Makalah ilmu rijalul Hadits (Periwayatan Perawi Majhul, Mastur, Mubham, Perawi yang Tobat Setelah Fasiq, dan Perawi Tsiqat yang Rusak Hapalannya”)

MAKALAH


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. yang senantiasa menganugerahkan nikmat, serta Rahman dan Rahim-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melangsungkan segala aktifitas hingga saat ini. Shalawat dan salam kita haturkan kepada Rosul kita nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang saat ini, sekaligus sebagai uswatun hasanah bagi ummatnya di seluruh alam.
Makalah ini membahas tentang “Periwayatan Perawi Majhul, Mubham, Mastur, perawi yang Tobat setelah Fasiq, dan perawi tsiqah yang rusak hapalannya”, serta hal hal  yang berkaitan dengannya. Beberapa hambatan dan kesulitan kami hadapi dalam proses pembuatan, namun kami sadari bahwa semua itu adalah rintangan yang harus dihadapi demi hasil yang baik. Untuk itu kami berterima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah. Begitu pula dengan dukungan dan motivasinya yang diberikan kepada kami. Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, dan bisa membantu saat dibutuhkan sebagai pendukung mata kuliah Ushul Fiqih.

Ciputat, 22 November 2017

                                                                                                             Tim penulis
       


  

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Banyak sekali istilah-istilah yang diberikan terhadap seorang perawi, hal itu menyangkut sifat, kekuatan hapalan dan ingatan, ke’adalahan, haal dan lainnya. Yang  mana istilah-istilah tersebut bisa jadi mengangkat keadilan dari perawi atau malah sebaliknya menjatuhkan derajat seorang perawi  tersebut. Dalam ilmu Jarh wa Ta’dil, seorang perawi yang terkena penilaian jarh maka periwayatannya dapat bermasalah. Mungkin saja dari segi sanad yang bermasalah atau matan yang bermasalah. Sebaliknya jika seorang perawi terkena penilaian ta’dil maka hal itu dapat mengangkat derajat dari perawi tesebut , dan periwayatannya diterima sebagai hujjah.
Dalam pembahasan di bawah ini akan dijelaskan perihal perawi yang bermasalah karena tidak diketahui pribadi dari seorang perawi tersebut (majhul), kemudian ketidak jelasan diri seorang perawi dalam suatu riwayat apakah ia laki-laki atau perempuan atau lainnya (mubham). Dari dua segi rawi yang bermasalah yang disebutkan tadi, terdapat juga istilah mastur. Mastur masih berkaitan dengan dua rawi yang bermasalah tadi perbedaannya hanya beberapa sebab saja.  Pembahasan ini mencakup pengertian dari istilah rawi-rawi yang bermasalah tadi, serta dapat diterima atau tidaknya periwayatan dari rawi-rawi tadi oleh jumhur ulama.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan  ini adalah:
a.       Apa yang dimaksud dengan perawi majhul, mubham, dan mastur? Jelaskan hukum berhujjah pada hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tesebut!
b.      Bagaimana para ulama menyikapi perawi yang yang tobat dari ke-fasiq-kan? Apakah periwayatannya dapat diterima? Bagaimana para ulama menilai orang yang dulunya tergolong tsiqah tetapi rusak hapalannya di kemudian hari?





PEMBAHASAN

A.      Periwayatan Perawi  Mubham ,Majhul ,dan Mastur
Dalam mengenal istilah-istilah yang dijuluki terhadap perawi dalam sebuah periwayatannya maka kita perlu mengenal  definisi-definisi hadis yang diriwayatkan oleh perawi tersebut.
Yang dimaksud dengan hadits mubham ialah :
هو ما في مَتنِهَ  أو  سَنَدِه  راوٍ لَم يُسَمّ سَواءٌ كان رَجُلًا أو إمراةً

hadits yang di dalam  matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan”
            Ke-ibhaman rawi dalam hadits mubham tersebut, dapat terjadi karena tidak disebutkan namanya atau disebutkan namanya, tetapi tidak dijelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan nama tersebut, sebab tidak mustahil bahwa nama tersebut dimiliki oleh beberapa orang. Atau dapat terjadi karena  hanya disebutkan jenis keluarganya, seperti ibnun (anak laki-laki), ummun (ibu), khallun (paman) dan lain sebagainya yang sebutan-sebutan tersebut belum menunjukan nama pribadi seseorang.  Yang mana seseorang tersebut tidak diketahui secara pasti oleh ahli sejarah.
Lebih jauh Ibnu Shalah mengklasifikasikan nama-nama yang mubham ini menjadi empat.[1]
a.         Nama yang dilambangkan dengan kata rajul atau imra’ah. Jenis ini adalah yang  paling samar.
b.        Nama yang dilambangkan dengan ibnu fulan, ibnatu fulan, atau ibnu al-fulany.
c.         Ammu fulan atau ‘Ammatu fulan.
d.        Zauju fulanah atau Zujatu fulan.
Terkadang-kadang mubham  itu terdapat dalam matan,[2] seperti seorang sahabi berkata:
اِنّ رجُلًا سأَل رسُولُ الله ص م
bahwasanya seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah.”
Terkadang juga mubham terdapat dalam sanad, seperti seorang perawi berkata:
عن رجُلٍ من َالصّحابةِ
Dari seorang lelaki dari  sahabat.”
Jika yang mubham itu seorang sahabat maka sebuah hadist dapat dipandang shahih, karena jumhur ulama berpendapat bahwa semua sahabat adil. Namun apabila yang mubham itu adalah seorang tabiin atau setelahnya, maka tidak boleh kita berdalil dengan hadis tersebut sebelum nyata siapakah dia dan apakah dia tsiqah. Diantara perawi yang di pandang mubham ialah: al-Hafidh  Abdul Ghani al-Azdi, Abu Bakar al-Hathib, Abdul Fadl-li ibn Thahir, ibn Basykual.
Kitab-kitab yang ditulis mengenai perawi mubham ialah Al-Mustafad min Mubhamatil Matni wal Isnad yang ditulis oleh al-‘Iraqi, dan juga terdapat di dalam Muqaddamah Fath-hul Barie yang di tulis oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.[3]
            Ke-ibham-an perawi yang terjadi pada suatu hadits ada yang terdapat pada matan, dan ada yang terdapat pada sanad hadits. Contoh ke-ibham-an rawi yang terdapat pada matan hadits, ialah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. yang mewartakan :
إنّ رجُلاً  سأَلَ النّبيّ صلّي اللهُ علَيهِ وسلّمَ :أيّ الأسلام  خَيراً ؟ قال: رتُطْعِمُ الطّعامَ  وتَقْرَأُ السّلامَ عليَ مَن عَرَفْتَ ومَن لمْ تَعْرِف

bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah saw., katanya : ‘(perbuatan) Islam yang manakah yang paling baik ? ‘ Jawab Nabi : ‘ialah kamu merangsum makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal atau yang belum kamu kenal’ “ (H.R. Bukhari-Muslim)
Menurut penyelidikan As-Syuyuthy bahwa seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Saw. ialah Abu Dzar r.a.
Contoh ke-ibham-an rawi yang terdapat pada sanad hadits, seperti yang terdapat pada hadits Abu Dawud yang diterimanya dari :[4]
حَجّاجٍ عَن  رَجُلٍ عن ابِي هرَيرَة رضِيَ الله عنه عَنِ النّبِيَ صلّي اللهه علَيهِ وسلّمَ قال: المؤمِنُ غرٌّ كَرِيمٌ -اللحديث-

Hajjaj dari seorang laki-laki dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad Saw. sabda Rasulullah saw. : ‘Orang mukmin itu adalah orang yang mulia lagi dermawan’ .“
Dalam hadits tersebut Hajjaj tidak menyebutkan dan menerangkan nama rawi yang memberikan hadits kepadanya. Oleh karena itu sulit sekali untuk menyelidiki identitasnya.


Periwayatan Perawi Majhul
Turunnya derajat suatu hadits menjadi berstatus Hadits Majhul ialah disebabkan oleh periwayatan haditsnya dilakukan oleh perawi yang Majhul (tidak diketahui). Ada beberapa istilah dalam pembahasan majhul ini, yakni majhulul ‘ain, majhulul ‘adalah dan majhulul hal. Apa itu majhulul ‘ain? Majhulul ‘ain ialah:

كُلُّ راوٍلَمْ يَرْوِعَنْهُ اِلّاوَاحِدٌ مِنَ الرُّوَاةِ و لَمْ يُجَرِّحْهُ اَحَدَ.

Tiap-tiap perawi yang hanya seorang saja yang meriwayatkan hadis darinya dan tidak di-jarhnya oleh seseorang.”[5]
Maksud dari majhulul ‘ain ialah salah seorang perawi disebutkan dengan jelas sekali, akan tetapi ternyata ia bukan tergolong orang yang sudah dikenal keadilannya dan tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkan hadits daripadanya selain seorang saja. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang majhulul ‘ain disebut dengan hadis majhul.[6] Ulama hadis menetapkan seseorang tidak akan dipandang majhul jika ada dua orang yang meriwayatkan hadis darinya. Mengenai hal ini juga dipertegas oleh al-Khatib al-Bagdadi dalam al-Kifayah sebagaimana yang dikutip oleh Nashir al-Din al-Abani , bahwa majhul dari ahli hadis ialah orang yang tidak populer proses perolehan ilmunya dan tidak dikenal oleh para ulama. Orang itu hanya meriwayatkan hadis dari satu sumber . Ketidakterkenalannya akan terangkat apabila ada paling sedikit dua orang atau lebih yang populer keilmuannya yang meriwayatkan hadis darinya.[7]  Apakah periwayatannya ditolak? Abul Hasan Ibnul Qaththan dan Hafidh Ibnu Hajar menyatakan bahwa periwayatan rawi yang majhul dapat diterima pabila orang tersebut diakui adil oleh seseorang imam jarh dan ta’dil. Kemudian apa pula yang dimaksud dengan majhulul ‘adalah? Majhulul ‘adalah ialah:
مَنْ كَانَ مَعْرُوفَ العَيْنِ بِرِوَايَتِهِ عَدْ لَيْنِ عَنْهُ و لَكِنَّهُ مَجْهُولُ العَدَالَةِ

“Orang yang dikenal pribadinya lantaran telah ada dua orang yang adil meriwayatkan hadis dari padanya, akan tetapi orang itu majhulul ‘adalah (tidak diketahui apakah ia seorang yang adil atau tidak).”
Jumhur ulama menolak periwayatan dari orang ini, namun segolongan menerima dengan satu syarat bahwa ia dikenal sebagai seseorang yang meriwayatkan hadis dari orang-orang yang adil. Kalau tidak demikian maka tidak diterima.
Lalu apa pengertian dari Majhulul hal? majhulul hal ialah perawi yang menurut lahirnya adil, tetapi tidak diketahui  hakikat keadaannya dan kebatinannya. Dalam pengertian lain majhul hal merupakan seorang rawi yang dikenal  keadilannya  dan kedhabitannya  atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqah , akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan suara. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang majhulul hal ini dinamakan dengan hadis Mastur. Sedikit lebih merinci Manna Khalil al-Qattan menerangkan bahwa yang dimaksud majhul hal ialah seorang perawi yang ada dua orang atau lebih meriwayatkan hadis darinya dan tidak ada ulama yang mengatakan riwayat dari orang seperti ini dapat diterima[8] 
Jadi yang dimaksud dengan perawi yang mastur ialah jika sebuah hadis diriwayatkan oleh seorang perawi dikenal keadilannya dan kedhabitannya atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqah, akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan suara. Lalu apakah periwayatan hadis Mastur diterima? Menurut al-Hafidh Ibnu Hajar dalam an-Nazhah, bahwa mastur itu (tidak diketahui keadaannya), apakah alim atau tidak, belum bisa dipastikan tertolak riwayatnya atau diterima riwayatnya, sehingga ditawaqqufkan (di diamkan dulu) sehingga nyata keadaannya.[9] Jika sudah diketahui bahwa ada dua orang yang meriwayatkan darinya maka dapat diketahui keadilannya karena sudah diakui keadilannya oleh para imam tetapi kita tidak tau namanya dan keturunnya. Maka bisa dilihat dari dua orang yang meriwayatkan hadis darinya, kalo dua-duanya adil , maka diterima, namun jika Cuma satu yang adil, maka tidak diterima.

B.   Periwayatan Rawi yang Taubat Setelah Fasiq
Salah satu syarat diterimanya riwayat seorang rawi adalah rawi tersebut adalah ‘adil,yakni muslim, baligh, berakal yang selamat dari sebab-sebab kefasikan dan merusak muru’ah. Adapun yang dimaksud selamat dari sebab-sebab kefasikan adalah dikenal sholeh, bertakwa, melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan, tidak melakukan salah satu dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, dan bukan seorang yang ahli bid’ah.
Pada masa Rasulullah saw. ternyata dikalangan sahabat  ada beberapa orang yang pernah keluar dari agama Islam, seperti ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Abdullah bin Khathai. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pengertian sahabat[10] itu sendiri. Namun apabila sahabat yang murtad itu kembali lagi beragama Islam, baik kembalinya itu disaat Nabi saw. masih hidup maupun setelah wafat, masih dapat dimasukan ke dalam golongan sahabat. Al-Hafidh Ibnu Hajar mengemukakkan tentang kisah Al-Asy’as bin Qais yang pernah murtad.  Dia menghadap Abu Bakar sewaktu menjadi tawanan perang , kemudian menyatakan  kembali beragama Islam. Pernyataan itu diterima oleh Abu Bakar. Tidak seorangpun di kalangan ahli hadis yang membantah kesahabatannya dan pentakhrijan hadis-hadisnya yang termuat dalam musnad-musnadnya dan lain-lainnya. Selain yang murtad terdapat pula orang yang fasik. Imam Abu Hanifah dan sebahagian golongan salaf berpendapat  bahwa orang fasiq tidak diterima riwayatnya dan kesaksiannya, meskipun telah bertaubat. Sedangkan Imam Malik, Syafi’I, Ahmad, dan sebagian besar salaf menyatakan orang yang bertaubat setelah fasiq, kesaksiannya dan riwayatnya dapat diterima.[11]

C.      Para Rawi yang Mengalami Kekacauan pada Akhir Hayatnya
            Yang dimaksud dengan kekacauan ialah rusaknya akal dan tidak teraturnya ucapan dan perbuatan. Kekacauan itu dapat terjadi karena berusia lanjut atau karena adanya sebab-sebab yang lain. Rawi yang yang mengalami kekacauan ini hadistnya  disebut dengan hadist mukhtalith. Adapun  pengertian hadist mukhtalith ialah:
هوماطَرَأَعَلَي الرَّوِي  سُوْءُ الحِفْظِ لِكِبَرٍ أوضَرٍّاو إحتِرَاقِ كُتُبِهِ أوعَدَمِها.

“Hadist yang rawinya buruk hafalannya ,disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya,terbakar atau hilang kitab-kitabnya”.[12]
Yang dimaksud dengan su-u’l-khifdhi, ialah kalau salahnya lebih banyak daripada betulnya, dan hafalannya tidak lebih banyak daripada lupanya. Hadist orang yang dikategorikan su-u’l-khifdhi termasuk syadz[13].
Berdasarkan sebab-sebab kekacauannya, mereka dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok:
1)                  Para rawi yang mengalami kekacauan karena rusak pikirannya di masa tua, kepikunan, sakit, atau karena tertimpa suatu musibah.[14] Seperti Sa’id bin Abi ‘Arubah[15] yang tsiqat dan hafiz. Ia mengalami kekacauan sejak umur 42 tahun atau pada tahun 145 H dan berlanjut sampai ia wafat pada tahun 155 H. Para rawi meriwayatkan hadist darinya sebelum ia mengalami kekacauan ini, seperti Yazid bin Harun, Ibnu’l-Mubarak, dan Yahya Al-Qaththan.[16] Rawi yang diketahui meriwayatkan hadist darinya setelah ia mengalami kekacauan ialah Wakki’ bin al-Jarrah dan al-Mu’afi bin Imran al-Mursili.
2)                  Para rawi yang mengalami kekacauan karena hilang penglihatannya (buta), seperti Abdurrazzaq bin Hammam al-Shan’am, imam yang menulis Mushannaf. Para rawi yang meriwayatkan hadis darinya sebelum ia mengalami kebutaan (sebelum tahun 200 H)[17], ialah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahaweh, Ali bin al-Madini, Waki’, dan Yahya bin Main. Diantara rawi yang meriwayatkan darinya setelah ia mengalami kekacauan adalah Ibrahim bin Manshur al-Ramadi dan Ishaq bin Ibrahim al-Dabari.
3)                  Para rawi yang mengalami kakacauan karena kehilangan kitabnya , sehingga ia meriwayatkan hadis berdasarkan hafalannya dan karenanya hadisnya menjadi kacau. Contoh dari rawi ini adalah Abdullah bin Luhai’ah al-Mishri al-Qadhi. Kitab-kitabnya terbakar , lalu ia meriwayatkan hadis hanya berdasarkan hafalannya, sehingga terjadi kekacauan dalam hadisnya .
4)                  Rawi lainnya yang mengalami kekacauan di akhir hidupnya ialah ‘Atha’ bin al-Sa’id[18]. Al-Khatib berkata:”Atha’ bin Sa’ib mengalami kekacauan pada akhir hayatnya. Karenanya para ulama berhujah dengan hadis-hadis  yang diriwayatkannya melalui para muridnya yang senior , seperti Sufyan al-Tsauri dan Syu’bah.[19] Mengingat penerimaan mereka pada saat itu adalah pada masa normalnya , dan para ulama meninggalkan hadis-hadisnya yang diriwayatkan oleh para periwayat yang kemudian”.  Said bin Abu Said al-Miqbari, ia mengalami kekacauan sebelum wafatnya. Al-Bukhari meriwayatkan hadisnya melalui Malik ,Isma’il bin Abi Umayyah, Ubaidillah bin Umar al-Umari dan lainnya. Rabi’ah Ar-Ra-iy bin Abi ‘Abdur Rahman, beliau merupakan salah seorang guru Imam Malik. Ibnu’sh-Shalah berpendapat bahwa beliau mengalami kekacauan pada akhir hidupnya, dan karenanya hendaklah ditinggalkan hadisnya untuk berhujjah. Namun pendapat ash-Shalah ini dibantah oleh sebagian muhadditsin, karena Imam Muslim meriwayatkan hadis-hadisnya dan kebanyakan para hafidh dan imam-imam hadis menganggap dia sebagai rawi yang tsiqah.
Hukum Hadis Rawi Tsiqat yang Mengalami Kekacauan
Hukum hadis tsiqat yang tertuduh mengalami kekacauan telah ditetapkan oleh para muhaddisin dengan dua cara. Pertama, hadis yang didengar dari mereka sebelum terjadinya kekacauan. Hadis ini dapat diterima dan bisa dijadikan hujah. Kedua, hadis yang didengar setelah mengalami kekacauan atau tidak dapat dipastikan sebelum atau sesudah kekacauan. hadis ini ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah.Dalam periwayatan rawi yang mengalami kekacauan pada akhir hayatnya dapat disimpulkan bahwa hadis yang didapat sebelum terjadi kekacauan pada diri rawi , dapat diterima (makbul), dan hadis yang didapat setelah terjadi kekacauan pada diri rawi maka hadis itu ditolak. Al-‘Allamah al-Tahanawi berpendapat bahwa riwayat murid senior dari rawi yang mengalami kekacauan dianggap shahih.
Kitab tentang hal ini telah disusun oleh al-Imam al-Hafizh al-‘Ala’I Khalil bin Kikaldi (w.762 H). Kemudian secara khusu disusun oleh al-Imam al-Hafizh Ibrahim bin Muhammad cucu Ibnu al-‘Ajami al-Halabi (w.841 H) , kitabnya diberi judul al-Ightibath bi Man Rumiya bi al-Ikhtilath.[20]
Adapun faedah mengkaji para rawi yang mengalami kekacauan ini ialah dapat membedakan hadis-hadis mereka antara yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Menurut para ulama ilmu tentang ini penting dipelajari.


PENUTUP

Kesimpulan
Para perawi yang terindikasi atau tergolong Mubham, Mastur dan Majhul dapat diterima periwayatannya apabila terdapat beberapa orang yang meriwayatkan hadis padannya, dan beberapa orang tersebut terindikasi adil. Namun kalo sebaliknya, maka periwayatannya ditolak. Begitulah menurut para jumhur ulama. Untuk perawi yang dulunya tsiqah namun karena keadaan tertentu hapalannya mengalami kekacauan, para ulama menerima periwayatan dari perawi itu pada waktu perawi meriwayatkan hadis dalam keadaan normal, sedangkan setelah perawi mengalami kekacauan periwayatannya tidak dapat diterima sebagai hujjah.
Perawi yang tobat setelah fasiq, terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam hal apakah periwayatannya dapat diterima atau tidak, sebagian besar kalangan ulama seperti Imam Syafi’I, Imam Malik, dan Ahmad menerima periwayatan dari perawi yang tobat ini.

  




DAFTAR KEPUSTAKAAN

al-Qatthan, Manna Khalil, 2016, Pengantar Studi Ilmu Hadis, terj. Mifdol Abdurrahman ,(Jakarta: Pustaka Alkautsar)
Nuruddin ‘ltr, 2014, ’Ulumul Hadis, alih bahasa oleh Drs.Mujiyo, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ash-shidieqy ,Hasbi, 1976, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2), Jakarta:Bulan Bintang.
Ibnu Nasruddin a-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar, tahqiq: Dhiya Muhammad Jasim Ad-Dimasyqi, terj.Faisal Shaleh, Khorul Amru Harahap, (Jakarta Timur: AKBAR, 2008).
Rahman, Fatchur, 1974, Ikhtisar Musthalahahul Hadits, Bandung: PT ALMAARIF.
al-Din al-Abani,Muhammad Nashir, 2002, Tamaamul Minnah, terj.Afifuddin Said, (Tegal: Maktabah Salafy Press)
Hasyim, Ahmad Umar, Qawa’id Ushul al-Hadis, (T.K.: Dar al-Fikr,T.T.)
                                                                                     

                                                        




[1]Nuruddin ‘ltr,’Ulumul Hadis,alih bahasa oleh Drs.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,cet.3,2014),h.154
[2]Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),(Jakarta:Bulan Bintang,1976),cet.4,h.189
[3]Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),h.189
[4]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.197
[5]Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),h.225
[6]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.198
[7]Muhammad al-Din al-Abani,Tamaamul Minnah,terj.Afifuddin Said, (Tegal: Maktabah Salafy Press,2002),h.7
[8]Manna Khalil al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, terj.Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:Pustaka Alkautsar,2016),
[9]Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),226-227
[10]Menurut Jumhuru’l-Muhadditsin, sahabat ialah ,“Orang yeng bertemu rasulullah  saw. dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw. masih hidup , dalam keadaan Islam lagi Iman.”
[11]Ahmad Umar Hasyim, Qawa’id Ushul al-Hadits, (T.K: Dar al-Fikr,T.T),h.187
[12]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,(Bandung: PT Alma’arif,1974),h.203
[13]syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat secara tersendiri, jika periwayat itu tsiqah maka hadis yang diriwayatkannya itu diterima,namun jika tidak tsiqah maka hadis yang ia riwayatkantidak dapat diterima. lihat Ibnu Nasruddin a-Dimasyqi,Mutiara Ilmu Atsar, tahqiq: Dhiya Muhammad Jasim Ad-Dimasyqi,terj.Faisal Shaleh,Khorul Amru Harahap,(Jakarta Timur:AKBAR,2008),H.214
[14]Nuruddin ‘ltr,’Ulumul Hadis,alih bahasa oleh Drs.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,cet.3,2014),h.129
[15]Nama lengkapnya adalah Sa’id bin ‘Abi ‘Arubah abu al-Nadr. Abi ‘Arubah bernama Mahran. ‘Abd al-Samad berkata:”Ia meninggal pada tahun 156 H.” Ia adalah seorang Imam di Basrah.
[16]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.204
[17]Ahmad berkata,”Barang siapa yang meriwayatkan darinya (Abdurrazzaq bin Hammam) setelah ia buta maka riwayatnya tidak sahih. Hadis-hadis yang tertulis dalam kitabnya adalah sahih, sementara hadis-hadis yang diluar kitabnya merupakan talqin (pemberitaan dari orang lain) lalu ia terima “.
[18]nama lengkap beliau adalah Abi’s-Sa’ib ‘Atha’ bin Sa-ib Ats-Tsaqafy. lihat Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.204 dan Nuruddin ‘ltr,’Ulumul Hadis,h.128
[19]Ibnu Ma’ien mengungkapkan bahwa:”Segala orang yang mendengar hadis darI Atha’, mendengarnya setelah ia berubah akal, kecuali Ats Tsauri dan Syu’bah.” lihat Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),(Jakarta:Bulan Bintang,1976),cet.4,h.193
[20]Nuruddin ‘ltr menyarankan untuk melihat Syarah Al-Alfiyah karya al-Iraqi, 4:153 dan catatan kaki al-‘Allamah Muhammad Raghib al-Thabbakh terhadap Nukat al-Iraqi  serta kitab al-Ightbath.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir