Pemeliharaan Al-Qur'an Pasca Pengkodifikasian dalam satu mushaf
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang senantiasa menganugerahkan nikmat, serta rahman dan rahim-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melangsungkan segala aktifitas hingga saat ini. Shalawat dan salam kita haturkan kepada Rosul kita nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang saat ini, sekaligus sebagai uswatun hasanah bagi ummatnya di seluruh alam.
Makalah ini membahas tentang “Pemeliharaan pasca pembukuan al-Qur’an”, seta point-point pentingnya. Beberapa hambatan dan kesulitan kami hadapi dalam proses pembuatan, namun kami sadari bahwa semua itu adalah rintangan yang harus dihadapi demi hasil yang baik. Untuk itu kami berterima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah. Begitu pula dengan dukungan dan motivasinya yang diberikan kepada kami. Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, dan bisa membantu saat dibutuhkan sebagai pendukung mata kuliah Pengantar Ulumul Qur’an.
Ciputat, 30 November 2016
Tim penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang 1
B. RumusanMasalah 2
C. TujuanPembuatanMakalah 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Percetakan 3
B. Pengarsipan 9
C. Penggandaan 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 14
B. Saran........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-qur’an secara harfiah berarti bacaan yang sempurna merupakan nama pilihan Allah sebagai penyempurna kitab-kitab samawi sebelumnya, sebagai petunjuk bagi umat islam, pembeda bagi yang haq dengan yang bathil, dan merupakan kitab undang-undang hukum yang paling sempurna yang dapat menjawab segala persoalan umat manusia. Untuk itu sepatutnya manusia berusaha menjaganya dari masa ke masa. Untuk itu, perlu adanya percetakan, pengarsipan dan penggandaan untuk meyebarkan mushaf al-qur’an kepada semua umat muslim dengan populasinya yang senantiasa berkembang.
Berkaca dari sejarah, Al-Quran merupakan kitab akhir zaman dari semua kitab-kitab yang telah diwahyukan Allah kepada anbiya’. Namun, pada masa nabi saw. tulisan al-Quran masih sangat sederhana, maksudnya tidak bertitik dan tidak juga berharakat. Kondisi ini bertahan hingga perhimpunan pada masa Abu Bakar dan Umar. Sehingga kondisi tersebut membuat perbedaan bacaan bahkan ada yang menyimpang. Kemudian pada masa Ustman pembukuan Al-Qur’an secara besar-besaran terjadi. Masa setelahnya al-Qur’an berangsur-angsur disempurnakan hingga seperti al Quran yang ada pada kita saat ini. untuk itu maka disusunlah makalah ini dimana maksud dari pembuatannya agar diketahui sejarah pemeliharaan al-Quran, baik itu penulisan, penggandaan, pengarsipan hingga percetakan kitab Allah swt ini.
Pembuatan makalah ini dilakukan dengan metode kepustakaan dan buku-buku yang menjadi referensi adalah buku-buku yang dinilai shohih serta mencakup pembahasan yang ada dalam buku ini.
Oleh karenanya, makalah ini diyakini dapat sedikit-banyaknya menjawab keraguan terhadap sejarah penulisan ataupun pengkodifikasian literatul tulisan Al-Qur’an Rumusan serta tujuan pembuatan makalah ini dapat dilihat dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan makalah ini, yaitu:
1. Bagaimanakah percetakan al-qur’an pasca pembukuannya?
2. Bagaimanakah pengarsipan al-qur’an yang sesui dengan kaidah-kaidah penulisan al-qur’an?
3. Apakah penggandaan al-qur’an diperlukan dalam menjaga dan memelihara al-qur’an?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun tujuan pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui sejarah percetakan al-qur’an setelah pembukuaannnya.
2. Untuk mengetahui macam-macam dan proses pengarsipan yang sesuai dengan kaidah penulisan al-qur’an
3. Untuk mengetahui kebutuhan akan penggandaan a-qur’an bagi umat muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Percetakan Mushaf
Percetakan al-Quran hingga seperti sekarang ini, dari masa sahabat hingga modern mengalami serangkaian penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut bukanlah atas inisiatif seorang atau beberapa orang, akan tetapi hal itu merupakan ilham yang duturunkan rabb sekalian alam kepada orang-orang yang telah berjasa dalam penulisan serta menjaganya dari pengrusakan hingga Al-Quran dapat terus terjaga kemurnian dan keotentikannya hingga saat sekarang ini,sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
Artinya: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran,dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”.
Mengenai ayat di atas, kataحافظونsebagaimana terdapat dalam kitab Tafsir al-Bahr, disebutkan bahwa makna dari al-Hifz ada tiga : pertama, Allah menjaganya daari syetan. Kedua, Allah menjaganya dengan cara mengekalkan syariat Islam sampai hari kiamat. Hal ini sebagai mana di singgung oleh Imam Hasan al-Basri. Ketiga, Allah menjaganya di dalam hati orang-orang yang menginginkan kebaikan dari al-Qur’an sehingga jika ada kesalahan walau satu hurufpun anak kecilpun akan tahu.
Di dalam kitab tafsir al-Mawardi dikatakan bahwa ada tiga perkataan tentang penjagaan ini. Pertama , Allah berkata kamilah yang menjaga al Qur’an sampai hari kiamat, ini adalah pendapat dari ibnu Jarir. Kedua,Allah menjaga al-Qur’an dari syetan yang ingin menambah kebatilan dan menghilangkan kebenaran,sebagaimana tafsiran dari Qatadah. Dan yang ketiga, Allah menjaganya pada hati orang yang ingin memperoleh kebaikan dari al-Qur’an dan menghilangkannya dari orang yang ingin berbuat kejelekan. Dari beberapa penjelasan ini mengingatkan bahwa al-Quran Allah sendirilah yang menjaganya sampai hari kiamat.
Dalam hal percetakan ini, akan dibagi dalam tiga konsep kajian,yakni : pembukuan pada masa ustman, periode memperindah penulisan dan percetakan di era modern.
1. Pembukuan pada Masa Utsman
Pada masa Khalifah ke tiga ini,disebut sebagai pembukuan ketiga al-Quran. Setelah sebelumnya al quran ditulis pada masa Rasul saw. yang disebut sebagai pembukuan pertama, serta penyalinan al-Quran dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, disebut sebagai pembukuan ke-dua, Manna Khalil al-Khattan mengatakan demikian. Selain itu Al Haris al-Muhasibi mengatakan : “Yang mashur dikalangan orang banyak ialah bahwa yang mengumpulkan al Quran itu Ustman. Padahal sebenarnya tidak demikian, Ustman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam (wajah) qira’at. Itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum Muhajirin dan Anshar yang hadir di hadapannya , serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi antara penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf tersebut dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf mana al-Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan al-Qur’an secara keseluruhan adalah Abu Bakar as-Siddiq.”
Begitulah pemahaman yang didapat , Ustman melanjutkan estafet dalam menjaga al-Qur’an dengan menjadikannya satu macam bacaan, sedangkan letak suatu surah, ayat, susunan , dan sebagainya telah dilakukan pada masa khalifah pertama yakni Abu Bakar Siddiq.
a. Faktor Pembukuan pada Masa Ustman
Faktor yang mendorong Ustman untuk menghimpun al-Qur’an adalah untuk menghilangkan perselisihan dan pertentangan serta menghentikan sikap kaum muslimin dalam menonjolkan atau membanggakan diri dalam al quran. Umat telah jauh dari masa kerasulan dan turunnya wahyu. Masing-masing daerah Islam mengambil qiraat yang telah ada pada mereka,yang mana para sahabat yang bertugas mengajarkan al-Quran diutus ke masing-masing wilayah. Warga Syam menggunakan qira’at Ubay bin Ka’ab, warga Kufah menggunakan qira’at Abdullah Ibn Mashud, dan yang lain menggunakan qira’at Abu Musa Al-Asy’ari.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas, ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, salah seorang penduduk Iraq bernama Huzaifah bin al-Yaman ikut menyerbu kesana. Ia melihat banyak perbedaan dalam membaca al-Quran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan ,tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat demikian Huzaifah segera menghadap Ustman dan melaporkan kepadanya yang demikian. Hudzaifah meminta kepada Ustman supaya lekas memperbaiki keadaan itu, segera menghilangkan perselisihan bacaan agar umat Islam jangan berselisih mengenai kitab suci mereka, sebagai mana berselisihnya orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Karena kekhawatiran akan terjadinya perpecahan dikalangan umat inilah yang membuat Ustman mulai memikirkan untuk menyalin al-Qur’an dalam satu macam bacaan agar perpecahan terhindarkan.
b. Proses Pembukuan Al-Qur’an pada Masa Ustman
Ustman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya, akhirnya mushaf itu dipinjamkan. Kemudian Ustman mengangkat beberapa orang yang bertugas sebagai penyalin al-Quran, mereka yang ditunjuk itu adalah Zaid bin Sabit al-Anshari, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam; ketiga orang yang terakhir ialah orang Quraisy. Lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf , serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu tentang al-Qur’an, untuk menulisnya dalam bahasa Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy. Mereka melaksanakan perintah itu . Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Ustman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Selanjutnya Ustman mengirimkan ke setiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua mushaf lainnya di bakar. Menurut riwayat Ibnu Abi Daud, tim itu berjumlah 12 orang dan yang disepakati , bahwa Zaid-lah yang mengepalai badan tersebut. Badan ini tidak mengerjakan selain dari pada menyalin ke dalam mushaf saja. Badan tersebut berpegang erat kepada penyusunan yang telah sempurna dilakukan pada masa Abu Bakar. Sesudah sempurna penyesuaian terhadap segala ayat-ayat al-Qur’an, tempatnya dalam surat dan penertiban surat , Ustman pun menyuruh menyalinnya kedalam beberapa mushaf dari naskah pertama yang dinamai dengan naskah al-Imam.
2. Periode Memperindah Penulisan
Mushaf Ustmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka pada saat itulah dinilai pentingnya pengadaan perbaikan mushaf sehingga dapat membantu dari kesalahan membacanya.
Berkaitan dengan penulisan al-Qur’an, ada dua langkah penting yang telah mengantarkan ke dalam bentuk naskah al-Qur’an seperti yang kita temukan, yaitu tanda bunyi (tasykil, harakat,vowel) dan tanda diakritis (a’jam =tanda huruf dalam bentuk titik). Walaupun a’jam atau diakritis sudah mulai dikenal sebelum masa Islam, namun masih jarang dipergunakan. Manuskrip al-Qur’an dari generasi pertama dan pada naskah Arab pada umumnya tidak memiliki tanda-tanda tersebut. Hal ini baru diperkenalkan dalam penulisan al-Qur’an pada masa pemerintah Umayyah yang kelima, yaitu Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/685-705 M) dan juga pada masa pemerintahan Gubernur Al-Hajjaj di Iraq, yaitu ketika semakin banyak orang yang ingin belajar membaca al-Qur’an. Diriwayatkan bahwa orang yang pertama sekali memperkenalkan tanda titik (a’jam) ke dalam naskah al-Qur’an adalah seorang tabi’i yang bernama Abu Al-Aswad Al-Du’ali. Kemudian perbaikan didikuti oleh Al-Hasan Al-Bashri, Yahya bin Ya’mar, dan Nashar bin ‘Ashim Al-Laytsi.
Di ceritakan, pada awalnya ad-Du’ali ragu dalam perbaikan tulisan itu. karena merupakan hal baru terhadap al-Qur’an semisal pada kisah pengumpulan pertama al-Qur’an oleh Zaid bin Tsabit - takut berbuat bid’ah. Namun suatu ketika al-Du’ali mendengar sendiri orang yang keliru membaca bagian al-Qur’an,surah at-Taubah ayat 3 :
اَنَّ اللهَ بَرِيْئٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ
Kekeliruan pembacaan dalam ayat ini terletak pada vokalisasi kata rasuluhu menjadi rasulihi,yang mengakibatkan perubahan makna sangat substansial terhadap bagian al-Qur’an di atas. Ketika bagian al-qur’an itu dibaca secara benar sebagai rasuluhu , maka maknanya adalah : “sesungguhnya Allah dan Rasulnya berlepas diri dari orang-orang yang Musyrik.” Tetapi ketika kata itu dibaca rasulihi , maknanya berubah menjadi : “sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang0orang musyrik dan dari rasulnya.” Setelah kejadian itu , al-Du’ali menepis keraguan dirinya dalam membuat tanda baca al-Qur’an yang mana tujuan dari tanda baca itu adalah menghindarkan umat islam dari kesalahan membaca. Disamping itu juga bertujuan agar perselisihan cara membaca dikalangan umat dapat terhindarkan.
Perbaikan dilakukan secara berangsur-angsur pada masa awal sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Aswad Al-Duali, fathah dilambangkan dengan titik di depan atas huruf, dhammah berbentuk titik di akhir huruf, dan kasrah berbentuk titik di depan bawahnya. Perbaikan berikitnya dilakukan oleh Nashar bi Ashim atas perintah Al-Hajjaj dengan memberikan titik pada suatu huruf untuk membedakan huruf lain. Kemudian perbaikan berikutnya dilakukan Al-Khalil bin Ahmad yang mengubah sistem penulisan Al-Du’ali dengan fathah = garis satu panjang di atas, kasrah =garis satu panjang di bawah, dhammah= wawu kecil. Demikian juga pengadaan garis, fathah tanwin= dua garis panjang di atas, kasrah tanwin = dua garis panjang di bawah, sedangkan dhammah tanwin= dua huruf wawu kecil di atas. Perbaikan tulisan al-Qur’an terus berjalan dengan pesat, misalnya tanda bacaan seperti Iqlab,Ikhfa,Idgham, Tasydid, dan lain-lain.
Pada abad ke-III H, perkembangan keindahan khat (kaligrafi) dan penulisan al-Qur’an juga berkembang dari sistem penulisan dasar naskh kemudian berkembang berbagai bentuk tulisan seperti kufi,maghribi, riq’i, dan lain-lain. Demikian juga perkembangan bentuk dan tanda-tanda penulisan huruf, lambing akhir ayat,tanda-tanda waqaf, juz, hizib,dan lain-lain.
3. Periode Percetakan Al-Quran
Sejak abad XVI M, ketika mesin cetak dari tipe yang dapat digerakkan mulai dipergunakan pertama sekali di Eropa dan kemudian diperkenalkan keseluruh dunia, pola pencetakan al-Qur’an mulai dibakukan. Memang pernah ada pada masa sebelumnya, al-Qur’an dicetak dengan yang biasa disebut blocprint dan juga beberapa bagian awal abad X, baik dalam bentuk ukiran kayu maupun dalam bentuk lembaran.
Al-Qur’an yang pertama sekali dicetak dengan mesin yang dapat digerakkan atau dipindah-pindahkan tersebut dibuat di Hamburg,Jerman pada 1694 atau pada abad XII H. Naskahnya dilengkapi dengan tanda baca. Adapun naskah al-Qur’an yang dicetak umat Islam pertama sekali adalah yang disebut dengan “Edisi MulayUstman” yang dicetak pada tahun 1787, diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Kemudian diikuti yang lain seperti berasal dari Kazan 1828, dan Istanbul 1877.
B. Pengarsipan Al-Qur’an
Pengertian arsip adalah rekaman atau sumber informasi dengan berbagai macam bentuk yang dibuat oleh lembaga, organisasi maupun perseorangan dalam rangka pelaksanaan kegiatan. Arsip dapat berupa surat, warkat, akta, piagam, buku, dan sebagainya, yang dapat dijadikan bukti shohih untuk suatau tindakan dan keputusan. Pengarsipan al-qur’an dimulai sejak Zaid Bin Tsabit diperintah Rasulullah SAW untuk menulis wahyu dalam media pelepah kurma, lempengan batu, kulit atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang binatang, hingga puncaknya pada masa Utsman bin Affan terjadi pencetakan dalam bentuk mushaf dan penyebarannya hingga sampai saat ini. Dengan adanya perkembangan teknologi, arsip dapat pula di buat dalam bentuk audio atau video dan digital.
Sedangkan pengarsipan adalah pengelolaan catatan rekaman kegiatan atau sumber informasi yang mmiliki nilai kegunaan dengan teratur dan perencanan, baik itu arsip yang dibuat maupun diterima, agar mudah ditemukan kembali jika diperlukan.
Berdasarkan pengertian arsip dan pengarsipan di atas, kami menyimpulkan bahwa pengarsipan al-qur’an adalah suatu usaha pendokumentasian al-qur’an untuk terus menerusmenjaga keasliannya dan untuk menghindari adanya penyimpangan terhadapnya serta mempermudah umat dalam mengakses al-quran. Pendokumentasian al-qur’an sendiri sudah dilakukan dalam berbagai macam bentuk, diantaranya :
1. Surat
Pengarsipan dalam bentuk surat ini menggunakan media seperti pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit/daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang. Pengarsipan denga menggunakan media ini berlangsung pada masa Rasulullah masih hidup.
2. Buku
Pengarsipan al-qur’an dalam bentuk buku disebut sebagai mushaf. Mushaf sendiri berasal dari kata shahiifah bentuk jamaknya shahaaif, shuhuf. Menurut Ibn Duraid dalam jumhurah al-lughah , shahiifah berrti kulit yang berwarna keputihan atau lempengan tipis untuk tempat menulis tulisan. Sedangkan menurut al-Jauhari dalam Ash-Shihah fii lughah, shahiifah berarti alkitab. Secara bahasa shuhuf bisa diartikan sebagai lembaran –lembaran tulisan.penggunaan istilah mushhaf dimulai sejak masa khalifah Abu Bakar. Seiring dengan perkembangan zamn, kini mushaf al-qur’an sudah banyak yang dilengkapi dengan terjemahnya, adapula yang di khususkan untuk mempermudah hapalan da nada sebagian al-qur’an yang dilengkapi panduan tajwid.
3. Audio
Pendokumentasian al-qur’an juga dilakukan dengan menggunakan media suara , . Audio ini biasa disebut dengan murotal. Di dalamnya kita dapat mengakses murottal surat surat tertentu ataupun dalam kumpulan seiap juzny dengan bacaan dari berbagai imam di dunia.
4. Digital.
Perkembangan teknologi juga mempermudah proses pengarsipan al-qur’an. Salah satunya dengan adanya arsip al-qur’an secara digital.
Selain 4 bentuk tersebut, pengarsipan al-qur’an tidak hanya dalam mushaf saja.melainkan juga arsip mengenai afsir al-qur’an dan lain sebgainya.
Secara umum arsip memiliki fungsi sebagai penunjang berbagai aktivitas, alat pengambil keputusan, dan sumber hukum dan informasi.
Pengarsipan al-qur’an sendiri tidak dapat dilakukan dengan sembaranngan. Jika pengarsipan dilakukan pda zaman Rasulullah, maka ia harus di tulis langsung di depan beliau dan harus sesuai dengan apa yang diucapkan Rasulullah. Apabila pengarsipan tersebut dilakukan pada masa Utsman, maka harus sesuai dengan kaidah rasm Utsmani.
C. Penggandaan Mushaf pada Masa Ustman
Mushaf-mushaf Ustman disebarkan keberbagai wilayah yang telah ditentukan pada masa itu, setelah sebelumnya dilakukan penyalinan dari mushaf al-Imam. Pengiriman itu dilakukan oleh Zaid beserta kelompoknya. Mengenai berapa jumlah serta kemana saja mushaf itu dikirimkan , para Ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf ini yang telah dikirimkan Ustman ke berbagai daerah. Adapun pendapat-pendapat itu adalah sebagai berikut:
a. Ada yang berpendapat jumlahnya ada tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekkah,Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibn abu Daud mengatakan: “Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata, ‘Telah ditulis tujuh buah mushaf ,lalu dikirimkan ke Mekkah,Syam, Yaman , Bahrain, Basrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah.”
b. Dikatakan pula jumlahnya ada empat buah, masing-masing dikirimkan ke Irak, Syam, Mesir, dan mushaf Imam; atau dikirimkan ke Kufah, Basrah, Syam dan mushaf imam. Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni: “sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Ustman menulis mushaf ,ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah, Basrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
c. Ada yang berpendapat jumlanya adalah enam buah. Ibn ‘Asyir membenarkan pendapat ini bahwa ada enam buah mushaf yang dikirimkan Ustman ,yaitu asy-Syami(yang dikirim ke Syam), al-Makkiy, al-Bashriy, al-Kufiy, al-Madaniy umum (yang Ustman peruntukkan bagi warga Madinah) dan al-Madaniy khusus (di peruntukan bagi dirinya sendiri).
d. Ada juga yang berpendapat bahwa jumlahnya ada delapan buah. Lima disepakati,yaitu al-Kufiy, al-Basriy, asy-Syami, al-Madaniy al-‘amm dan al-madaniy al-Khash. Sedang tiga lainnya diperselisihkan ,yaitu al-Makkiy, mushaf Bahrain dan mushaf Yaman.
Al-Zarqani berpendapat bahwa yang paling bisa diterima adalah yang mengatakan bahwa jumlahnya ada enam buah. Sedangkan as-Suyuthiy dan Ibn Hajar berpendapat yang paling bisa diterima adalah jumlahnya ada lima buah selain yang ada pada Ustman. Mengaenai jumlahnya tidaklah berkaitan dengan tujuan. Para ulama berselisih tentang jumlahnya kerena dalil yang telah mereka dapatkan. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui yang sebenarnya.
Pengiriman Mushaf-Mushaf
Dalam urusan pengiriman , Ustman memilih para hafidz yang ia percayai dan mengirim mereka ke berbagai wilayah kawasan Islam bersama mushaf masing-masing. Kepada setiap kawasan , dia mengirimkan satu mushaf bersama orang yang mencocoki qiraahnya dalam sebagian besarnya. Diriwayatkan, bahwa Ustman ra. memerintahkan Zaid ibn Tsabit agar membacakan mushaf Madaniy, Abdullah ibn as-Sa’ib membacakan mushaf Makkiy, al-Mughirah ibn Syihab mushaf Syami, Abu Abdurrahman as-Sulami mushaaf Kufiy, dan Amir ibn Abd al-Qais mushaf al-Bashriy.
Setiap kawasan membaca berdasarkan mushaf yang sampai kepada mereka dari sahabat yang menerimanya langsung dari Nabi saw.. Seterusnya orang-orang berusaha mengambil dan menghafal secara sungguh-sungguh ,sampai menjadi imam-imam yang didatangi oleh orang-orang yang hendak belajar. Penduduk setempat sepakat untuk mengambil qiraah mereka itu dan bertumpu pada periwayatnya mereka.
Dari sinilah,qiraah mulai dinisbatkan kepada mereka. Dan umat yang secara keseluruhan terpelihara dari kesalahan menyepakati apa yang ada di dalam mushaf-mushaf itu, dan meninggalkan segala sesuatu yang menyimpang dan yang salah, baik penambahan, pengurangan, maupun penggantian .karena mushaf-mushaf itulah yang paling kuat dan mutawatir.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil antara lain:
Pembukuan (pengarsipan), percetakan,dan penggandaan dilakukan untuk senantiasa menjaga keaslian al-qur’an dari zaman ke zaman. Memang Allah telah berfirman bahwa al-qur’an akan senantiasa terpelihara keasliannya, namun sebagai umat muslim dan sebagai manusia, bagaimana cara kita untuk menjalankan tugas kita sebagai khalifah di bumi untuk selalu menegakkan agama islam
Pada masa Khalifah ke tiga ini,disebut sebagai pembukuan ketiga al-Quran. Setelah sebelumnya al quran ditulis pada masa Rasul saw. yang disebut sebagai pembukuan pertama, serta penyalinan al-Quran dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, disebut sebagai pembukuan ke-dua, Manna Khalil al-Khattan mengatakan demikian.
Berkaitan dengan penulisan al-Qur’an, ada dua langkah penting yang telah mengantarkan ke dalam bentuk naskah al-Qur’an seperti yang kita temukan, yaitu tanda bunyi (tasykil, harakat,vowel) dan tanda diakritis (a’jam =tanda huruf dalam bentuk titik).
Khalifah Ustman tidak serta merta menerima tulisan Al-Qur’an yang telah dikumpulkan oleh Abu Bakar, ada beberapa bagian yang disesuaikan.
2. SARAN
Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka penulis akan lebih focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Saran ataupun kritikan akan penulis tampung guna perbaikan untuk tulisan berikutnya.
Daftar Kepustakaan
Ash-Shiddiqy, M. Hasbi,Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir,Jakarta: PT Bulan Bintang,1992
Al-Zarqani,Muhammad Abdul Adzim,Manahil al-Urfan fi ‘Ulum al-Qur’an,Jakarta: Gaya Media Pratama,2001
Al-Qattan,Manna al-Khalil,Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,2012.
Khon,Abdul Majid,Praktikum Qira’ah: keanehan bacaan al-Qur’an qira’at Ashim dari Hafash,Jakarta: Amza,2011
Shihab,Quraish ,Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Alvabet,2005
https://tafsiralquran2.wordpres.com
Terimakasih materinya, sangat membantu.
BalasHapuska boleh minta footnote nya
BalasHapus