Hukum wad'hi dalam studi ilmu Ushul Fiqih
KATA PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah subhanahu wa ta’ala,
yang telah memberikan kemudahan, karunia dan rahmat dan hidayah- Nya,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta
salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, sayyidinaa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang hamba dan utusan Allah
sebagai rahmat bagi sekalian alam. Tidak lupa juga kita curahkan untuk keluarga
Nabi dan para sahabat Nabi, yang telah mendampingi beliau dalam menyampaikan
seruan Allah. Semoga tercurah keselamatan dan kebahagiaan atas mereka. Amin.
Penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan berbagai pihak oleh karena
itu pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya
kepada orang-orang yang selalu mendukung dalam mengerjakan tugas ini.
Akhir kata,
penyusun menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan. Oleh sebab itu,kritik dan saran
sangat diharapkan dari pembaca.
Ciputat, 24 September 2017
Daftar
isi
Kata Pengantar......................................................................................................................3
Daftar Isi................................................................................................................................4
Bab I Pendahuluan.................................................................................................................5
Bab II Pembahasan
A.Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i...........................................................6
B.Hukum
Wadh’i .................................................................................................................6
C.Macam-Macam
Hukum Wadh’i........................................................................................7
Bab III Penutup
A.
Kesimpulan.....................................................................................................................20
B.
Saran...............................................................................................................................20
DaftarPustaka......................................................................................................................21
BAB I
Pendahuluan
Hukum wad’i termasuk pada pembahasan hukum syar’i, yang terdiri
dari lima bagian yaitu, adakalanya menuntut adanya sebab bagi sesuatu yang
lain, atau sebagai syarat, sebagai penghalang, sebagai sesuatu yang
memperbolehkan adanya keringanan hukum dan sebgai ganti a’zimah. Semua nya bersumber
dari dalil-dalil ukkum yang mutafaq dan sebagian yang mukhtalaf. Dalam
merumuskan hukum tertentu hukum wad’i mempunyai kaidah-kaidaah tertentu dalam
melaksanakan hukum dan merumuskan hukum.
Kadangkala
sebab menjadi sebab bagi penetapan kepemilikan, penghalalan, atau bahkan
menghilangkan keduanya. Terkadang juga, sebab merupakan suatu perbuatan
mukalallaf yang telah di tentukan baginya, seperti pembunuhan yang di sengaja
menyebabkan adanya hukum qisash. Namun terkadang, sebabmerupakan hal yang di
luar kekuasaan mukallaf dan tidak termasuk di antara perbuatan-perbuatannya.
Adapun syarat yaitu, sesuatu yang ada atau tidaknya menetukan
adanya hukum. Adanya syarat menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh pada ada
atau tidaknya hukum
Terkadang sebab syar’i telah ada, dan seluruh syaratnya terpenuhi,
tetapi ada mani’ (penghalang) yang menghalangi konskuensi padanaya.
Rukhsah
ialah, hukum keringanan yang di syariatkan oleh Allah kepada mukallafdalam
berbagai situasi dan kondisi tertentu yang menghendaki keringanan
Adapun
Azimah ialah hukum-hukum umum yang di syariatkan sejak semula oleh Allah, yang
tidak di khusus kan pada salah seorang mukallaf.
BAB II
Pembahasan
A. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh'i
Dalam
hukum Taklifi terkandung tutunan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau
memilih berbuat atau tidak berbuat.
|
Hukum
Wadh'i mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu
diantara keduanya bisa dijadikan sebab, mani', atau syarat.
|
Hukum
taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan,
atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat.
|
Hukum
Wadh'i ditentukan syar'i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi.
|
Hukum
Taklifi ditujukan kepada para mukallaf.
|
Hukum
Wadh'i ditujukan kepada manusia mana saja.[1]
|
Hukum
Taklifi dalam berbagai macamnya selalu beraa dalam batas kemampuan seorang
mukalaf.
|
Hukum
Wadh'i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan
aktivitas manusia.[2]
|
B. Hukum wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum
yang menghendaki adanya sebab terhadap sesuatu yang lain, atau menjadi syarat bagi yang lain, atau
menjadi penghalang bagi yang lain. Contoh hukum yang menghendaki adanya sebab
bagi yang lain ialah firman Allah swt :
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.(Qs. Al-maidah, 6)
Ayat tersebut menghendaki penetapan kehendak melaksankan shalat
sebagai wajibnya wudhu.
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima bagian, karena berdasaarkan
penelitian di peroleh ketetapan, bahwa hukum wadh’i adakalanya menuntut adanya
sebab bagi sesuatu yang lain, atau sebagai syarat, sebagai penghalang, sebagai
sesuatu yang memperbolehkan adanya
Rukhsah (keringanan hukum) sebagai ganti ‘azimah, sebagai yang sah dan atau
sebagai yang tidak sah.
C. Macam-Macam Hukum Wadh’i
1.
Sebab
a)
Definisi
sebab
Sabab (السبب)
yang dalam bahasa Indonesia disebut sebab, seara etimologis, artinya adalah “sesuatu
yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan”. Dari kata inilah
dinamakan “jalan” itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa menyampaikan
seseorang kepada tujuan.
Secara terminologi Imam Al-Amidi mendefinisikannya dengan:
الوصف الظاهر المنضبط الذي دلّ الدليل السمعيّ على كونه معرّفا لحكم
شرعي
Sifat
zhahir yag dapat diukur yang ditunjukkan oleh dalil sam’i (al-qur’an dan sunah)
bahwa keberadaannya sebagai pengenal bagi hukum syar’i.
Definisi ini menunjukkan bahwa sabab itu adalah sesuatu yang
keberadannya dijadikan Syar’i sebagai pertanda keberadaan suatu hukum,
dan ketiadaannya sebagai pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, tergelincir
matahari sebgai sebab wajibnya shalat dzuhur dan tenggelamnya matahari menjadi
sebab wajibnya shalat maghrib.[3]
b)
Macam-macam
sebab
Sebab terkadang menjadi
sebab bagi hukum taklifi, seperti waktu yang di jadikan syar’i sebagai sebab
atas kewajiban mendirikan shalat, firman Allah:
78. Dirikanlah shalat
dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
shalat) subuh[865]. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).É
Dan sebagaimana menyaksikan datangnya bulan Ramadhan di jadikan
oleh syar’i sebagai sebab atas kewajiban puasa bulan Ramadhan, berdasarkan
firman Allah:
185. (Beberapa hari yang ditentukan
itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.
Demikian juga seseorang yang memiliki satu nisab harta yang
berkembang dari pemilik zakat, di tetapkan sebagai sebab atas kewajiban
membayar zakat. Pencurian di tetapkan sebagai sebab bagi kewajiban memotong
tangan pencuri, demikian juga kemusrikan seorang wanita musyrik di tetapkan
sebagai sebab keharaman seorang laki-laki muslim menikahinya, dan masih banyak
hal lainnya.[4]
Menurut para ahli ushul fiqh; bisa dibagi dilihat dari berbagai
segi, yaitu:
1) Dari segi Objeknya :
a. Sabab al-Waqti
(السبب الوقت), seperti
terrgelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya
shalat zhuhur, sebagaimana yang difirmankan Allah swt dalam surat Al-Isra:78
اَقِمِ الصَّلَاةِ لِدُلُوكِ الشَّمسِ
Dirikanlah shalat karena (telah) tergelincir matahari
b. Sabab al-Ma’nawi (السبب المعنوى),
seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar, sebagaimana sabda Rasulullah
saw:
كُلٌّ مُسكِرٍ حَرَامٌ
Setiap yang memabukkan itu adalah haram ( HR. Muslim, Ahmad ibn Hanbal, dan
Ashhab al-sunan)
2) Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf :
a. Sabab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu
dilakukan, seperti jual beli yang menjadi
penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman qishah, dan akad nikah
sebagai penyebab dihalalkannya hubungan
suami istri.
b. Sabab yang
bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan, seperti tergelincirnya matahari sebagai
penyebab munculnya shalat zhuhur, hubungan
kekerabatan sebagai penyebab munculnya hak waris mewarisi.
3) Dari segi hukumnya :
a. Sabab al-Masyru (السبب المشروع),
yaitu seluruh yang membawa kepada kemaslahatan scara zhahir, seperti jihad, sebagai penyebab tersiarnya Islam,
terpeliharanya aqidah dan sampainya
pesan-pesan agama; sekalipun dalam pelaksanaan jihad membawa kepada kemafsadatan, seperti pengorbanan harta dan
bahaya yang mengancam jiwa.
b. Sabab ghairu al-Masyru’ (السبب غير المشروع) yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam
pandangan syar’i, sekalipun didalamnya terdapat suatu kemaslahatan secara zhahir. Misalnya, nikah fasid dan
adopsi (al-thabanni).
4) Dari segi pengaruhnya terhadap hukum :
a. Sabab yang berpengaruh
kepada hukum (السبب المؤثر فى الحكم),
yang disebut illat, dimana antara sebab seperti ini dengan hukum ada
keserasian yang bisa dinalar dan hikmah yang mengandung
motivasi pensyariatan hukum tersebut. Misalnya, mabuk sebagai sebab yang
berpengaruh pada hukum, yang merupakan ‘illat keharaman khamar dan safar
(perjalanan) sebagai sebab bolehnya berbuka puasa bagi musafir, yang merupakan
‘illat kebolehan berbuka.
b. Sabab yang
tidak berpengaruh pada hukum (السبب غير المؤثر فى
الحكم), dimana antara sebab dan hukum yang tidak ada keserasian,
seperti waktu sebagai penyebab wajibnya
shalat.
5) Dari segi jenis musabbab :
a. Sabab bagi hukum taklifi (السبب للحكم التكليفى), seperti waktu yang
ditentukan untuk kewajiban shalat dan munculnya hilal sebagai
pertanda kewajiban puasa.
b. Sabab untuk menetapkan hak
milik (السبب لإثبات ملك) melepaskan, atau
menghalalkannya, misalnya, jual beli sebagai penyebab pemilikan barang yang
dibeli, akad nikah sebagai penyebab halalnya hubungan suami istri, dan talak
sebagai penyebab lepasnya hubungan suami istri.
6) Dari segi
hubungan sabab dengan musabbab :
a. Sabab
al-Syar’i (السبب الشرعي), yaitu sebab yang
hubungann dengan musabbab dihasilkan hukum syar’i, seperti
tergelincirnya matahari sebagai wajibnya shalat dzuhur.
b. sabab al-aqli (السبب العقلى), yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab
dihasilkan melalui nalar manusia, seperti belajar sebagai penyebab
seseorang berilmu.
c. Sabab al-adi (السبب العادى), yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab
didasarkan kepada hukum adat kebiasaan atau urf, seperti tubuh merasa tidak
sehat karena ada penyakit.[5]
c)
Perbedaan antara Sebab dan ‘Illat
Abdul Karim Zaidan menjelaskan perbedaan dan persamaan antara sebab
dan ‘illat. Sesuatu yang
dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama,
antara tanda (sebab) dengan sesuatu yang ditandai (musabbab) mempunyai hubungan logis, dalam pengertian bisa
ditelusuri oleh akal pikiran hubungan
natara keduanya, dan bentuk kedua, hubungan diantaran keduanya tidak bsia ditelusuri dengan akal pikiran.
Bentuk
pertama diatas, diamping disebut sebagai sebab, juga disebut ‘illat, sedangkan
bentuk yang kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama, perjalanan adalah
sebab dan juga ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari
bulan ramadhan, dan keadaan memabukkan menjadi sebab atau ‘illat
bagi haramnya meminum khamar. Sedangkan contoh bentuk kedua, yaitu sebab yang
bukan ‘illat seperti terbenamnya matahari menjadi sebab bagi wajib melaksanakan
shalat maghrib dan terbit fajar menjadi
sebab bagi masuk waktu shalat shubuh.[6]
2.
Syarat
a) Definisi Syarat
Syarat adalah sesuatu yang ada atau tidaknya menentukan adanya
hukum. Yang di maksud adalah adanya syarat menurut syara’ dapat menimbulkan
pengaruh kepada ada atau tidaknya hukum
Syarat merupakan hal
yang di luar hakikat yang di syarati. Ketiadaan syarat menetapkan ketiadaan
yang di syarati, namun adanya syarat tersebut tidak memastikan adanya yang di
syarati. Misalnya, pernikahan merupakan syarat penjatuhan talak. Apabila
pernikahan tidak terjadi, maka tidak akan ada talak, dan tidak berarti adanya
pernikahan menetapkan adanya talak. Wudhu adalah syarat bagi keabsahan shalat.
Apabila tidak wudhu maka shalat tidak sah, namun adanya wudhu tidak berarti
menetapkan adanya shalat, karena orang yang ber wudhu itu belum tentu
menghendaki shalat.[7]
Para ulama ushul fiqh
merumuskan dengan
ما يتوفّق وجود الحكم وجودا شرعيا على وجوده ويكون خارجا عن حقيقةه
ويازم من عدمه عدم الحكم
Sesuatu yang
tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadannya hukum pun
tidak ada.
Dalam bahasa lain, syarth
adalah suatu sifat yang keberadannya sangat menentukan hukum syar’i dan
ketiadaan sifat itu membawa kepada ketiadaan hukum, ia berada diluar hukum
syar’i itu sendiri dan keberadaannya itu tidak senantiasa menyebabkan adanya
hukum. Misalnya, wushu sebagai syarat sah shalat. Eksistensi shalat secara
syar’i tidak ada kecuali dengan berwudhu, tetapi wudhu itu sendiri bukanlah
bagian dari shalat dan ada wudhu tidak mesti ada shalat.
Dalam hal lain, haul adalah syarat
wajib zakat. Kalau belum haul, maka kewajiban zakat tidak ada. Tetapi,
adanya haul tidak mesti adanya zakat. Contoh lain, saksi adalah syarat
dalam perkawainan, pernikahan tanpa saksi tidak sah, tetapi, saksi bukanlah
bagian dari pernikahan, karena saksi bisa tetap ada tanpa adanya pernikahan.[8]
b) Perbedaan
Syarat dengan Rukun
Rukun
adalah sifat yang tergantung keberadaan hukum padanya dan sifat yang termasuk
ke dalam hukum itu sendiri. Misalnya, takbiratul ihram adalah salah satu rukun
shalat, dan ia berada dalam shalat itu sendiri. Tidak ada rukun, hukum menjadi
tidak sah. Adapun syarat adaah sifat yang kepadanya tergantung keberadaan
hukum, tetapi ia berada di luar hukum tersebut. Misalnya, wudhu’ merupakan
syarat sah shalat, tetapi wudhu’ itu berada di luar shalat dan ada wudhu tidak
mesti ada shalat. Dari sisi ini terdapat persamaan antara rukun dengan syarat,
yaitu keduanya sama-sama menentukan keberadaan dan keabsahan suatu hukum.
Akan tetapi, tedapat pula perbedaan
mendasar anatara keduanya, yaitu rukun merupakan bagian dari hukum, tetapi
syarat bukan bagian dari hukum, ia berada di luar hukum.[9]
c) Hubungan
antara Sabab dengan Syarat
Syarat
merupakan penyempurna bagi sebab, apabila ada sebab dan syarat tidak terpenuhi,
maka hukum tidak ada. Oleh sebab itu, sebab mesti ada pada hukum,
syarat-syaratnya terpenuhi, dan tidak ada halangan yang menghambat pemberlakuan
hukum tersebut. Misalnya, pembunuhan sebagai sebab dikenakan qishah ,
jika syaratnya terpenuhi, yaitu disengaja dan dilakukan dengan rasa permusuhan.
Akad perkawinan menjadi penyebab dibolehkan hbungan suami istri jika syaratnya
terpenuhi, yaitu dihadiri dua orang saksi.[10]
d) Pembagian
Syarat
a. Syarat Syar’i, yaitu sayart yang datang langsung dari syariat
sendiri. Misalnyam keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan
sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat
sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya. Sebagaimana
firman Allah :
وَابتَلُوا اليَتَامَى حَتَّى إِذَا
بلَغُوا النَّكَاحَ فَإِن ءَانَستٌم مِنهُم رُشدًا فَدفَعُوا إِلَيهَم أَموَالَهُم
وَلَا تَأكُلُوا هَا إِسرَافًا وَ بِدَرًا اَن يَكبَرُوا وَمَن كَانَ غَنِيًّا
فَليَستَعفِف وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَليَأكُل بِالمَعرٌوفِ فَإِذَا دَفَعتُم
إِلَيهِم أَموَالَهُم فَأَشهِدُوا عَلَيهِم وَ كَفَى بِا اللَّهِ حَسِيبَا
Dan ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihahara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih
dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)
sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka , maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahanitu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian) itu. (An-Nisa/3:6)
b. Syarat Ja’li, yaitu syarat yang datang
dari kemauan orang mukalaf itu sedir. Misalnya, seorang suami berkata kepada
istrinya: “jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu”,
dan ini seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk
membayarkan utang si fulan dengat syarat si fulan tidak mampu membayar utangnya
itu.[11]
3. Mani’ (penghalang)
a. Pengertian Mani’
secara etimologi mani’ berarti al-kaff ‘an syaií
(berhenti dari sesuatu) yang dalam bahasa Indonesia berarti “halanagn”.
Secara terminologi, pada ulama ushul figqh merumuskannya dengan :
وصف ظاهر منضبط يستلزم وجوده عدم الحكم او عدم السبب
Sifat dzahir yang dapat diukur yang keberadannya menyebabkan tidak
adanya hukum atau ketiadaan sebab.
Maksudnya, dengan
adanya mani’, maka hukum menjadi tidak ada, tetapi tidak mesti
keberadaan dan ketiadaany adalah hukum. Misalnya, perbedaan agama dan berstatus
pembunuh dalam masalah warisan. Apabila ada sepadsang suami istri, yaitu
penyebab adanya hak wais mewarisi antara seorang lelaki dan wanita, maka
mewarisi ini tidak sempurna apabila ada halangannya (mani’), yaitu
berbeda gama atau salah seorang sebaga pembunuh.
b. Kaitan antara Sabab, Syarth, dan Mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasa diatas terlihat bahwa antara
sebab syarat, dan halangan, terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’
ada bersamaan dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukun di
sebabkan keberadaan mani’. Misalnya, matahari telah tergelincir sebagai
penyebab diwajibkannya shalat dzuhur dan seorang wanita mukallaf wajib
berwudhu’ sebagai syarat sha shalat. Tetapi, jika wanita yang akan shalat itu
sedang haid yang menjadi penghalang , maka hukumnya menjadi tidak ada.[12]
c.
Pembagian Mani’
1) Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita
ditetapkan Allah sebagai mani’ bagi kecapakan wanita itu untuk
melaksanakan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu
haid.
2) Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab
itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta inimal satu nisab, menjadi sebab bagi
wajib mengeluarkan zakat harta, itu karena pemiliknya sudah tergolong orang
kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam keadaan berutang dimana utang itu ila
dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fikih
keadaan berutang itu menjadi mani’ bagi wajib zakat pada harta yang
dimilikinya.[13]
4. ‘Azimah dan Rukhsah
Bentuk lain dari hukum
wadh’i adalah ‘azimah dan rukhsah. Dalam hal ini para ulama ushul
fiqh berbeda pendapat dalam menempatkannya sebagai hukum wadh’i. Ibn al-Hijab
dan Fakhrudin al-Razi berpendapat bahwa ‘azimah dan rukhsah
termasuk pada objek hukum, bukan kepada hukum. Menurut mereka, suatu perbuatan
yang boleh dilaksanakan para mukallaf, adakalanya berbentuk ‘azimah dan adakalanya berbentuk rukhsah.
Pendapat kedua dikemukakan oleh al-ghazali,
al-Amidi, Muhibullah ibn Abdul Syakur dan al-Syathibi. Menururt mereka, ‘azimah
dan rukhsah termasuk hukum wadh’i, karena pada dasarnya seluruh hukum itu
bersifat ‘azimah dan status ini tidak berubah menjadi rukhsah
kecuali ada penyebabnya.
a)
Pengertian ‘Azimah
secara etimologi ‘azimah berarti tekad yang kuat. Pengertian
seperti ini dijumpai dalam surat Ali-Imran:159 :
فَإِذَا عَزَمتَ فَتَوَكَّل عَلَى اللَهِ
Apabila
kamu telah bertekad (yang kuat), maka bertawakallah pada Allah.(Ali-Imran/2;159)
Secara
teminologi , para ulama ushul fiqh merumuskannya dengan :
ما شرعه الله لعامّة عباده من لاحكام
ابتداءً
Hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya
sejak semula.
Maksudnya, hukum itu sejak semula pensyari’atannya tidak berubah
dan berlaku untuk seluruh umat, tampat dan masa, tanpa kecuali.
Seluruh hukum taklifi termasuk dalam azimah dan para
mukallaf dituntut untuk melaksanakan nya dengan mengerahkan kemampuan untuk
mencapai sasaran yang dikehendaki hukum tersebut. Berdasarkan usaha ini orang
terseut berhak mendapatkan ganjaran pahala dari Allah, jika hukum yang
dikerjakan itu termasuk dalam kategori hukum wajib dan sunnah.
Menurut Jumhur Ulama, yang termasuk ‘azimah, adalah kelima
hukum taklifi, karena kelima hukum ini siyari’atkan bagi umat Islam sejak
semula. Akan tetapi sebagian lain berpendapat bahwa yang termasuk ‘azimah
itu hanya hukum wajib, sunnah, makruh, dan mubah. Ada juga ulama ushul fiqh
yang membatasinya dengan hukum wajib dan sunnah saja, serta ada pula yang
membatasi dengan wajib dan haram saja.
b)
Macam-macam ‘Azimah
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ‘azimah ada empat
macam :
1.
Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk kemaslahatan umat manusia
seluruhnya, seperti ibadah, muamalah, jinayah, dan seluruh hukum yang bertujuan
untuk mencapai kebahagiaan umat di dunia dan akhirat.
2.
Hukum yang disyari’atkan karena adanya sesuatu sebab yang muncul, seperti hukum
mencaci maki berhala atau sesembahan agama lain. Hal ini dilarang Allah, karena
orang yang meyembah berhala atau sesembahannya dicela akan berbalik mencela
Allah.
3.
Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum
sebelumnya, sehingga mansukh seakan-akan tidak pernah ada. Status nasikh
dalam kasus seperti ini adalah ‘azimah. Misalnya pemalingan arah kiblat.
4.
Hukum Pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti Allah
mengharamkan mengawini para wanita yang telah bersuami dengan lafaz yang
bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak.
c) Pengertian
Rukhsah
secara
etimologi, rukhsah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan. Secara
terminologi, Imama al-Badhawi merumuskannya dengan :
الحكم الثابت على خلاف الدليل لعذر
Hukum yang
ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur.
Rumusan ini
menujunkan bahwa hukum rukhsah hanya berlaku apabila ada dalil yang
meunjukan dan ada uzur yang menyebabkannya
Rukhsah
yang ditetapkan berbeda dengan dalil disebabkan uzur, berlaku dalam
empat bentuk hukum syara’ yaitu ijab, nadb, karahah, dan ibahah,
misalnya :
1. Rukhsah
terhadap yang wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan
darurat. Hukum ini wajib menurut Jumhur Ulama
2. Rukhsah
bersifat mandub seperti mengqashar shalat bagi musafir
3. Rukhsah
bersifat ubah, bagi para dokter yang melihat aurat orang lain, laik-laik atau
wanita, ketika berlangsungnya pengobatan.
4. Rukhsah
bersifat makruh apabila seseorang yang karena terpaksa mengucapkan kalimat
kufur sedangkan hatinya tetap beriman.
5.
Sah dan batal
Secara etimologi, sah atau shihhah ((الصحة atau shahih (الصحيح);
lawan kata dari maridh (المريض)
yang artinya sakit. Apabila dikaitkan dengan perkataan, misalnya صحّ القول اذا طبق الواقع maka berarti sesuai dengan kenyataan. Secara
terminologi, paa ahli ushul fiqh merumuskan definisi sah dengan :
ترتّب ثمرته
المطلوبط منه شرعا عليه فحصل السبب وتوفّر الشرط وانتقي المانع ترتّبت الآثار
الشرعية على الفعل
Tercapai sesuatu yang diharapkan secara syara’;apabila sebabnya
ada, syaratnya terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak
syara’ pada perbuatan iu.
Maksudnya, sesuatu perbuatan dikatakansah, apabila terpenuhi sebab
dan syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang
diinginkan syara’ dari perbuatan itu berhail dicapai. Misalnya seseorag
melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun, syarat dan sebabnya, serta orang
yang shalat itu terhindar dari mani’ .[14]
Pengertian sah menurut
syara’ ialah timbulnya berbagai konskuensi secara syar’iyah atas
perbuatan itu. Jika sesuatu yang di lakukakan mukallaf merupakan perbuatan yang
wajib, sedang dalam pelaksanannya mukallaf dapat memenuhi semua rukun dan
syaratnya, maka apa yang menjadi kewajibannya dan tanggungannya telah lepas,dan
tidak mendapat hukuman di dunia.[15]
Secara etimologi, batal yang dalam bahasa Arabnya al-Buthlan (البطلان) berarti rusak dan gugur hukumnya. Secara
terminologi, menururt Musthafa Ahmad al-Zarqa, yang dikatakan batal adalah :
تجرّد التصرّف
الشرعي عن اعتباره وآثاره في نظر الشرع
Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya
menurut pandangan syara’
Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhi
ketentuan yang ditetapkan syara’, sehingga apa yang dikehendaki syara’ dari
perbuatan tersebut leas sama sekali (tidak tercapai). Misalnya, suatu perbuatan
tidak emmenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan
dilaksanakan ketika ada mani’. Perbuatan itu dalam pandangan syara’
tidak sah (batal).
Dalam bidang mu’amalah, ketidak absahan suatu perbuatan bisa muncul
disamping tidak memenuhi rukun, atau syarat, juga berkaitan denfan objek,
pelaku, dan lafal yang digunakan. Misalnya, dalam transaksi jual beli, apabila
yang melakukannya adalah orng yang belum atau tidak cakap bertindak hukum
(seperti anak kecil atau orang gila), maka hukumnya tidak sah. Dalam akad
nikah, dengan menggunakan lafal “hadiah”, maka akad nikah tersebut tidak sah,
karena lafal “hadiah” bukan lafal yang tepat digunakan dalam akad nikah.[16]
Disamping istilah sah dan batal, dalam fiqih Islam
juga dikenal istila fasad yang posisinya berada diantra sah dan batal.
Secara etimologi, fasad (الفساد)
berarti “perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat)”.
Terjemahannya dalam bhasa Idnoensia “rusak”
Sedangkan secara istilah menurut As-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin
Sholeh al-‘Utsaimin adalah :
ما لا تترتّب آثار
فعله عليه كان ام عقدا
Apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik
itu ibadah atau akad.[17]
Jumhur ulama berpendirian bahwa antara batal dan fasad mengandung esensi yang sama, yang berakibat
kepada tidak sahnya perbuatan itu.
Akan tetapi, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa antara batal dengan
fasad itu berbeda. Menurut ulama Hanafiyyah, suatu perbatan dikatakan batal,
apabila kerusakan itu terdapat dalam esensi perbuatan. Misalnya, tidak
terpenuhinya salah satu rukun dalam shalat. Akan tetapi, apabila kerusakannya
itu tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan hukum asal perbuatan itu
disyariatkan maka perbuatan itu dinamakan fasad. Misalnya, melakukan
transaksi jual beli yang mengandung unsur riba. Jual beli itu pada hakikatnya
diyari’atkan dan sah, karena memenuhi rukun dan syaratnya. Tetapi karena
adanya unsur riba dalam jual beli itu, maka jual beli itu menjadi rusak, yang
mereka istilahkan dengan fasad.[18]
BAB III
Penutupan
A.
Kesimpulan
Hukum Wadh’i merupakan salah satu bagian dari hukum syara’yang
terdiri dari sebab, syarat, mani’, fasad, batal, sah, rukhsah, dan azimah.
Perbedaan mendasar antara hukum wadh’i dengan hukum taklifi adalah dari segi
kemampuan mukallaf melakukan hukum tersebut. Hukum taklifi berhubungan erat
dengan hukum wadh’i, karena dengan hukum wadh’i lah hukum taklifi dapat
dilaksanakan.
B.
Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung
jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga
bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di
jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada
kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.
Daftar Pustaka
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh I. Ciputat: Logos Wacana
Ilmu
Al-‘Utsaimin,
As-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh. 2001. Al-Ushul min Ilmil Ushul. Iskandariah:
Darul Iman
Zein,Satria Effendi M.Zein.
2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Khallaf, abu wahab, 2014, Ilmu
ushul fiqih, Semarang : Dina utama Semarang
[1] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 221-222
[2] Satria
Effendi M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012) hlm. 41
[3] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 260
[4] Satria
Effendi M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012) hlm. 63-64
[5] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 260-263
[6]Abdul
wahhab kallaf, imu ushul fiqih, Dina utama Semarang, 2014
[8] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 264
[9] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 264
[10] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 265
[11] Satria
Effendi M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012) hlm. 65-66
[12] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 268
[13] Satria
Effendi M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012) hlm. 67
[14] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 270
[15] Abdul
wahab kallaf, ilmu Ushul fiqih, , Dina utama Semarang, 2014
[16] Nasrun
Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 272
[17] As-Syaikh
al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, al-Ushul min ‘Ilmil Ushul
(Iskandariah: darul Iman, 2001) hlm. 10
[18] Nasrun Haroen, Ushul fiqh I, (Ciputat:
Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 273
Komentar
Posting Komentar