Makalah ilmu rijalul Hadits (Periwayatan Perawi Majhul, Mastur, Mubham, Perawi yang Tobat Setelah Fasiq, dan Perawi Tsiqat yang Rusak Hapalannya”)
MAKALAH
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah swt. yang senantiasa menganugerahkan nikmat, serta
Rahman dan Rahim-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melangsungkan segala
aktifitas hingga saat ini. Shalawat dan salam kita haturkan kepada Rosul kita
nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang terang benderang saat ini, sekaligus sebagai uswatun hasanah bagi
ummatnya di seluruh alam.
Makalah ini
membahas tentang “Periwayatan Perawi Majhul, Mubham, Mastur, perawi yang Tobat setelah
Fasiq, dan perawi tsiqah yang rusak hapalannya”,
serta hal hal yang berkaitan dengannya.
Beberapa hambatan dan kesulitan kami hadapi dalam proses pembuatan, namun kami
sadari bahwa semua itu adalah rintangan yang harus dihadapi demi hasil yang
baik. Untuk itu kami berterima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian makalah. Begitu pula dengan dukungan dan motivasinya
yang diberikan kepada kami. Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca, dan bisa membantu saat dibutuhkan sebagai pendukung mata kuliah Ushul Fiqih.
Ciputat, 22 November 2017
Tim penulis
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Banyak sekali
istilah-istilah yang diberikan terhadap seorang perawi, hal itu menyangkut
sifat, kekuatan hapalan dan ingatan, ke’adalahan, haal dan lainnya. Yang mana istilah-istilah tersebut bisa jadi
mengangkat keadilan dari perawi atau malah sebaliknya menjatuhkan derajat
seorang perawi tersebut. Dalam ilmu Jarh
wa Ta’dil, seorang perawi yang terkena penilaian jarh maka periwayatannya dapat
bermasalah. Mungkin saja dari segi sanad yang bermasalah atau matan yang
bermasalah. Sebaliknya jika seorang perawi terkena penilaian ta’dil maka hal
itu dapat mengangkat derajat dari perawi tesebut , dan periwayatannya diterima
sebagai hujjah.
Dalam
pembahasan di bawah ini akan dijelaskan perihal perawi yang bermasalah karena
tidak diketahui pribadi dari seorang perawi tersebut (majhul), kemudian
ketidak jelasan diri seorang perawi dalam suatu riwayat apakah ia laki-laki
atau perempuan atau lainnya (mubham). Dari dua segi rawi yang bermasalah
yang disebutkan tadi, terdapat juga istilah mastur. Mastur masih berkaitan
dengan dua rawi yang bermasalah tadi perbedaannya hanya beberapa sebab
saja. Pembahasan ini mencakup pengertian
dari istilah rawi-rawi yang bermasalah tadi, serta dapat diterima atau tidaknya
periwayatan dari rawi-rawi tadi oleh jumhur ulama.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam
pembahasan ini adalah:
a. Apa yang
dimaksud dengan perawi majhul, mubham, dan mastur?
Jelaskan hukum berhujjah pada hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi
tesebut!
b. Bagaimana
para ulama menyikapi perawi yang yang tobat dari ke-fasiq-kan? Apakah
periwayatannya dapat diterima? Bagaimana para ulama menilai orang yang dulunya
tergolong tsiqah tetapi rusak hapalannya di kemudian hari?
PEMBAHASAN
A.
Periwayatan Perawi Mubham ,Majhul ,dan Mastur
Dalam mengenal istilah-istilah yang
dijuluki terhadap perawi dalam sebuah periwayatannya maka kita perlu
mengenal definisi-definisi hadis yang
diriwayatkan oleh perawi tersebut.
Yang dimaksud dengan hadits mubham
ialah :
هو ما في مَتنِهَ أو سَنَدِه
راوٍ لَم يُسَمّ سَواءٌ كان رَجُلًا أو إمراةً
“hadits yang di dalam
matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah
ia laki-laki atau perempuan”
Ke-ibhaman rawi
dalam hadits mubham tersebut, dapat terjadi karena tidak disebutkan namanya
atau disebutkan namanya, tetapi tidak dijelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud
dengan nama tersebut, sebab tidak mustahil bahwa nama tersebut dimiliki oleh
beberapa orang. Atau dapat terjadi karena
hanya disebutkan jenis keluarganya, seperti ibnun (anak
laki-laki), ummun (ibu), khallun (paman) dan lain sebagainya yang
sebutan-sebutan tersebut belum menunjukan nama pribadi seseorang. Yang mana seseorang tersebut tidak diketahui
secara pasti oleh ahli sejarah.
Lebih jauh Ibnu Shalah
mengklasifikasikan nama-nama yang mubham ini menjadi empat.[1]
a.
Nama yang dilambangkan dengan kata rajul
atau imra’ah. Jenis ini adalah yang
paling samar.
b.
Nama yang dilambangkan dengan ibnu
fulan, ibnatu fulan, atau ibnu al-fulany.
c.
Ammu fulan atau ‘Ammatu fulan.
d.
Zauju fulanah atau Zujatu fulan.
Terkadang-kadang mubham itu terdapat dalam matan,[2] seperti
seorang sahabi berkata:
اِنّ رجُلًا
سأَل رسُولُ الله ص م
“bahwasanya seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah.”
Terkadang juga mubham terdapat dalam
sanad, seperti seorang perawi berkata:
عن رجُلٍ من
َالصّحابةِ
“Dari seorang lelaki dari sahabat.”
Jika yang mubham itu seorang sahabat
maka sebuah hadist dapat dipandang shahih, karena jumhur ulama berpendapat
bahwa semua sahabat adil. Namun apabila yang mubham itu adalah seorang tabiin
atau setelahnya, maka tidak boleh kita berdalil dengan hadis tersebut sebelum
nyata siapakah dia dan apakah dia tsiqah. Diantara perawi yang di pandang
mubham ialah: al-Hafidh Abdul Ghani
al-Azdi, Abu Bakar al-Hathib, Abdul Fadl-li ibn Thahir, ibn Basykual.
Kitab-kitab yang ditulis mengenai
perawi mubham ialah Al-Mustafad min Mubhamatil Matni wal Isnad yang
ditulis oleh al-‘Iraqi, dan juga terdapat di dalam Muqaddamah Fath-hul Barie
yang di tulis oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.[3]
Ke-ibham-an perawi
yang terjadi pada suatu hadits ada yang terdapat pada matan, dan ada yang
terdapat pada sanad hadits. Contoh ke-ibham-an rawi yang terdapat pada matan
hadits, ialah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. yang mewartakan :
إنّ رجُلاً سأَلَ النّبيّ صلّي اللهُ علَيهِ وسلّمَ :أيّ
الأسلام خَيراً ؟ قال: رتُطْعِمُ
الطّعامَ وتَقْرَأُ السّلامَ عليَ مَن
عَرَفْتَ ومَن لمْ تَعْرِف
“bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah saw.,
katanya : ‘(perbuatan) Islam yang manakah yang paling baik ? ‘ Jawab Nabi :
‘ialah kamu merangsum makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu
kenal atau yang belum kamu kenal’ “ (H.R. Bukhari-Muslim)
Menurut penyelidikan As-Syuyuthy
bahwa seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Saw. ialah Abu Dzar
r.a.
Contoh ke-ibham-an rawi yang
terdapat pada sanad hadits, seperti yang terdapat pada hadits Abu Dawud yang
diterimanya dari :[4]
حَجّاجٍ
عَن رَجُلٍ عن ابِي هرَيرَة رضِيَ الله
عنه عَنِ النّبِيَ صلّي اللهه علَيهِ وسلّمَ قال: المؤمِنُ غرٌّ كَرِيمٌ -اللحديث-
“ Hajjaj dari seorang laki-laki dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi
Muhammad Saw. sabda Rasulullah saw. : ‘Orang mukmin itu adalah orang yang mulia
lagi dermawan’ .“
Dalam hadits tersebut Hajjaj tidak
menyebutkan dan menerangkan nama rawi yang memberikan hadits kepadanya. Oleh
karena itu sulit sekali untuk menyelidiki identitasnya.
Periwayatan Perawi Majhul
Turunnya derajat suatu hadits
menjadi berstatus Hadits Majhul ialah disebabkan oleh periwayatan haditsnya
dilakukan oleh perawi yang Majhul (tidak diketahui). Ada beberapa
istilah dalam pembahasan majhul ini, yakni majhulul ‘ain, majhulul
‘adalah dan majhulul hal. Apa itu majhulul ‘ain? Majhulul ‘ain
ialah:
كُلُّ راوٍلَمْ
يَرْوِعَنْهُ اِلّاوَاحِدٌ مِنَ الرُّوَاةِ و لَمْ يُجَرِّحْهُ اَحَدَ.
“Tiap-tiap perawi yang hanya seorang saja yang meriwayatkan
hadis darinya dan tidak di-jarhnya oleh seseorang.”[5]
Maksud dari majhulul ‘ain ialah
salah seorang perawi disebutkan dengan jelas sekali, akan tetapi ternyata ia
bukan tergolong orang yang sudah dikenal keadilannya dan tidak ada rawi tsiqah
yang meriwayatkan hadits daripadanya selain seorang saja. Hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang majhulul ‘ain disebut dengan hadis majhul.[6]
Ulama hadis menetapkan seseorang tidak akan dipandang majhul jika ada dua
orang yang meriwayatkan hadis darinya. Mengenai hal ini juga dipertegas oleh
al-Khatib al-Bagdadi dalam al-Kifayah sebagaimana yang dikutip oleh
Nashir al-Din al-Abani , bahwa majhul dari ahli hadis ialah orang yang tidak
populer proses perolehan ilmunya dan tidak dikenal oleh para ulama. Orang itu
hanya meriwayatkan hadis dari satu sumber . Ketidakterkenalannya akan terangkat
apabila ada paling sedikit dua orang atau lebih yang populer keilmuannya yang
meriwayatkan hadis darinya.[7] Apakah periwayatannya ditolak? Abul Hasan
Ibnul Qaththan dan Hafidh Ibnu Hajar menyatakan bahwa periwayatan rawi yang
majhul dapat diterima pabila orang tersebut diakui adil oleh seseorang imam
jarh dan ta’dil. Kemudian apa pula yang dimaksud dengan majhulul ‘adalah? Majhulul
‘adalah ialah:
مَنْ كَانَ
مَعْرُوفَ العَيْنِ بِرِوَايَتِهِ عَدْ لَيْنِ عَنْهُ و لَكِنَّهُ مَجْهُولُ
العَدَالَةِ
“Orang yang dikenal pribadinya lantaran telah ada dua orang yang
adil meriwayatkan hadis dari padanya, akan tetapi orang itu majhulul ‘adalah
(tidak diketahui apakah ia seorang yang adil atau tidak).”
Jumhur ulama menolak periwayatan
dari orang ini, namun segolongan menerima dengan satu syarat bahwa ia dikenal
sebagai seseorang yang meriwayatkan hadis dari orang-orang yang adil. Kalau
tidak demikian maka tidak diterima.
Lalu apa pengertian dari Majhulul
hal? majhulul hal ialah perawi yang menurut lahirnya adil, tetapi tidak
diketahui hakikat keadaannya dan
kebatinannya. Dalam pengertian lain majhul hal merupakan seorang rawi yang dikenal keadilannya dan kedhabitannya atas dasar periwayatan orang-orang yang
tsiqah , akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan
suara. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang majhulul hal ini dinamakan
dengan hadis Mastur. Sedikit lebih merinci Manna Khalil al-Qattan
menerangkan bahwa yang dimaksud majhul hal ialah seorang perawi yang ada dua
orang atau lebih meriwayatkan hadis darinya dan tidak ada ulama yang mengatakan
riwayat dari orang seperti ini dapat diterima[8]
Jadi yang dimaksud dengan perawi
yang mastur ialah jika sebuah hadis diriwayatkan oleh seorang perawi
dikenal keadilannya dan kedhabitannya atas dasar periwayatan orang-orang yang
tsiqah, akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan
suara. Lalu apakah periwayatan hadis Mastur diterima? Menurut al-Hafidh Ibnu
Hajar dalam an-Nazhah, bahwa mastur itu (tidak diketahui keadaannya), apakah
alim atau tidak, belum bisa dipastikan tertolak riwayatnya atau diterima
riwayatnya, sehingga ditawaqqufkan (di diamkan dulu) sehingga nyata keadaannya.[9] Jika
sudah diketahui bahwa ada dua orang yang meriwayatkan darinya maka dapat
diketahui keadilannya karena sudah diakui keadilannya oleh para imam tetapi
kita tidak tau namanya dan keturunnya. Maka bisa dilihat dari dua orang yang meriwayatkan
hadis darinya, kalo dua-duanya adil , maka diterima, namun jika Cuma satu yang
adil, maka tidak diterima.
B.
Periwayatan Rawi yang Taubat Setelah Fasiq
Salah satu syarat diterimanya
riwayat seorang rawi adalah rawi tersebut adalah ‘adil,yakni muslim, baligh,
berakal yang selamat dari sebab-sebab kefasikan dan merusak muru’ah. Adapun
yang dimaksud selamat dari sebab-sebab kefasikan adalah dikenal sholeh,
bertakwa, melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan, tidak melakukan
salah satu dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, dan bukan
seorang yang ahli bid’ah.
Pada masa Rasulullah saw. ternyata
dikalangan sahabat ada beberapa orang
yang pernah keluar dari agama Islam, seperti ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Abdullah
bin Khathai. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pengertian sahabat[10] itu
sendiri. Namun apabila sahabat yang murtad itu kembali lagi beragama Islam,
baik kembalinya itu disaat Nabi saw. masih hidup maupun setelah wafat, masih
dapat dimasukan ke dalam golongan sahabat. Al-Hafidh Ibnu Hajar mengemukakkan
tentang kisah Al-Asy’as bin Qais yang pernah murtad. Dia menghadap Abu Bakar sewaktu menjadi
tawanan perang , kemudian menyatakan
kembali beragama Islam. Pernyataan itu diterima oleh Abu Bakar. Tidak
seorangpun di kalangan ahli hadis yang membantah kesahabatannya dan
pentakhrijan hadis-hadisnya yang termuat dalam musnad-musnadnya dan
lain-lainnya. Selain yang murtad terdapat pula orang yang fasik. Imam Abu
Hanifah dan sebahagian golongan salaf berpendapat bahwa orang fasiq tidak diterima riwayatnya
dan kesaksiannya, meskipun telah bertaubat. Sedangkan Imam Malik, Syafi’I,
Ahmad, dan sebagian besar salaf menyatakan orang yang bertaubat setelah fasiq,
kesaksiannya dan riwayatnya dapat diterima.[11]
C.
Para Rawi yang Mengalami Kekacauan pada Akhir Hayatnya
Yang dimaksud
dengan kekacauan ialah rusaknya akal dan tidak teraturnya ucapan dan perbuatan.
Kekacauan itu dapat terjadi karena berusia lanjut atau karena adanya
sebab-sebab yang lain. Rawi yang yang mengalami kekacauan ini hadistnya disebut dengan hadist mukhtalith.
Adapun pengertian hadist mukhtalith
ialah:
هوماطَرَأَعَلَي
الرَّوِي سُوْءُ الحِفْظِ لِكِبَرٍ
أوضَرٍّاو إحتِرَاقِ كُتُبِهِ أوعَدَمِها.
“Hadist yang rawinya buruk hafalannya ,disebabkan sudah lanjut
usia, tertimpa bahaya,terbakar atau hilang kitab-kitabnya”.[12]
Yang dimaksud dengan su-u’l-khifdhi,
ialah kalau salahnya lebih banyak daripada betulnya, dan hafalannya tidak lebih
banyak daripada lupanya. Hadist orang yang dikategorikan su-u’l-khifdhi
termasuk syadz[13].
Berdasarkan sebab-sebab
kekacauannya, mereka dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok:
1)
Para rawi yang mengalami kekacauan karena
rusak pikirannya di masa tua, kepikunan, sakit, atau karena tertimpa suatu
musibah.[14]
Seperti Sa’id bin Abi ‘Arubah[15]
yang tsiqat dan hafiz. Ia mengalami kekacauan sejak umur 42 tahun atau pada
tahun 145 H dan berlanjut sampai ia wafat pada tahun 155 H. Para rawi
meriwayatkan hadist darinya sebelum ia mengalami kekacauan ini, seperti Yazid
bin Harun, Ibnu’l-Mubarak, dan Yahya Al-Qaththan.[16]
Rawi yang diketahui meriwayatkan hadist darinya setelah ia mengalami kekacauan
ialah Wakki’ bin al-Jarrah dan al-Mu’afi bin Imran al-Mursili.
2)
Para rawi yang mengalami kekacauan karena
hilang penglihatannya (buta), seperti Abdurrazzaq bin Hammam al-Shan’am, imam
yang menulis Mushannaf. Para rawi yang meriwayatkan hadis darinya sebelum ia
mengalami kebutaan (sebelum tahun 200 H)[17],
ialah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahaweh, Ali bin al-Madini, Waki’, dan Yahya
bin Main. Diantara rawi yang meriwayatkan darinya setelah ia mengalami
kekacauan adalah Ibrahim bin Manshur al-Ramadi dan Ishaq bin Ibrahim al-Dabari.
3)
Para
rawi yang mengalami kakacauan karena kehilangan kitabnya , sehingga ia
meriwayatkan hadis berdasarkan hafalannya dan karenanya hadisnya menjadi kacau.
Contoh dari
rawi ini adalah Abdullah bin Luhai’ah al-Mishri al-Qadhi. Kitab-kitabnya
terbakar , lalu ia meriwayatkan hadis hanya berdasarkan hafalannya, sehingga
terjadi kekacauan dalam hadisnya .
4)
Rawi lainnya yang mengalami kekacauan di akhir
hidupnya ialah ‘Atha’ bin al-Sa’id[18].
Al-Khatib berkata:”Atha’ bin Sa’ib mengalami kekacauan pada akhir hayatnya.
Karenanya para ulama berhujah dengan hadis-hadis yang diriwayatkannya melalui para muridnya
yang senior , seperti Sufyan al-Tsauri dan Syu’bah.[19]
Mengingat penerimaan mereka pada saat itu adalah pada masa normalnya , dan para
ulama meninggalkan hadis-hadisnya yang diriwayatkan oleh para periwayat yang
kemudian”. Said bin Abu Said al-Miqbari,
ia mengalami kekacauan sebelum wafatnya. Al-Bukhari meriwayatkan hadisnya
melalui Malik ,Isma’il bin Abi Umayyah, Ubaidillah bin Umar al-Umari dan
lainnya. Rabi’ah Ar-Ra-iy bin Abi ‘Abdur Rahman, beliau merupakan salah seorang
guru Imam Malik. Ibnu’sh-Shalah berpendapat bahwa beliau mengalami kekacauan pada
akhir hidupnya, dan karenanya hendaklah ditinggalkan hadisnya untuk berhujjah.
Namun pendapat ash-Shalah ini dibantah oleh sebagian muhadditsin, karena Imam
Muslim meriwayatkan hadis-hadisnya dan kebanyakan para hafidh dan imam-imam
hadis menganggap dia sebagai rawi yang tsiqah.
Hukum Hadis Rawi Tsiqat yang Mengalami Kekacauan
Hukum hadis tsiqat yang tertuduh
mengalami kekacauan telah ditetapkan oleh para muhaddisin dengan dua cara.
Pertama, hadis yang didengar dari mereka sebelum terjadinya kekacauan. Hadis
ini dapat diterima dan bisa dijadikan hujah. Kedua, hadis yang didengar setelah
mengalami kekacauan atau tidak dapat dipastikan sebelum atau sesudah kekacauan.
hadis ini ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah.Dalam periwayatan rawi yang
mengalami kekacauan pada akhir hayatnya dapat disimpulkan bahwa hadis yang
didapat sebelum terjadi kekacauan pada diri rawi , dapat diterima (makbul), dan
hadis yang didapat setelah terjadi kekacauan pada diri rawi maka hadis itu
ditolak. Al-‘Allamah al-Tahanawi berpendapat bahwa riwayat murid senior dari
rawi yang mengalami kekacauan dianggap shahih.
Kitab tentang hal ini telah disusun
oleh al-Imam al-Hafizh al-‘Ala’I Khalil bin Kikaldi (w.762 H). Kemudian secara
khusu disusun oleh al-Imam al-Hafizh Ibrahim bin Muhammad cucu Ibnu al-‘Ajami
al-Halabi (w.841 H) , kitabnya diberi judul al-Ightibath bi Man Rumiya bi
al-Ikhtilath.[20]
Adapun faedah mengkaji para rawi
yang mengalami kekacauan ini ialah dapat membedakan hadis-hadis mereka antara
yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Menurut para ulama ilmu tentang
ini penting dipelajari.
PENUTUP
Kesimpulan
Para perawi yang terindikasi atau
tergolong Mubham, Mastur dan Majhul dapat diterima periwayatannya apabila
terdapat beberapa orang yang meriwayatkan hadis padannya, dan beberapa orang
tersebut terindikasi adil. Namun kalo sebaliknya, maka periwayatannya ditolak.
Begitulah menurut para jumhur ulama. Untuk perawi yang dulunya tsiqah namun
karena keadaan tertentu hapalannya mengalami kekacauan, para ulama menerima
periwayatan dari perawi itu pada waktu perawi meriwayatkan hadis dalam keadaan
normal, sedangkan setelah perawi mengalami kekacauan periwayatannya tidak dapat
diterima sebagai hujjah.
Perawi yang tobat setelah fasiq,
terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam hal apakah periwayatannya dapat
diterima atau tidak, sebagian besar kalangan ulama seperti Imam Syafi’I, Imam
Malik, dan Ahmad menerima periwayatan dari perawi yang tobat ini.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
al-Qatthan, Manna Khalil, 2016, Pengantar
Studi Ilmu Hadis, terj. Mifdol Abdurrahman ,(Jakarta: Pustaka Alkautsar)
Nuruddin ‘ltr, 2014, ’Ulumul
Hadis, alih bahasa oleh Drs.Mujiyo, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ash-shidieqy ,Hasbi, 1976, Pokok-Pokok
Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2), Jakarta:Bulan Bintang.
Ibnu Nasruddin a-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar, tahqiq: Dhiya
Muhammad Jasim Ad-Dimasyqi, terj.Faisal Shaleh, Khorul Amru Harahap,
(Jakarta Timur: AKBAR, 2008).
Rahman, Fatchur, 1974, Ikhtisar Musthalahahul Hadits, Bandung:
PT ALMAARIF.
al-Din al-Abani,Muhammad Nashir, 2002, Tamaamul Minnah,
terj.Afifuddin Said, (Tegal: Maktabah Salafy Press)
Hasyim, Ahmad Umar, Qawa’id Ushul al-Hadis, (T.K.: Dar
al-Fikr,T.T.)
[1]Nuruddin
‘ltr,’Ulumul Hadis,alih bahasa oleh Drs.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,cet.3,2014),h.154
[2]Hasbi
Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),(Jakarta:Bulan
Bintang,1976),cet.4,h.189
[3]Hasbi
Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),h.189
[4]Fatchur
Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.197
[5]Hasbi
Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),h.225
[6]Fatchur
Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.198
[7]Muhammad
al-Din al-Abani,Tamaamul Minnah,terj.Afifuddin Said, (Tegal: Maktabah
Salafy Press,2002),h.7
[8]Manna
Khalil al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, terj.Mifdhol Abdurrahman,
(Jakarta:Pustaka Alkautsar,2016),
[9]Hasbi
Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),226-227
[10]Menurut
Jumhuru’l-Muhadditsin, sahabat ialah ,“Orang yeng bertemu rasulullah saw. dengan pertemuan yang wajar sewaktu
Rasulullah saw. masih hidup , dalam keadaan Islam lagi Iman.”
[11]Ahmad
Umar Hasyim, Qawa’id Ushul al-Hadits, (T.K: Dar al-Fikr,T.T),h.187
[12]Fatchur
Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,(Bandung: PT Alma’arif,1974),h.203
[13]syadz
ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat secara tersendiri, jika
periwayat itu tsiqah maka hadis yang diriwayatkannya itu diterima,namun jika
tidak tsiqah maka hadis yang ia riwayatkantidak dapat diterima. lihat Ibnu
Nasruddin a-Dimasyqi,Mutiara Ilmu Atsar, tahqiq: Dhiya Muhammad Jasim Ad-Dimasyqi,terj.Faisal
Shaleh,Khorul Amru Harahap,(Jakarta Timur:AKBAR,2008),H.214
[14]Nuruddin
‘ltr,’Ulumul Hadis,alih bahasa oleh Drs.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,cet.3,2014),h.129
[15]Nama
lengkapnya adalah Sa’id bin ‘Abi ‘Arubah abu al-Nadr. Abi ‘Arubah bernama
Mahran. ‘Abd al-Samad berkata:”Ia meninggal pada tahun 156 H.” Ia adalah
seorang Imam di Basrah.
[16]Fatchur
Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.204
[17]Ahmad
berkata,”Barang siapa yang meriwayatkan darinya (Abdurrazzaq bin Hammam)
setelah ia buta maka riwayatnya tidak sahih. Hadis-hadis yang tertulis dalam
kitabnya adalah sahih, sementara hadis-hadis yang diluar kitabnya merupakan talqin
(pemberitaan dari orang lain) lalu ia terima “.
[18]nama
lengkap beliau adalah Abi’s-Sa’ib ‘Atha’ bin Sa-ib Ats-Tsaqafy. lihat
Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.204 dan Nuruddin ‘ltr,’Ulumul
Hadis,h.128
[19]Ibnu
Ma’ien mengungkapkan bahwa:”Segala orang yang mendengar hadis darI Atha’,
mendengarnya setelah ia berubah akal, kecuali Ats Tsauri dan Syu’bah.”
lihat Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),(Jakarta:Bulan
Bintang,1976),cet.4,h.193
[20]Nuruddin
‘ltr menyarankan untuk melihat Syarah Al-Alfiyah karya al-Iraqi, 4:153
dan catatan kaki al-‘Allamah Muhammad Raghib al-Thabbakh terhadap Nukat
al-Iraqi serta kitab al-Ightbath.
Komentar
Posting Komentar