Makalah Qasham (sumpah) dalam al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Al-Qur’an sebagai sumber hukum ummat Islam, mampu pada setiap zamannya, mengundang interpretasi-interpretasi penafsiran pada setiap ayatnya. Suatu bukti kemukjizatan al-Qur’an yang menjadi ketakjuban tersendiri bagi orang-orang yang mau mengkaji lebih dalam makna dan isi kandungan al-Qur’an.
        Salah satu segi kedahsyatan al-Qur’an adalah aqsham. Aqsham berarti sumpah-sumpah. Begitu banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Allah swt., pemilik kalam al-Qur’an ini, melakukan sumpah atau dengan kata lain bersumpah dengan sesuatu. Menjadi perenungan besar atas ke maha kuasaan Allah swt., yang mau mengikutkan mahluk-mahluknya dalam suatu pembuktian. Sekiranya tanpa demikian Allah swt., tetap menjadi Tuhan atas segalanya, tidak membuthkan mahluk-mahluk Nya.
Sumpah atau al-aqsham merupakan suatu hal atau kebiasaan bangsa Arab dalam berkomunikasi untuk menyakinkan lawan bicaranya. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Arab merupakan suatu hal yang oleh al-Qur’an direkonstruksi bahkan ada yang didekonstruksi nilai dan maknanya. Oleh karena itu, al-Qur’an diturunkan di lingkungan bangsa Arab dan juga dalam bahasa Arab, maka Allah swt., juga menggunakan sumpah dalam mengkomunikasikan Kalam-Nya.
Telah menjadi kebiasaan karena demikian sudah ada sejak nilai doktrin Islam belum eksis tatanan bangsa Arab. Meskipun bangsa Arab dikenal dengan menyembah berhala (paganism) mereka tetap rnenggunakan kata Allah dalam sumpahnya, seperti disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathiir ayat 42 yang berbunyi:
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَهُمْ نَذِيرٌ لَيَكُونُنَّ أَهْدَى مِنْ إِحْدَى الْأُمَمِ فَلَمَّا جَاءَهُمْ نَذِيرٌ مَا زَادَهُمْ إِلَّا نُفُورًا
Artinya:”Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah;  Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran)”. (QS. Al-Fathiir 35: 42)

Atau dalam surat An-Nahl ayat 38 yang berbunyi:
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ Artinya:”Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl 16: 38).




















BAB II
PEMBAHASAN

  1. PENGERTIAN, REDAKSI DAN LAFAL SUMPAH
Kata sumpah berasal dari bahasa Arab لقسما (al-qasamu) yang bermakna اْليَمِينُ (al-yamiin) yaitu menguatkan sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf (sebagai perangkat sumpah) seperti و , ب  dan huruf lainnya.[1]
Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang untuk menguatkan sesuatu, maka kata kerja sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ب-nya saja. Kemudian huruf ب  diganti dengan huruf و[2],  seperti firman Allah dalam surat Al-Lail ayat 1 yang berbunyi:
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
Artinya:”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)”. (QS. Al-Lail: 1)
Kadang-kadang sumpah juga menggunakan huruf-huruf ت, seperti firman Allah dalam surat Al-Anbiya’ ayat 57:
وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ
Artinya:”Demi Allah, Sesungguhnya Aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya”. (QS. Al-Anbiya’: 57)
Tapi, yang paling lazim digunakan atau dipakai dalam sumpah adalah huruf و.
Dan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, sumpah diartikan sebagai:
Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya).
Pernyataan yang disertai tekat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar.
Sedangkan menurut Louis Ma’luf, dalam konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selain-Nya. Pada intinya sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu yang disucikan.[3]
Akan tetapi, bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai masyarakat yang menyembah berhala (paganism). Mereka menyebutkan atau mengatakan sumpah dengan atas nama tuhannya dengan sebutan Allah.
Seperti dalam yang tersurat dalam al-Qur’an surat Al-Ankabuut ayat 61 yang berbunyi:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. Al-Ankabuut: 61)
Dan selanjutnya, juga dalam surat Al-Ankabut ayat 63 dijelaskan bahwa:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al-Ankabut: 63)
Sedangkan huruf-huruf yang berfungsi sebagai perangkat sumpah atau untuk membentuk lafal sumpah ada 3 macam yaitu : [4]
  1. Wawu (و )
Seperti firman Allah dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 23 yang berbunyi:
فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ
Artinya:”Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyaat: 23).
Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf qasam – maka ’amil (pelaku)nya wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus diikuti dengan isim dlahir.
  1. Ba’ ( ب )
Seperti dalam firman Allah dalam surat A-Qiyaamah ayat 1 yang berbunyi:
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya:”Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS. Al-Qiyaamah: 1)
Maka dengan masuknya huruf Ba’ ini boleh disebutkan ’amil-nya sebagaimana contoh di atas, dan boleh juga menghapusnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad ayat 82 tentang Iblis yang bersumpah untuk menyesatkan manusia:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya:”Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya. (QS. Shaad: 82).
Setelah huruf Ba’ boleh diikuti isim dlahir sebagaimana telah dicontohkan di atas, dan boleh juga diikuti oleh isim dlamir.
  1. Ta’ ( ت)
Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 56:
وَيَجْعَلُونَ لِمَا لَا يَعْلَمُونَ نَصِيبًا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ تَاللَّهِ لَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَفْتَرُونَ
Artinya:”Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang Telah kami berikan kepada mereka. demi Allah, Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang Telah kamu ada-adakan”. (QS. An-Nahl: 56).
Dengan masuknya huruf Ta’ ini, ’amil (pelaku)-nya harus dihapuskan dan tidak bisa diikuti sesudahnya kecuali isim jalalah (nama Allah), yaitu الله atau ربّ. Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar atau landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh terdahulu. Dan kadang-kadang dihapus dengan ‘amil (pelaku)-nya. Bentuk yang seperti ini banyak sekali, misalnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Takaatsur ayat 8 yang berbunyi:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Artinya:”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS. At-Takaastur: 8)
Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) disebutkan. Seperti dalam firman Allah :
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Artinya:”Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.” yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. At-Taghaabun : 7)
Dan kadang-kadang boleh dihapus, seperti dalam firman Allah ta’ala :
ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ
Artinya:”Qaaf, demi Al Quran yang sangat mulia”. (QS. Qaaf : 1).
Selain dari unsur-unsur dan redaksi sumpah tersebut di atas, yang paling fundamental adalah rukun sumpah yang merupakan unsur-unsur sumpah muncul. Nashruddin Baidan mengungkapkan bahwa rukun sumpah ada 4, yaitu:
  1. Muqsim (pelaku sumpah).
  2. Muqsam Bih (sesuatu yang dipakai sumpah).
  3. Adat Qasam (alat untuk bersumpah).
  4. Muqsam “Alaih (berita yang dijadikan isi sumpah atau disebut juga dengan jawab sumpah).[5]




  1. MANFAAT SUMPAH DALAM AL-QUR’AN
Manna al-Qaththan berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai yaitu;
Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutakallim (pengujar dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka dinamakan thalaby.
Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakan dengan inkary.
Pada kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya dengan konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab.
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah adalah:
  1. Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah).
  2. Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya.

Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam keadaan berikut :
  1. Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah sesuatu yang penting.
  2. Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
  3. Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)
Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami ‘sejarah’ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis
Ada pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan asSayuthi. Apa gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman, yang pasti percaya firman Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat sumpah dalam alQur’an yang ditujukan kepada orang kafir. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran al-Qur’an. As-Sayuthi, berargumentasi bahwa al-Qur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi berpendapat al-qasam dalam al-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan QS.1O:53
Alasan yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca. Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang menentukan makna (meaning) adalah pembaca. Secara tidak disadari as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan penanda (signifier) dalam menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan kebiasaan dari pembaca petanda (reader/signified) signified Padahal dalam konsep teologi Sunni, kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse), yang mempengaruhi kepada pembaca.
Namun sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun, al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati. Pernyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia yang ‘diajak bicara’.





BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Al-qasam (sumpah) merupakan kebiasaan bangsa Arab untuk. menyakinkan lawan bicaranya (mukhatab). S`emenjak dari pra Islam, masyarakat Arab sudah akrab memakai qasam untuk menegaskan bahwa yang dikatakannya itu benar. Setelah Islam datang, sumpah boleh dilakukan hanya dengan nama Allah. Kalau melanggar bisa terkena sanksi teologis dengan ‘vonis’ syirk, menyekutukan Tuhan. Berbeda dengan al-Qur’an, Allah secara absolut menggunakan sumpah tersebut. Dia biasanya bersumpah dengan dua cara yaitu dengan menyebut diri-Nya yang Maha Agung atau dengan menyebut ciptaan-Nya. Sisanya bersumpah dengan nama makhluk-Nya. Maksud menyebutkan ciptaan-Nya itu untuk menyebutkan keutamaan . (fadlilah) dan manfaat bagi kesejahteraan manusia.
Sumpah bagi manusia bertujuan untuk mengikat diri untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi, sumpah bagi Allah adalah untuk menekankan berita sesudahnya dan menguatkan kandungan ungkapan yang dimaksud. Sebab, menurut Abul Qasim al-Qusyairi bahwa suatu hukum akan menjadi lebih kuat kalau disertai saksi atau sumpah. Sumpah merupakan penekanan yang terkenal untuk memantapkan jiwa dan menguatkannya. Al-Qur'an turun kepada seluruh manusia. Mereka menyikapinya bermacam-macam, di antaranya ada yang ragu, ada yang ingkar, dan ada pula yang menentang habis-habisan. Maka, sumpah dalam Al-Qur'an dalam rangka menghilangkan keraguan dan membatalkan syubuhat (kesamaran), menegakkan hujjah (argumen) dan menguatkan berita, serta menekankan hukuman dengan sebaik-baik gambaran, demikian pendapat Syaikh Manna’ al-Qaththan.



DAFTAR PUSTAKA

Baidan,  Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)
Ma’luf, Louis,  al-Munjid, (Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah., 1956)
Qaththan, Manna,  Mabakhisfi Ulum Al-Qur’an, Terj: Moh. Abdul A’la, (Jakarta: Cendawan),



[1] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 213.
[2] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 213.
[3] Louis Ma’luf,  al-Munjid, (Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah., 1956), h. 664.
[4] Manna Qaththan, Mabakhisfi Ulum Al-Qur’an, Terj: Moh. Abdul A’la, (Jakarta: Cendawan), h. 207.
[5] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005), h. 203.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir