Ragam corak dalam penafsiran alQur'an
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an yang merupakan kitab suci bagi umat islam, yang
dimana salah satu fungsinya adalah “
petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu”
sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang
luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al-Qur’an bersifat
universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan
meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu. Hal ini juga
berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi
sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam
kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an.
Perkembangan penafsiran al-Qur’an di Indonesia memang
berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat
turunnya al-Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan
tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa.
Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan
berarti untuk memahami bahasa al-Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan
cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya
bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman al-Qur’an terlebih dahulu
dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian
dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena
itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al-Qur’an di Indonesia melalui
proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian corak tafsir
Dalam kamus
bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna. Di antaranya Corak
berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna ) pada kain( tenunan,
anyaman dsb), Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti
sifat ( faham, macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur
sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun,
bahasa Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Hussein Azzahaby
dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut potongan ulasan beliau (وعن ألوان التفسير فى هذا العصر الحديث….) (Tentang
corak-corak penafsiran di abad modern).
Adapun tafsir menurut Istilah adalah:
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه
واستخراج أحكامه وحكمه.
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di
turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya,
menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus
yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi
intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat
al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi
sebuah karya tafsir .
B. Macam-macam Corak Tafsir
1. CORAK LUGHAWI
·
Pengertian Lughawi
Tafsir
lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan
menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Seseorang yang ingin menafsirkan
al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan
al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait
dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa
dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai
syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa
akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.
·
Jenis-jenis Lughawi
Sebelum
menjelaskan jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu diketahui bahwa tafsir
lughawi dengan berbagai macam penyajian dan pembahasannya tidak akan keluar
dari dua kelompok besar yaitu:
§ Tafsir lughawi yang murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait
dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya
al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll.
§ Tafsir lughawi yang pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain
seperti hukum, theology dan sejenisnya, seperti Tafsir al-Thabary li Ibn
Jarir al-Thabary, Mafatih al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan
sebagian besar tafsir dari awal hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang
disusun oleh Quraish Shihab.
Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam bentuk
dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah saja
dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkelaborasikan bersama corak-corak yang lain.
Untuk lebih jelasnya tentang jenis
dan macam-macam tafsir lughawi, akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Tafsir nahwu atau i’rab
al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus membahas i’rab (kedudukan) setiap
lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an karya
Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
2. Tafsir Sharaf atau
morpologi (semiotik dan semantik) yaitu tafsir lughawi yang pokus membahas
aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata seperti Tafsir al-Qur’an
Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya
Harifuddin Cawidu.
3. Tafsir Munasabah yaitu
tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antar ayat atau surah,
seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya Burhanuddin
al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir
al-Mishbah karya Quraish Shihab, dll.
4. Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos perumpamaan-perumpamaan
dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya
Abdullah Muhammad bin Ali al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya
al-Mawardi (w. 450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660
H)
5. Tafsir qir’ah yaitu
tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti kitab Tahbir al-Taisir fi
Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrah karya Muhammad bin Muhammad al-Jazry (w. 843
H).
6. Tafsir klasifikasi
bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni bahasa arab dan yang
tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-Qur’an min al-Mu’arrab
karya Jalaluddin al-Suyuthi.
7. Dan tafsir-tafsir
lughawi yang lain semisal tafsir Fawatih al-Hijaiyyah dll.
2. CORAK ‘ILMI
Tafsri ‘Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al qur’an berdasarkan pendekatan
Ilmiyah atau menggali kandungan al-Qur’an berdasarkan teori-teori ilmu
pengetahuan. Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan
al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang
didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan
al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga
banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah
kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan
ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum
yang berfikir.”.
Karya yang bisa digolongkan dalam
kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir
al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan
beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran
karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang
mencerminkan corak tafsir ilmi ini.
Dalam penerimaan tafsir ilmi ada
beberapa ulama yang menolak adanya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah, terutama
penafsiran model al-Fakhr al-Raziy dan Thanthawi Jawhari karena dianggap
terlalu berlebihan dalam penafsiran ilmiah dan terkesan memaksakan diri membuat
kaitan antara ayat-ayat al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Beberapa contoh penafsiran ilmiah diantaranya,
penafsiran QS. Sl-Mursalaat ayat 30 oleh al-Marasi.
انطَلِقُوا
إِلَى ظِلٍّ ذِي ثَلاَثِ شُعَبٍ {30}
Artinya, “Pergilah kamu untuk mendapatkan naungan yang memiliki tiga buah
cabang.”
3. CORAK TASIR FIQH
·
Pengertian
Corak
Tafsir
Fiqhi
Corak Tafsir Fiqhi
adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah
fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan
pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini
juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada
ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer
dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum
dalam Al Qur’an. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah
Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.
Setelah ini periode mufassir
tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang
setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin (pengodifikasian).
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya tafsirpun
terus berkembang sampai periode mutakhirin..
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran
karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543
H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
· Sistematika Tafsir Fiqhi
Dalam sistematika penulisan kitab
tafsir dikenal adanya 3 sistematika:
a.
Mushafi
yaitu penyusunan kitab tafsir dengan
berpedoman pada susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf dengan memulai
dari surat al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai surat al-Nas.
b. Nuzuli yaitu dalam menafsirkan
Al-Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al-Qur’an.
c. Maudhu’i yaitu menafsirkan
Al-Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang
ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al Qurtuby sebagai representasi
dari tafsir fiqhi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat al-Nas. Dengan demikian ia memakai
sistematika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan
urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
·
Contoh
tafsir fiqhi
وَأَقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ {43}
(Surat Al Baqarah 43)
Dalam menafsirkan ayat di atas,
Al Qurtubi membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Di antara pembahasan
yang menarik adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan berbagai pendapat tentang
status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokoh yang mengatakan
tidak boleh adalah al Thawri, Malik dan Ashab Al Ra’yi. Dalam masalah
ini al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, menurutnya anak
kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik.
4. CORAK FALSAFI
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi (ahli
filsafat/pemikir). Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi
pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa.
Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari
dalam.
Corak penafsiran ini akan sangat
bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita
nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek,
terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas,
radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil
penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
5. CORAK SHUFI
·
Pengertian Tafsir Sufi
Tafsîr
al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini
terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi kasyafi dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi kasyafi adalah
tafsir yang didasarkan atas perenungan seorang sufi yang sudah mencapai maqom
(tingkatan) tertentu sehingga sudah melakukan mukasyafah dan dalam
penafsiranya menggunakan hasil dari kekasyafanya.. Tafsir sufi isyary
adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr
al-Qur`an al-`Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Qur`an
karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan
beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan
dengan syari’at/rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak
memenuhi syarat ini, maka ditolak. Corak penafsiran Sufi
ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial
mengandung 4 tingkatan makna: Zhahir,
Batin, Hadd, dan matla’.
·
Karakteristik Tafsir Sufi
a. Tafsir Sufi
Tafsir Sufi al-Kasyafi adalah tafsir
sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori
mistik yang dianut mufassir. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi kasyafi
dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi
bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’. Dikarenakan titik
fokus pada tafsir ini adalah pengalaman spiritual tentang penafsiran yang dilakukan oleh seorang sufi, dimana seorang
sufi elah mencapai maqom (kedudukan) kasyaf.
Ulama yang dianggap kompeten dalam
tafsir Ksayafi yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama
tafsir sufi kasyafi yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan
al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush.
Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya.
Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia
dengan Tuhan. Contoh Dalil al-Qur’an tentang paham ini adalah Al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ {186}
“Jika
hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan
seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”. Kata do’a yang terdapat dalam
ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata
itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka
panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain,
mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada
mereka.
b. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyari adalah
pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai
dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua
makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka
dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang
zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna
batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi
syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan
ayat 22 dari surat al-Baqarah:
فلا تجعلوا لله اندادا
Al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek.
Jadi maksud andadan disini bukan
hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan
Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena
manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu
amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan
oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu: Ketika
para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:
اذا جاء نصر الله والفتح
Di antara mereka ada yang mencoba
memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut
memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta
ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut
adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw.
6. CORAK ADABI DAN IJTIMA’I
·
Pengertian Adabi Ijtima’i
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak
tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an pada Aspek
ketelitian redaksinya lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah
dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.
·
Tokoh-tokoh Adabi Ijtima’i
Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai
peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya
adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari
para mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini bersama karya-karya
tafsirnya.
1.
Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w.
1345 H).
2.
Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad
Al-Maraghi (w. 1945 M).
3.
Tafsir Al-Qur'an
Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud
Syaltut .
4. Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
·
Literatur Tafsir Al-Qur'an Di Indonesia
1.
Tafsir bi al-Ma’tsur
Pesan Moral Al-Qur'an, Karya Jalaluddin Rahmat.
2.
Tafsir Juz ‘Amma disertai Asbab
al-Nuzul, Karya Rafi’uddin dan Edham Syifa’i.
3.
Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish
Shihab.
4.
Menyelami Kebebasan
Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-Qur'an, karya Mahasin.
5.
Konsep Kufr Dalam
Al-Qur'an, karya Harifudin Cawidu.
6.
Konsep Perbuatan
Manusia Menurut Al-Qur'an, Karya Jalaludin Rahman.
7.
Manusia Pembentuk
Kebudayaan Dalam Al-Qur'an, Karya Musa Asy’ari.
8.
Jiwa Dalam Al-Qur'an, karya Achmad Mubarok
dll.
7. CORAK BALAGHI DAN BAYANI
Corak Balaghi, yaitu jika seorang Mufassir
menafsirkan Al Qur’an didasarkan pada segi Balaghohnya (Keindahan Perkataan dan
Uslub Al Qur’an). Adapun contoh corak tafsir Balaghi tedapat pada tafsir Al
Kasysyaf karya Al Zamakhsyari.
Sedangkan, Corak
Bayani, yaitu tafsir pembahasannya berkisar pada Balaghotu al Qur’an
dalam bentuk Ilmu bayan seperti Tasybih Isti’aroh, Tamsil, Washal, Fashal,
dan cabang-cabangnya seperti penggunaan Makna Denotasi (Haqiqi) dan
Majazi (Metafor) dan semacamnya.
Tafsir Balaghah
meliputi tiga aspek yaitu:
§ Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus
mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi
praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah.
§ Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang
mengedapankan penjelasan lafal dari akar kata kemudian dikaitkan
antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani
al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
§ Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang
cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya,
seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H)
8. CORAK HARAKI
Corak Haraki, yaitu tafsir yang
ditulis dan disusun oleh seorang tokoh pergerakan umat Islam. Dalam hal ini
seorang mufassir berusaha menjelaskan Maksud Allah dalam al Qur’an, khususnya
yang terkait dengan perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih baik.
Tafsir Haraki ini tidak hanya bertujuan menafsirkan al Qur’an, tetapi juga
mengajak umat untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan
sosial yang lebih baik.dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya
untuk mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar,
mensucikan agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroilliyat. Contoh tafsir
Haraki adalah Tafsir Fi Zhilalil al Qur’an karya Sayyid Quthub.
BAB III
PENUTUP
Corak diartikan oleh para mufassir sebagai kecenderungan atau spesifik
seorang mufassir. Hal ini dilatar belakangi oleh pendidikan, lingkungan dan
akidahnya (keyakinannya). Diantara macam-macam corak tafsir yaitu; corak
Lughawi, corak ‘Ilmi, corak Fiqhi, corak Falsafi, corak Shufi, corak Adabi
Ijtima’i, corak Balaghi dan Bayani, serta corak Haraki.
DAFTAR PUSTAKA
Al Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Anshori. 2010. Tafsir bi Al-Ra’yi: Memahami Al-Qur’an Bedasarkan Ijtihad.
Jakarta: Gaung Persada Press.
Ash shiddieqy, M.Hasbi, 1990. SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU
AL-QUR’AN/TAFSIR. Jakarta: Bulan Bintang.
M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr,
Beirut, 1995, Jilid I, hlm. 419
Supiana dan M. Karman. 2002. ULUMUL QURAN. Bandung: Pustaka
Islamika.
Komentar
Posting Komentar