.
Al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq At-Tanzil wa
‘uyun Al-aqawil fi wujud Al-Aqawil fi wujud At-Tanzil : ‘Abu
Al-Qasim Mahmud Bin ‘umar Az-Azamakhsyari.[21]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir bir-ra’yi adalah penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an
dengan menggunakan akal yang merupakan bentuk dari ijtihad berdasarkan
dalil-dalil yang sahih, serta menggunakan kaidah-kaidah yang murni dan tepat.
Tafsir bir-ra’yi sudah muncul pada masa rasulullah Saw. Diantaranya
ketika beliau menyetujui jawaban dari Mu`adz Ibnu Jabal ketika diutus ke Yaman untuk menjadi
hakim di Yaman. Dalam menghukumi sesuatu, Jika Mu’adz tidak mendapatkan dari
al-Qur’an, ia memutuskan dengan apa yang diputuskan oleh Rasulullah (hadis).
Namun jika tidak dapat juga, ia ber-ijtihad dengan pendapatnya sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang status
hukum tafsir bir-ra’yi, ada ulama yang membolehkan untuk menafsirkan Al-Qur’an,
dan ada yang melarang dengan keras menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis. Namun
jika di cermati kedua ulama sebenarnya hanya perbedaan dalam hal lafzhi,
intinya kedua pendapat sama-sama melarang penafsiran Al-Qur’an bir-ra’yi tanpa
kaidah-kaidah khusus yang harus di kuasai seorang mufassir sebelum menafsir
Al-Qur’an.
B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
masih belum sempurna, dan untuk menjadi sempurna, kami sangat membutuhkan
masukan dari pembaca. Untuk itu kami mengharapkan kepada pembaca untuk
memberikan berbagai masukan dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Ak, Khalid
Abdurrahman. 1986. Ushul al Tafsir wa Qawaiduhu Beirut: Dar al Nafais.
Departemen Agama Publik Indonesia, Mukadimah Al-Qur’an dn Tafsirnya.
Al-Dzahabi, Muhammad Husein.
2003. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Al-Qahirah: Maktabah Wahbah.
Adz-Dzahabi, Muhammad
Husein. 2009. Ensiklopedia Tafsir. Terj. H. Nabhani Idris. Jakarta
: Kalam Mulia.
Al-Ghazaliy , Abu Hamid. 1992.
Ihya’ Ulumuddin. Kairo: Dar al-Hadis.
Anshori. Tafsir Bil Ra’yi. 2010. Jakarta :
Gaung Persada Press Jakarta.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2004. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj.
Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Al-Rumiy, Fahd
ibn Abdurrahman ibn Sulaiman. 1422 H. Ushul al-Tafsir Wa Manahijuhu.
Riyadh: Maktabah al-Taubah. cet. Ke-6.
Ash Shaabuniy, Muhammad Ali.
1998. Study Ilmu Al-Qur’an. Alih
Bahasa Aminuddin Bandung: Pustaka Setia.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera
Hati.
Sufyan, Muhammad. 2015. Tafsir wal mufasirun, Medan : Perdana
Publishing.
Al-Syarbini, al-Khatib. Al-Siraj al-Munir Fi al-I’anah Ala Ma’rifah Kalam Rabbina.
At-Tirmidzi, Muhanmad ibn ‘Isa ibn Surah. Sunan al-Tirmidzi. No 1327.
[1] Khalid
Abdurrahman Al-‘Ak, Ushul al Tafsir wa Qawaiduhu, (Beirut: Dar al-Nafais,
1986), hal. 167.
[2] Husein
Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah,
2003), Jilid 1, hal. 183.
45.
54-55
[9] Muhammad Husein
Adz-Dzahabi. Ensiklopedia Tafsir. Terj. H. Nabhani Idris. (Jakarta :
Kalam Mulia. 2009). Hal. 246
[14]
Fahd ibn Abdurrahman ibn Sulaiman al-Rumiy, Ushul al-Tafsir Wa
Manahijuhu, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422 H), cet. Ke-6, hal. 80.
[15]
Abu Hamid al-Ghazaliy, Ihya’ Ulumuddin, (Kairo: Dar al-Hadis,
1992), hal. 378-380.
[16] Ibid. Hal. 242
[18] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2004), hal. 489
[19] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih
Bahasa Aminuddin (Bandung:
Pustaka Setia.1998). Hlm. 368
Komentar
Posting Komentar