Nabi Muhammad SAW sebagai mufassir awal
Pendahuluan
Al-Qur’an al-Karim turun kepada Nabi
yang ummi juga kepada kaum yang ummi. Mereka hanya punya lidah dan hati. Selain
mempunyai seni atau gaya bicara yang saling mereka tampilkan. Namun seni
tersebut nyaris hanya berisi beragam penyifatan dan penilaian serta suatu
kumpulan berita dan tentang keturunan. Ucapan mereka mencakup hakekat dan majazi
(kiasan), tasrih (terus terang) dan kinayah (sindiran), ijaz
(ringkas tapi padat) dan itnab (menggunakan kata berlebihan). [1]
Sesuai dengan sunnatullah dalam
mengutus para Rasul, Al-Qur’an turun dalam bahasa arab dan dengan uslub mereka.
Dengan demikian, lafazh-lafazh al-qur’an adalah lafazh arab kecuali sedikit
saja yang diperselisihkan oleh ulama. Al-qur’an menggunakan makna hakekat dan
majazi (kiasan), tasrih (terus terang) dan kinayah (sindiran), ijaz dan itnab
sesuai dengan pola ucapan orang arab namun Al-Qur’an lebih tinggi dari ucapan
mereka dengan kandungan makna indah yang dimilikinya yang berbeda dari aliran
dan seni mereka. Hal itu untuk membuktikan kemukjizatannya dan bahwa Al-Qur’an
benar-benar datang dari sisi Allah yang Maha Bijak lagi Maha tahu.
Oleh sebab itu, Al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad maka beliaulah orang pertama yang paling berhak
menafsirkan al-Qur’an. Banyak pertanyaan yang muncul mengenai apakah Nabi
Muhammad saw. menafsirkan seluruh ayat Al-Qur’an atau tidak. Maka dari itu,
makalah yang kami susun ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar tafsir
pada masa Nabi Muhammad saw.
TAFSIR NABI MUHAMMAD SAW
A.
Pengertian
Nabi Muhammad Sebagai Mufassir Pertama
Tiap-tiap Nabi menerima ayat-ayat yang diturunkan kepadanya,
kemudian membacanya di hadapan para sahabat, serta menyuruh para khuttab (penulis
wahyu) menulisnya. Setiap telah cukup se-surat turunya, Nabi memberi nama
kepada surat itu sebagai tanda yang membedakan surat itu dengan surat yang
lain. Nabi menyuruh meletakkan basmallah di permulaan surat yang baru
atau di akhir surat yang terdahulu letaknya.[2]
Demikian pula di tiap-tiap turun ayat, Nabi menerangkan tempat
meletakkan ayat-ayat itu. Umpamanya Nabi mengatakan “letakkan ayat ini sesudah
itu, di surat al-Baqarah,” sedemikianlah Nabi perbuat sehingga sempurnalah
Al-Qur’an itu diturunkan dalam tempo kurang lebih 23 tahun (22 tahun 2 bulan 22
hari). Dengan demikian, banyak terdapat sahabat yang menghafal Al-Qur’an di
antara mereka banyak pula yang menulis ayat suci itu seraya menghafalnya.
Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa
Nabi Muhammad saw. Ketika menjelang kematiannya, beliau sempat berpesan kepada
seluruh umatnya, “saya tinggalkan kepada kalian dua hal, selama kalian
berpegang teguh kepada dua hal tersebut kalian tidak akan tersesat selamanya.
Kedua hal itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.”
Kitabullah (Al-Qur’an) sebagaimana
disebutkan di atas merupakan salah satu di antara dua kunci dan bekal kehidupan
manusia yang mengantarkan mereka menuju gerbang kebahagiaan. Hal ini bukanlah
sesuatu yang berlebihan bahkan menjadi sebuah kewajaran dan kemestian. Sebab
manusia ibarat sebuah perahu, sekuat dan secangggih apapun perahu tersebut,
bila tidak dinahkodai oleh orang yang propesional terkadang bahkan hampir
dipastikan perahu tersebut tidak mampu mencapai dan bersandar di pulau
tujuannya. Demikian pula al-Qur’an, diturnkan oleh Allah Ta’ala sebagai
petunjuk yang dapat menuntun manusia menuju pelabuhan ridha Ilahi dan
melindungi mereka dari berbagai macam bahaya ombak dan gelombang yang
dihadapi.
Al-Qur’an adalah lautan yang tak bertepi,
kedalamannya tidak terbatas penuh dengan mutiara ilmu dan pelajaran yang
memancarkan cahaya ilahi menerangi kegelapan. Al-qur’an mengajak kepada setiap
pembacanya untuk menyelami kedalamannya guna mencari intan mutiara yang tak
ternilai harganya.
Oleha karena itulah Rasulullah diutus oleh
Allah untuk menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya, sehingga
mutiara-mutiara suci tersebut dapat dibawa naik ke permukaan bumi dan
memancarkan cahaya keselamatan menembus ke langit. Itulah Rasulullah.
Akan tetapi dari penjelasan-penjelasan
Rasulullah tersebut tentu memiliki model dan macam yang berbeda-beda. Dari
keragaman model yang berbeda itu pula melahirkan implikasi yang mungkin tidak
sama antar penjelasan pada ayat yang satu dengan penjelasan ayat yang lain.
Penafsiran al-Qur’an telah tumbuh pada masa
hidup nabi dan beliaulah yang menjadi al-Mufassir al-Awwal dari kitab Allah
untuk menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sebagai seseorang yang diutus oleh
Allah Swt. Rasullah diberikan wahyu berupa ayat al-Quran melaui perantara
malaikat Jibril As. Pada saat Al-Qur’an diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi
sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)
, menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan AL-Qur’an,
khususnya yang menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus
diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak
sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw., sendiri
tidak menjelaskan semua kandungan Al-Qur’an.[3]
Sekarang yang kita tanayakan adalah, apakah Rasululah merupakan Mufassir
pertama bagi ayat al-Quran?. Maka tentu Rasulullah adalah seorang mufassir
pertama bagi ayat al-Quran. Karena pada masa Rasulullah hidup yang berhak manafsirkan
ayat al-Quran adalah Rasulullah. Ini terbukti dalam ayat al-Quran yang berbunyi
:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan Kami turunkan Kepadamu al-Quran agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar
mereka mau berfikir.
(QS. An-Nahl:44)[4].
Serta
dijelaskan pula dalam surah An-Nahlayat 64:
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ
الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ ۙ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya:Dan kami tidak menurunkan
Kepadamu al Kitab ( al-Quran) ini kecuali agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka apa yang mereka perselisihkan dan untuk menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman (QS. An-Nahl:64).
Dapat dipahami dari kedua ayat tersebut bahwa penjelasan Rasulullah tidak
dapat dipisahkan dari pemahaman maksud ayat al-Quran. Karena tadi sudah disebutkan
bahwasanya Rasulullah yang mendapatkan wewenang untuk menafsirkan ayat-ayat
al-Quran. Jadi berdasarkan ayat di atas bahwasannya memang benar Rasulullah adalah
mufassir pertama al-Quran. Karena pada saat itu hanya Rasulullah yang
mengetahui maksud dari ayat-ayat al-Quran dan hanya beliaulah yang memiliki hak
penuh atas penafsiran ayat al-Quran, meskipun ada sebagian ayat al-Quran yang
tidak dijelaskan oleh Rasulullah karena itu hanya Allah yang tahu.
Secara alami rasul dapat memahami al-Qur’an baik secara global maupun secara
rinci karena Allah Ta’ala menjaminnya dengan hafalan dan penjelasan:[5]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ. فَإِذَا قَرَأْنَٰهُ
فَٱتَّبِعْ قُرْءَانَهُۥ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُۥ
Artinya: sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan membuatmu pandai membacanya.
Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian,
sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. (QS. Al-Qiyamah: 17-19).
Perlu diketahui, Rasulullah
menjelaskan kandungan makna AL-Qur’an kepada para sahabat. Beliau memaparkan
arti lafazh per lafazh. Ibnu Taimiyah mengawali buku mukaddimah ini dengan
pasal diatas. Pasal ini mengulas alasan mengkaji makna Al-Qur’an. Beliau
mengutarakan, selain mengajarkan lafazh Al-Qur’an kepada para sahabat, beliau
juga memaparkan maksa dan penjelasannya.[6]
Para sahabat ra. Juga secara alami dapat memahami al-Qur’an secara
global. Namun pemahamannya secara rinci hanya dengan semata-mata menguasai bahasa
arab tidaklah mudah, karena membutuhkan kajian, penalaran dan merujuk kepada rasulullah
saw. Sebab, dalam al-Qur’an ada lafazh mujma
l(bersifat global), ada mutasyabih (yang
samar maksudnya) dan sejenisnya yang membutuhkan ilmu lain untuk memahaminya.
Jika kita kembali kepada masa para sahabat ra. Kita dapati pemahaman mereka
tentang al-Qur’an berbeda-beda. Yang bisa dipahami oleh sebagian tidak dapat dipahami
oleh sebagian yang lain. Sebabnya adalah karena tidak samanya tingkatan pemikiran
mereka dan berbedanya pengetahuan tentang kondisi dan interaksi al-Qur’an. Lebih
dari itu, mereka tidak salah dalam mengenal makna-makna dari lafaz-lafaz
al-Qur’an. Ada lafaz yang sama bagi sebagian sahabat tidak sama bagi yang lain.
Hal ini tidak mengapa, karena yang dapat menguasai al-Qur’an sepenuhnya adalah manusia
yang ma’shum (Rasul)[7].
B.
Jenis-Jenis
Ayat Al-Qur’an yang Ditafsirkan Oleh Nabi Muhammad saw
Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab
yang jelas dan mereka –para sahabat Rasul- memahami teks-teks ayat-ayat
Alqur’an beserta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, adapun pemahaman
mereka –para sahabat Nabi- tentang kedalaman kandungan makna al-Qur’an, maka
hal tersebut nanti akan tampak bagi mereka setelah mereka melakukan penelitian,
pencarian dan menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam
dalam beberapa kesempatan.
Dari pertanyaan-pertanyan para sahabat beliau Shallallhu ‘alaihi wa
Sallam kita dapat menemukan bebagai bentuk penafsiran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur’an dan tentunya hal ini hanya dapat kita
temukan melalui penelitan terhadap riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang
bagaimana Rasulullah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang turun kepada beliau.
Ada bermacam-macam penjelasan Rasul saw., terhadap al-Qur’an, pada
garis besarnya ada yang bersifat ucapan, ada juga yang berupa perbuatan dan
sikap diam, yang dipahami sebagai membolehkan.[8]
1. Ayat- Ayat yang bersifat
mujmal (global), musykil (samar), ‘Amm (umum) dan mentaqyid (mengikat) yang
mutlak.
a.
Penjelasan
terhadap globalitas ayat, seperti penjelasan Rasul tentang waktu-waktu shalat,
jumlah raka’at, tata caranya, harta yang wajib dizakati, jumlah dan waktunya,
penjelasan tentang tata cara ibadah haji dan sejenisnya. Rasul berwasiat,
“Ambillah dari aku tata cara ibadah haji untukmu”. Juga pesannya, “Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat”.
Ibnul-Mubarak
telah meriwayatkan dari Imran bin Husein ra., bahwa ia menegur seorang pria,
“Engkau itu bodoh. Apakah kamu menemukan dalam al-Qur’an sholat zhuhur 4
raka’at tanpa jahar (bacaan keras)?. Lalu Imran menyebut jumlah shalat, zakat
dan lainnya. Ia melanjutkan, “apakah kamu jumpai semua ini rinciannya dalam
al-Qur’an. Tentu tidak. Sunnahlah yang menjelaskannya”.
b.
Penjelas
terhadap yang samar, seperti tafsir Rasulullah terhadap kata “benang putih dan
benang hitam” pada ayat 178 QS. Al-Baqarah. Bahwa maksudnya ialah putihnya
(terangnya) siang dan hitam (gelapnya) malam”.
c.
Penjelasan
berupa mentakhsis yang umumnya, seperti kata “zhalim” yang bersifat umum pada
QS. An-Nahl: 83 ditafsiri dengan khusus “syirik” bukan semua kezhaliman.
d.
Penjelasan
berupa mantaqyid yang mutlak, seperti kata “ Yad (tangan)” pada ayat yang
menyuruh memotong tangan pencuri.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Maidah:
38). Ayat ini bersifat mutlak, yakni mencakup bagian tangan mana saja, ditaqyid
(dibatasi) oleh beliau dengan “tangan kanan”. Jadi tangan yang dipotong.
2. Menjelaskan makna lafaz atau yang berkaitan dengannya. Seperti,
kata “al-Magdhubi ‘Alaihim (المَغْضُوْبِ
عَلَيْهِمْ) (orang-orang yang dibenci) dalam QS. Al-Fatihah, dijelaskan, yaitu
Yahudi sedang kata “Addhallin (yang sesat)” adalah Nasrani. Atau ayat, وَلَهُمْ فِيْهَاّ اَزْوَجٌمُّطَهَّرَةٌ “dan bagi
mereka didalamnya (surga) ada isteri-isteri yang disucikan” (QS. Al-Baqarah: 25). Dijelaskan oleh sunnah, yakni disucikan dari
haid, ingus dan riak.
3. Penjelasan tentang hukum tambahan terhadap apa yang disebut dalam
al-Qur’an, seperti diharamkannya menikahi wanita dengan cara dimadu dengan
bibinya, hukum zakat fitrah yang tidak disebut dalam al-Qur’an, hukum rajam
bagi pezina muhsan (yang telah berumah tangga), warisan nenek dan hukum-hukum
lain.
4. Penjelasan tentang naskh (yang dihapusnya suatu ayat), Rasul
menjelaskan bahwa ayat ini misalnya telah di mansukh (dihapus) oleh ayat itu,
hukum ini sudah dimansukh oleh hukum yang itu.
5. Menjelaskan sebagai penegasan atau penguatan. Dalam hal ini, sunnah
Nabi datang menguatkan apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an. Seperti, hadis Nabi,
“harta seorang muslim haram diambil kecuali atas rida dia”. Hadits ini penguat
QS. An- Nisa:29,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil,...”
Hadits: “takutlah kamu tentang
wanita, sesungguhnya kamu mengambilnya sebagai amanat Allah....”, merupakan
penjelasan terhadap ayat, وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَرُوْفِ
“dan pergaulilah mereka (isteri-isteri) dengan cara yang ma’ruf” (QS. An-Nisa: 19).
Dari uraian di
atas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallalhu ‘alahi wa Sallam menafsirkan
al-Qur’an dengan menggunakan dua pendekatan yaitu : Penafsiran
ayat dengan ayat yang lain, seperti ketika Rasulullah menafsirkan firman Allah
yang terdapat dalam surat al-An’am ayat 82 yang berbunyi:
الَّذِينَ آَمَنُوا
وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Kata : بظلم yang terdapat dalam ayat ini ditafsirkan oleh Rasulullah dengan
makna Syirik, penafsiran ini mengacu pada surat Luqman ayat 13. Demikian juga
ketika beliau menjelaskan ayat-ayat mansukh.
Penafsiran ayat
dengan as-Sunnah, seperti penjelasan Rasulullah tentang shalat, zakat dan haji,
dimana beliau menjelaskannya dengan wahyu kedua yaitu as-Sunnah sebagaimana
yang dijelaskan oleh Jibril kepada beliau tentang waktu-waktu shalat, tata cara
dan jumlah rakaatnya. Demikian juga dengan zakat dan haji.
Terdapat satu
permasalahan yang dapat timbul tentang bentuk penafsiran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu bahwa apakah Rasulullah menafsirkan al-Qur,an dengan
menggunakan ijtihad beliau atau tidak?. Dalam hal ini kami hanya dapat
mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menafsirkan
al-Qur’an dengan menggunkan ijtihad beliau, akan tetapi beliau menafsirkan
al-Qur’an berdasarkan apa yang difahamkan oleh Allah kepada beliau melalui
perantaraan Jibril Alaihssalam. Hal ini berdasarkan firman Allah di dalam Surat
an-Najm ayat 3-5 yang berbunyi :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ
الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5)
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang
sangat kuat.
Jadi secara umum
dapat dikatakan bahwa Rasulullah menafsirkan Al-Qur’an dan menjelaskannya
kepada para sahabat dengan mengarahkannya penjelasan ayat-ayat yang terkait
dengan hukum-hukum tertentu, atau menjelaskan lafzd-lafadz yang jarang
ditemukan (garib al-alfadz), Nasikh dan mansukhnya ayat, ayat-ayat yang
bersifat global (mujmal), umum, mutlak dan ayat-ayat yang mebutuhkan penuat
(ta’kid). wallahu a’lam.
Setelah melihat
kuantitas serta urgensi penjelasan nabi terhadap al-qur’an maka muncul sebuah
pertanyaan, bagaimana bentuk atau model penafsiran al-Qur’an yang dilakukan
oleh Rasulullah? Sehingga kita akan dapatkan macam-macam dari tafsir
Rasulullah. Di antara model-model tafsir dalam hadist Rasulullah adalah sebagai
berikut:
1. Model
penafsiran dalam hadis ditinjau dari segi sumbernya
Yang dimaksud dengan sumber tafsir adalah
factor yang dijadikan pegangan dalam memahami makna ayat al-Qur’an. Bila sumber
penafsiran ini diartikan umum maka kita akan melihat bahwa ada tafsir yang
bersumber melalui periwayatan (tafsir bil ma’tsur), ada juga yang bersumber
melalui akal atau pemikiran (bil ra’yi), ada pula yang memasukkan jenis ketiga
yaitu tafsir bil isyari atau tafsir yang didasari oleh isyarat-isyarat atau intuisi
spiritual.
Namun terkait dengan penafsiran nabi, maka
tidak ada perselisihan antara ulama bahwa penafsiran tersebut tidak terlepas
dari wahyu. Selain adanya penegasan Allah di dalam al-Qur’an bahwa Rasulullah
tidaklah berbicara karena nafsunya melainkan ada tuntutan wahyu menyertainya,
juga diakui bahwa Nabi sebagai penerima al-Qur’an sekaligus menerima penafsiran
ayat dari Jibril sebagai pembawa wahyu. Oleh karena itu, penulis membagi model
penafsiran nabi bila dilihat dari sumbernya terbagi ke dalam dua bagian yaitu:
1) تفسير القرأّن
بالقرأّن
, sebuah bentuk penafsiran yang dilakukan nabi namun menggunakan ayat al-qur’an
sebagai tafsirannya.
2) تفسير القرأّن
بالسنة,
penafsiran yang dilakukan oleh nabi yang disertai dengan tuntutan wahyu,
maksudnya jibril memberikan penjelasan kepada nabi makna dan maksud dari
ayat-ayat al-Qur’an.
2. Model
penafsiran ditinjau dari segi fungsinya
Kaitannya dengan fungsi atau kegunaan
tafsir maka model penafsiran Nabi terbagi kepada tiga bagian, yaitu:
1) بيان التأكيد, artinya penafsiran yang
dilakukan oleh nabi sebagai penguat yang menguatkan atau menggaris bawahi
kembali apa yang terdapat di dalam al-qur’an. Di antara kriteria model seperti
ini adalah ketika assunnah tidak bertentangan atau sesuai dengan penjelasan
al-qur’an.
2) بيان التفسير,
artinya penafsiran nabi bukan sekedar menguatkan melainkan penafsrian
memperjelas, merinci bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat
al-qur’an. Karena luasnya cakupan model seperti ini, maka dapat dibagi ke dalam
beberapa bentuk penafsiran, yaitu:
a. بيان التعريف, yaitu penjelasan yang
menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud oleh term atau lafaz. Dengan kata lain
bahwa model semacam ini merupakan sebuah penjelasan dari kata yang dianggap
musykil.
b. بيان التفصيل, yaitu sebuah penjelasan yang
merinci konsep-konsep yang terkandung di dalam lafadz atau dapat diartikan
sebagai penjelasan Nabi terhadap kata-kata yang bersifat mujmal.
c. بيان التوسيع, yaitu penjelasan yang
memperluas pengertian makna dari suatu term.
d. بيان التخصيص, yaitu penjelasan nabi yang
menyempitkan makna dari suatu lafadz atau mengkhususkan makna dari kata yang
bersifat umum.
e. بيان التقييد, yaitu sebuah penafsiran yang
memberikan pengklasifikasian makna dari suatu term atau mengikat makna dari
lafadz yang mutlak.
f.
بيان التمثيل
, yaitu penjelasan suatu makna ayat dengan memberikan contoh atau penyerupaan
sifat dari makna yang ditafsirkan.
3. بيان أحكام
زائدة على ما جاء في القرأّن الكريم , artinya penafsiran yang dilakukan oleh
rasulullah merupakan sebuah penambahan hokum terhadap apa yang terdapat di dalam
al-qur’an atau dengan kata lain Rasulullah menetapkan hukum baru yang belum
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Penafsiran semacam ini menajdi bahan perbincangan
ulama, sehingga menimbulkan keragaman pendapat, ada yang menyetujui, ada pula
yang menolaknya.
Setelah mengetahui model-model penafsiran
Nabi, maka alangkah baiknya juga kita mengetahui karakteristik penafsiran nabi
sebagai berikut:
Rasulullah tidak menafsirkan ayat-ayat
al-qur’an kecuali apa yang dibutuhkan penafsiran dan penjelasannya saja, atau apa
yang sulit dipahami oleh para sahabatnya.
Tafsir rasulullah dirasa lebih jelas dan
sangat mudah dipahami karena penjelasannya ringkas dan bahasa yang mudah dan
sarat akan makna, tanpa panjang lebar sehingga keluar dari pembahasan yang
tidak berhubungan dengan apa yang ditafsirkan. Perkataan dan tingakah laku nabi
merupakan bagian dari uapaya rasulullah dalam menafsirkan dan menjelaskan
kandungan al-qur’an kepada para sahabatnya.
Seluruh apa yang ditafsirkan oleh
rasulullah telah sampai kepada kita dengan periwayatan yang shahih dan banyak
kita dapatkan di kitab-kitab hadis para ulama,
Tafsir Rasullah merupakan tingkatan tafsir
yang paling utama setelah penafsiran al-qur’an dengan al-Qur’an. Karena
penafsiran beliau merupakan wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya.
C. Persoalan tentang penafsiran ayat al-Qur’an oleh Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab menurut uslub-uslub-nya.
Seluruh lafad Al-Qur’an adalah bahasa Arab asli terkecuali beberapa kata yang
berasal dari bahasa lain yang telah menjadi bahasa Arab serta dipakai menurut uslub
bahasa Arab sendiri.[9]
Lafad-lafad itu ada yang dikehendaki hakikatnya, ada yang
dikehendaki majaz-nya, ada pula yang dikehendaki kinayah-nya.
Rasulullah saw. setiap menerima ayat Al-Qur’an langsung menyampaikan
kepada para sahabat serta menafsirkan mana yang perlu ditafsirkan. Penafsiran
Rasulullah itu adakalanya dengan sunnah qauliyah, adakalanya dengan sunnah
fi’liyah dan adakalanya dengan sunnah taqririyah. Dalam pada itu
tafsir yang diterima dari Nabi sendiri sedikit sekali.
Mungkin ada yang bilang, Allah
berfirman,
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ.
بِالْبَيِّنَتِ وَالزُّبُرِ
Artinya: “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami
turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. An-Nahl:44).
Jika demikian, apakah Rasulullah saw
menjelaskan isi al-Qur’an semuanya kepada para sahabat? Atau ada yang tidak
dijelaskan oleh beliau?.
Berikut penjelasannya: terjadi
selisih pendapat tentang jumlah isi al-Qur’an yang dijelaskan oleh Rasulullah
saw kepada para sahabat:
Kelompok pertama diantaranya Ibnu Taimiyah: semua makna (isi) al-Qur’an
dijelaskan oleh Rasulullah kepada para sahabat[10].
Ada beberapa dalil yang melandasi pendapat kelompok pertama ini, diantaranya
adalah:
1.
Firman
Allah Ta’ala:
الْبَيِّنَتِ
وَالزُّبُر. وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan
kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. An-Nahl:44).
Bayan (menerangkan) pada ayat diatas
maksudnya menerangkan makna-makna al-Qur’an yang berarti mencakup penjelasan
kan lafazh-lafzhnya. Dengan demikian, beliau mesti menjelaskan seua makna
tersebut. Jika tidak, berarti beliau
tidak melaksanakan tugas dari Allah.
2.
Apa
yang diriwayatkan dari Abu Abdir-Rahman As-Sulami bahwa ia berkata,
“orang-orang yang telah membacakan al-Qur’an kepada kami seperti Usman bin
Affan, Ibnu Mas’ud dan lainnya telah bercerita bahwa jika mereka mempelajari 10
ayat kepada Nabi, mereka tidak pindah ke ayat lain kecuali setelah mempelajari
ilmu (isi) dan mengamalkannya. Ucap mereka: “ maka kami belajar al-Qur’an, ilmu
dan amal sekaligus”. Oleh karena itu mereka menghafal surat dalam waktu yang
tidak sebentar.
Imam malik dalam Al-Muwattha berkata, “Ibnu Umar
menghafal (memelihara) surat al-Baqarah selama 8 tahun. Yang menjadikan para
sahabat berbuat seperti ini adalah ayat
كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو
الْأَلْبَابِ
Artinya: “(ini adalah) kitab yang
telah kami turunkan kepada engkau yang penuh keberkahan agar mereka mentadaburi
ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat
mendapatkan pelajaran. (Shad: 29).”.
mentadaburi ayat tanpa memahami maknanya tidaklah mungkin. Juga karena ayat, “sesungguhnya kami telah menurunkannya
sebagai al-Qur’an yang berbahasa arab agar kamu memahami”. Memahami ucapan
mencakup memahami kandungannya.
Telah dimaklum bahwa setiap ucapan,
maknanya agar dipahami bukan semata-mata lafazhnya didengar. Dan al-Qur’an
lebih layak dipahami dibanding dengan yang lainnya.
Riwayat-riwayat ini merupakan dalil
bahwa para sahabat ra. Belajar kepada Rasulullah saw. semua makna al-Qur’an
sebagaimana mereka mempelajari lafazh-lafazhnya.
3.
Riwayat
Ahmad dan Ibnu Majah dari Umar ra, ia menuturkan, “ayat riba terakhir yang
diturunkan. Rasulullah saw. wafat terlebih dahulu sebelum sempat
menjelaskannya”. Ini menunjukkan bahwa beliau telah menjelaskan (menafsiri)
semua ayat sebelum itu, kecuali ayat riba ini karena beliau telah dahulu
dipanggil oleh Allah. Jika tidak dipahami seperti ini, tentu penyebutan bahwa
rasul tidak mentafsiri ayat riba karena wafat terlebih dahulu, tidaklah ada
artinya”.
Kelompok kedua, diantaranya Al-Khaubi dan As-Suyuthi: hanya sebagian kecil
yang ditafsirkan oleh Rasulullah. Dalil yang melandasi pendapat kelompok kedua
ini diantaranya:
1.
Apa
yang diriwayatkan oleh Bazzar dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw.
tidak menafsiri al-Qur’an kecuali beberapa ayat saja, yang diajarkannya
kepadanya oleh Jibril as.
2.
Penjelasan
(tafsir) Rasulullah saw terhadap semua makna al-Qur’an tidaklah mungkin kecuali
terhadap sejumlah ayat. Mengetahui maksud dilakukan melalui tanda-tanda dan
petunjuk. Allah tidak menyuruh melalui nash (teks) kepada Nabi-Nya untuk
menjelaskan maksud semua ayat. Tujuannya agar para hamba-Nya memikirkan dan
mengkaji kitab-Nya.
3.
Jika
Rasulullah saw. menjelaskan kepada para sahabat semua makna al-Qur’an, tentu
pengkhususan doanya kepada Ibnu Abbas tidaklah bermanfaat. Doa itu adalah, “ Ya
Allah, berilah ia pemahaman tentang agama dan ajarilah ia tafsir”. Jika Rasul
menjelaskan setiap ayat al-Qur’an kepada para sahabat, maka pemahaman sahabat
akan sama. Jika demikian maka bagaimanakah dengan pengkhususan doa beliau untuk
Ibnu Abbas ini?.
Diantara kedua pendapat di atas,
maka DR. Muhammad Husein Adz-Dzahabi (peengarang kitab at-tafsir wal
Mufassirun) condong kepada pendapat pertengahan antara keduanya, yakni
Rasulullah saw telah menjelaskan banyak makna
al-Qur’an sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab hadits yang shahih. Beliau
tidak menafsiri semua makna al-Qur’an. Karena ada makna al-Qur’an yang hanya
Allah saja yang mengetahui, dan ada makna al-Qur’an yang hanya diketahui oleh
ulama saja. Juga ada bahasanya diketahui oleh orang Arab dan ada yang tidak
diketahui sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Abbas yang diabadikan oleh
Ath-Thabari, “tafsir ada empat sisi: yang diketahui oelh orang Arab dari
ucapannya, tafsir yang diketahui oleh siapapun, yang diketahui hanya oleh ulama
dan yang diketahui hanya oleh Allah saja.
Tentu saja, Rasulullah saw. tidak
menafsiri bagi para sahabat makna yang pemahamannya merujuk ke pengetahuan
tentang ucapan orang Arab, karena al-Qur’an turun dengan bahasa mereka. Juga
Rasul tidak menafsiri makna ayat yang dapat dipahami langsung oleh siapapun
karena sangat jelas, dan Rasulullah tidak menafsiri tentang makna ayat yang
hanya diketahui oleh Allah saja, seperti tentang kapan terjadinya kiamat,
hakekat ruh dan hal ghaib lainnya. Rasulullah hanya menafsiri sebagian dari
perkara ghaib yang sengaja dirahasiakan oleh Allah dari mereka dan Allah
perlihatkan kepada beliau untuk ditafsiri kepada mereka. Yang juga ditafsiri
oleh Rasul untuk para sahabat ialah yang hanya diketahui oleh ulama seperti
menjelaskan yang globalnya, mengkhususkan yang umumnya dan sejenisnya yang
samar yang membutuhkan ilmu.
Diantar dalil yang mendukung bahwa
Nabi tidak menafsiri semua makna al-Qur’an
adalah perselisihan pendapat yang pernah terjadi diantara para sahabat
dalam menafsiri ayat. Jika mereka mempunyai keterangan dari Rasul, tentu mereka
tidak berselisih.
DAFTAR
PUSTAKA
Adz-Dzahabi, M.
Husein. 2010. Ensiklopedia Tafsir. Diterjemahkan
oleh: H. Nabhani Idris LC. Jakarta: Kalam Mulia.
Adz-Dzahabi,
M. Husein. 2005. At-Tafsir
wal-Mufassirun. Mesir: Darel Hadith.
Al-Qaththan,
Syaikh Manna. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Diterjemahkan oleh:
H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Utsaimin,
Syaikh Muhammad Shalih. 2014. Syarah
Pengantar Studi Ilmu Tafsir. Jakarta: Pustaka Kautsar.
Ash-Shiddieqy,
Muhammad Hasbi, Teungku. 2012. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Dimyathi, M.
Afifuddin. 2006. Ilmu Tafsir Ushul wa
Manhaj.
Shihab, M.
Quraish. 2004. Membumikan Al-Qur’an.
Bandung: Pustaka Mizan.
Shihab, M.
Quraish. 2013. Kaidah Tafsir.
Tangerang: Lentera Hati.
[2] Teungku M.
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2012). Hlm. 59.
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka
Mizan, 2004) hlm. 105
[5]Syaikh Manna
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar. 2013). Hlm. 421.
[6] Syaikh Muhammad Shalih
Al-Utsaimin, Syarah Pengantar Studi Ilmu
Tafsir, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2014) hlm. 58
[8] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati,
2013) hlm. 357
[9] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012). Hlm.
175.
Komentar
Posting Komentar