sejarah kedatangan islam di Nusantara
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Ciputat , Mei
2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................................................4
A.
Latar
belakang................................................................................................................4
B.
Rumusan
masalah...........................................................................................................5
C.
Tujuan ............................................................................................................................5
BAB II : PEMBAHASAN..................................................................................................6
A. Situasi
Politik Menjelang Islam di Nusantara.....................................................6
B.
Situasi
Sosial-Budaya Menjelang Islam di Nusantara...............................................12
BAB III : PENUTUP....................................................................................................................18
A. Kesimpulan........................................................................................................................18
B. Saran...................................................................................................................................18
Daftar pustaka ..............................................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia dari abad ke-13 sampai abad
ke-18 M. merupakan periode sejarah yang menarik perhatian karena terjadinya
perubahan-perubahan dibidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan,
akibat proses akulturasi antara keagamaan dan kebudayaan yang diperkenalkan
oleh pembawa-pembawa Islam dengan keagamaan dan kebudayaan Indonesia masa
Pra-Islam. Masa menjelang kedatangan dan penyebaran Islam tersebut
kelompok-kelompook masyarakat yang menempati bebagai kepulauan di Indonesia itu
sendiri dari dua kelompok besar ditinjau dari segi keagamaan serta
kebudayaannya. Di satu pihak masyarakat yang masih percaya kepada animism dan
dinamisme dengan unsur-unsur budaya tardisi Pra-Hindu/Budha, dan di satu pihak
masyarakat yang sudah mengenal keagamaan Hindu-Budha akibat proses alkuturasi
dengan kebudayaan India yang tumbuh dan berkembang sejak lebih kurang abad-abad
pertama Masehi hingga abad ke-16 M.[1][1][1]
Ketika Islam mensyiarkan Islam ke
daerah pesisir Nusantara melalui perdagangan dan pelayaran saat itu juga
kondisi politik yang pada saat itu pemerintahan berbentuk kerajaan mengalami
berbagai situasi politik yang berbeda-beda disetiap daerahnya. Hal ini
merupakan salah satu penyebab Islam mudah diterima oleh masyarakat sekitar
tidak hanya oleh rakyat bahkan juga oleh kalangan bangsawan meskipun motif
mereka memeluk Islam berbeda-beda juga.
Perkembangan agama Islam di
Indonesia yang berlangsung secara evolusi telah berhasil menanamkan akidah
Islamiyah dan syari’ah shohihah, memunculkan cipta, rasa, dan rasa bagi
pemeluknya. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat telah memeluk agama yang
berkembang secara evolusi pula, hingga merasuk ke budaya dan tata cara hidup.
Dan budaya itu sudah sangat mengakar di kehidupan masyarakat. Baik itu yang
berbaur dengan budaya-budaya sebelumnya, maupun budaya yang tercipta karena
munculnya nilai-nilai Islam. Dalam makalah ini, kami akan mencoba mengupas
sedikit tentang situasi politik dan sosial-budaya menjelang kedatangan Islam di
Nusantara. Semoga makalah ini bisa menjadi referensi bagi pembaca sekalian.
B. Rumusan
masalah
1.
Bagaimana kah proses Islamisasi di
Nusantara?
2.
Bagaimna kondisi politik
kerajaan-kerajan yang berkuasa di Nusanatara?
3.
Apakah kepercayaan yang di anut
masyarakat Nusantara sebelum kedatangan islam?
4.
Bagaimna kondisi sosial Budaya
menjelang kedatangan Isalam?
5.
Apa peran wali songo dalam proses islamisasi
di Nusantara?
C.
Tujuan
1. Mampu
menjelaskan proses Islamisasi di Nusantara
2. Mengetahui
kondisi politik kerajaan-kerajaan pra Islam
3. Mengetahui sejarah kepercayaan masyarakat Nusantara
4. Mengetahui
kondisi Sosiala Budaya masyarakat Nusantara pra Islam
5. Mengidentifiksi
peran wali songo dalam proses islamisasi di Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Situasi Politik Menjelang Islam di
Nusantara
Masalah politik adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan, pemerintahan, lembaga-lembaga dan
proses-proses politik hubungan internasional dan tata pemerintahan.[2][2][2]
Sejak dahulu kawasan Timur yang
meliputi kepulauan India Timur dan pesisir Selatan China sudah memiliki
hubungan dengan dunia Arab melalui perdagangan. (hamka : 655). Penyebaran agama
Islam sejak abad ke-13 makin lama makin cepat meluas di kepulauan Nusantara ini
terutama berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Para penyiar ini
adalah para anggota aliran tarekat Islam yang melarikan diri dari Baghdad yang
pada tahun 1258 jatuh ketangan bangsa Mongol. Kontak budaya antara pusat-pusat
penyebaran Islam dengan kota-kota pelabuhan di Indonesia melalui rute Samudra
telah membawa serta gagasan para ahli mistik ke Sumatra Utara dan kemudian ke
Semenanjung Malaka selama abad 14 hingga 16 gagasan-gagasan mistik tersebut
telah sampai ke pulau Jawa.[3][3][3]
Kedatangan Islam di berbagai daerah
Indonesia tidaklah sama. Demikian pula kerajaan-kerajaan yang didatangi
mempunyai situasi politik dan sosial-budaya yang berlainan. Saat kerajaan
Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya di abad ke 7 dan 8, selat Malaka sudah
mulai dilalui pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri Asia
Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman Tang, pada abad-abad tersebut
diduga masyarakat Muslim telah ada, baik dari Kungfu maupun didaerah Sumatra
sendiri.[4][4][4]
1.
Sumatara
Selatan
Palembang yang terletak di tepi
sungai Musi merupakan kerajaan yang cukup penting. Pelabuhan Palembang banyak
dikunjungi oleh kapal-kapal niaga terutama dari Jawa, Madura, Bali dan
Sulawesi. Kapal-kapal ini membawa beras, garam, dan bahan pakaian : dan membawa
pulang lada dan timah dari Palembang. Dataran rendah di tanah Palembang
merupakan tanah rata dan berawa-rawa. Kecuali dibeberapa bagian, hampir seluruh
daerah itu tidak cocok untuk pertanian. Namun daerah pedalaman atau dataran
tinggi bias menjadi penghasil lada. Hasil-hasil perkebunan ini yang biasa
dimonopoli oleh raja, dibeli oleh kaki tangan raja dengan harga murah.[5][5][5]
Keterlibatan orang-orang Islam dalam
politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika terjadi pemberontakan petani
Cina kepada kaisar Hi Tsung (878-889
M). pada saat itu para petani dibantu
oleh orang-orang Islam dan akibatnya banyak orang Islam terbunuh dan ada
juga yang melarikan diri ke Kedah (wilayah Sriwijaya dan Palembang).[6][6][6]
Apabila kerajaan sriwijaya pada abad
ke 7 sampai abad ke 12 dibidang ekonomi dan politik masih menunjukan kemajuan,
maka sejak akhir abad ke-12 mulai menunjukan kemundurannya yang prosesnya
terbukti pada abad ke-13.
Tanda-tanda kemunduran Sriwijaya di
bidang perdagangan mungkin dapat dihubungkan dengan berita Chou Ku-Fei tahun 1178, dalam Ling-Wai-Tai-Ta
yang menceritakan bahwa barang persediaan barang-barang perdagangan di
Sriwijaya mahal-mahal, karena negeri itu tidak lagi menghasilakan hasil-hasil
alamnya. Untuk mencegah kemunduran kerajaan sriwijaya maka kerajaan tersebut
membuat peraturan Cukai yang lebih berat lagi bagi pedagang-pedagang asing yang
singgah dipelabuhannya. Apabila para pedagang asing itu berusaha menghindari
pelabuhannya, maka dipelabuhan-pelabuhan lainnya mereka dipaksa berlabuh oleh
penguasa-penguasa setempat. Dengan demikian, maka pedagang asing tujuannya
berlayar ke Cina mengalami berbagai rintangan.[7][7][7]
Persedian keperluan untuk pelayaran
dan perdagangan yang lebih jauh sudah diambil dipelabuhan-pelabuhan yang
dikuasi kerajaan Sriwijaya seperti tersebut diatas bukan mendatangkan hasil
pendangan yang lebih menguntungkan tetapi lebih menrugikan karena kapal-kapal
dagang itu seringkali menyingkiri pelabuhan-pelabuhan, menembus blokirnya dan
menuju tempat-tempat yang mereka ketahui banyak menghasilkan barang dagangan.[8][8][8]
Jadi, usaha yang dilakukan Sriwijaya
dalam mengatasi kemundurannya dengan memerlakukan kebijakan baru mengenai
dengan menaikan cukai terhadap kapal-kapal dagang tidak membuahkan hasil yang
diinginkan kerajaan Sriwijaya bahkan kebijakan tersebut memperpuruk keadaan
ekonomi kerajaan Sriwijaya hal ini disebabkan karna para pedagang sering kali mengindari
pelabuhan Sriwijaya. Akibat kemunduran tersebut banyak daerah kekuasaan
Sriwijaya yang menyatakan melepaskan diri dari kerajaan tersebut hal ini
semakin melemahkan keadaan Sriwijaya.
Sejalan dengan kelemahan yang
dialami kerajaan Sriwijaya mereka para pedagang muslim lebih berkesempatan
untuk mendapatkan barang dagang dan keuntungan politik. Mereka menjadi
pendukung daerah-daerah yang muncul dan ada yang menyatakan dirinya sebagai
kerajaan yang bercorak Islam. Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam
memperkirakan pada abad ke-13 akibat dari proses Islamisasi daerah pantai yang
pernah disinggahi pedagang muslim sejak abad ke-7,8, dan seterusnya. Daerah
yang diperkirakan masyarakatnya sudah banyak memeluk Islam ialah Perlak,
seperti kita ketahui dari berita Marco Polo yang singgah di daerah itu pada
tahun 1292 M.[9][9][9]
kemunduran dan keruntuhan kerajaan
Sriwijaya itu selain akibat ekspansi politik Singasari - Majapahit, juga karna
ekspansi Cina pada masa Kubilai khan di abad ke 13 dan masa pemerintahan
dinasti Ming abad ke 14-15 ke Asia Tenggara. Pengaruh politik kerajaan
Majapahit ke Samudra Pasai dan Malaka setelah keruntuhan Sriwijaya itu mulai
berkurang, terutama setelah dipusat Majapahit sendiri timbul berbagai kekacauan
politik akibat perebutan kekuasaan dikalangan Raja. Dengan demikian,
kerajaan-kerajaan yang jauh dari pengawasan pusat kerajaan Majapahit, seperti
Samudra Pasai dan Malaka berhasil mencapai puncak kekuasaan hingga abad ke-16
M.[10][10][10]
2.
Sumatra
Utara
Samudera, sebelum kedatangan dan proses penyebaran
Islam, hanyalah sebuah kampong (gampong)
yang dipimpin oleh seorang kepla suku. Kampong tersebut telah menjadi tempat
persinggahan para pedagang. Sejak abad ke 7 perkampungan ini sudah didatangi
para pedagang Muslim. Kota ini kemudian menjadi pusat kerajaan Islam Samudera
Pasai. Jumlah penduduk di kota tersebut, berdasar laporan Tome Tires ketika
dating lebih kurang 20.000 orang.[11][11][11]
Kemudian munculnya kerajaan Samudra
Pasai dapat kita hubungan dengan kondisi politik kerajaan Sriwijaya yang mulai
menunjukan kelemahannya, sehingga kurang mampu menguasai daerah kekuasannya.
Situasi ini dipergunakan oleh orang-orang Muslim, tidak hanya membentuk
perkampungan perdaganan yang bersifat ekonomis, tetapi juga untuk membentuk
struktur pemerintahan yakni dengan mengangkat Marah silu, kepala suku Gampong
Samudra, menjadi sultan Malik Al-Shalih.[12][12][12]
Demikian situasi politik
kerajaan-kerajaan di daerah Sumatra ketika pengaruh Islam datang
kedaerah-daerah itu. Akibat hubungan lalu lintas melalui selat Malaka dengan
Samudra Pasai sebagai salah satu pusat persinggahannya maka sampailah Islam ke
Senanjung Melayu yaitu ke Trengganu dimana ditemukan batu yang bertulisan huruf
Arab - Melayu atau Jawi 1303 M. bahasanya Melayu campur Sangsekerta dan Arab.
Demikian pula Malaka pada abad 14 M muncul sebagai pusat pelayaran dan
perdagangan kaum muslim. Melalui selat Malaka dengan pusat-pusatnya ialah
Samudra Pasai dan Malaka dilanjutkan ke pesisir pulau lainnya yaitu ke pesisir
Utara Jawa Timur dengan adanya temuan sebuah nisan yang memuat nama Fatimah
binti Maimun bin Hibat Allah.[13][13][13]
3.
Jawa Timur
Kedatangan dan penyebaran Islam di
pulau Jawa mempunyai aspek-aspek, ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Sebagaimana dikatakan bahwa karna situasi dan kondisi politik di Majapahit yang
lemah karna perpecahan dan peperangan di kalangan keluarga Raja-raja dalam
perebutan kekuasaan. Maka kedatangan dan penyebaran islam makin dipercepat.
Bupati-bupati pesisir merasa bebas dari pengaruh kekuasaan raja-raja Majapahit,
mereka makin lama makin yakin akan kekuasaannya sendiri di bidang ekonomi
didaerah-daerahnya. Daerah pesisir merasa makin lama makin merdeka, justru oleh
karena kelemahan pendukung-pendukung kerajaan yang sedang mengalami keruntuhan.
Perjuangan antara kota-kota perdagangan dipesisir dengan daerah-daerah agraris
diperdalaman sedang dimulai. Perkembangan ekonomi dan politik mempunyai tujuan
sendiri dan memalui bupati-bupati pesisir yang memluk agama Islam maka agama
menjadi kekuatan baru dalam proses perkembangan masyrakat.[14][14][14]
Dalam hal ini, J.C. van Leur,
berpendapat bahwa karena pertentangan antara keluarga bangsawan dengan
kekuasaan pusat Majapahit serta aspirasi-aspirasi keluarga bangsawan untuk
berkuasa sendiri atas Negara maka islamisasi menjadi alat politik.[15][15][15]
4.
Maluku
Kedatangan Islam ke Maluku tidak
dapat dipisahkan dari jalur perdagangan internasional antara Malaka, Jawa dan
Maluku.[16][16][16] Dari
persisir Utara Jawa para pedagang muslim itu mendatangi tempat-tempat perdagangan
Indonesia dibagian Timur yaitu pulau-pulau Maluku yang terkenal dengan
rempah-rempahnya. Maluku sejak abad ke 14 sudah didatangi orang muslim raja
Ternate yang ke-12 yaitu Molomateya (1350-1357 M) bersahabat dengan orang-orang
muslim arab yang memberikan petunjuk cara membuat kapal. Sedang pada masa
pemerintahan Marhum di Ternate, seorang yang bernama Maulana Husen datang
kedaerah itu ia mempertunjukan kemahirannya dalam hal menulis huruf arab dan
membaca al-Qur;an sehingga menarik perhatian penguasa rakyat Malauku.[17][17][17]
Raja Ternate waktu itu sudah memeluk
Islam yang bernama Sultan Bom Acorala dan hanyalah raja Ternate yang justru
memakai gelar Sultan sedang yang lainnya
digelari raja. Menurut Tome’ Pires (1512-1515) bahwa raja di Maluku terutama
kali masuk Islam kira-kira 50 tahun yang
lalu berita tersebut berjalan pula dengan berita Antonio Galvau yang berada
disana pada tahun 1540-1545 M, yang menegaskan bahwa Islam didaerah Maluku
dimulai 80 atau 90 yang lalu.[18][18][18]
Situasi politik didaerah Maluku
ketika kedatangan Islam berbeda di Jawa, mereka tidak menghadapi kekacauan
politik yang disebakan perebutan kekuasaan dikalangan keluarga
penguasa-penguasanya.[19][19][19]
5.
Kalimantan
Timur
Kedatangan orang-orang Muslim
kedaerah Kalimatan Timur diketahui dari hikayat
Kutai tidaklah mengambarkan adanya perebutan kekuasaan dikalangan keluarga
raja-raja Kutai. Kerajaan Kutai sebelum kedatangan Islam ialah bercorak Hindu
sedang dipedalaman terdapat beberapa suku yang masih berkepercayaan kepada
aninisme dan aminesme. Dikatakan bahwa ketika Kutai masih diperintahkan raja
mahkota datanglah dua orang mubalig yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan
Tunggang Parangan. Setelah berlomba kesaktian dan raja kalah maka mereka
diterima dengan baik dan diperkenankan mengajarkan Islam.[20][20][20]
6.
Kalimantan
Selatan
Berbeda dengan Kalimantan Timur,
Islam masuk ke Kalimantan Selatan ketika terjadi perpecahan dalam Kerajaan
Nagara Dipa, Daha dan Kuripan. Sumber yang menjelaskan awal penerimaan Islam
didaerah ini adalah Kronik Banjar atau Hikayat Banjar. Saat Islam masuk Nagara
Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, setelah ia meninggal digantikan oleh
Pangeran Tumenggung dan beberapa tahun kemudian terjadi perebutan kekuasaan
atau tahta dengan Raden Samudra, cucu Maharaj Sukarama yang lebih berhak atas
tahta kerajaan. Raden Samudra kemudian diangkat menjadi rajandi Kerajaan Banjar
yang didirikan di daerah pantai dan berperang dengan Nagara Daha dihulu sungai.
Dalam peperangan ini Raja Samudra meminta bantuan Demak. Setelah berhasil
mengalahkan Pangeran Tumenggung, Raden Samudra kemudian memeluk Islam sebagai
realisasi perjanjiannya dengan Demak. Raden Samudra mengganti namanya menjadi
Sultan Suryanullah.[21][21][21]
Dengan demikian situasi politik di
Kalimantan Selatan menjelang kedatangan atau masuknya Islam juga menghadapi
pula situasi perebutan kekuasaan atau Tahta diantara keturunan Negara Dipa dan
Negara Daha. Meskipun tadi dikatakan bahwa orang-orang muslim datang membantu
kerajaan Banjar itu ialah Daru Demak namun tidak musthil pula para pedangan muslim
dari Malaka yang bermaksud ke Maluku, diantaranya singgah di Banjar dan mungkin
juga bertempat tinggal.
7.
Sulawesi
Selatan
Kedatangan para pedagan muslim ke
Sulawesi Selatan mungkin sudah ada sejak abad ke-15-16 M dan mungkin berasal
dari Malaka, Samutra dan Jawa. Tom Pires mernceritakan bahwa di Sulawesi
terdapat lebih kurang 50 buah kerajaan yang raja dan rakyatnya masih menganut
berhala. Secara resmi agama Islam dianut di Sulawesi selatan oleh raja Gua dan
talo pada tanggal 22 september 1605 M. kemudian ke daerah Bone, Waje, Sopeng
dan lainnya, islam disebarkan dari pusat kerajaan Gowa.[22][22][22]
Dari uraian tersebut diatas dapatlah
diambil kesimpulan bahwa kedatangan Islam ke-beberapa daerah di kepulauan
Indonesia menghadapi situasi politik daerahnya yang berbeda-beda yaitu ada yang
sedang mengalami perebutan kekuasaan politik
ada yang tidak. Ada daerah yang stuktur birokrasinya bercorak kerajaan
Indonesia Hindu Budha dan ada pula yang merupakan suku-suku yang dipimpin
kepala suku atau sesepuh.
Akhirnya dapat ditarik kesimpulan
bahwa kedatangan Islam dan penyebarannya di berbagai daerah Nusantara ialah
dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang dilakukan oleh para
mubalig-mubalig atau orang-orang Muslim. Kemudian jika didapati daerah penyebaran
Islam situasi politik di kerajaan-kerajaan itu mengalami kelemahan dan
kekacauan di sebabkan perebutan kekuasaan di kalangan para raja maka agama
Islam dijadikan politik bagi golongan bangsawan atau raja-raja yang menghendaki
kekuasaan. Mereka berhubungan dengan para pedagang Muslim yang posisi
ekonominya kuat karna penguasaan pelayaran dilautan dan perdagangan. Dan
apabila telah terwujud kerajaan Islam maka berulah mereka melancarkan perang
terhadap kerajaan yang bukan Islam. Hal itu bukan hanya karena tujuan agamanya
tetapi karena dorongan politik untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya
misalnya Gowa melakukan penyerangan terhadap kerajaan lainnya di Sulawesi
Selatan, Demak, dan Banten melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di
Jawa Hindu.
B. Situasi Sosial-Budaya Menjelang Islam di Nusantara
Sebelum Islam masuk ke bumi
Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur
ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang berkembang. Semua itu tidak
terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan
dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu dari pada Islam.
Perlu diketahui bahwa
kelompok-kelompok masyarakat, terutama dipusat-pusat kerajaan, biasanya
memiliki perkampungan sendiri.
Karenanya, sering kita jumpai istilah-istilah seperti pecinan
(perkampungan cina), pakojan (perkampungan orang Arab, yang semula milik orang
India), pekauman (perkampungan anggota kerabat pejabat keagamaan keratin),
kepatihan ( perkampungan kerabat para patih) dan sebagainya.[23][23][23]
Seperti halnya kondisi masyarakat
daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada daerah
lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah pesisir ini
digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir terkena
percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara
tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka
menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang
dari Arab, Persia, China, India dan Eropa.[24][24][24]
Berbeda dengan daerah pedalaman yang
lebih tertutup dari budaya luar. Sehingga mereka lebih condong pada kebudayaan
nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan dari luar. Awalnya Islam
masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman. Masuknya Islam masih sudah
terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis, diantaranya
adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu terdapat
kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh Hindu dari India.
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo, Bone dan lainnya.
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya pengaruh Hindu.
Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih berdasarkan tradisi nenek
moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.[25][25][25]
Hindu Budha lebih dulu masuk di
Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa dengan mudah dan lebih
mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. [26][26][26]
Pertama,
situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang
mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia
Tenggara, termasuk Nusantara. Akibat dari kemunduran situasi politik.
adipati-adipati pesisir yang melakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan
akhirnya mereka menjadi penerima Agama Islam. Situasi politik seperti itu
mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara lebih mudah. Karena kekacauan politik,
mengakibatkan kacauan pada budaya dan tradisi masyarakat.
Kedua, kekacauan
budaya ini digunakan oleh mubaligh-mubaligh dan pedagang muslim yang sudah
mukim untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui perkawinan.
Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada keturunan Arab atau India. Misalnya
di Surakarta terdapat perkampungan Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung
Arab).
Setelah masuknya Islam di Nusantara,
terbukti budaya dan ajaran Islam mulai berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas
dari peran Mubaligh-mubaligh dan peran Walisongo di Jawa. Bukti bahwa ajaran
Islam sudah dikerjakan masyarakat Nusantara. Di kota-kota besar dan kecil yang
sudah Islam, terdapat bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk berjamaah.
Hal itu merupakan bukti budaya yang telah berkembang di nusantara.Kesejahteraan
dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan
perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi
Nusantara atau Jawa.
Setelah Majapahit runtuh
daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana,
Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah
kokoh dan makmur. Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian
mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit
menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan
politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan
antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan”
kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budha yang kuat
sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik dan mendapat tempat yang
penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16.[27][27][27]
Selanjutnya para dai agama Islam
lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan,
terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan
sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan
dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif
terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan
Kalijaga.[28][28][28]
Jawa sebagai negeri pertanian yang
amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para
dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi
masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut,
menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim
atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku
penduduknya. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal
wa al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku
bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.[29][29][29]
Akulturasi dan adaptasi keislaman
orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut
kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui
pondok pesantren khususnya di daerah pesisir Utara belum mampu menghilangkan
semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan.
Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh
keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para
santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.[30][30][30]
Jadi, agama Islam
sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia,
ajaran Islam telah menjadi pedoman masyarakat. Dalam hal inilah Islam sebagai
agama sekaligus menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di satu sisi berbagai
budaya local yang ada di masyarakat, tidak secara otomatis hilang dengan adanya
Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat
warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara
budaya local dan Islam.
Dalam bidang seni, juga
dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang
merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India.
Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru
memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya
dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat
Jawa.[31][31][31]
Dengan kata lain
kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang
cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara
fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk
masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya
benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam
terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang
bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun
sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung
Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur
buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar
dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.[32][32][32]
Dalam perkembangan
selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian
berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan
struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa,
sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan
Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional
dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari
penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang
asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti
Inggris, Perancis dan sebagainya.[33][33][33]
Dalam bidang kerukunan,
Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama
terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah
memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya
dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan
Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten.
Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama
oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu,
juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam
aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin
hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di
antara mereka berbeda keyakinan.[34][34][34]
1.
Tepung
tawar,
Biasa dilakukan
dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang ditepung tawari.
2.
Sungkeman.
Kebiasaan
ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari Raya dan pada
upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu.
3.
Tabot atau
Tabuik,
adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu
untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan
Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin
Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
4.
Tingkepan,
babaran, pitonan dan pacangan.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya
di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial.
Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain:
1.
Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
2.
Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
3.
Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4.
Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5.
Sunatan yaitu acara khinatan.
5. Budaya
Tumpeng.
Tumpeng adalah cara penyajian nasi
beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Itulah sebabnya disebut “nasi
tumpeng”. Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai
“tumpengan”.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
kedatangan Islam ke-beberapa daerah
di kepulauan Indonesia menghadapi situasi politik daerahnya yang berbeda-beda
yaitu ada yang sedang mengalami perebutan kekuasaan politik ada yang tidak. kedatangan Islam dan
penyebarannya di berbagai daerah Nusantara ialah dengan cara damai, melalui
perdagangan dan dakwah yang dilakukan oleh para mubalig atau Muslim. Kemudian
jika didapati daerah penyebaran Islam situasi politik di kerajaan-kerajaan itu
mengalami kelemahan dan kekacauan di sebabkan perebutan kekuasaan di kalangan
para raja maka agama Islam dijadikan politik bagi golongan bangsawan atau
raja-raja yang menghendaki kekuasaan. Mereka berhubungan dengan para pedagang
Muslim yang posisi ekonominya kuat karna penguasaan pelayaran dilautan dan
perdagangan. Dan apabila telah terwujud kerajaan Islam maka barulah mereka
melancarkan perang terhadap kerajaan yang bukan Islam. Hal itu bukan hanya
karena tujuan agamanya tetapi karena dorongan politik untuk menguasai
kerajaan-kerajaan disekitarnya misalnya Gowa melakukan penyerangan terhadap
kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, Demak, dan Banten melakukan penyerangan
terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa Hindu.Kebudayaan Nusantara sebelum Islam
datang sangat dipengaruhi oleh agama-agama sebelumnya, yaitu Hindu dan Budha.
B. Saran
Penulis
menyadari dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan
di sana sini, baik dari segi penulisan maupun isi. Untuk itu penulis secara
terbuka menerima kritikan maupun saran yang membangun, supaya kedepannya dapat
lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Daliman, A, Islamisasi dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Ombak, 2012.
Huda, Nur Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007.
Notosusanto, Nugroho, Sejarah nasional Indonesia jilid III, Jakarta:
Balai Pustaka, 1992.
Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Islam Religi dan Falsafah, Jakarta: Rajawali
Pers, 2009.
Sunanto, Musyrifah Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota
Muslim di Indonesia dari Abad XII sampai XVIII M, Jakarta : Cinta Ilmu,
2000.
[1][1][1]Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota
Muslim di Indonesia dari Abad XII sampai XVIII M,Jakarta : Cinta Ilmu,
2000, hal. 1-2.
[2][2][2]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012, hal. 28.
[3][3][3]A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan
Islam di Indonesia, Jakarta: Ombak, 2012, hal. 40.
[5][5][5]Nur Huda, Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual
Islam di Indonesia), Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, hal. 55-56.
Komentar
Posting Komentar