Tafsir ahkam (Bughat dan hirabah)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia.disamping itu, Islam juga memerintahkan umatnya untuk berlaku adil
dengan harapan supaya segala tindak kejahatan dapat terhapus di dunia ini.
Islam merupaka agama yang bertujuan untuk menciptakan kedamaian,
ketentraman, dan keamanan karena kata islam yang menjadi nama agama yang agung
berasal dari kata as-salam yang artinya perdamaian . namun sayangnya, pada zaman
sekarang ini banyak diantara kita yang telah melupakan kewajiban dan larangan
dalam agama Islam. Berbagai macam tindakan kejahatan telah terjadi dimana-mana
mulai dari pencurian, perampokan, pembunuhan, hingga sampai kepada
pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.
Dalam menciptakan kedamaian, Islam menetapkan hukuman terhadap berbagai
tindak kejahatan tersebut. Ini terbukti dengan adanya firman Allah SWT surat Al-
Hujuraat [49]: 9-10 yang menjelaskan tentang perihal bughat. Juga dapat kita lihat
dalam surat Al-Ma’idah(5) ayat 33-34 mengenai hirabah.


BAB II
Bughat
A. Pengertian
Secara bahasa, bughat bentuk jamak dari kata al- baghi yang bermakna
pembangkan atau perbuatan zalim1. Pada mulanya, bagha-yabghi yang merupakan
bentuk kata kerja dari bughat, menurut Abi Abdullah AlGhozi bermakana
فرقة مسلمون مخالفون للامام العادل
“ sekelompok orang muslim yang menentang imam yang adil”2
Tidak jauh berbeda dengan AlGhozi, Ibn Mandzhur mengartikan bughat sebagai
suatu tindakan yang menanggalkan, melanggar, melakukan kezaliman, melampaui
batas, menghendaki kerusakan. Dari situ, para ulama mendefinisikan bughat sebagai
sekelompok orang yang secara sengaja melakukan gerakan-gerakan dengan maksud
untuk menggerogoti kewibawaan bahkan menggulingkan pemerintahan yang sah.
Dalam sejarah, kelompok yang kerap ditunjuk sebagai bughat adalah; pertama,
orang-orang Yahudi Madinah yang melanggar konstitusi Madinah yang dibuat Nabi
Muhammad bersama penduduk Madinah. Kedua, orang-orang Islam yang tidak mau
menyetorkan zakatnya pada negara yang saat itu dipimpin Abu Bakar As-Shiddiq.
Ketiga, orang-orang yang memberontak dan menolak kepemimpinan Ali Ibn Abi
Thalib dalam Perang Unta.3
B. Ayat Bughat dan Tafsir Para Ulama
Yang dijadikan dasar tentang bughat adalah firman Allah (QS, Al-Hujuraat [49]:
9-10)

dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah
Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.

1 Abi Abdullah Muhammad Bin Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib, Surabaya, Nurul Huda, Hlm 250
2 Abi Abdullah Muhammad Bin Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib, Surabaya, Nurul Huda, Hlm 250
3 Lilik Ummu Kaltsum, Abd.Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: UIN Press, 2015) hal. 73-74

orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.
Beragam kisah yang melatari sebab turun ayat tersebut, dua diantaranya :
a) Qatadah berkata bahwa ayat ini turun terkait dengan kasus dua orang laki-laki
Anshar yang bertengkar mulut tentang perebutan hak yang diklaim masingmasing
yang kemudian berujung pada tengkar fisik.4
b) Anas R.A berkata: ada yang berkata kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wa
sallam “ sekiranya engkau mendatangi Abdullah bin Ubay”. Nabi Shollallahu
‘alaihi wa sallam bertolak kepadanya dengan mengendarai keledai dan kaum
muslimin pun juga ikut bersama beliau. Tatkala Nabi mendatanginya, ia
(Abdullah bin ubay) berkata : menjauhlah dariku. Demi Allah bau bbusuk
keledaimu telah menggangguku. Maka salah seorang Anshor dari mereka
berkata “ Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah lebih harum baunya
daripada dirimu. Lalu salah seorang dari kaumnya marah untuk membela
Abdullah bin Ubay. Sehingga keduannya saling mencaci dan diikuti dengan
kemarahan para sahabat. Kemudian terjadi saling pukul antara mereka dengan
pelepah korma,sandal dan tangan. Kemudian sampailah berita kepada kami
bahwa telah turun ayat
Muhammad Ali asy-Syabuni dalam kitabnya Shofwah Al-Tafasir menafsirkan
Ayat diatas kalimat perkalimat, beliau mengatakan:
Firman Allah
Maknanya, Apabila dua kelompok saudaramu sesama muslim terjadi pertikaian
maka kalian harus mengerahkan seluruh kemampuan kalian untuk mendamaiakan
kedua kelompok tersebut.
Firman Allah SWT:

Maknanya, apabila salah satu dari kedua kelompok tersebut membangkang,
melampaui batas, berbuat aniaya, serta tidak mau berdamai, maka perangilah
mereka sampai mereka kembali kepada hukum dan syariat Allah
Firman Allah SWT
4 al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, Mesir, Darul Hadits, 2002, Jilid VIII, 585
5 Mugbil Bin Hadi al-Wadi’, Shohih Asbabun Nuzul


Maksudnya, ketika mereka berhenti(kelompok yang membangkang) dari
pertikaian dan kembali kepada melaksanakan hukum Allah, maka damaikankan
antara kedua kelompok tersebut secara adil
Firman Allah SWT pada ayat 10 diatas mengandung arti bahwa tidaklah
orang-orang mukmin itu melaikan mereka bersaudara. Mereka dikumpulkan
dalam satu ikatan yakni ikatan iman. Oleh karena itu, tidaklah layak mereka
saling bermusuhan, bertikai, saling membenci, dan lain sebagainya
Dalam ayat ini ada lafaz  ا yang berfungsi sebagai pembatas sehingga
seolah-olah Allah SWT berkata " "لا أخوة الا بین المسلمین ولا اخوة بین المؤمن و الكافر
Persaudaraan itu hanya berlaku antar sesame muslim tidak antar muslim dan
kafir. Didalam ayat ini juga mengandung isyarah bahwa persaudaraan yang diikat
dengan tali keimanan lebih kuat ketimbang persaudaraan senasab.
Pada penghujung ayat ini, Allah memerintah kaum muslimin untuk selalu
bertakwa kepada-Nya dengan cara selalu mematuhi segala perintahnya dan
menjauhi larangannya agar mereka mendapatkan kasih serta ridhonya Allah.6
Imam Syafi’I dalam kitabnya Al-Umm bab Qital Ahl-al-Baghy wa Ahl-Riddah
juga memberikan penjelasan mengenai ayat ini, beliau berkata: Dan Allah Azza
wa Jalla menyuruh memerangi golongan yang berbuat aniaya dan mereka
dihubungkan dengan sebutan iman supaya mereka kembali kepada perintah
Allah.”Kembali, ialah berhenti dari peperangan dengan melarikan diri dengan
kacau-balau, atau dengan bertaubat dan sebagainya. Dan setiap keadaan, dengan
nama peperangan ditinggalkan, maka ia telah kembali.7
Kata Asy-Syafi’iy: “Maka Allah menyuruh jika mereka telah kembali
hendaklah mereka didamaikan dengan adil. Tanpa menyinggung imbas dari
kerugian jiwa dan harta. ALLAH Azza Wa Jalla hanya menyebut “damaikanlah”
pada lahir firman-Nya, sebagaimana Dia juga menyebut “Damaikanlah antara
keduanya” diawal firmanya, sebelum mengizinkan berperang dengan mereka.”
Hal ini mengindikasikan agar persoalan kerugian jiwa dan harta tidak usah
dipermasalahkan.8
Dan firman Allah:

6 Muhammad Ash-Shabuni, shofwatut tafasir, Mesir, Darul Hadits,jilid 3, hlm, 226
7 Imam Syafi’I, Hukum-Hukum Al-Quran, (Surabaya: PT. Bungkul Indah) hal.253-254
8 Syaikh Ahmad bin Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I, Jakarta, Almahira, 2008, hlm.410


“Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah
antara keduanya dengan adil”, mengandung arti supaya mereka didamaikan
berdasarkan hukum, yaitu apabila mereka melakukan sesuatu yang menyangkut
hukum. Maka diberikanlah oleh satu kepada yang lain apa yang semestinya,
karena firman Allah “dengan adil”. Adil ialah menempatkan hak orang lain
secara benar.
Imam Syafi’I melanjutkan : Allah SWT menyebutkan peperangan antara dua
kelompok mukmin, tapi tidak menyinggung soal qishas. Sehingganya imam
Syafi’i berpendapat bahwa hukum qishas tidak berlaku bagi orang yang
memberontak karena salah paham.
Ali bin Abi Thalib pernah memimpin perang melawan para pemberontak yang
keliru dalam menafsirkan teks agama. Ternyata, qishas terhadap kerugian jiwa
dan harta tidak diberlakukan dalam perang tersebut.
Adapun para perampok jalanan dan orang yang membunuh tanpa alasan, baik
kelompok maupun perorangan, mereka harus dihukum mati. Mereka dihukum
mati sebagai hadd dan qishas berdasarkan hukum Allah SWT dalam masalah
pembunuhan dan perang9
C. Unsur-Unsur Bughat
1. Pembangkangan terhadap kepala negara
Yaitu menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikanya, atau
menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Dilihat dari cara dan
alasan pemberontakan ini dilakukan, Imam Abu Hanifah, Al-Syafi’I, dann Ahmad
membedakanya menjadi tiga, yaitu: pertama, kaum pemberontak memiliki
argumentasi mengapa mereka memberontak, baik mereka mempunyai kekuatan
sengaja maupun tidak. Kedua, kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa
mereka memberontak, tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan senjata. Ketiga, kaum
pemberontak mempunyai argumentasi dan juga memiliki kekuatan senjata.
2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
Yaitu, didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh karena itu menurut ulama fiqh,
sikap sekedar menolak kepala Negara yang telah diangkat secara aklamasi, tidak
dinamakan al-baghyu. 10
3. Pembangkang memiliki alasan mendasar
Maksudnya, alasan yang masih bisa diterima. Seperti tuntutan ahli Shiffin atas
pembunuhan terhadap Sayyidina Utsman Ra, karena mereka meyakini bahwa
sesungguhnya Sayyidina Ali Ra mengetahui orang yang membunuh Sayyidina
Utsman Ra.11
Sekiranya para pemberontak itu telah memenuhi unsur-unsur di atas, maka wajib
mereka untuk diperangi hingga mereka menyatakan diri tunduk pada pemerintahan
yang sah. Sebab, dalam al-Quran, menaati pemimpin itu adalah wajib. Allah
berfirman (QS.An-Nisa’[4] : 59) :

9 Syaikh Ahmad bin Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I, Jakarta, Almahira, 2008, hlm.412
10 Imam Maulana, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015. Hal.29-33
11 Abi Abdullah Muhammad Bin Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib, Surabaya, Nurul Huda, Hlm 393

يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم. فإن تنزعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن
كنتم تؤمنون با الله واليوم الأخر. ذلك خيرواحسن تأويلا
“ Hai orang-orang yang beriman , taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil
Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (sunnahnya) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”12
D. Adab Memerangi Bughat
1. pemerintah tidak diperbolehkan memerangi pemberontak kecuali setelah
mengutus seorang yang dapat dipercaya dan cerdas pada mereka untuk
menanyakan apa sebenarnya yang membuat mereka tidak suka.
2. Mereka tidak boleh diperangi dengan senjata berat seperti api dan meriam. Kecuali
mereka memerangi pemerintah dengan alat tersebut atau mengepung pemerintah
3. Senjata dan kendaraan mereka dikembalikan pada mereka setelah pertempuran
selesai, dan serangan mereka sudah dirasa aman sebab mereka bercerai berai atau
telah kembali taat kepada pemerintah13
E. Lampiran Kitab
كتاب قتال أهل البغي وأهل الردة باب فيمن يجب قتاله من أهل البغي
( أخبرنا الربيع بن سليمان ) قال : قال الشافعي رحمه الله تعالى : قال الله تبارك وتعالى : { وإن طائفتان من المؤمنين
اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما
بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين } قال الشافعي رحمه الله تعالى : فذكر الله عز و جل اقتتال الطائفتين والطائفتان
الممتنعتان الجماعتان كل واحدة تمتنع أشد الامتناع أو أضعف إذا لزمها اسم الامتناع وسماهم الله تعالى المؤمنين وأمر
بالإصلاح بينهم فحق على كل أحد دعاء المؤمنين إذا افترقوا وأرادوا القتال أن لا يقاتلوا حتى يدعوا إلى الصلح وبذلك
قلت : لا يبيت أهل البغي قبل دعائهم لأن على الإمام الدعاء كما أمر الله عز و جل قبل القتال وأمر الله عز و جل بقتال
الفئة الباغية وهي مسماة باسم الإيمان حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت لم يكن لأحد قتالها لأن الله عز و جل إنما أذن في
قتالها في مدة الامتناع بالبغي إلى أنه تفيء قال الشافعي : والفيء الرجعة عن القتال بالهزيمة أو التوبة وغيرها وأي حال ترك
بها القتال فقد فاء والفيء بالرجوع عن القتال الرجوع عن معصية الله تعالى ذكره إلى طاعته في الكف عما حرم الله عز و
جل قال : وقال أبو ذؤيب - يعير نفرا من قومه انهزموا عن رجل من أهله في وقعة فقتل - :
( لا ينسأ الله منا معشرا شهدوا ... يوم الأميلح لا غابوا ولا جرحوا )
( عقوا بسهم فلم يشعر به أحد ... ثم استفاءوا وقالوا : حبذا الوضح )
قال الشافعي رحمه الله تعالى : وأمر الله تعالى إن فاءوا أن يصلح بينهما بالعدل ولم يذكر تباعة في دم ولا مال وإنما ذكر
الله تعالى الصلح آخرا كما ذكر الإصلاح بينهم أولا قبل الإذن بقتالهم فأشبه هذا - والله تعالى أعلم - أن تكون التباعات
في الجراح والدماء وما فات من الأوال ساقطة بينهم قال : وقد يحتمل قول الله عز و جل { فإن فاءت فأصلحوا بينهما

12 QS. An-Nisa’
13 Abi Abdullah Muhammad Bin Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib, Surabaya, Nurul Huda, Hlm 395


بالعدل } أن يصلح بينهم بالحكم إذا كانوا قد فعلوا ما فيه حكم فيعطى بعضهم من بعض ما وجب له لقول الله عز و جل :
{ بالعدل } والعدل : أخذ الحق لبعض الناس من بعض قال الشافعي : وإنما ذهبنا إلى أن القود ساقط والآية تحتمل
المعنيين قال الشافعي رحمه الله تعالى : أخبرنا مطرف بن مازن عن معمر بن راشد عن الزهري قال : أدركت الفتنة الأولى
أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم فكانت فيها دماء وأموال فلم يقتص فيها من دم ولا مال ولا قرح أصيب بوجه
التأويل إلا أن يوجد مال رجل بعينه فيدفع إلى صاحبه
كتاب فتح القريب
في أحكام البغاة وهم فرقة مسلمون مخالفون للإمام العادل، ومفرد البغاة باغ من البغي وهو الظلم (ويقاتل) بفتح ما قبل
آخره (أهل البغي) أي يقاتلهم الإمام (بثلاثة شرائط) أحدها (أن يكونوا في منعة) بأن يكون لهم شوكة بقوة وعدد، وبمطاع
فيهم وإن لم يكن المطاع إماماً منصوباً بحيث يحتاج الإمام العادل في ردهم لطاعته إلى كلفة من بذل مال، وتحصيل رجال
فإن كانوا أفراداً يسهل ضبطهم فليسوا بغاة (و) الثاني (أن يخرجوا عن قبضة الإمام) العادل إما بترك الإنقياد له، أو بمنع
حق توجه عليهم، سواء كان الحق مالياً، أو غيره كحد وقصاص (و) الثالث (أن يكون لهم) أي للبغاة (تأويل سائغ) أي
محتمل كما عبر به بعض الأصحاب كمطالبة أهل صفين بدم عثمان حيث اعتقدوا أن علياً رضي الله عنه يعرف من قتل
عثمان، فإن كان التأويل قطعي البطلان، لم يعتبر بل صاحبه معاند، ولا يقاتل الإمام البغاة حتى يبعث إليهم رسولاً أميناً فطناً
يسألهم ما يكرهونه، فإن ذكروا له مظلمة هي السبب في امتناعهم عن طاعته أزالها، وإن لم يذكروا شيئاً أو أصروا بعد إزالة
المظلمة على البغي نصحهم ثم أعلمهم بالقتال (ولا يقتل أسيرهم) أي البغاة فإن قتله شخص عادل فلا قصاص عليه في
الأصح ولا يطلق أسيرهم، وإن كان صبياً أو امرأة حتى تنقضي الحرب ويتفرق جمعهم إلا أن يطيع أسيرهم مختاراً بمتابعته
للإمام (ولا يغنم مالهم) ويرد سلاحهم وخيلهم إليهم إذا انقضى الحرب وأمنت غائلتهم بتفرقهم، أو ردهم للطاعة، ولا
يقاتلون بعظيم كنار ومنجنيق إلا لضرورة فيقاتلون بذلك كأن قاتلونا به أو أحاطوا بنا (ولا يذفف على جريحهم) والتذفيف
تتميم القتل وتعجيله.
كتاب صفوة التفاسير
[ وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما ] أي وإن حدث أن فئتين وجماعتين من إخوانكم المؤمنين جنحوا إلى
القتال فأصلحوا بينهما ، واسعوا جهدكم للإصلاح بينهما ، والجمع [ اقتتلوا ] باعتبار المعنى ، والتثنية [ بينهما ] باعتبار
اللفظ لأن لفظ (طائفة) مفرد ، وإن كان معناها العدد الوافر من الناس
[ فإن بغت إحداهما على الأخرى ] أي فإن اعتدت إحداهما على الأخرى ، وتجاوزت حدها بالظلم والطغيان ، ولم تقبل
الصلح ، وصممت على البغي
[ فقاتلوا التى تبغي حتى تفيء إلى أمر الله ] أي فقاتلوا الفئة الباغية ، حتى ترجع إلى حكم الله وشرعه ، وتقلع عن البغي
والعدوان ، وتعمل بمقتض اخوة الإسلام
[ فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا ] أي فإن رجعت وكفت عن القتال ، فأصلحوا بينهما بالعدل ، دون حيف
على إحدى الفئتين ، واعدلوا في جميع أموركم
8
[ إن الله يحب المقسطين ] أي يحب العادلين الذين لا يجورون في أحكامهم ، قال البيضاوى : والآية نزلت في قتال
حدث بين " الأوس " و " الخزرج " في عهده (ص) كان فيه ضرب بالسعف والنعال ، وهي تدل على أن الباغي مؤمن ،
وأانه إذا كف عن الحرب ترك ، وأنه يجب تقديم النصح والسعي في المصالحة
[ إنما المؤمنون إخوة ] أي ليس المؤمنون إلا إخوة ، جمعتهم رابطة الإيمان ، فلا ينبغي أن تك ون بينهم عداوة ولا شحناء ،
ولا تباغض ولا تقاتل ، قال المفسرون : [ إنما ] للحصر فكأنه يقول : لا أخوة إلا بين المؤمنين ، ولا أخوة بين مؤمن وكافر
، وفي الآية إشارة إلى أن أخوة الإسلام أقوى من أخوة النسب ، بحيث لا تعتبر أخوة النسب ، إذا خلت عن أخوة الإسلام
[ فأصلحوا بين أخويكم ] أي فأصلحوا بين إخوانكم المؤمنين ، ولا تتركوا الفرقة تدب ، والبغضاء تعمل عملها
[ واتقوا الله لعلكم ترحمون ] أي اتقوا الله تعالى بامتثال أوامره ، واجتناب نواهيه ، لتنالكم رحمته ، وتسعدوا
بجنته ومرضاته


BAB III
HIRABAH
A. Pengertian Hirabah
Secara bahasa, kata “hirabah” diambil dari asal kata حَرَبَ, حَرْبًا yang artinya
merampas harta14. Sedangkan secara istilah,” hirabah” adalah tindakan melakukan
kekacauan dan keonaran seperti merampok, membunuh, dan membuat ketakutan bagi
orang ramai.dalam istilah fiqh tindak kejahtan seperti ini disebut dengan gathi aththariq
atau dapat juga disebut teroris.15
Ibrahim Al-Bajury dalam bukunya “Al-Bajury ‘ala Ibni Qasim” mengatakan
ada beberapa kemungkinan tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan seperti ini,
yaitu membunuh dan tidak mengambil harta, membunuh dan mengambil harta,
mengambil harta dan tifak membunuh, serta membuat ketakutan bagi orang ramai.16
Untuk menjaga keamanan bagi semua masyarakat, maka Al-Qur’an
mengajarkan agar pelaku kejahatan itu diberi hukuman. Ada empat alternatif
hukuman bagi mereka, yaitu dibunuh, disalib, dipitong kaki dan tangan, serta diusir.
Hal ini tergantung atas bentuk kejahatan yang dilakukan.
B. Ayat Hirabah di dalam Al-Qur’an dan tafsirnya
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ma’idah(5) ayat 33-34

33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
34. kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap)
mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Muhammad Ash-Shabuni dalam tafsirnya “ shofwatut Al-tafasir” menjelaskan
asbabun nuzul ayat diatas;
سبب النزول :
عن أنس أن رهطاً من عرينة قدموا على رسول الله (ص) فاجتووا المدينة - استوخموها - فبعثهم رسول الله (ص) إلى إبل
الصدقة وأمرهم أن يشربوا من ألبانها وأبوالها ، فلما صحوا قتلوا راعي النبي (ص) واستاقوا النعم ، فأرسل رسول الله (ص) في


14 Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya, Pustaka Progressif, 1999, hlm,106
15 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, Jakarta, Amzah, 2013, hlm, 331
16 Ibrahim Al-Bajury, Al-Bajury ‘ala Ibni Qasim,Surabaya, Nur al-Hidayah, hlm, 246-247


آثارهم ، فجيء بهم فأمر بهم فقطعت أيديهم وأرجلهم ، وسمرت أعينهم وألقوا في الحرة حتى ماتوا ، فنزلت [ إنما جزاء الذين
يحاربون الله ورسوله.. ] الأية.
Dari Anas: Bahwasanya kaum dari Arinah datang kepada Rasulullah. mereka
mengeluhkan keadaan mereka yang sedang dalam keadaan sakit parah. Kemudian
Rasulullah menyuruh mereka mendapatkan sekumpulan unta. Mereka diperbolehkan
meminum susu dan kencingnya. Akan tetapi, ketika telah sembuh mereka membunuh
pengembala unta tersebut dan mengganggu untanya. Oleh sebab itu, Rasulullah
mengutus sanabat untuk menangkap mereka. Setelah mereka tertangkap, mereka
dihukum dengan poting tangan dan kaki serta dicukil matanya, kemudian dibiarkan
seperti itu sampai mati.17
Mengenai tafsiran ayat diatas, Muhammad Ash-Shobuni mengatakan;
[ إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ] أي يحاربون شريعة الله ، ودينه وأولياءه ويحاربون رسوله [ ويسعون في الأرض فسادا ]
أي يفسد ون في الأرض بالمعاصي وسفك الدماء [ أن يقتلوا ] أي يقتلوا جزاء بغيهم [ أو يصلبوا ] أي يقتلوا ويصلب وا زجرا
لغيرهم ، والصيغة للتكثير[ أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف ] معناه أن تقطع يده اليمنى ، ورجله اليسرى[ أو ينفوا من الأرض
] أي يطردوا ويبعدوا من بلد إلى بلد آخر ((قال الشافعي : النفي يكون من بلد إلى بلد ، لا يزال يطلب وهو هارب فزعا ، وقال
أبو حنيفة : النفي : السجن ، واختار ابن جرير أن المراد بالنفي ههنا أن يخرج من بلده إلى بلد آخر فيسجن فيه)) [ ذلك لهم
خزي في الدنيا ] أي ذلك الجزاء المذكور ، ذل لهم وفضيحة في الدنيا[ ولهم في الآخرة عذاب عظيم ] هو عذاب النار ،
ودلت الآية على أن الإمام بالخيار إن شاء قتل ، وإن شاء صلب ، وإن شاء قطع الأيدى والأرجل ، وإن شاء نفي وهو مذهب
مالك. وقال ابن عباس : لكل رتبة من الحرابة رتبة من العقاب ، فمن قتل قتل ، ومن قتل وأخذ المال قتل وصلب ، ومن اقتصر
على أخذ المال قطعت يده ورجله من خلاف ، ومن أخاف فقط نفي من الأرض ، وهذا قول الجمهور ، [ إلا الذين تابوا من قبل
أن تقدروا عليهم ] أى لكن الذين تابوا من المحاربين وقطاع الطريق ، قبل القدرة على أخذهم وعقوبتهم
[ فأعلموا ان الله غفور رحيم ] أى هو سبحانه واسع المغفرة والرحمة ، لمن تاب وأناب ، يقبل توبته ويغفر زلته . . ثم أمر تعالى
المؤمنين بالتقوى والعمل الصالح فقال سبحانه ١٨
Firman-Nya: إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ( sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya) maksudnya adalah orang-orang
yang memerangi syariat Allah, agama, awliya’, serta rasul-Nya
Firman-Nya: ويسعون في الأرض فسادا (Dan Membuat kerusakan di muka bumi)
maknanya adalah orang-orang melakukan kerusakan di bumi dengan cara bermaksiat
dan memumpahkan darah
Firman-Nya أن يقتلوا (bahwa mereka dibunuh) artinya, mereka dibunuh sebagai
balasan dari perbuatan mereka
Firman-Nya أو يصلبوا (atau disalib) maksudnya, mereka dibunuh serta disalib
sebagai pelajaran bagi yang lain
Firman-Nya أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف ](atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik) maknanya, dipotong tangan kanan dan kaki kiri mereka.

17 Muhammad Ash-Shabuni, shofwatut tafasir, Mesir, Darul Hadits, hlm, 229
18 Muhammad Ash-Shabuni, shofwatut tafasir, Mesir, Darul Hadits, hlm, 222


Firman-Nya أو ينفوا من الأرض (atau dibuang dari negrinya) konteksnya
menunjukkan bahwa mereka diusir dan diajuhkan dari negri mereka menuju daerah
yang lain. Imam Syafi’i berkata ; yang dimaksud dengan النفي adalah diusir ke negri
yang lain. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan dipenjara. Ibnu
Jarir menggabungkan kedua pendapat ini, yaitu awalnya diusir dari kampungnya, baru
setelah itu mereka dipejara.
Firman-Nya ذلك لهم خزي في الدنيا (yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka didunia) maknanya, balasan yang telah disebutkan didalam ayat
tersebut adalah bentuk penghinaan untuk mereka.
Sejalan dengan Muhammad Ash-Shabuni, Asy-Syaukani dalam menafsirkan
ayat ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan memerangi Allah didalam ayat ini
adalah memerangi Rasulullah Saw dan memerangi kaum muslim pada zaman beliau
dan zaman setelah beliau. Penggunaan lafadz “harbun” dikarenakan besarnya
pemerangan mereka, karena Allah SWT tidak dapat diperangi dan tidak dapat
dikalahkan. Ini artinya bahwa yang dimaksud dengan memerangi Allah adalah dengan
cara bermaksiat terhadap-Nya dan meyelisihi syariat-syariat-Nya, sedangkan
memerangi Rasulullah diartikan secara hakiki.19
. Perlu kita ketahui bahwa ketentuan hukum ini berlaku bagi setiap orang yang
bisa disebut melakukan demikian, baik ia seorang muslim maupun kafir, baik dari
kalangan terhormat maupun tidak. Hukum Allah dalam hal ini adalah sebagaimana
yang dicantumkan dalam ayat ini, yaitu dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kakinya secara bersilang, atau dibuang dari negrinya. Tapi perlu kita ketahui
bahwa hukuman ini bukanlah hukuman bagi setiap orang yang melukan dosa
(kesalahan), tapi bagi orang yang kesalahannya berupa melanggar darah manusia dan
harta mereka, selain yang telah ditetapkan hukumnya oleh selain hukum ini dalam
kitabullah atau sunnah Rasul-Nya, seperti mencuri dan ketentuan qishas.20
Berikut ibarah Asy-Syaukani dalam kitabnya Fathul Qhadir:
قوله: إِنَّما جَزاءُ الَّذِينَ يُحارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قد اختلف النَّاسِ فِي سَبَبِ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي
الْعُرَنِيِّينَ. وَقَالَ مالك والشافعي وأبو ثور وأصحاب الرأي: إنها نَزَلَتْ فِيمَنْ خَرَجَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْطَعُ الطَّرِيقَ وَيَسْعَى فِي الْأَرْضِ
بِالْفَسَادِ. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: قَوْلُ مَالِكٍ صَحِيحٌ. قَالَ أَبُو ثَوْرٍ مُحْتَجا لِهَذَا الْقَوْلِ:
إِنَّ قَوْلَهَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ: إِلَّا الَّذِينَ تابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَ قْدِرُوا عَلَيْهِمْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي غَيْرِ أَهْلِ الشِّرْكِ، لِأَنَّهُمْ قَدْ أَجْمَعُوا عَلَى
أَنَّ أَهْلَ الشِّرْكِ إِذَا وَقَعُوا فِي أَيْدِينَا فَأَسْلَمُوا أَنَّ دِمَاءَهُمْ تَحْرُمُ، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ ا لآيَةَ نَزَلَتْ ف ي أَهْلِ الْإِسْلَامِ، انْتَهَى. وَهَكَذَا
الْإِسْلَامُ يَهْدِمُ مَا » : وقوله صلّى الله عليه وَسَلَّمَ ، «١» يَدُلُّ عَلَى هَذَا قَوْلُهُ تَعَالَى: قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَغَيْ رُهُ، وَحَكَى ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ: أَعْنِي آيَةَ ال مُحَارِبَةِ نَسَخَتْ « قَبْلَ هُ
فِعْلَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ فِي الْعُرَنِيِّينَ، وَوَقَفَ الْأَمْرُ عَلَى هَذِهِ الْحُدُودِ.
وَرُوِيَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ أَنَّهُ قَالَ: كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَنْزِلَ الْحُدُودُ: يعني فعله صلّى الله عليه وسَلَّمَ بِالْعُرَنِيِّينَ وَبِهَذَا قَالَ جَمَاعَةٌ
مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ. وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ آخَرُونَ إِلَى أَنَّ فِعْلَهُ صلّى الله عليه وَسَلَّمَ بِالْعُرَنِيِّينَ مَنْسُوخٌ بِنَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ عَنِ

19Asy-Syaukani, Fathul Qhadir, Jakarta, Pustaka Azzam, 2009, hlm. 354
20 Asy-Syaukani, Fathul Qhadir, Jakarta, Pustaka Azzam, 2009, hlm. 355
12


الْمُثْلَةِ، وَالْقَائِلُ بِهَذَا مُطَالَبٌ بِبَيَانِ تَأَخُّرِ النَّاسِخِ، وَسَيَأْتِي سِيَاقُ الرِّوَايَاتِ الْوَارِدَةِ ف ي سَبَبِ النُّزُولِ. وَالْحَقُّ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ تَعُمُّ
الْمُشْرِكَ وَغَيْرَهُ لِمَنِ ارْتَكَبَ مَا تَضَمَّنَتْهُ، وَلَا اعْتِبَارَ بِخُصُوصِ السَّبَبِ، بَلِ الِاعْتِبَارُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ. قَالَ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: وَلَا
خِلَافَ بَيْنِ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَنَّ حُكْمَ هَذِهِ الْآيَةِ مُتَرَتِّبٌ فِي الْمُحَارِبِينَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ وَإِنْ كَانَتْ نَزَلَتْ فِي الْمُرْتَدِّينَ أ وِ الْيَهُودِ،
انْتَهَى. وَمَعْنَى قَوْلِهِ مُتَرَتِّبٌ: أَيْ ثَابِتٌ قِيلَ: الْمُرَادُ بمحاربة الله المذكورة في
الْآيَةِ، هِيَ مُ حَارَبَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، وَمُحَارَبَةُ الْمُسْلِمِينَ فِي عَصْرِهِ وَمِنْ بَعْدِ عَصْرِهِ بِط رِيقِ الْعِبَارَةِ دُونَ الدَّلَالَةِ وَدُونَ
الْقِيَاسِ، لِأَنَّ وُرُودَ النَّصِّ لَيْسَ بِطَرِيقِ خِطَابِ الْمُشَافَهَةِ حَتَّى يَخْتَصَّ حُكْمُهُ بِالْمُكَلَّفِينَ عِنْدَ النُّزُولِ فَيَحْتَاجُ فِي تَعْمِيمِ الْخِطَابِ
لِغَيْرِهِمْ إِلَى دَلِيلٍ آخَرَ وَقِيلَ: إِنَّهَا جُعِلَتْ مُحَارَبَةُ الْمُسْلِمِينَ مُحَارَبَةً لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ إِكْ بَارًا لِحَرْبِهِمْ وَتَعْظِيمًا لِأَذِ يَّتِهِمْ، لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ
لَا يُحَارَبُ وَلَا يُغَالَبُ. وَالْأَوْلَى أَنْ تُفَسَّرَ مُحَارَبَةُ اللَّهِ سُبْحَانَهُ بِمَعَاصِيهِ وَمُخَالَفَةِ شَرَائ عِهِ، وَمُحَارَبَةُ الرَّسُولِ تُحْمَلُ عَلَى مَعْنَاهَا
الْحَقِيقِيِّ، وَحُكْمُ أُمَّتِهِ حُ كْمُهُ، وَهُمْ أُسْوَتُهُ. وَالسَّعْيُ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا يُطْلَقُ عَلَى أَنْوَاعٍ مِنَ الشَّرِّ كَمَا قَدَّمْنَا قَرِيب ا. قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ فِي
تَفْسِيرِهِ: قال كثير من السلف منهم سعيد ابن الْمُسَيَّبِ: إِنَّ قَرْضَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ مِ نَ الْإِفْسَادِ فِي الْأَرْضِ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: وَإِذا
تَوَلَّى سَعى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيها وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسادَ انْتَهَى.
إِذَا تَقَرَّرَ لَكَ مَا قَرَّرْنَاهُ مِنْ عُمُومِ الْآيَةِ وَمِنْ مَعْنَى الْمُحَارَبَةِ وَالسَّعْيِ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا، فَاعْلَمْ أَنَّ ذَلِكَ يَصْدُقُ عَلَى كُلِّ مَنْ وَقَعَ مِنْهُ
ذَلِكَ، سَوَاءٌ كَانَ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا، فِي مِصْرَ وَغَيْرِ مِصْرَ، فِي كُلِّ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ، وَجَلِيلٍ وَحَقِيرٍ، وَأَنَّ حُكْمَ اللَّهِ فِي ذَلِكَ هُوَ مَا وَرَدَ فِي
هَذِهِ الْآيَةِ مِنَ الْقَتْلِ أَوِ الصَّلْبِ، أَوْ قَطْعِ الْأَيْدِي وَالْأَرْجُلِ مِنْ خِلَافٍ، أَوِ النَّفْيِ مِنَ الْأَ رْضِ، وَلَكِنْ لَا يَكُونُ هَذَا حُكْمُ مَنْ فَعَلَ أَيَّ
ذَنْبٍ مِنَ الذُّنُوبِ، بَلْ مَنْ كَانَ ذَنْبُهُ هُوَ التَّعَدِّي عَلَى دِمَاءِ الْعِبَادِ وَأَمْوَالِهِمْ فِيمَا عَدَا مَا قَدْ وَرَدَ لَهُ حُكْمٌ غَيْرُ هَذَا الْ حكْمِ فِي كِتَابِ
اللَّهِ أَوْ سُنَّةِ رَسُولِهِ كَالسَّرِقَةِ وَمَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ، لِأَنَّا نَعْلَمُ أَنَّهُ قَدْ كان في زمنه صلّى الله عليه وَسَلَّمَ مَنْ تَقَعُ مِنْهُ ذُنُوبٌ وَمَعَاصٍ
غَيْرَ ذَلِكَ، وَلَا يَجْرِي عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا الْحُكْمُ الْمَذْكُورُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ، وَب هَذَا تَعْرِفُ ضِعْفَ مَا رُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي
تَفْسِيرِ الْمُحَارِبَةِ الْمَذْكُورَةِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ: أَنَّهَا الزِّنَا وَالسَّرِقَةُ، وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّ هَذَيْنِ الذَّنْبَي نِ قَدْ وَرَدَ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَفِي سنة رسوله
صلّى الله عليه وَسَلَّمَ لَهُمَا حُكْمٌ غَيْرُ هَذَا الْحُكْمِ.
وَإِذَا عَرَف تَ مَا هُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَةِ عَلَى مُقْتَضَى لُغَةِ الْعَرَبِ الَّتِي أَمَرَنَا بِأَنْ نُفَسِّرَ كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ بِهَا، فَإِيَّاكَ أَنْ
تَغْتَرَّ بِشَيْءٍ مِنَ التَّفَاصِيلِ الْمَرْوِيَّةِ، وَالْمَذَاهِبِ الْمَحْكِ يَّةِ، إِلَّا أَنْ يَأْتِيَكَ الدَّلِيلُ الْمُوجِبُ لِتَخْصِيصِ هَذَا الْعُمُومِ أَوْ تَقْيِيدِ هَذَا الْمَعْنَى
الْمَفْهُومِ مِنْ لُغَةِ الْعَرَبِ فَأَنْتَ وَذَاكَ اعْمَلْ بِهِ وَضَعْهُ فِي مَوْضِعِهِ، وَأَمَّا مَا عَدَاهُ:
فَدَعْ عَنْكَ نَهْبًا صِيحَ ف ي حُجُرَاتِهِ ... وَهَاتِ حَدِيثًا مَا حَدِيثُ الرَّوَاحِلِ
عَلَى أَنَّا سَنَذْكُرُ مِنْ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ مَا تَسْمَعُهُ: اعْلَمْ أَنَّهُ قَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيمَنْ يَسْتَحِ قُّ اسْمَ الْمُحَارَبَةِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَسَعِيدُ بْنُ
الْمُسَي بِ وَمُجَاهِدٌ وَعَطَاءٌ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَالضَّحَّاكُ وَأَبُو ثَوْرٍ: إِنَّ مَنْ شَهَرَ السِّلَاحَ فِي قُبَّةِ الْإِسْلَامِ وَأَخَافَ
السَّبِيلَ ثُمَّ ظُفِرَ بِهِ وَقُدِرَ عَلَيْهِ فَإِمَامُ الْمُسْلِمِينَ فِيهِ بِال خِيَارِ: إِنْ شَاءَ قَتَلَهُ، وَإِنْ شَاءَ صَلَبَهُ، وَإِنْ شَاءَ قَطَعَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ. وَبِهَذَا قَالَ
وَلَا «١» مَالِكٌ وَصَرَّحَ بِأَنَّ الْمُحَارِبَ عِنْدَهُ مَنْ حَمَلَ عَلَى النَّاسِ فِي مِصْرٍ أَوْ فِي بَرِّيَّةٍ أَوْ كَابَرَهُمْ عَ لَى أَنْفُسِهِمْ وَأَمْ وَالِهِمْ دُونَ نَائِرَةٍ
ذَحْلَ وَلَا عداوة ٢١
Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai
ayat ini, ia berkata,” apabila pemberontak beraksi dan merampas harta tanpa
membunuh, maka hukumnya dipotong tangan dan kakinya secara timbal balik. Bila
aksinya berupa pembunuhan namun tidak mengambil harta, maka hukumnya dibunuh.
Bula aksinya itu merampas harta dan membunuh, maka hukumnya dibunuh dan
disalib. Bila aksinya hanya berupa menakut-nakuti tanpa merampas harta dan
membunuh, maka hukumnya diusir.22

21 Asy-Syaukani, Fathul Qhadir, Beirut, Darul kalam tayyib, 1414 H,jilid 2, hlm 41
22 Asy-Syaukani, Fathul Qhadir, Jakarta, Pustaka Azzam, 2009, hlm. 364
13

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu tindak kejahatan yang menyebabkan terpecah belahnya hubungan
antar sesama adalah bughat, yaitu sekelompok orang yang secara sengaja melakukan
gerakan-gerakan dengan maksud untuk menggerogoti kewibawaan bahkan
menggulingkan pemerintahan yang sah. Dalam hal ini, Islam memberikan sanksi
tegas terhadap pelakunya yaitu mereka harus diperangi sampai mereka tobat atau
mereka mengaku kalah.
Tidak hanya bughat yang menyebabkan kekacauan, hirabah juga menciptakan
suasana yang tidak aman bagi masyarakat. Hirabah yakni tindakan melakukan
kekacauan dan keonaran seperti merampok, membunuh, dan membuat ketakutan bagi
orang ramai. Oleh karena itu, Islam juga menjatuhkan sanksi yang amat berat bagi
pelakunya. Yaitu, sebagaimana yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm
yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata,” apabila pemberontak beraksi dan
merampas harta tanpa membunuh, maka hukumnya dipotong tangan dan kakinya
secara timbal balik. Bila aksinya berupa pembunuhan namun tidak mengambil harta,
maka hukumnya dibunuh. Bula aksinya itu merampas harta dan membunuh, maka
hukumnya dibunuh dan disalib. Bila aksinya hanya berupa menakut-nakuti tanpa
merampas harta dan membunuh, maka hukumnya diusir
B. Saran Dan Kritik
Dengan makalah ini pembaca diharapkan dapat memahami pembahasan tentang
bughat dan hirabah beserta hukumannya yang terdapat didalam al-Qur’an
Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat didalam makalah ini,
baik dari segi penulisan, susunan kata, bahan referensi, dan lainnya. Oleh karena itu
penulis mengharapkan masukan dari pihak pembaca sebagai pengetahuan untuk
mewujudkan perubahan yang lebih baik di masa yang akan datang

DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syaukani, Fathul Qhadir, Jakarta, Pustaka Azzam, 2009
Asy-Syaukani, Fathul Qhadir, Beirut, Darul kalam tayyib, 1414 H,Jilid 2
Ash-Shabuni , Muhammad, shofwatut tafasir, Mesir, Darul Hadits
Al-Bajury , Ibrahim, Al-Bajury ‘ala Ibni Qasim,Surabaya, Nur al-Hidayah
Yusuf, Kadar M. Tafsir Ayat Ahkam, Jakarta, Amzah, 2013
Bisri , Adib, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya, Pustaka Progressif,
1999
Abi Abdullah Muhammad Bin Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib, Surabaya, Nurul Huda
al-Farran , Syaikh Ahmad bin Musthafa, Tafsir Imam Syafi’I, Jakarta, Almahira, 2008
Maulana, Imam, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015
Lilik Ummu Kaltsum, Abd.Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: UIN
Press, 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir