sahabat sebagai mufasssir dan karakteristiknya
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang senantiasa
menganugerahkan nikmat, serta Rahman dan Rahim-Nya kepada kita, sehingga kita
bisa melangsungkan segala aktifitas hingga saat ini. Shalawat dan salam kita
haturkan kepada Rosul kita nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari
zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang saat ini, sekaligus sebagai
uswatun hasanah bagi umatnya di seluruh alam.
Makalah ini membahas tentang “Tafsir Sahabat”, serta hal hal yang berkaitan dengannya seperti
maksud dari sahabat sebagai mufassir, sarana-sarana yang digunakan
sahabat dalam menafsirkan al-Qurán, tabaqat sahabat, dan juga membahas tentang
madrasah tafsir yang pernah ada pada zaman para sahabat. Pembahasan kali ini
sebenarnya sangat berkaitan dengan materi dari kelompok sebelumnya yang
membahas tentang tafsir nabi Muhammad saw., karena sahabat langsung berguru
kepada Nabi saw. Namun letak perbedaannya ialah ketika wafatnya baginda nabi
saw. maka tempat bertanya para sahabat secara otomatis tidak ada lagi. Mereka
akhirnya beristinbath dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam umat.
Khusus dalam bidang tafsir, istinbath ternyata tidak cukup. Solusi akhirnya
ialah melalui riwayat-riwayat dari ahli kitab. Untuk lebih lengkapnya mengenai
tafsir para sahabat ini, mari kita ulas di halaman berikutnya.
Beberapa hambatan dan
kesulitan kami hadapi dalam proses pembuatan, namun kami sadari bahwa semua itu
adalah rintangan yang harus dihadapi demi hasil yang baik. Untuk itu kami
berterima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah. Begitu pula dengan dukungan dan motivasinya yang
diberikan kepada kami. Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi para pembaca,
dan bisa membantu saat dibutuhkan sebagai pendukung mata kuliah Metode tafsir.
Ciputat, 03 Desember 2017
Tim penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
BAB
I Pendahuluan
Latar Belakang………………………………………………………..3
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian
Sahabat sebagai Mufassir……………………………….4
B.
Berbagai
Sarana yang Membantu Sahabat dalam Menafsirkan
Al-Qur’a……………………………………............…5
C.
Perangkat/Sarana Penafsiran oleh Sahabat…………………………………7
D.
Karakteristik
Penafsiran Sahabat………………………………………..….9
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan………………………………………………………………..14
B.
Saran………………………………………………………………………14
Diskusi
Daftar Kepustakaan
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh dimasa Nabi Saw. dan
beliaulah penafsir awal (al-mufassir al-awwal) terhadap kitab Allah.
Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sahabat-sahabat Rasul yang mulia tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an
ketika beliau masih hidup. Rasulullah sendirilah yang memikul tugas menafsirkan
Al-Qur’an.
Para sahabat ialah orang-orang yang paling tau terhadap al-Qur’an
setelah Nabi saw. Karena mereka berguru langsung kepada nabi saw. dan mereka
sangat memperhatikan kalam Allah ini serta menerapkan dalam kehidupan
kandungan-kandungannya. Masalah baru menerpa para sahabat dikala sang guru
yakni Rasulullah saw. wafat. Pada saat itulah sahabat-sahabat yang utama dalam
al-Qur’an melanjutkan estafet untuk mengajarkan kalamullah kepada umat. Para
sahabat sangat teliti dalam memahami ayat-ayat Allah. Dalam masalah penafsiran
mereka , terutama akan merujuk kepada
al-Qur’an, apabila tidak ada maka Hadist-hadits Nabi saw., jika tidak maka
istinbath menjadi keharusan. Sebagai bahan tambahan, mereka ternyata juga
merujuk pada keterangan ahli kitab yang telah masuk islam.
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sahabat Sebagai Mufassir
Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh dimasa Nabi Saw. dan beliaulah
penafsir awal (al-mufassir al-awwal) terhadap kitab Allah. Beliau
menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat
Rasul yang mulia tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika beliau
masih hidup. Rasulullah sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Sesudah Rasulullah Saw. wafat barulah para sahabat yang alim yang
mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an dan yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi, merasa perlu untuk
menerangkan apa yang mereka ketahui dan
menjelaskann apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-Qur’an.[1] Sahabat
adalah orang yang bertemu (sezaman) dengan Nabi Saw. Menurut
jumhuru’l-Muhadditsin, sahabat ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah saw.
dengan pertemuan yang wajar, sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, dalam keadaan
islam lagi iman[2].
Sahabat langsung berguru kepada Nabi saw. perihal al-Qurán. Kita dapat meyakini
bahwa orang yang paling tahu tentang seluk beluk al-Qurán ialah para sahabat.
Lebih dari itu Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani mengatakan bahwa setelah
wafatnya Nabi saw. sahabat yang telah menghafal al-Qurán secara lengkap ada
ribuan jumlahnya. Diantara ribuan itu terdapat tujuh orang yang terkenal
mengajarkan al-Qurán yaitu, Utsman, Ali, Ubay, Abu ad-Darda’, Zaid ibn Tsabit,
Abdullah ibn Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ariy.[3]
Mereka telah menghafal al-Qurán dan telah mengajarkannya kepada generasi
setelahnya atau disebut tabi’in.
Tafsir sahabat adalah penafsiran ayat Al-Quran yang dilakukan oleh
para sahabat nabi Muhammad Saw., dengan dasar keterangan atau nukilan dari
nabi. Penafsiran ini dilakukan sesudah Nabi saw. wafat, dan sesungguhnya telah
datang penafsiran dari sahabat, disebut dengan tafsir Bi al-Ma’tsur.[4]
Apa itu tafsir bi Al-Ma’tsur? tafsir bi al-ma’tsur ialah penafsiran yang
bersumber kepada ayat-ayat al-Qurán dan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada
Nabi saw., pendapat para sahabat, dan para tabi’in.[5]
Para sahabat sangat hati-hati sekali dalam mengambil sikap, yang apabila suatu
perkara tersebut tidak dicontohkan oleh Nabi, kecuali adanya keharusan untuk
melakukannya. Termasuk dalam masalah menafsirkan al-Qurán, sehingga mereka
sangat berpegang kepada al-Qurán dan al-Hadits, jika tidak ada pada keduanya
atau memerlukan sumber lainnya, maka mereka akan beristinbath atas pemahaman
mereka.
B.
Berbagai
Sarana yang Membantu Sahabat dalam Menafsirkan dan Contoh-Contohnya
Sumber penafsiran al-Qur’an oleh para sahabat menurut Syaikh Manna
al-Qaththan ada tiga, yakni al-Qur’an al-Karim, Nabi saw., dan Ijtihad atas pemahaman.[6] Namun yang lebih lengkap menurut Adz-Dzahabi,
bahwa para sahabat ketika menafsirkan al-Qurán mereka merujuk kepada empat
sumber penafsiran. Pertama, al-Qurán al-Karim, kedua Ijtihad dan istinbath,
ketiga Hadist Nabi saw., dan keempat Ahlu al-Kitab dari Yahudi dan Nasrani.[7] Penjelasan
dari keempat sumber penafsiran sahabat itu ialah:
a.
Al-Qur’an
Tidaklah
sesuatu disebutkan secara global disuatu tempat melainkan disebut secara rinci
ditempat lain di dalam Al-Qur’an. Misalkan ada suatu ayat yang turun secara mutlak atau umum, lalu
ada ayat lain yang turun untuk membatasi kemutlakan ayat tersebut atau mengkhususkan
keumummannya. Inilah yang disebut tafsirul qur’an bil qur’an. Seperti
apa yang diungkapkan oleh Al-Thabari bahwa ayat al-Qurán dapat menafsirkan ayat
al-Qurán yang lain,[8]
dan sahabat menggunakan metode ini.
Kisah-kisah Al-Qur’an misalnya, disebutkan disuatu tempat secara
ringkas, tapi di beberapa tempat lain disebutkan secara panjang lebar. FirmanNya
:
أُحِلّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلَى
عَلَيْكُمْ ...........
“dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan
disebutkan kepadamu…” (Al-Maidah : 1)
Dijelaskan oleh ayat lain :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ المَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الحِنْزِيْرِ
وَ مَا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِه وَالمُنْخَنِقَةُ والمَوْقُوْذَةُ
وَالمُتَرَدِّيَةُ وَانَّطِيْحَةُ وَ مَا آكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا
ذَكَّيْتُمْ..........
“diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (dagimg) hewan yang disembelih bukan
atas nama Alla, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.” (Al-Maidah : 3)
b.
Nabi
Muhammad Saw.
Rasulullah Saw. adalah penjelas Al-Qur’an. para sahabat merujuk kepada beliau manakala
mereka kesulitan dalam memahami suatu ayat. Selain itu kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama dan hadist sebagai sumber kedua sekaligus bayani
(penjelas) terhadap al-Qurán. Terdapat beberapa fungsi hadis terhadap al-Qurán
diantaranya ialah bayan tafsir.[9]
Bayan tafsir mengandung arti bahwa hadis berfungsi sebagai penjelas apa yang
ada dalam al-Qurán.
Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-qur’an yang
bersifat global. Sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan
tafsir . Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam Al-qur’an hanya
diterangkan secara global, yaitu dirikanlah shalat, tanpa disertai petunjuk
bagaimana pelaksanaannya; berapa kali sehari semalam, berapa rakaat,
kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu terdapat
pada hadis Nabi.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata,
“ketika turun ayat ini :
الذِّيْنَ آمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسوْا إيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ.....
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka
dengan kedzaliman (syirik)..” (Al-An’am : 82)
Para sahabat merasa berat terhadap kandungan ayat tersebut, lalu
mereka berkata, “ Wahai Rasulullah! Siapa diantara kami yang tidak menzalimi
dirinya sendiri?” beliau berkata, “Maksud ayat ini tidak seperti yang kalian
maksudkan. Apa kalian tidak mendengar apa yang dikatakan si hamba saleh-Luqman
:
إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٍ.......
“sesungguhnya, mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kedzaliman yang besar” (Luqman : 13).[10]
Kitab-kitab hadis secara khusus menyebutkan satu bab untuk tafsir yang diriwayatkan dari
Rasulullah Saw. Allah Swt. berfirman, “dan Kami tidak menurunkan kitab
(Al-Qur’an) ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, serta menjadi petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman “ (An-Nahl: 64)
c.
Pemahaman
dan Ijtihad
Manakala para sahabat tidak menemukan penafsiran didalam kitab
Allah ataupun penjelasan dari Rasulullah Saw., mereka berijtihad untuk
memahaminya, karena mereka adalah orang-orang arab asli, bisa bahasa arab, bisa
memahaminya dengan baik, dan mengetahui sisi-sisi balaghah didalamnya.[11]
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dibagian mukadimah tafsirnya, “ketika
kami tidak menemukan penjelasan didalam Al-Qur’an atapun As-sunnah, kami
merujuk pada perkataan para sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu,
mengingat mereka menyaksikan indikasi dan kondisi-kondisi yang hanya bisa
disaksikan oleh mereka saja. Disamping mereka memiliki pemahaman yang sempurna,
ilmu yang shahih dan amal saleh, khususnya ulama dan para pembesar dari kalangan
mereka, seperti empat imam sekaligus khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk,
dan juga Abdullah bin Mas’ud, semoga Allah meridhai mereka semua”[12]
Salah satu contohnya Abu Ubaidah meriwayatkan dari jalur Mujahid,
dari Ibnu Abbas, ia berkata , “sebelumnya aku tidak tahu apa makna : fathiris
samawati wal ardh, sampai akhirnya ada dua orang badui datang kepadaku.
Keduanya bersengketa terkait sebuah sumur, lalu salah satu diantara keduanya
berkata, Ana Fathartuha.Maksudnya ‘aku yang membuatnya’.[13]
Karena itulah Ibnu Qutaibah berkata , “pengetahuan bangsa Arab
tidak sama terkait seluruh isi Al-Qur’an, seperti kata asing an mutasyabih yang
ada didalamnya. Tetapi, sebagian diantara mereka lebih tahu terkait hal itu
daripada sebagian yang lain”.[14]
d.
Ahlu
Al-Kitab dari Yahudi dan Nasrani
Al-Qurán memiliki persamaan kandungan dengan kitab samawi lainnya
seperti Taurat dan Injil. Dan lebih khusus terhadap kisah para Nabi (Qashash
al-anbiya’).[15]
Para sahabat bersumber pada ahlu al-kitab bukan tanpa alasan, hal itu
dikarenakan al-Qurán hanya memaparkan sejarah para nabi-nabi secara global
(Ijtimali) dan masih memerlukan penjelasan. Nah melalui ahlu al-kitab ini dapat
diketahui sejarah para nabi yang lebih mendetail guna memberikan penafsiran
terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah nabi-nabi ini. Para sahabat yang
masuk Islam dari kalangan ahlu kitab ini adalah ‘Abdullah bin Salam dan Ka’ab
al-Ahbar al-Yahudi serta Ibnu Juraij. Keislaman mereka diterima bahkan keilmuan
mereka dibidang tafsir juga diakui. Mereka mengambil syair sebagai rujukan
kebahasan bagi tafsir. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , ia berkata: Jika suatu
kata dalam al-Qurán dirasa asing maka simaklah syair. Sebab syair adalah Arab.
Sehingga diriwayatkan bahwa ia banyak menafsirkan ayat-ayat al-Qurán dengan
kata-kata yang dikemukakan dalam syair Jahili.[16]
C.
Perangkat/Sarana
Penafsiran oleh Sahabat
Banyak mufassir dari kalangan sahabat yang masyhur. As-Suyuthi
menyebutkan dalam kitab al-itqan fii ulumil qur’an jilid II halaman 187,
diantaranya adalah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-‘Asyari, dan Abdullah Bin Zubair. Para khalifah yang
banyak diterima tafsirnya dan disampaikan kepada masyarakat ialah Ali bin Abi
Thalib. Sedangkan periwayatan dari tiga khalifah lainnya jarang sekali,
disebabkan mereka meninggal lebih dahulu, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar
r.a[17]
sebab lain yakni kesibukan mereka mengurus kekhalifahan dan kebutuhan akan
tafsir masih sedikit.[18]
Mengenai Ali bin Abi Thalib, beliau terkenal dengan keberaniannya,
kepintarannya dalam bidang ilmu dan kesucian jiwa. Diriwayatkan dari Ali bin
Abi Thalib, beliau mengatakan : “tanyakanlah saya, tanyakanlah saya, dan
tanyakanlah saya tentang kitabullah !, Demi Allah tidak satu ayat pun dalam
kitabullah, kecuali saya mengetahui diturunkannya siang atau malam hari.”
Abdullah bin Mas’ud, beliau termasuk orang-orang yang pertama kali
masuk islam, turut serta berhijrah pada dua hijrah dan peperangan badar serta
peperangan lainnya. Beliau sempat mempelajari dari Nabi Saw.lebih dari 70 surat
dalam Al-Qur’an. Nabi Saw. pernah mengatakan kepada Abdullah bin Mas’ud pada masa
pertama keislamannya:”sesungguhnya engkau adalah anak yang cerdik”. Beliau
katakan lagi: “barang siapa yang hendak membaca Al-Qur’an setepat
diturunkan, hendaklah ia membacanya menurut bacaan Ibnu Ummi Abd”. Dan
sementara itu Ibnu Mas’ud r.a lebih banyak diriwayatkan tafsirnya dari pada Ali
r.a.[19]
Abdullah bin Abbas, beliau merupakan anak paman Rasulullah Saw.,
dilahirkan tiga tahun sebelum hijriyah. Beliau melajimkan pergaulan dengan Nabi
Saw.karena kedudukannya sebagai anak paman Nabi dan bibinya yang bernama
Maimunah merupakan istri Nabi Saw. berkat doa-doa nabi Saw. beliaumenjadi tinta
umat dalam penyebaran tafsir Al-Qur’an dan fiqih. Seperti disebutkan dalam
kitab Shahih dari Ibnu AAbbas bahwa Nabi Saw. mendekapnya dan berrdoa, “Ya
Allah ajarkanlah hikmah kepadanya.” Disebutkan dalam Mu’jam al-Baghawi dan
lainnya, diriwayatkan dari Umar bahwa ia mendekati Ibnu Abbas dan berkata, “Aku
pernah elihat Rasulullah Saw. memanggilmu, mengusap mengusap kepalamu, meludah
dimulutmu dan berdoa ‘Ya Allah! Berilah ia pemahaman mendalam didalam agama dan
ajarkan takwil padanya’”[20]
Sedangkan
Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, mereka meriwayatkan
tafsir lebih sedikit daripada keempat khulafaurrasyidin.[21]
Para
mufasir di kalangan sahabat yang terkenal adalah Khulafaur Rasyiddin, Ibnu
Mas’ud,Ibnu Abbas,Ubay bin Kaab,Zaid bin Tsabit,Abu Musa al-Asy’ari,Abdullah
bin Zubair,Anas bin Malik,Abu Hurairah,Jabir dan Abdullah bin ‘Amr bin
‘Ash.[22]Dari kalangan Khulafaur Rasyiddin yang terkenal paling
banyak meriwayatkan tafsir ialah Ali bin Abi Thalib.
Corak penafsiran pada masa ini adalah bil Ma’tsur. Jumhur
ulama berpendapat bahwa tafsir sahabat mempunyai hukum marfu’ (disandarkan
kepada Rasulullah).
D. Karakteristik Tafsir Sahabat
Ada beberapa ciri khusus tafsir pada masa
sahabat, yakni:
1)
mereka tidak menafsirkan Al-Quran secara keseluruhan, karena mereka hanya
menafsirkan sebagaian ayat Al-Quran yang benar-benar mereka kuasai dan dalami.
2)
Pada periode sahabat, perbedaan penafsiran Al-Quran di kalangan mereka
relatif amat sedikit, karena selain secara politis para sahabat masih tetap
utuh dan padu, juga belum banyak permasalahan yang mereka hadapi. Secara umum,
para sahabat mampu menafsirkan
al-Qur’an secara mandiri.
3)
Penafsiran yang dilakukan para sahabat pada umumnya lebih menekankan
pendekatan pada kosa kata secara global dan tidak melakukannya dengan cara
panjang lebar dan mendetail. Para sahabat menafsirkan al-Qur’an apabila
dibutuhkan, sekedar membantu untuk memahami makna asli dari ayat-ayat
al-Qur’an.[23]
4)
Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughowi (etimologis) dalam ungkapan
sederhana dan singkat, tanpa menggunakan metodologi penafsiran yang rumit
(Ta’wil) seperti yang berkembang kemudian. Misal ibnu Abbas pernah mengatakan
bahwa ia tidak mengetahui arti dari kata al-Fatir yaitu pada firman
Allah swt dalam surat Fatir/35 ayat 1.[24]
Sampai-sampai ia mengungkapkan hal itu kepada dua orang badui di suatu sumur.
Kemudian salah seorang dari keduanya berkata “Ana Fathortuha” artinya
aku memulainya, menciptakannya, dan membelahnya.
5)
Jarang mengistimbatkan hukum-hukum Fiqhiyyah dari ayat-ayat Al-Quran,
apalagi jika istinbath hukum itu sendiri lebih mengedepankan semangat pembelaan
kepada mazhab-mazhab fikih yang di zaman generasi sahabat yang memang belum
terjadi.
6)
Tafsir Al-Quran sama sekali belum dibukukan mengingat zaman pembukuan lahir
jauh setelah generasi tabi’in.
7)
Pada generasi sahabat penafsiran Al-Quran pada umumnya dilakukan dengan
menguraikan hadis, bahkan tafsir itu merupakan bagian dari hadis.
Pada masa sahabat ini pengaruh Islam semakin
meluas dengan ditaklukannya negeri-negeri di sekitar Jazirah Arab.Sehingga
dibutuhkanlah seorang Gubernur, Panglima, dan juga seorang sahabat yang
mengajarkan Al-Qur’an untuk di tempatkan dibeberapa wilayah. Pada masa sahabat
ini dikenallah madrasah tafsir. Madrasah tafsir tersebut ialah:
1.
Madrasah
Tafsir Ubay bin Ka’ab di Madinah
Ubay bin Kaab adalah seorang Anshar dari bani Najjar, yang masuk Islam pada masa
awal berkembangnya umat muslim dan turut serta dalam beberapa pertempuran besar
di masa Nabi. Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri dalam
mengumpulkan wahyu dan merupakan salah satu di antara empat sahabat yang
disarankan nabi agar umat Islam mempelajari Al-Qur’an darinya. Ubay bin Kaab
juga dikenal dengan sebutan Sayyid al-Qurra’ (pemimpin para penghafal
al-Qur’an)[25].
Di Madinah sendiri banyak sahabat lain yang bermukim disana dan
tidak pindah ke negeri lain. Mereka bermajlis disana untuk mengajarkan
Al-Qur’an dan as-Sunnah.Maka berdirilah madrasah tafsir disana yang banyak
diikuti oleh para tabiin. Madrasah tersebut di pimpin oleh Ubay bin Kaab dan
diantara muridnya yang diketahui ialah Zaid
bin Aslam,Abu Al-‘Aliyah, dan Muhammad bin Kaab.
Karya
Ubay bin Kaab
Karyanya yang
diketahui ialah Mushaf Ubay bin Kaab.
Ahli tafsir di Madinah yang pada umumnya berguru pada
Zaid bin Aslam Al-Adwy Al-Madani (wafat tahun 135 H/752M) ialah: Abu Al-‘Aliyah
al-Rafi’ bin Mihran al-Royyah (wafat tahun 90 H/708M), Al-Dhahak bin Mazahib
(wafat tahun 105 H/723 M), Athiyyah bin Sa’id al-‘Awfi ( wafat tahun 111H/729
M), Muhammad bin Ka’ab al-Kurdzi (wafat tahun 117 H/735 M), Qatadah bin Daamah
al-Dausi (wafat tahun 117 H/735 M), Al-Hasan Al-Bashri (wafat tahun 121 H/738
M), Ismail bin Abdurrahman al-Sya’di al-Kabir (wafat tahun 127 H/738 M),
Al-Rabi’ bin Anas (wafat tahun 139 H/756 M), dan putra Zaid bin Aslam yakni
Abdurrahman bin Zaid (wafat tahun 182 H/798 M).[26]
2.
Madrasah
Tafsir Ibnu Abbas di Makkah
Dalam perkembangan Tafsir, keponakan Rasulullah ini merupakan salah
satu sahabat yang tersohor. Ini terbukti dari figurnya sebagia tarjuman
Al-Qur’an (penerjemah Al-Qur’an terbaik),al-Bahr(lautan, maksudnya
ilmunya sedalam laut), dan harb al-ummah (intelektual umat).[27]Beliu
dilahirkan beberapa tahun sebelum Hijrah. Ia dikabarkan wafat di Thaíf pada 68
H. Beliau memimpin madrasah tafsir yang ada di Makkah dan diantara beberapa
muridnya ialah Mujahid bin Jabr,Sa’id
bin Jubair, Thowus bin Kisan, ‘Atho bin Abi Robah ,Ikrimah,dll.
Karya
Ibnu Abbas
karya yang
dihasilkan oleh Ibnu Abbas yang diketahui adalah Mushaf Ibnu Abbas.
Ahli tafsir di Makkah yang pada umumnya berguru kepada
Abdullah bin Abbas yang diketahui: Sa’id bin Jabr (wafat tahun 94H/712M),
Mujahid bin Jabr (wafat tahun 103H/721 M), Ikrimah Maula Ibnu Abbas (wafat
tahun 105 H/723 M), Taus bin Kaysan Al-Yamani (wafat tahun 106 H/724M), Atho’ bin
Abi Rabbah Al-Makki (wafat tahun 124 H/732M), berkata Sufyan Al-Sauri silahkan
kalian ambil dari 4 orang yaknni Said bin Jabr, Mujahid, Ikrimah, dan
Ak-Dhahak. Sedangkan Qatadah bahwa ada 4 orang Tabi’in yang sangat ‘alim dalam
bidangnya masing-masing yaitu Atho bin Abi Rabbah (dalam bidang masanasik
haji), Said bin Jabr (ahli dalam bidang tafsir), Ikrimah (ahli bidang sejarah),
dan al-Hasan al-Bashri (ahli dalam bidang hukum).
3.
Madrasah
Tafsir Ibnu Mas’ud
Abdullah bin Mas’ud ialah sahabat yang mula-mula masuk Islam. Ia
adalah pembantu Nabi. ketika Hijrah ke Madinah ia tinggal di belakang masjid
Nabawi serta beliau ikut berpartisipasi dalam sejumlah peperangan, temasuk
perang Badar dimana beliau berhasil membunuh Abu Jahl. Pada masa pemerintahan
Umar beliau dikirim ke Kuffah sabagai qadli disana, serta di tugaskan untuk
mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk Kuffah .Banyak tabiin yang ada di Kuffah
yang berguru kepada Ibnu Mas’ud.Seperti yang telah diketahui bahwa penduduk
Kuffah terkenal dengan ahli ro’yi. Ada yang berpendapat bahwa Ibnu Mas’ud ialah
orang yang pertama mengambil ro’yi sebagai sebuah dalil.Sehingga para penduduk
Kuffah mewarisi beliau dalam hal ini. Dan akhirnya banyak tafsir yang
dihasilkan dengan cara ijtihad. Diantara murid-murid beliau ialah :Masruq
bin Al-Ajda’, ‘Alqomah bin Qois,Qatadah,Aswad bin Yazid,Murrah bin
Hamdani,Aamir Syu’bi.[28]
Di penghujung hayatnya ia kembali ke Madinah dan meninggal pada tahun 32 H atau
33H.
Karya
Ibnu Mas’ud
Semenjak menjadi pembantu Rasulullah saw. Ibnu Mas’ud juga
mengumpulkan wahyu-wahyu yang turun. Lembaran-lembaran wahyu itu disusun
menjadi sebuah mushaf yang di kenal dengan nama Mushaf Ibnu Mas’ud.
Ahli tafsir di
Kuffah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud tercatat nama-nama mereka ialah Al-Aswad
bin Yazid (wafat tahun 75 H/694 M), Ibrahim Al-Nakhoi (wafat tahun 95 H/713M),
Al-Qomah bin Qois (wafat tahun 102 H/720 M), dan Al-Sya’bi (wafat tahun 105
H/723 M).
Diskusi
+Novi : Jelaskan
karakteristik penafsiran dari Ali bin Abi Thalib?
-Pemateri: Ali bin Abi Thalib terkenal dengan gelar babul-Ílmi
(pintu ilmu) karena kuantitas keilmuan yang dimilikinya. Beliau menafsirkan
al-Qurán yang baik. karena dia ialah salah satu sahabat yang tau kapan dan
dimana ayat-ayat al-Qurán itu turun. sehingga ia pernah menulis satu mushaf
yang dikenal dengan mushaf Ali, yang mana disusun sesuai turunnya ayat
al-Qurán. Ali sangat berpegang pada nash, beliau sangat berhati-hati terhadap
itu.
+Faiz: Apa alasan
yang menyebabkan semua mushaf sahabat selain mushaf utama dibakar? serta jelaskan alasan
pendirian madrasah tafsir?
-Pemateri: Adapun alasan kenapa semua mushaf selain
mushaf khalifah dibakar, ialah perbedaan
yang signifikan di dalam mushaf-mushaf yang dibakar itu. Di dalam buku
Rekonstruksi Sejarah al-Qurán disebutkan bahwa mushaf ibnu Mas’ud hanya terdapat 110 jumlah surat. Hal ini bertolak belakang dengan mushaf utama
yang jumlahnya seperti yang kita ketahui 114 surat. Hal yang sama juga terdapat
dalam mushaf Ibnu Abbas, yang jumlah surat di dalamnya lebih dari 114, yakni
116 jumlah surat. Surat yang di
tambah ialah surat al-khal dan surat al-hafd. Hal
inilah yang menjadi alasan pembakaran mushaf-mushaf yang ada sehingga hanya
mushaf utama lah yang ditinggalkan supaya tidak terjadi konflik terhadap
perbedaan mushaf.
Pendirian madrasah tafsir terjadi karena Islam berkembang sangat
pesat. Sehingga jauh dari Madinah al-munawarah yang merupakan pusat keilmuan
islam pada waktu itu. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, negeri-negeri yang
sudah ditaklukan itu dibentuk pemerintah daerahnya sendiri seperti Gubernur,
kemudian seorang panglima dan seorang yang mengajarkan al-Qurán. Para sahabat
yang berdiam diri didaerah yang baru ditaklukan merapat kepada pusat-pusat
pembelajaran ilmu di daerah itu. Lambat laun terbentuklah aktifitas keilmuan
seperti madrasah tafsir.
+Rizki : bagaimana corak penafiran sahabat?
-Pemateri : Corak penafsiran
mereka ialah bi al-ma’tsur, atau berdasarkan dalil nash al-Qurán dan hadis
serta pemahaman mereka, serta sebagian kecil mengambil dari ahlu kitab. Para
sahabat juga jarang mengistimbatkan hukum-hukum Fiqhiyyah dari
ayat-ayat Al-Quran, apalagi jika istinbath hukum itu sendiri lebih
mengedepankan semangat pembelaan kepada mazhab-mazhab fikih yang di zaman
generasi sahabat yang memang belum terjadi..
+Ahmed: metode apa yang digunakan sahabat dalam
menafsirkan al-quran?
-Pemateri: Metode yang digunakan para sahabat dalam menafsirkan
al-Qurán ialah metode Ijmali yakni metode dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qurán
dengan cara mengemukakan makna ayat secara global. Mereka lebih condong
terhadap makna kata-kata dan maksud ayat. Mereka membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughowi (etimologis) dalam
ungkapan sederhana dan singkat, tanpa menggunakan metodologi penafsiran yang
rumit (Ta’wil) seperti yang berkembang kemudian.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para sahabat ialah orang yang bertemu dengan nabi saw.
dalam keadaan iman dan islam. Setelah Rasulullah saw. wafat, para sahabat lah
yang meneruskan estafet dalam mengajarkan al-Qur’an kepada umat. Dari pembahsan
di atas, dapat kita ketahui bahwa banyak para sahabat yang ahli dalam bidang
al-Qur’an. Bahkan disebutkan oleh al-Zarqani jumlah sahabat yang hapal
al-Qur’an setelah wafat nabi ialah ribuan jumlahnya. Dari ribuan tadi ada tujuh
sahabat yang terkenal dalam bidang tafsir yakni, Utsman, Ali, Ubay, Abu
ad-Darda’, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ariy.
Ciri yang menonjol dari penafsiran para sahabat ialah kuatnya
mereka berpegang pada nash dalam menafsirkan al-Qur’an. selain nash, mereka
juga melakukan istinbath ketika tidak ada ditemukan dalam nash penafsiran ayat
Allah. Namun sangat disayangkan bahwa para sahabat ternyata juga mengambil dari
riwayat-riwayat atau keterangan-keterangan dari ahlu alkitab dalam menafsirkan
al-Qur’an.
B.
Saran
Sedikit mengenai penafsiran para sahabat yang
kami rangkum dalam pembahsan ini.
Pembaca bisa mendapatkan keterangan ini lebih lanjut dalam daftar pustaka yang
telah kami cantumkan dalam makalah ini.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Teungku Hasbi M. ash-Shiddieqy, 2014, ‘Ulum Al-Qur’an,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
an-Nawawi, 2001, Terjemah Hadist Arbaín An-Nawawi, terj.
Muhil Dhohir,Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat
Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, 2002
, Manahil Al-‘Urfan fi ‘Ulum
Al-Qur’an, Jakarta: Gaya Media Pratama
Al-Qatthan , Manna, 2017, Mabahits Fii Ulumil Quran, Jakarta:
Ummul Qura
Faizah Ali Syibromalisasi, Jauhar Azizi, 2012 , Membahas Kitab
Tafsir Klasik-Modern, Ciputat: LPP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
al-Qaththan , Manna, 2016 Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,
terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
Muhammad Husein adz-Dzahabi, 2005, At-Tafsir wa Al-Mufassirun,
Kairo : Dar al-Hadits
Majid Khon , Abdul , 2013, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah
Hasan Ibrahim Hasan, 2013, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: Kalam Mulia
H. Aunur Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2004)
Al Munawar , Agil Husain, 1989, Ushulun Fii Tafsir, Semarang
: Dina Utama,
Hasan Yunus, Dirasat wa Mabahis fii Tarikh at-Tafsir wa Manahij
al-Mufassirin, (Al-Qohiroh: Jamiah al-Azhar)
Adnan A , Taufik. 2005, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,Jakarta:
Pustaka Alvabet
Masyur , Kahar, 1992, Pokok-pokok
Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta
[1] Teungku Hasbi M. ash-Shiddieqy, ‘Ulum Al-Qur’an, (Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2014), hlm.187
[2] Dalam sebuah hadist, “….iman
ialah percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang
buruk…” (HR. Muslim). lihat imam an-Nawawi, Terjemah Hadist Arbaín
An-Nawawi, terj. Muhil Dhohir,Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat,2001,h.8-9
[3] Syeikh Muhammad Abdul Adzim
Al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002, cet.1, h.264
[4] Manna Al-Qatthan, Mabahits Fii Ulumil Quran, (Jakarta: Ummul
Qura, 2017), hlm. 515
[5] Faizah Ali Syibromalisasi,
Jauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, Ciputat: LPP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, cet.2, h.5
[6] Manna al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar,2016, cet.14, h.422-424
[7] Muhammad Husein adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun,
Kairo : Dar al-Hadits, 2005, hlm.37
[8] Faizah Ali Syibbromalisi, Jauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir
Klasik-Modern, Ciputat: LPP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012,
cet.2,h.7
[9] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, Jakarta: Amzah, 2013, cet.2, h.19-21
[10] HR. Ahmad, Al-Bukhori, Muslim dan lainnya.
[11] Manna Al-Qatthan, Mabahis Fii Ulumil Quran, (Jakarta: Ummul
Qura, 2017), hlm. 518, dikutip dari kitab Al-Itqan, Jilid kedua, hlm. 183
[15] Muhammad Husein Ad-Dzahabi,at-Tafsir wa Al-Mufassirin,hlm.56
[16] Al Mazahib Al Islamiyah Fi
Tafsir Al Qurán, h.68-69. dinukil oleh Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam 3, Jakarta: Kalam Mulia, 2013, h. 389
[17] H. Aunur Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2004), hlm.200
[19] H. Aunur Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2004), hlm.202
[21] Hasan Yunus, Dirasat wa Mabahis fii Tarikh at-Tafsir wa Manahij
al-Mufassirin, (Al-Qohiroh: Jamiah al-Azhar), hlm. 34
[22] Manna al-Qattan,Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar,
2014, cet.11, hlm.431
[26]Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2013, cet.1, hlm.325-326
Komentar
Posting Komentar