perkembangan Tafsir Bil al-Ra'yi pada masa Sahabat dan Tabi'in
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Shalawat dan salam semoga
tetap tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, karena dengan
adanya beliau kita bisa melewati zaman
yang kelam menuju zaman yang terang menderang seperti sekarang ini.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Tafsir yang berjudul
“Tafsir bi al-Ra’yi Pada Masa Sahabat dan Tabi’in”. Semoga dengan adanya
makalah ini menambah wawasan dan pengetahuan bagi kita.
Terlepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir
kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk pembaca
dan menjadi salah satu sumber inspirasi.
Ciputat, 3 Desember 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................. 2
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah............................................................................. 4
C. Tujuan.............................................................................................. 4
BAB II: PEMBAHASAN
A. Periodesasi
Perkembangan Tafsir ....................................................... 6
B. Sarana Dan Prasarana Tafsir Al-Ra’yi Masa Sahabat
Dan Tabi’in......... 11
C. Biografi Ulama Tafsir Dari Kalangan Sahabat..................................... 11
D. Ulama Tafsir Di Kalangan Tabi’in...................................................... 14
E. Contoh Tafsir Bil Ra’yi...................................................................... 20
BAB III:PENUTUP
A. KESIMPULAN................................................................................. 24
B. SARAN............................................................................................. 24
C. DAFTAR ISI..................................................................................... 25
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an
merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Penggalian makna yang
tersimpan di dalam setiap ayat Al-Qur’an harus dilakukan dengan usaha
penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu
pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak
melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Al-Qur’an secara teks memang tidak
berubah, tetapi penanfsiran atas teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks
ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis,
dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode
dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan
sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’an itu. Sehingga
Al-Qur’an seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Banyak
redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, Hal
ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dari dahulu sampai sekarang
para ulama masih semangat untuk terus menggali dan mengkaji Al-qur’an. Masih
ditemukan koleksi karangan kitab –kitab tafsir baik yang sudah di terbitkan
atau yang belum diterbitkan. Dalam hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun,
yang secara umum menyaksikan turunya wahyu, mengetahui konteksnya, serta
memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang
berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud
firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca.
Kemampuan
setiap orang dalam memahami Al-Qur’an dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama.
Sehingga terjadinya perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal
yang sangat mungkin terjadi. Itulah sebabnya seorang dalam meraih kebenaran
teks dan konteks sebuah ayat membutuhkan
ilmu-ilmu pendukung lainnya. Dengan ilmu tersebut, seseorang bisa lebih
mudah mengkaji dan memahami makna-makna Al-Qur’an. Apalagi mengenai ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkategori mutasyabih
yang tentu rumit dan pelik.
Kenyataan
tersebut melahirkan berbagai metode yang digunakan dalam menjelaskan suatu
redaksi. Untuk menafsirinya tergantung kepada kecenderungan para mufassir,
serta latar belakang keilmuan dan sudut pandang yang digunakan. Para ulama
telah sepakat berkaitan dengan pengklasifikasian tafsir Al-Qur’an dilihat dari
sumber penafsirannya, mereka membagi dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi
al-ma’tsūr (tafsir bi al-riwāyah), tafsir bi al-ra’y (tafsir bi al-dirāyah),
dan tafsir bi al-iqtirāni (campuran antara nas dan akal pikiran manusia).
Dari ketiga
macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar para ulama tafsir
adalah tafsir bi al-ra’y. Banyak terdapat perbedaan pendapat diantara mereka
dalam pembolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran karena
dikhawatirkan, menurut mereka yang anti tafsir bi al-ra’y, hanya ditafsirkan
secara subjektif untuk mendukung
kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Untuk kepentingan
tersebut, maka dalam makalah ini akan didiskripsikan salah satu metode yang
digunakan untuk lebih mudahnya memahami Al-Qur’an dengan metode Al-Tafsir bi-
al-ra’y.
B. RUMUSAN MASALAH
Terdapat
berbagai permasalahan yang ingin dikupas dalam makalah ini yaitu :
1.
Periodesasi
Perkembangan Tafsir
2.
Sarana Dan Prasarana Tafsir
Al-Ra’yi Masa Sahabat Dan Tabi’in
3.
Biografi Ulama Tafsir Dari Kalangan
Sahabat
4.
Ulama Tafsir Di Kalangan Tabi’in
5.
Contoh Tafsir
Bil Ra’yi
C.
TUJUAN
1.
Memahami
Periodesasi Perkembangan Tafsir
2.
Mengetahui Sarana Dan Prasarana
Tafsir Al-Ra’yi Masa Sahabat Dan Tabi’in
3.
Mengetahui Biografi Ulama Tafsir Dari
Kalangan Sahabat
4.
Mengetahui Ulama Tafsir Di Kalangan
Tabi’in
5.
Mengetahui
Contoh Tafsir Bil Ra’yi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERIODESASI PERKEMBANGAN TAFSIR
1.
Periode Masa Rasul Saw dan Sahabat
Pada periode ini tafsir belum tertulis dan secara umum
periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Sebagai rasul, Nabi Muhammad
berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan). Penjelasan terhadap apa yang telah diturunkan Allah melalui wahyu
yang disampaikan Jibril kepadanya. Beliau menjelaskan kepada ara sahabatnya
tentang arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak
difahami atau samar artinya.[1] Para sahabat senantiasa antusias setiap apa
yang disampaikan Nabi. Namun di saat mereka menyimak wahyu dari Nabi lalu
tidak memahami makna kandungan ayat nya
mereka lantas bertanya kepada Nabi, di saat itu nabi langsug menafsirkan ayat
tersebut. Beliau menafsirkan terdakang menghubungkan ayat satu dengan ayat
lainnya (yufassiru ba’duhu ba’dan). Ketika menafsirkan ini nabi tidak
berangkat dari dirinya melainkan berdasarkan dari petunjuk al-Qur’an yang
disampaikan oleh malaikat Jibril.
As-Sabuni
menjelaskan, para sahabat pada dasarnya telah memahami al-Qur’an baik dari
mufradat maupun tarkibnya. Ini didasari atas pengetahuan mereka terhadap bahasa
Arab sebagai bahasa inti al-Qur’an. Akan tetapi terkadang mereka membutuhkan
penjelasan apabila mendapati ayat-ayat yang mereka tidak memahaminya. [2]
Penafsiran para sahabat terhadap al-Qur’an hanya merujuk pada inti kandungan
al-Qur’an. Mereka adalah orang yang mengetahui secara langsung bagaimana
al-Qur’an diturunkan, sebab apa al-Qur’an, serta peristiwa apa yang
melatarbelakangi al-Qur’an diturunkan.
Menurut
az-Zahabi, meskipun mereka tahu seluk beluk ayat-ayat al-Qur’an, namun terkadap
mereka juga perlu mendiskusikan ayat tertentu yang belum diketahui maknanya.
Pada periode
ini, para sahabat menafsirkan al-Qur’an perpegang kepada ayat-ayat al-Qur’an
yang saling menafsirkan, uraian Nabi dalam hadisnya, ijtihad para mereka
sendiri, dan khabar dan ahli kitab baik dari kaum Yahudi taupun Nasrani yang
telah masuk Islam. Penafsiran sahabat terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an di
persilisihkan martabatnya. Apabila tidak ada ruang untuk perpendapat dan tidak
merujuk pada ahli kitab maka mempunyai martabat sebagai hadis yang marfu’.
Apabila ada pendapat hasil ijtihad sahabat serta mendapat sumber dari ahli
kitab maka penafsiran itu bermartabat hadis mauqu. [3]
Dari segi metode, penafsiran pada periode ini yang umum
dipakai adalah;
a.
Menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri.
b.
Bertendensi
pada uraian Rasulullah Saw. (hadis).
c.
Apabila
para sahabat tidak menemukan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an baik dari al-Qur’an
dan hadis maka sahabat melakukan “ijtihad”. Maka pada masa ini muncullah
mufassir terkenal seperti; “Al-Khulafa’ ar-Rasyidun, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas,
Zaid ibn Tsabit dan Abu Musa al-Asy’ari, Anas ibn Malik, Jabir ibn Abdullah ibn
Amr, Abu Hurairah.
Sedang ciri khusus tafsir-tafsir pada periode ini di
antaranya;
a.
Pada periode
ini al-Qur’an belum
secara keseluruhan ditafsiri, yang ditafsiri hanya ayat-ayat
yang artinya belum jelas pada sebagian sahabat.
b.
Kecilnya perbedaan
pendapat antar para
sahabat dalam menyikapi pemahaman
al-Qur’an.
c.
Kebanyakan mereka
cukup mengetahui dengan makna secara global.
d.
Terbatas pada penjelasan makna yang
mereka pahami dengan
seringkas mungkin lafalnya.
e.
Jarangnya pengistimbatan hukum-hukum
fikih secara ilmi
dari ayat-ayat al-Qur’an, sebab
belum adanya aliran-aliran keberagamaan dalam Islam.
f.
Pada masa ini tafsir belum
dikodifikasi.
g.
Model penafsiran, sama dengan
model hadis, bahkan
tafsir dulu menjadi
bagian dari hadis.
2.
Periode
tabi’in
Periode
ini bermula pada
masa tabi’in yang
notabenenya sebagai generasi kedua
Islam. Al-Shabuni menyebut
bahwa mufassir pada masa tabi’in
jumah sangatlah banyak,
lebih banyak daripada mufassir para
sahabat. Banyak tokoh
penafsir muncul dari
kalangan sahabat yang telah memberikan sumbangan besar dalam menafsirkan
al-Qur’an, sehingga para
generasi selanjutnya dapat
mengambil penafsiran dari pemikiran mereka.[4] Munculnya
para mufassir dikalangan tabi’in erat kaitannya dengan berakhirnya
periode sahabat yang menjadi guru-guru
para tabi’in. mufassir dikalangan tabi’in banyak yang menyebar ke
berbagai daerah kekuasaan Islam sekaligus menjadi guru-guru tafsir di daerah
mereka.
Sebagian
ulama mengatakan periode
ini bersama dengan pengkodifikasian hadis secara resmi
bermula pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H). Tafsir ketika
itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis
dan dihimpun dalam
satu bab seperti bab-bab hadis,
walaupun tentunya pernafsiran
yang ditulis itu umumnya
adalah tafsir bi al-ma’sur.
Al-Qattan menjelaskan bahwa perkembangan tafsir pada masa ini lebih
berkembang pesar daripada masa sahabat. Para mufassir periode ini telah
memunculkan berbagai aliran
penafsiran, terutama masalah
madzhabiyah, serta banyaknya penafsiran yang
bersumber dari israiliyyat. Lebih
lanjut al-Qattan menjelaskan
tentang sumber-sumber rujukan:[5]
1.
Ayat-ayat al-Qur’an menjadi
penafsir bagi ayat yang lain.
2.
Apa
apa yang diriwayatkan oleh
Rasulullah saw selanjutnya disampaikan
kepada para sahabat.
3.
Apa yang diterima dari ahli kitab,
dari sisi kitab mereka, selama tidak bertentangan dengan kitabullah.
4.
Tafsir tentang
al-Qur’an yang diriwayatkan
oleh tabiin dari sahabat.
Pada
masa ini muncul
madrasah-madrasah tafsir yang digunakan tempat
menimba ilmu oleh
generasi pada masa
ini. 1) Madrasah Makkah
Al-Mukarramah yang didirikan oleh
Ibnu Abbas, dari madrasah ini
muncul murid yang terkenal Abu Al-Hujjaj Mujahid ibn Jabir
al-Makky (w. 101
H), Ikrimah Maula
ibn Abbas (w
105), Tawus ibn Kaisan al-Yamani
(w. 106), Said
ibn Jabir al-Asadi
(w. 95 H) dan
lainnya. 2) Madrasah Kufah
(iraq) yang didirikan oleh s’ud yang mempunyai beberapa murid yang
selagus sebagai mufassir didaerahnya, di
antaranya Masruq ibn
Al-Jada’ (w. 64 H),
Al-Aswad ibn Yazid (w. 75), Hasan al-Basri (121 H) dan lainnya. 3) Madrasah
al-Madinah al-Munawwaroh pimpin oleh Ubay ibn Ka’b, di antara muridnya
adalah aid ibn
Aslam (w. 102
H), Abu al-’Aliyah
Rafi’ ibn Mahran
(w. 90 H),
Muhammad ibn Ka’b
al-Qard (w. 118 H) dan lainnya.
Ciri pokok tafsir-tafsir
pada periode ini;
1.
Pada periode
ini banyak tafsir yang kemasukan israiliyyat dan nasraniyyat, disebabkan
banyaknya orang ahli kitab yang
masuk Islam yang
ikut mewarnai kehidupan para mufassir. Unsur-unsur
kebudayaan tersebut tidaklah terkait dengan dengan aqidah atau
hukum syar’i, tetapi terkait dengan hal-hal lain seperti riwayat tentang asal
usul kejadian, rahasia-rahasia wujud,
serta cerita-tentang Nabi
terdahulu.
2.
Penafsiran diambil dari
sistem periwayatan dan talaqqi,
bukan secara global,
sebab para tabi’in hanya
mengambil riwayat dari
guru-gurunya sedaerah.
Penduduk masing-masing daerah
mengutamakan tafsir karya mufassir yang
berasal dari daerahnya.
Sebagai contoh, penduduk Makkah mengambil
penafsiran dari Abdullah
ibn Abbas, penduduk Madinah dari Ubay ibn Ka’b, dan
seterusnya.
3.
Nampak pada periode ini cikal bakal
pertentangan antar madzhab sehingga penafsiran tidak bisa obyektif
sebab bertendensi pada
kepentingan madzhabnya.
4.
Perbedaan pendapat antar tabi’in
sudah mulai menyebar.[6]
Pada periode
tabiin, sudah mulai
muncul pemalsuan-pemalsuan dala
bidang tafsir, hal
ini disebabkan. Pertama,
fanatisme madzhab. Setiap golongan merupaya mendukung madzhabnya dengan berbagai
cara hingga menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an sesuai. dengan ideologi
mereka, serta menguatkan
eksistensi madzhab mereka.
Kedua, aliran politik. Banyak sekali hadis-hadis palsu terkait penafsiran ayat
yang disandarkan kepada Ali ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbas. Karena
mereka memandang bahwa
keduanya adalah orang-orang dekat Nabi Saw. Ketiga, adanya
semangat musuh-musuh Islam, mereka
adalah kaum Zindiq,
mereka masuk Islam
hanya untuk merusak Islam dari
dalam. Tafsir dari kalangan tabiin masih diperselisihkan oleh ulama.
Apakah wajib dijadikan sebagai rujukan penafsiran atau
tidak? Akan tetapi, perbedaan pendangan ini hanya berkisar pada tafsir yang
bukan peninggalan Nabi Saw.
dan sahabat. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa tafsir
dari tabiin wajib untuk dijadikan rujukan, karena mereka secara langsung
mendapatkan riwayat tafsir
dari sahabat Nabi
Saw. Sedangkan sebagian ulama
lain berpendapat, bahwa
riwayat tafsir dari tabiin tidak
wajib untuk digunakan
dengan alasan: Pertama, para
tabi’in tidak mendengar
langsung tafsir dari
Nabi Saw. seperti halnya sahabat. Kedua, para tabiin
tidak menyaksikan secara langsung asbab an-nuzul, sehingga bisa saja
menyebabkan mereka salah dalam memahami
apa yang dikehendaki
dari sebuah ayat.
Ketiga, sifat ‘adil dari para
tabiin masih diragukan,
tidak seperti sahabat
yang sudah pasti sifat
‘adalah-nya (as-sahabah kulluhum ‘udul).
B. SARANA DAN PRASARANA TAFSIR
AL-RA’YI MASA SAHABAT DAN TABI’IN
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan ijtihad, para sahabat menggunakan hal-hal berikut:
1.
Penguasaan bahasa arab. Hal ini
memang sudah dikuasai oleh para sahabat karena bahasa arab merupakan bahasa ibu
mereka sehingga tidak sulit untuk memahami al-Qur’an.
2.
Pengetahuan adat istiadat, tradisi
dan kebiasaan bangsa arab. Para sahabat dan tabiin dalam menjalani kehidupan
sehari-hari memang terlibat dalam hal tersebut.
3.
Pengetahuan tentang kondisi Yahudi
dan Nasrani di Arab saat turunnya al-Qur’an. Para sahabat sangat dekat dalam
kehidupan sehari-hari dengan dua agama ini saat masa kenabian. Mereka melihat
dengan mata kepala bagaimana keadaan mereka sehingga tahu persis maksud ayat
yang berkaitan dengan mereka.
4.
Kuatnya pemahaman dan keluasan
pengetahuan para sahabat dan tabi’in. Para sahabat juga berbeda-beda kapasitas
keilmuannya. Tentunya ini sangat berpengaruh terhadap penafsiran mereka
terhadap al-Qur’an. Namun, jika mereka ingin mengetahui tafsir suatu ayat
mereka masih dapat menanyakannya langsung kepada Nabi saw.[7]
C. BIOGRAFI ULAMA TAFSIR DARI KALANGAN
SAHABAT
Menurut imam
Suyuti ada segolongan sahabat yang terkenal sebagai ahli tafsir, mereka adalah khulafaur-rasyidin
yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu
Anhum, hanya saja riwayat dari ketiga khalifah yang pertama hanya sedikit
karena kesibukan mereka dengan urusan ke khalifahan, dan juga sedikitnya hajat
(kebutuhan) untuk menukilnya karena banyak sahabat yang faham tentang tafsir.
Dan dari
kalangan sahabat yang terkenal sebagai ahli
tafsir adalah: Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas. Maka kami
akan menuliskan biografi kehidupan Ali bin Abu Thalib serta Abdullah bin Mas’d
dan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhum. [8]
1.
Ali bin
Abu Thalib
Ali bin Abu Thalib adalah putra dari
paman Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam dan suami dari putri beliau, yaitu Fatimah Radhiyallahu Anhuma. Ia adalah orang pertama yang beriman kepada
Allah Ta’ala dari kalangan kerabat
Nabi. Selain namanya yang masyhur, ali juga dikenal dengan julukan Abu Hasan
dan Abu Thurab.
Diriwayatkan dari Ali Radhiyallahu Anhu bahwa beliau berkata:
“Bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku tentang
kitabullah. Demi Allah! Tidak ada satu ayat pun kecuali saya mengetahui apakah
dia (ayat tersebut) turun pada malam atau siang hari.”
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkata, “Apabila datang kepada kami ketetapan
dari Ali, kami tidak menyelisihinya.”
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
ia berkata, “Apa-apa yang aku ambil berupa tafsir Al-Qur’an, maka itu berasal
dari Ali bin Abi Thalib.”[9]
2. Abdullah bin Mas’ud
Beliau adalah Abdullah bin Mas’ud
bin Ghafal Al-Hudzail, putra dari seorang ibu bernama Ummu Abdin. Beliau
kadang-kadang dinasabkan kepada ibunya, beliau termasuk As-Sabiqun Al-Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk
islam),beliau turut serta hijrah dua kali dan turut serta dalam perang Badar
dan sesudahnya.
Beliau menimba ilmu dari Nabi Shallallhu Alaihi Wa Sallam lebih dari
tujuh puluh surat dalam Al-Qur’an. Nabi Shallallhu
Alaihi Wa Sallam berkata kepada beliau pada awal perkembangan agama islam.
“sesungguhnya engkau adalah seorang anak yang terpelajar (cerdas).” Dan
beliaupun berkata. “barangsiapa ingin belajar Al-Qur’an secara jelas,
sebagaimana dia diturunkan, maka bacalah sesuai dengan bacaan ibnu Ummi Abdin
(Ibnu Mas’ud).” Dan dalam Shahih Bukhari disebutkan
bahwa Ibnu Mas’ud Rhadiyallahu Anhu berkata,
“Para sahabat Rasulullah telah mengetahui bahwa sesunggunhnya aku termasuk orang
yang paling mengetahui kitabullah di antara mereka.” Dan ia berkata, “Demi
Allah yang tidak ada ilah selain-Nya, tidaklah diturunkan satu surat dalam
kitabulah, kecuali aku mengetahui dimana dia turun. Dan tidak ada satu ayat
dalam kitabullah kecuali aku mengetahui tentang apa ayat tersebut diturunkan.
Dan seandainya aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui dariku
tentang kitabullah yang dapat dicapai dengan unta, sungguh aku akan mengendarai
unta itu untuk datang (belajar) kepadanya.”[10]
3.
Abdullah
bin Abbas
Abdullah bin Abbas adalah anak
pertama paman Rasulullah Shallallhu
Alaihi Wa Sallam, lahir tiga tahun sebelum hijrah, beliau tinggal bersama
dengan Nabi Shallallhu Alaihi Wa Sallam karena
beliau adalah anak paman Nabi dan bibi Nabi yaitu Maimunah yang berada dibawah
tanggungan Nabi.
Nabi Shallallhu
Alaihi Wa Sallam mendekap dan memeluk beliau seraya berkata, “Ya Allah ajarkan kepadanya Al-Hikmah” dalam
suatu riwayat disebutkan “Al-Kitab”. Dan
Nabi berkata kepadanya ketika beliau meletakkan air wudhu untuk beliau, “Ya Allah berilah dia kefahaman dalam
agama.” Maka dengan do’a yang penuh berkah itu, beliau menjadi pemimpin
umat.
Dalam menyebarkan tafsid dan fiqih,
karena Allah Ta’ala memberinya taufik
untuk bersemangat terhadap ilmu dan bersungguh-sungguh dalam menuntutnya serta
bersabar dalam mengambil ilmu dan memberikan ilmu, maka dengan hal itu beliau
mencapai kedudukan yang tinggi, hingga amirul mu’minin Umar bin Khattab
memanggil beliau ke majelisnnya dan mengambil perkataannya, maka berkatalah
orang-orang Muhajirin, “Mengapa engkau tidak memanggil anak-anak kami
sebagaimana engkau mengundang Ibnu Abbas?!” Umar berkata kepada mereka:
“Demikianlah kalian, (dia yaitu Ibnu Abbas) seorang pemuda yang matang,
memiliki lisan yang sering bertanya dan hati yang cerdas,” kemudian umar
memanggil mereka (orang Muhajirin) pada suatu hari, beliau (Umar) mempertemukan
Ibnu Abbas kepada mereka untuk memperlihatkan kepada mereka sebagian apa yang
beliau lihat pada diri Ibnu Abbas. Maka beliau berkata: “apa yang akan kalian
katakan tentang firman Allah Ta’ala”:
“Apabila telah datang
pertolongan allah dan kemenangannya.” (QS. An-Nashr: 1) Beliau (Umar) membacanya sampai akhir surat.
Maka sebagian mereka mengatakan:
“Kita diperintahkan agar memuji Allah dan memohon ampun kepadanya apabila kita
mendapat kemenangan”, dan sebagian yang lain diam. Kemudian Umar berkata kepada
Ibnu Abbas “Apakah demikian yang engkau katakana?” Beliau menjawab: “Bukan”.
Umar berkata: “Jadi apa yang engkau katakana?” Beliau menjawab: “(Maksudnya)
adalah waktu akhir (ajal) Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam Allah memberitahukan kepada beliau bahwa apabila telah
datang pertolongan Allah dan kemenangan yaitu Fathu Mekkah, maka itu adalah tanda ajalmu (hai Muhammad), maka
bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan memohonlah ampun kepadanya. Sesungguhnya
dia adalah Maha penerima taubat”. Umar berkata, “aku ridak mengetahui tentang
firman Allah yang tersebut kecuali seperti apa yang kamu ketahui.”[11]
D. ULAMA TAFSIR DI KALANGAN TABI’IN
Banyak ulama
tafsir dari kalangan tabi’in di antaranya:
a.
Penduduk Mekah, mereka adalah
pengikut Ibnu Abbas seperti Mujahid, Ikrimah, Atha’ bin Abi Rabah.
b.
Penduduk Madinah, mereka adalah
pengikut Ubay bin Ka’ab, seperti Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah, Muhammad bin
Ka’ab Al-Qurthubi.
c.
Penduduk Kufah, mereka adalah
pengikut Ibnu Mas’ud, seperti Qatadah, Alqamah, Asy-Sya’bi.
Dalam
pembahasan kali ini, kami hanya akan dua biografi ulama tafsir di antara
mereka, yaitu Mujahid dan Qatadah.
1. Mujahid
Beliau
adalah Mujahid bin Jabar Al-Makki pelayan As-Saib bin Abi Saib Al-Makhzumi,
beliau dilahirkan pada tahun 21 H, dan beliau belajar tafsir al-Qur’an dari
Ibnu Abbas ra. Ibnu Ishaq meriwayatkan darinya bahwa dia berkata, aku
memperlihatkan mushaf kepada Ibnu Abbas tiga kali pertemuan, dari surat
al-Fatihah sampai akhir Al-Qur’an, aku mempelajari dan memahami setiap ayat
dari beliau dan menanyakan kepadanya.”
Sufyan
Ats-Tsauri berkata, “Apabila telah sampai kepadamu tafsir dari Mujahid, maka
cukuplah hal itu bagimu, “Asy-Syafi’I dan
Al-Bukhari berpegang kepada tafsir beliau, dan banyak yang beliau nukil
dari Mujahid dalam kitab Shahihnya.
Berkata
Adz-Dzahabi pada akhir biografi beliau: “Umat bersatu di atas kepemimpinan
imamah Mujahid dan berhujjah kepadanya. “beliau wafat di Mekah pada tahun 104 H
dalam keadaan sujud.
2. Qatadah
Beliau
adalah Qatadah bin Di’amah As-Sudusi Al-Bashri, lahir pada tahun 61 H dalam
keadaan buta. Beliau bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Beliau memiliki
hafalan yang kuat, sampai-sampai dia berkata tentang dirinya: “Aku tidak
berkata kepada orang yang mengabarkan kepadaku sama sekali, (kecuali) aku
mempertimbangkannya dulu, dan tidaklah kedua telingaku mendengar sesuatu apapun
kecuali aku menghafalnya.”
Imam Ahmad menyebut tentang beliau dan mengagungkannya,
kemudian Imam Ahmad menyebarkan ilmu. Pemahaman dan pengetahuannya tentang ikhtilaf (perbedaan) dan tafsir, serta
menyifati beliau sebagai orang yang sangat kuat hafalannya dan tinggi pemahaman
agamanya.
Imam Ahmad berkata, “Beliau adalah penduduk Bashrah yang
paling kuat hafalannya, dia tidak mendengar sesuatu kecuali dihafalnya.” Beliau
wafat di Wasith pada tahun117H pada usia 56 tahun.[12]
Syarat
Mufassir bi Al-ra’yi
Para
ulama memberlakukan syarat-syarat yang begitu ketat bagi seseorang untuk dapat
disebut mufassir. Hal ini tentu saja beralasan terutama bila kita mengamati
sumber-sumber ajaran Islam yang begitu ketat memberikan rambu-rambu bagi siapa
saja yang ingin memberikan pemahaman terhadap suatu ayat di dalam Al-Qur’an.
Al-Suyuti, menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang
sebelum menafsirkan Al-Qur’an, sebagai berikut:
1.
Pengetahuan bahasa Arab dan
kaedah-kaedah bahasa (ilmu tatabahasa, sintaksis, etimologi dan morfologi)
2.
Ilmu retorika (ilmu ma’ani, ilmu
Al-Bayan dan al-badi’u)
3.
Ilmu ushul fiqih (khas, am, mujmal
dan mufashal)
4.
Ilmu asbab al-nuzul (latar belakang
dan hal yang berkenaan dengan turunnya wahyu)
5.
Ilmu naskh wa al-mansukh
6.
Ilmu qira’ah Al-Qur’an
7.
Ilmu muhibbah
8.
Mempunyai keyakinan (al-i’tiqad) yang lurus dan memegang
teguh ketentuan ketentuan agama
9.
Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas
semata-semata untuk mendekatkan diri (al-taqarrub)
kepada Allah Ta’ala
10.
Bersandar pada naql pada Nabi saw,
dan para sahabat, serta menjauhi bid’ah.
Menurut al-Dzahabi, ada
lima perkara yang harus dijauhi oleh seorang mufassir agar tidak jatuh dalam
kesalahan dan tidak termasuk pentafsir bi
al-ra’yi yang fasid. Lima perkara tersebut:
1.
Menjelaskan maksud Allah Swt. Dalam
Al-Qur’an dengan tanpa memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang
mufassir.
2.
Mencampuri hal-hal yang merupakan
monopoli Allah untuk mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutasyabihat yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah
sendiri.
3.
Melakukan penafsiran seiring dengan
dorongan hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
4.
Menafsirkan Al-Qur’an untuk mendukung
madzhab yang fasid, sehingga faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan
selaras mengikuti keinginan madzhabnya.
5.
Menafsirkan dengan memastikan,
“demikianlah kehendak Allah” terhadap tafsirannya sendiri padahal tanpa ada
dalil yang mendukungnya.
e.
Contoh Tafsir bil Ra’yi
Sebelum mengemukakan contohnya,
tafsir bil ra’yi sendiri dibagi menjadi 2 bagian, yaitu tafsir bil ra’yi
mahmudah (yang dapat diterima) dan tafsir bil ra’yi madzmumah (yang ditolak).
Tafsir bil ra’yi mahmudah adalah penafsiran yang berpedoman kepada
al-Quran dan Sunnah Rasulullah, yang mana seorang mufasir adalah orang yang
menguasai seluk-beluk bahasa Arab, serta kaidah-kaidah yang berkaitan dengan
memahami dan menjelaskan makna ayat al-Quran dan mufassir tersebut telah
memenuhi syarat sebagai seorang mufassir, baik aspek pengetahuan maupun aspek
kepribadian. Sedangkan tafsir bil ra’yi madzmumah adalah penafsiran yang hanya berpedoman
pada ra’yu semata, dan mengikuti hawa nafsu. Maksudnya, penafsiran yang tidak
berpegang kepada nash-nash syariah. Sumber penafsirannya didominasi oleh
pendapat akal semata, seperti yang dilakukan oleh para ahli bid’ah dan
mazhab-mazhab yang bathil, serta membawa pemahaman ayat sesuai dengan keinginan
dan kepentingan mereka.[13]
Beberapa kitab-kitab tafsir bil
ra’yi mahmudah di antaranya adalah :[14]
1.
Madarik at-Tanzil wa Haqaiq
al-Ta’wil
karya Mahmud Al-Nasafy
2.
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baydhawy
3.
Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin
4.
Ruh Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an wa
al-Sab’u al-Masani
karya Al-Alusi
5.
Al-Tafsir al-Kabir “Mafatih
al-Ghaib
karya Al-Fakhr Al-Razy
Adapun contoh tafsir bil
ra’yi yang tidak dapat diterima adalah sebagai berikut :
1.
Penafsiran golongan Syi’ah terhadap
kata al-baqarah (QS.2:67) dengan Aisyah r.a.
2.
Penafsiran sebagian mufassir
terhadap QS. 2:74
.... وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ
الأنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ
مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
“... padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai daripadanya dan di anataranya sungguh ada yang terbelah
lalu keluarlah mata air darinya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jauh
karena takut kepada Allah...”
Mereka menduga bahwa ada batu yang bisa berfikir,
berbicara dan jatuh karena takut kepada Allah, seperti pada teks ayat di atas.
3.
Penafsiran sebagian mufassir
terhadap QS. 16: 68
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى
النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا
يَعْرِشُونَ
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia...”
Bahwa di antara lebah-lebah itu ada yang diangkat
sebagai nabi yang diberi wahyu oleh Allah, dan mereka mengemukakan cerita-cerita
bohong tentang kenabian lebah. Sementara sebagian yang lain berpendapat, bahwa
ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah
yang dengannya ia membuat sarang-sarang dan dengannya pula ia membuat madu.
Mereka mengingkari, bahwa madu itu keluar dari perut lebah, sedangkan pad ayat
berikutnya (ayat 69) Allah menyatakan:
... يَخْرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ
أَلْوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٌ لِّلنَّاسِ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu)
yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.”
Bagaimana mereka mengingkari
sesuatu yang dengan jelas dinyatakan oleh ayat Al-Qur’an dan diperkuat oleh
segi bahasa?
4. Penafsiran
sementara orang, bahwa hawariyyun (pengikut setia Rasulullah Isa as) adalah
nabi-nabi Allah, oleh karena Allah menurunkan wahyu kepada mereka dan hal ini
Allah sebutkan dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. 5: 111 :
وَإِذ أَوحَيتُ إِلَى
الحَوارِيّينَ أَن آمِنوا بي وَبِرَسولي قالوا آمَنّا وَاشهَد بِأَنَّنا مُسلِمونَ
“Dan ingatlah ketika Aku wahyukan
(ilhamkan) kepada pengikut-pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku
dan kepada Rasul-Ku.” Mereka menjawab: “kami telah beriman dan saksikanlah
(wahai Rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada
seruanmu).”
Penafsiran dan dugaan itu adalah
karean kebodohan mereka tentang macam-macam arti kata wahyu dalam al-Qur’an.[15]
5.
Golongan muktazilah yang dalam
menafsirkan al-Qur’an untuk memenangkan pendapat dan pemikiran mereka, seperti
terhadap surat an-Nisa’ : 164
وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ
تَكْلِيمًا...
“dan Allah telah berbicara dengan Musa
secara langsung”
Menurut pandangan mereka kata
kallama dalam ayat tersebut bukan berasal dari akar kata kalam, melainkan dari
akar kata al-jarh. Dengan demikian ayat tersebut bermakna, “Allah melukai Musa
dengan kuku ujian dan cobaan”. Penafsiran yang seperti hanya untuk memperkuat
aliran mereka.
E.
CONTOH
TAFSIR BIL RA’YI
Sebelum
mengemukakan contohnya, tafsir bil ra’yi sendiri dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
tafsir bil ra’yi mahmudah (yang dapat diterima) dan tafsir bil ra’yi madzmumah
(yang ditolak).
Tafsir
bil ra’yi mahmudah adalah penafsiran
yang berpedoman kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah, yang mana seorang
mufasir adalah orang yang menguasai seluk-beluk bahasa Arab, serta
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan memahami dan menjelaskan makna ayat al-Quran
dan mufassir tersebut telah memenuhi syarat sebagai seorang mufassir, baik
aspek pengetahuan maupun aspek kepribadian. Sedangkan tafsir bil ra’yi madzmumah
adalah penafsiran
yang hanya berpedoman pada ra’yu semata, dan mengikuti hawa nafsu. Maksudnya,
penafsiran yang tidak berpegang kepada nash-nash syariah. Sumber penafsirannya
didominasi oleh pendapat akal semata, seperti yang dilakukan oleh para ahli
bid’ah dan mazhab-mazhab yang bathil, serta membawa pemahaman ayat sesuai
dengan keinginan dan kepentingan mereka.[16]
Beberapa
kitab-kitab tafsir bil ra’yi mahmudah di antaranya adalah :[17]
6.
Madarik
at-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil karya Mahmud Al-Nasafy
7.
Anwar al-Tanzil
wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baydhawy
8.
Lubab al-Ta’wil
fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin
9.
Ruh Ma’ani fi
Tafsir al-Qur’an wa al-Sab’u al-Masani karya Al-Alusi
10.
Al-Tafsir
al-Kabir “Mafatih al-Ghaib karya Al-Fakhr Al-Razy
Adapun
contoh tafsir bil ra’yi yang tidak dapat diterima adalah sebagai berikut :
1.
Penafsiran
golongan Syi’ah terhadap kata al-baqarah (QS.2:67) dengan Aisyah r.a.
2.
Penafsiran
sebagian mufassir terhadap QS. 2:74
i.
.... وَإِنَّ مِنَ
الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا
يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ
خَشْيَةِ اللَّهِ
ii.
“... padahal di
antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di
anataranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya dan
diantaranya sungguh ada yang meluncur jauh karena takut kepada Allah...”
iii.
Mereka menduga
bahwa ada batu yang bisa berfikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada
Allah, seperti pada teks ayat di atas.
3.
Penafsiran
sebagian mufassir terhadap QS. 16: 68
i.
وَأَوْحَى
رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ
وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
ii.
“Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon
kayu dan di tempat-tempat yang dibikin manusia...”
iii.
Bahwa di antara
lebah-lebah itu ada yang diangkat sebagai nabi yang diberi wahyu oleh Allah,
dan mereka mengemukakan cerita-cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara
sebagian yang lain berpendapat, bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon,
kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah yang dengannya ia membuat
sarang-sarang dan dengannya pula ia membuat madu. Mereka mengingkari, bahwa
madu itu keluar dari perut lebah, sedangkan pad ayat berikutnya (ayat 69) Allah
menyatakan:
iv.
... يَخْرُجُ
مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٌ لِّلنَّاسِ إِنَّ
فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
v.
“Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang memikirkan.”
vi.
Bagaimana
mereka mengingkari sesuatu yang dengan jelas dinyatakan oleh ayat Al-Qur’an dan
diperkuat oleh segi bahasa?
4.
Penafsiran
sementara orang, bahwa hawariyyun (pengikut setia Rasulullah Isa as) adalah
nabi-nabi Allah, oleh karena Allah menurunkan wahyu kepada mereka dan hal ini
Allah sebutkan dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. 5: 111 :
i.
وَإِذ
أَوحَيتُ إِلَى الحَوارِيّينَ أَن آمِنوا بي وَبِرَسولي قالوا آمَنّا وَاشهَد
بِأَنَّنا مُسلِمونَ
ii.
“Dan
ingatlah ketika Aku wahyukan (ilhamkan) kepada pengikut-pengikut Isa yang
setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku.” Mereka menjawab: “kami
telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).”
iii.
Penafsiran
dan dugaan itu adalah karean kebodohan mereka tentang macam-macam arti kata
wahyu dalam al-Qur’an.[18]
5.
Golongan
muktazilah yang dalam menafsirkan al-Qur’an untuk memenangkan pendapat dan
pemikiran mereka, seperti terhadap surat an-Nisa’ : 164
i.
وَكَلَّمَ
ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا...
ii.
“dan Allah telah
berbicara dengan Musa secara langsung”
iii.
Menurut
pandangan mereka kata kallama dalam ayat tersebut bukan berasal dari akar kata
kalam, melainkan dari akar kata al-jarh. Dengan demikian ayat tersebut
bermakna, “Allah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan”. Penafsiran yang
seperti hanya untuk memperkuat aliran mereka.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Para
sahabat menafsirkan al-Qur’an perpegang kepada ayat-ayat al-Qur’an yang saling
menafsirkan, uraian Nabi dalam hadisnya, ijtihad para mereka sendiri, dan
khabar dan ahli kitab baik dari kaum Yahudi taupun Nasrani yang telah masuk
Islam. Penafsiran sahabat terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an di persilisihkan
martabatnya. Apabila tidak ada ruang untuk perpendapat dan tidak merujuk pada
ahli kitab maka mempunyai martabat sebagai hadis yang marfu’. Apabila ada
pendapat hasil ijtihad sahabat serta mendapat sumber dari ahli kitab maka
penafsiran itu bermartabat hadis mauqu. Setelah
generasi para sahabat dilanjutkan oleh para tabi’in. Munculnya para mufassir
dikalangan tabi’in erat kaitannya dengan berakhirnya periode sahabat yang menjadi
guru-guru para tabi’in. mufassir
dikalangan tabi’in banyak yang menyebar ke berbagai daerah kekuasaan
Islam sekaligus menjadi guru-guru tafsir di daerah mereka.
B.
SARAN
Banyak hal
yang dapat kita pelajari dari pembahasan tafsir bi al-Ra’yi pada masa sahabat
dan tabi’in. Sehingga dapat memudahkan kita dalam mempelajari al-Qur’an. Kritikan
dan saran sangat kami harapkan dari pembaca guna perbaikan tulisan kami
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab.
Quraish, 1992, Membumikan Al-Qur’an,
Bandung: Mizan
as-Sabuni.
Muhammad Ali, 1997, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah,
az-Zahabi.
M. Husain, At-Tafsir wa al-Mufassirun
Muhammad Ali As-Sabuni, at-Tibyan
fi Ulum al-Quran
Manna’ al-Qattan, 1994, Mabahis fi Ulum
al-Qur’an, Riyad, Mansyurat
al-Asr –Hadis
Anshari, 2010, Tafsir bi al-Ra’yi, Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta
Rani. Jani, Kelemahan-kelemahan dalam Manahij Al-Mufassirin,
Jurnal Ushuluddin Vol XVIII No. 2 Juli 2012
Ali Hasan Al-Aridl, 1994, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada
[2]
Muhammad Ali
as-Sabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997),
hlm. 339.
[4] Muhammad Ali As-Sabuni,
at-Tibyan fi Ulum al-Quran, hlm. 341.
[5] Manna’
al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Riyad: Mansyurat
al-Asr -Hadis, 1994.), hlm. 234.
[6] Syaikh Ahmad, Tabaqat
al-Mufassirin, dalam bab para mufassir dari tabiin pada masa abad pertama
hijrah, ware Maktab Tafsir al-Qur’an.
[7] Anshari, Tafsir bi al-Ra’yi (Jakarta: Gaung
Persada Press Jakarta, 2010, h.363
[8] Ummu Ismail, pengantar ilmu tafsir, (Jakart: Darus
Sunnah press, 2014), h.77
[9] Ibid, h.79
[10] Ibid, h.80-81
[11] Ibid, h.82
[12] Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, Pengantar Ilmu
Tafsir, Jakarta, Darus Sunnah Press, 2014, hal. 82
[13] Jani Rani,
“Kelemahan-kelemahan dalam Manahij Al-Mufassirin”, Jurnal Ushuluddin Vol XVIII
No. 2 Juli 2012, hlm. 170
[14] Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 54
[15] Ibid hlm. 50-53
[16] Jani Rani, “Kelemahan-kelemahan dalam Manahij Al-Mufassirin”,
Jurnal Ushuluddin Vol XVIII No. 2 Juli 2012, hlm. 170
[17] Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 54
[18] Ibid hlm. 50-53
Komentar
Posting Komentar