cabang-cabang ilmu Hadist
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala,
yang telah memberikan kemudahan, karunia dan rahmat dan hidayah- Nya,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta
salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, sayyidinaa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang hamba dan utusan Allah
sebagai rahmat bagi sekalian alam. Tidak lupa juga kita curahkan untuk keluarga
Nabi dan para sahabat Nabi, yang telah mendampingi beliau dalam menyampaikan
seruan Allah. Semoga tercurah keselamatan dan kebahagiaan atas mereka. Amin.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari
bimbingan dan dukungan berbagai pihak oleh karena itu pada kesempatan ini
penyusun mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang
selalu mendukung dalam mengerjakan tugas ini.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan
banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran sangat diharapkan dari
pembaca.
Ciputat, 05 April 2017
Tim Penyusun
DAFTAR
ISI
Sebagai pedoman kedua umat islam setelah Quran, Hadist memiliki
tempat tersendiri dalam kajian ilmu islam. Sebagai representasi dari segala
sesuatu yang bersumber dari nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, sifat, dan
ketentuan nabi, hadist sangat penting dikaji dan dipelajari bagi umat islam
dalam memahami agama.
Sesuai perkembanganya, hadist terus melahirkan berbagai disiplin
ilmu tersendiri terkait tentang hadist secara riwayat maupun dirayat.
Secara sederhana ilmu hadist riwayat adalah bidang keilmuwan yang membahas
tentang kandungan inti sari atau matan hadist itu sendiri, sedang ilmu hadist
dirayat lebih pada pembahsan sanad, rawi, dan teori-teori kapan hadist diterima
dan kapan hadist ditolak.
Dalam kesempatan kali ini, sedikit kami akan mengulas tentang
cabang-cabang ilmu hadist riwayah dan dirayah. Oleh karena banyaknya
cabang-cabang ilmu tersebut serta luasnya cakupan serta pembahasanya, kami
disini hanya memberikan beberapa kesimpulan dan poin-poin penting tentang
cabang-cabang hadist dirayah dan riwayah.
Dalam makalah ini, kami sebagai penyusun
memberikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa saja
cabang-cabang ilmu hadist?
2.
Apa yang dimaksud dengan setiap cabang-cabang ilmu hadist tersebut?
Setelah mengetahui rumusan masalah dalam makalah
ini, maka dapat kita tentukan tujuan penyusunan makalah ini sebagai berikut :
1.
Mengetahui pembagian
cabang-cabang ilmu hadist.
2.
Mengetahui definisi setiap cabang-cabang ilmu hadist.
BAB II
A.
Pengertian Ulumul Hadits
Ilmu hadits menurut as-Suyuti dalam at-Tadrib
علم يبحث فيه عن كيفية
اتّصال الحديث برسول الله ص م من حيث احوالرواته ضبطاوعدالة ومن حيث كيفية
السنداتصالا وانقطاعا وغير ذلك
“ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara
persambungan hadits sampai kepada Rasul dari segi hal ihwal paa perawinya, yang
menyangkut ke-dhabit –an dan ke-adilannya, dan dari bersambung atau terputusnya
sanad.
Izz ad-Din bin Jama’ah
mengatakan, bahwa ilmu hadits ialah ilmu tentang ketentuan-ketentuan atau
kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad dan matan hadits.
1. ilmu Hadits Dirayah
a. pengertian Ilmu Hadis Dirayah
علم يعرف
منه حققة الرواية وشروطها وانواعها واحكا مها وحال الرواة وشروطهم وأصناف المرويات
وما يتعلق بها
“ilmu
hadis Dirayah adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan
syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, serta untuk mengetahui keadaan
para perawi baik syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang di riwayatkan, dan
segala yang berkaitan dengannya.
Hakikat periwayatan
artinya penukilan hadis dan penyandarannya kepada sumber hadis, yaitu Nabi Saw,
syarat-syarat periwayatan terhadap hadis yang akan diriwayatkan dengan
bermacam-macam cara penerimaan dan penyampaian, seperti melalui
as-Sima’(pendengaran), al-Qiraah (pembacaan), al-Wasiyah (berwasiat), al-Ijazah
(pemberian izin). Macam-macam periwayatan ialah membicarakan sekitar bersambung
dan terputusnya periwayatan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu hadis
Dirayah merupakan kumpulan kaidah untuk mengetahui atau mengkaji permasalahan
sanad dan matan yang berkaitan dengan kualitasnya.
b. objek dan Signifikansinya
objek kajian ilmu
Hadis Dirayah ialah sanad dan matan dari sudut diterima atau ditolaknya suatu
hadis dari aspek sanadnya diteliti tentang keadilan dan kecacatannya, bagaimana
mereka menerima dan menyampaikan hadis serta bersambung tidaknya antara
sanad-sanad tersebut. Sedangkan dari aspek matan diteliti tentang kejanggalan
redaksi hadis sehubungan dengan adanya nas-nas lain yang berkaitan dengannya.
Dengan mempelajai ilmu
Hadis Dirayah kita dapat mengetahui pertumbukan dan perkembangan hadis dan ilmu
hadis dari masa ke masa, yaiu sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Kita juga
dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang mereka lakukan dalam
mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis, serta dapat mengetahui
kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis
dan mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadis
sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum sara.
2. Ilmu Hadis riwayah
a.pengertian
hadis riwayah.
Kata riwayah,artinya periwayatan atau cerita.
Maka ilmu hadis riwayah, artinya ilmu hadis berupa periwayatan. Secara
terminologi yang di maksud ilmu hadis riwayah ialah:
العلم الذي يقوم على نقل ما أضيف إلى النبي ص
م من قول او فعل تقرير او صفة وما اوضيف
من ذلك إلى الصحا بة والتبعين
‘’ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan
kepada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya.
Begitu juga yang menukilkan segala yang di sampaikan kepada sahabat dan tabi’in.
Menurut Ibn al-Akfani mengatakan bahwa yang di
maksud ilmu hadis riwayah adalah,
علم يشتمل على نقل اقوال النبي ص م وافعاله
ورواايتها وضبطها وتحرير الفظها
“ilmu penegetahuan yang mencakup perkataan
nabi SAW periwayatan, pemeliharaan, dan penulisannya atau pembukuan
lafaz-lafaznya.
b.objek dan signifikansinya
yang menjadi objek kajian ilmu hadis ini,
ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain,
memindahkan,dan men tadwinkan hadis. Dalam menyampaikan dan membukukan hadis
hanya di sebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang
‘adalah(keadilan) sanad, syadz( kejangalan), dan i’lat (kecacatan) matan.
Adapun kegunaan atau signifikansinya mempelajari ilmu hadis ini, iyalah utntuk
menghindari adanya penukilan yang salah salah dari sumbernya, yaitu nabi SAW.
Sebab, berita yang beredar pada ummat islam bisa jadi bukan hanya hadis,
melainkan juga ada berita-berita lain, yang sumbernya bukan dari nabi, atau
bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
B. CABANG-CABANG ILMU HADIS
1.
ILMU RIJAL al-HADIS.
Menurut bahasa, rijal artinya para kaum pria. Dimaksudkan disini
yaitu ilmu yang membicarakn tentang tokoh/orang yang mebawa Hadis, semenjak
Nabi sampai dengan periwayat terahir
(penulis kitab Hadis. Hal yang terpenting dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah
sejarah kehidupan para perawi, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri
asal, di negeri mana saja tokoh itu mengembara, dan dalam jangka berapa lama,
kepada siapa saja mereka memproleh hadistdan kepada siapa saj mereka
menyampaikan hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang membicarakan
persoalan ini. Ada yang menyebutnya Ilmu Tarikh,ada yang menyebutnya Tarikh al
Ruwat, ada juga yang menyebutnya ilmu Tarikh al-Ruwat.
Ilmu ini muncul bersamaan dengan kebutuhan para ulama akan
periwayatan hadis setelah munculnya Hadis-hadis palsu, maka untuk menjaga ke
sahihan hadis para ulama merasa berkepentingan untuk menelusuri para pembawa
hadis dan guru-guru yang menyampaikan kepada mereka. Beberapa cara telah di
tempuh para ulama untuk mengetahui para perawi hadis, salah satunya yaitu
dengan menyusun buku riwayat hidup para perawi.
Kitab yang di susun berdasarkan generasi (thabaqat) seperti :
Kitab Al-Thabaqt al kubra karya Abu Abdillah Muhammmad ibn Sa’ad
Katib al-Waqidi (168-230 H). Kitab ini memuat biografi para sahabat, tabi’in
dan orang-orang sesudahnya, sampai kepada masanya sendiri. Kitab ini di tulis
menjadi delapan jilid. Kitab ini di mulai dengan perjalanan Nabi saw,
peperangan beliau sampai beliau wafat. Dilanjutkan dengan biografi para sahabat
yang mengumpulkan Al-Qur’an, sahabat dari kalangan muhajirin dan Anshar, serta
mereka yang terlibat perang Badar. Di lanjutkan dengan sahabat yang tidak ikut
perang Badar dan lebih dahulu masuk
Islam,serta sahabat yang mengikuti Fathu Makkah. Barulah kemudian buku ini
menyebutkan biografi para Tabi’in dan terahir tentang sahabat yang perempuan.
-
Thabaqat al-Riwayat karya khalifah ibn Khayyath al-Ushfuri (w 240
H)
Kitab Tadzkirat al-Huffazh karaya Muhammad ibn Ahmad al Dzahabi (w
746 H/1348 M)
Kitab yang di susun secara umum berdasarkan huruf abjad agar mudah
menggunakannya,seperti Al-Tarikh al-Kabir karya imam Muhammad ibn Isma’il
al-Bukhari (194-256 H). Al-Bukhari berkata ini saya susun berdasarkan huruf
abjad. Hanya saj saya mulai dari nama Muhammad karena kemuliaan nama Muhammad
saw, kemudian nama-nama selain Muhammad yang berdasarkan huruf abjad
-
Disamping itu ada yang membahas biografi para sahabat nabi sperti:
Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab karya Ibn-‘abdil Barr (w .463
H/1071 M). Diantara kitab tentang biorafi para sahabat,kitab ini tergolong
besar kalau bukan yang terbesar. Tidak kurang dari 3500 sahabat yang di
paparkan biografinya dalam kitab ini.
-
Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al Shahabah. Karya ‘Izzuddin ibnul Atsir
(w 630 H/1232 M). Penulisnya telah mencurahkan segala kemampuannya untuk
mewujudkan karya besar dan bagus ini. Biografi sahabat yang ada pada kitab ini
sebanyak 7554 di masukkan di sini, di susun berdasarkan huruf abjad.bn
-
Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, karya Ibn Hajar al_Asqalani (w
852 H/1449 M)
Kitab-kitab yang membicarakn para periwayat enam kitab (Shahih
al-Bukhari, Sahih al-Muslim,Sunan Abi Daud, Sunan al Turmudzi, Sunan al Nasa’i,
Sunan ibn Majah), antara lain.
Kitab Al-Kamal fi Asma al-Rijal karya ‘Abdul Ghani al Maqdisi (w
600 H/1202 M). Kitab ini di ringkas oleh Abul Hajjaj Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi
(w.742 H)dengan nama kitab Tahzib al
Kamal.kemudian ada yang meringkasnya lagidengan nama Tahdzib al-Tahdzib.
Setidaknya ada dua orang yang menuliskitab yang judulnya sama, yaitu ; Muhammad
ibn Ahmad al Dzahabi dan Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H). Kitab ini di ringkas
oleh ibn Hajar al-Asqalani dengan Taqrib al-Tahdzib
Kitab yang menyebutkan riwayat hidup para periwyat sepuluh kitab
hadis (enam di tambah al-muwattha’ Malik, Musnad al Syafi’i, Musnad Ahmad dan
Musnad yang berisi hadis riwayat Imam Abu Hanifah himpunan al-Husein ibn
Muhammad ibn khurs) yaitu Al-Tadzkirahbi Rijal al-Asyarah.
Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya di ragukan,
seperti Al-Kamil fi Dhuafa al-Rijal karaya Abu Ahmad Abdullah ibn ‘Adi
al-Jurjani (w 365 H). Mizan al-I’tidad fi Naqdi al-Rijal karya Al-Zahabi, dan
lisan al-Mizan karya Ibn Hajar al-Asqalani.
Kitab riwayat hidup periwayat yang menerangkan nama samaran
,seperti kiitab Nazhat al-Albab fi al-Alqab.
Dan masih banyak lagi jenis kitab riwayat periwayat Hadis, seperti
Tarikh yang di kaitkan dengan negeri tertentu seperti Baghdad, Damaskus,
Naisabur, dan lain-lain. Dngan menggunakan kitab-kitab yang telah di sebutkan
tadi peneliti hadis akan mendapat bantuan menguak nilai mata rantai sanad
sebuah hadis.
2. ILMU JARH Wa at-TA’DIL
Menurut bahasa al-jarh artinya cacat. Istilah ini di gunakan untuk
menunjukkan sifat jelek rawi yang melekat pada periwayat hadis, seperti pelupa,
pembohong dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat di kemukakan maka di katakan
bahwa periwayat tersebut cacat dan hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini
ditolak dan hadisnya di nilai lemah (dhaif).
Ta’dil menurut bahasa artinya menilai adil kepda orang lain.
Istilah ini di gunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada
periwayat, seperti , kuat hafalan terpercaya
cermat dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini di
sebut ‘adil sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama
dan Hadisnya di nilai sahih.
Ilmu al-Jarh wa
al-ta’dil sangat di butuhkan oleh para ahli hadis, karena dengan ilmu ini akan
dapat di ketahui mana informasi yang benar datang dari Nabi dan mana yang
bukan. Sesuai dengan fakta sejarah, pemalsuan hadis telah terjadi semenjak dini
dan menonjol pada masa perebutan kekuasaan politik islam. Fakta itu menunjukkan
bahwa ternyata tidak semua pembawa hadis itu dapat di percaya. Menunjukkan
cacatnya hadis bukan di maksudkan untuk menjatuhkan martabat individu, apalagi
ulama, tetapi untuk melindungi informasi dari Nabi dari kepalsuan. Para ulama
sadar sepenuhnya bahwa menunjukkan aib orang lain itu di larang oleh agama.
Akan tetapi bila jarh (kritik) tidak di lakukan maka bahaya yang timbul akan
lebih besar,dan hadis Nabi tidak dapat di selamatkan. Al-Baghdadi mengutp
penilaian Ibnl Mubarak atas kebohongan al-Ma’la ibn Hilal. Kemudian seorang
sufi menegurnya, ‘’ Hai Abu Abdir Rahman, mengapa engkau berbuat ghibah
(memperlihatkan aib orang lain). Ibn Mubarak menjawab, ‘’ Kalau saya tidak
menjelaskan, bagaimana mungkin dapat di pilah antara yang hak dengan yang
bathil.
Untuk mencela dan memuji para periwayat para ulama menggunakan
kaedah al ijmal fi al-ta’dil wa al-altafshilu fi al-tajrih (global dalam
memberikan pujian dan rinci dalm menunjukkan cacat), maksudnya, untuk
memujinnseseorang tidak di perlukan alasan-alasan.
Contohnya Syu’bah ibn al-Hajjaj (82-160 H) pernah di tanya tentang
hadis yang di bawa oleh Hakim ibn Jabir. Syu’bah menjawab seraya menunjukkan
cacat periwayatnya, ‘’saya takut kepada api neraka’’. Maksud kalimat ini adalah
agar orang tidak mengambil hadis dari periwayat tersebut, karena itu imam
Syafi’i berkata : andaikata tidak ada Syu’bah niscaya hadis yang beredar di
irak tidak dapat di pilah-pilah, mana yang asli mana yang buatan orang.
Fenomena yang menggambarkan kehati-hatian ulama hadis tampak pada ungkapan
al-sya’bi, ‘’Demi Allah jika aku melakukan sembilan puluh sembilan kebenaran
dan satu kesalahn,niscaya yang mereka perperhitungkan buat saya adalah yang
sekali salah itu. Artinya untuk menerima hadis para ulama tampak sangat
berhati-hati. Pemberi informasi hadis harus benar-benar orang pilihan, sedikit
melakukaan kesalahan maka kredibilitas seorang pemeberi Informasi hadis tidak
di akui.
Namun demikian para ulama menggunakan tatakrama dalam menunjukkan
cacatnya periwayat, misalnya bila dengan sebuah ungkapan target menunjukkan
cacat itu sudah terpenuhi mereka tidak akan membuka cacat yang lain walaupun
mereka mengetahuinya.[1]
Menurut bahasa
‘Ilat artinya penyakit. Dalm ilmu Hadits terdapat beberapa hadits yang sekilas
dari runtutan persambungan sanad hadis, dapat di simpulkan bahwa hadis itu
shahih. Tetapi sebenarnya hadits itu tidak sahih, dengan kata lain ada beberapa
hadits yang tidak shahih setelah di adakan manipulasi menjadi kelihatan shahih.
Ketidak shahihan sebuah hadits di sebabkan mengandung ‘Ilat (penyakit). Peranan
ilmu ini adalah menyingkap cacat yang tersembunyi yang setelah cacat itu di
buka dapat di ketahui bahwa hadits yang kelihatannya shahih sebenarnya tidak
shahih. Seperti hadis yang kelihatannya mempunyai sanad yang bersambung, namun
setelah di periksa oleh ahli hadis ternyata sanadnya terputus, atau nama
periwayat yang tercantum dalam sanad hadis ternyata setelah di teliti di
ketahui tidak sesuai dengan nama yang sebenarnya. Demikian juga yang berkaitan
dengan matan hadits, redaksi hadits, apakah semuanya berasal dari Nabi atau
sebagian dari Nabi dan sebagian dari periwayat.
Al-Imam Ibn Abi Hatim menjelaskan
ada sebuah hadis berikut :
Sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Ibrahim ibn Tahhan dari Hysam
bin Hisan Ibn Sirin dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasululah pernah
bersabda, ‘’Bila salah seorang kamu bangun tidur, hendaknya membasuh tangannya
tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bak air. Sebab ia tidak tau, dimana
tangan itu bermalam, kemudian ia mengambil air di bejana dengan tangannya, lalu
menuangkannya pada tangan kirinya.
Menurut
penelitian Ibn Abi Hatim al-Razi, sebenarnya redaksi hadis tersebut tidak
semuanya dari Nabi, begitulah ungkapan Ibrahim ibn Tahhan yang menyambung
hadits dengan ungkapannya sendiri.[2]
Masih hasil penelitian Ibn Abi Hatim ada sebuah hadits sebagai
berikut :
Sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Baqiyyah dari Yunus dari
Al-Zuhri dari Salim dari Ibn Umar, beliau mengatakan, ‘’Barang siapa mendapatka
satu rakaat pada Shalat Jum’at dan shalat lain, maka ia mendapatkan jama’ah.
Ia mengatakan,
ada dua kesalahan dalam periwayatan hadits ini pada sanad dan matan. Pada sanad
al-Alzuhri menerima hadits dari Abu Salamah bukan dari Salim.
Penulisan ilmu
ini dalam buku tersendiri di mulai pada ahir abad ke 2 dan awal abad ke 3 H.
Buku yang di maksud antara lain :
1.
Al-Tarikh
wa al-‘ilal, karya Imam Yahya ibn Ma’in (158-233 H)
2.
‘Ilalul
Hadis, karya imam ahmad bin Hanbal (164-241 H)
3.
Al-musnad
al-Mu’allal, karya al-Hafiz Ya’qub ibn Saybah al-Sudusi al-Bisri (182-262 H)
4.
Al-‘Ilal
karya al-Imam Mhammad ibn ‘Isa al-Turmudzi (209-279 H)
4. Asbab al-Wurud
Secara etimologis ”
asbabul wurud ” merupakan susunan idlofah, yang berasal dari kata asbab dan
wurud. Kata ” asbab adalah bentuk jama’ dari kata “sabab”, yang berarti segala
sesuatu yang dapat mehubungkan pada sesuatu yang lain, (sunan turmudzi dalam
kitab thoharoh: 1/151.) atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata
“wurud” merupakan bentuk isim masdar dari waroda, yaridu, wuruudan yang berarti
dating atau sampai .(Shohih Bukhori dalam kitabul ilmi: 1/23)
Secara terminologi menurut As-suyuti asbabul wurud diartikan sebagai
berikut:
“sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqoyyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatuhadits”.(MusnadAhmad:VI/3)
Jika diteliti secara kritis pendefinisian As-suyuti lebih mengacuh kepada fungsi asbab wurudul hadits yakni, untuk menentukan tahsish dari yang ‘amm (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada dan tidaknya naskh dan mansukh dalam suatu hadits dan lain sebagainya Nampaknya kurang tepat jika pendefinisian tersebut dipakai untuk merumuskan pengertian asbabul wurud. Menurut hemat saya perlu menoleh pada pendapat Hasbi as-sidiqi beliau mendefinisikan sebagai berikut:
“sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqoyyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatuhadits”.(MusnadAhmad:VI/3)
Jika diteliti secara kritis pendefinisian As-suyuti lebih mengacuh kepada fungsi asbab wurudul hadits yakni, untuk menentukan tahsish dari yang ‘amm (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada dan tidaknya naskh dan mansukh dalam suatu hadits dan lain sebagainya Nampaknya kurang tepat jika pendefinisian tersebut dipakai untuk merumuskan pengertian asbabul wurud. Menurut hemat saya perlu menoleh pada pendapat Hasbi as-sidiqi beliau mendefinisikan sebagai berikut:
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW.menuturkan firmannya dan
masa-masa Nabi SAW.menuturkannya”(Imam Malik, dalam kitab Al-jumah: 1/102).
Sebagian ulama berpendapat bahwa pengertian asbabul wurud mirip dengan
pengertian asbabul nuzul
“Sesuatu baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang
terjadi pada waktu hadits itu di firmankan oleh Nabi SAW”.(Al-bukhori kitab
mawakit as-sholah: 1/346).
Dari ketiga definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa asbabul wurud adalah
konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau
pertanyaan-pertanyaan yang lainnya yang terjadi pada saat hadits tersebut di
sabdakan oleh Nabi SAW, dapat berfungsi sebagai acuan analisis dalam menentukan
apakah hadits tersebut bersifat khusus, umum, mutlak atau muqoyyad, naskh atau
mansukh dan lain sebagainya.
Adapun sasaran dalam mempelajari ilmu ini adalah Setiap hadits yang secara
tegas mempunyai asbabul wurud.[1]
Menurut Imam As-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikategorikan menjadi
tiga macam, yaitu:
Pertama
: sebab yang berupa ayat al-Qur’an, kedua : sebab yang berupa
Hadits itu sendiri, ketiga : sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan
sahabat.
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat
al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya
antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=t OßguZ»yJÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” yang
berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan
penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam
firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang
disebutkan dalam surat al-Luqman:
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar”. (Q.S al-Luqman: 13)
2. Sebab yang berupa Hadits. Artinya pada waktu itu
terdapat suatu hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka
kemudian muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadits tersebut.
Contoh adalah Hadits yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو
شر
“Sesungguhnya Allah
SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia
mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)
Dalam memahami Hadits tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan,
maka mereka bertanya: Ya Rasul !, Bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi
SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadits yang diriwayatkan
oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang
membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah
tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka
Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga)
tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah
lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”.
Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti
masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat
bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji,
sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada
kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai
tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai
Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut
merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang.
(HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang
menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau
orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin
Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan
kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar
pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi bersabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW
lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam
kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”.
Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100
000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq
Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[3]
5. GHARIB al-HADIST
Gharib al-Hadits adalah
lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis yang sulit dikenal dan dipahami
maknanya.
Mengetahui makna lafal-lafal
tersebut dalam ilmu hadis merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting bagi
ahli hadis agar ia tidak tergolong sebagai rawi yang tidak tahu apa yang
diriwayatkannya. Para ulama mengingatkan akan wajibnya berhati-hati dalam
membahas gharib al-hadits itu, agar
peneliti tidak tertipu oleh suatu kata dari makna sebenarnya kemudian berkata
tentang Allah tanpa ilmu.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang
suatu huruf yang gharib maka ia menjawab, “Tanyakanlah kepada ulama yang
mengetahui gharib al-hadits, karena
saya sungguh tidaksenang berkata tentang sabda Rasulullah saw. dengan dugaan
semata lalu saya salah.”
Abu Qilabah bertanya kepada
al-Ashmu’i, seorang ahli bahasa yang agung. Ia berkata : ”Ya Abu Sa’id, apakah
makna sabda Rasulullah saw., الجَا رُاَحَقُّ بِسَقْبِهِ ؟ , al-Ashmu’i menjawab, “saya
tidak akan menafsirkan hadis Rasulullah, tetapi orang arab menganggap bahwa al-saqb adalah at-laziq (orang yang berdempetan tempat tinggalnya).”
Abu Ubaid al-Qasim bin
Salam (w. 224 H) berserita tentang kitabnya Gharib
al-Hadits, “sesungguhnya saya mengumpulkan bahan kitabku ini selama empat
puluh tahun, dan kitab itu merupakan seluruh kesimpulan seluruh umurku,”
Keterangan yang paling
kuat untuk menafsirkan gharib al-hadits adalah
penafsiran yang terdapat dalam sebagian riwayat, seperti hadis :
من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثمّ راح فكأنّماقرّب
البدن نة
Barang siapa mandi pada hari jumat seperti mandi janabah, kemudian ia berangkat (menuju salat jumat), maka seakan
akan ia berkurban dengan seekor unta. (HR. Muttafaq ‘alaih).
Lafal al-badanah berarti unta
dan sapi. Para ulama berkata bahwa yang dimaksud kalimat itu dalam hadis ini
adalah unta. Hadis tersebut diriwayatkan dalam Mushannaf Abdurrazzaq dengan
redaksi:
فله من الاجرمثل الجزور
...maka ia akan mendapat pahala semisal unta.
Kalimat ini merupakan penafsiran terhadap lafal al-badanah.[3]
Hadis Imran bin Husain tentang salat orang sakit:
صلّ قائمافان لم تستطع فقاعدافان لم تستطع فعلى جنب
Salatlah dengan berdiri. Apabila kamu tidak kuasa, maka salatlah sambil
duduk. Apabila kamu tidak kuasa, maka salatlah sambil berbaring di atas
lambungmu (miring). (HR. Al-Bukhari dan lainnya.)
Lafal ‘ala janbin ditafsirkan dalam hadis ‘Ali r.a. dengan
redaksi:
على جنبه الأيمن مستقبل القبلة بوجهه
...di atas lambungnya sebelah kanan dengan menghadap ke arah kiblat
dengan wajahnya.
Para ulama telah berupaya menyusun kitab untuk mensyarah Gharib
al-Hadits, dan ulama yang pertama kali menyusunnya adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar
bin al-Mutsanna (w. 210 H). Kitabnya sangat kecil. Kemudian pada generasi demi
generasi berikutnya senantiasa ada ulama yang menghimpun bahan serupa dan
kemudian menyusunnya sehingga datanglah Imam Ibnu al-Atsir Majduddin Abu
al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari (w. 606 H). Ia menyusun kitab al-Nihayah.
Kitab ini dimaksudkan untuk menghimpun keterangan-keterangan yang
berserakan pada kitab-kitab yang lainnya. Kata-kata yang gharib dalam kitab ini
diuraikan dengan panjang lebar sehingga memberikan gambaran umum hadis yang
bersangkutan. Oleh karena itu kitab ini sangat komplet dan merupakan kesimpulan
uraian hadis-hadis Nabi.
6. ILMU NASIKH MANSUKH
Naskh secara
etimologi berarti menghilangkan, mengutip, dan menyalin. Menurut ulama Ushul
naskh adalah penghapusan oleh syar’i terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil
syara’ yang datang kemudian.[4]
Ilmu Nasikh dan Mansukh hadits
adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling bertentangan yang tidak
mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai ‘Nasikh’
dan sebagian lainnya sbagai ‘Mansukh’. Yang terbukti datang terdahulu sebagai
mansukh dan yang terbukti datang kemudian sabagai nasikh.[5]
Naskh terjadi
pada zaman rasulullah saw. terhadap sejumlah besar hukum, yang sebagian
diantarnya disebabkan oleh berangsurnya perubahan pola hidup manusia
meninggalkan pola hidup jahiliah yang batil menuju pengamalan ajaran islam yang
luhur.
Mengetahui hadis yang mengandung naskh adalah
salah satu ilmu yang sangat penting dan tidak tertarik kepadanya kecuali para
tokoh imam fiqih. Al-Zuhri berkata, para fuqaha telah mengerahkan segala tenaga
dan pikiran untuk mengetahui hadis Rasulullah. Yang berkedudukan sebagai nasikh
(yang menghapus) dan berkedudukan sebagai mansukh (yang dihapus).
Imam ‘Ali pernah
bertemu dengan seorang qadhi lalu bertanya, “apakah kamu dapat
membedakan antara hadis yang nasikh dan hadis yang mansukh?” ia menjawab, “Tidak.” Imam berkata, “Kamu
celaka dan mencelakakan.”
Nasakh dapat diketahui
melalui beberapa hal berikut.
a.
Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah saw., seperti
hadis:
نهيتكم عن زيارة القبورفزوروها
Semula aku melarangmu
untuk berziarah ke kubur, tetapi (sekarang berziarahlah).
b.
Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadis
Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata,
كان اخرالأمرين من رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ترك
الوضوء ممّا مسّت النّار
Dua perintah terakhir
Rasulullah saw. adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang
tersentuh api. (HR. Abu Daud dan al-Nasa’i).
c.
Melalui fakta sejarah, seperti hadis syidad bin Aus
dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
افطرالحاجم والمحجوم
Orang yang melakukan
bekam dan orang yang dibekam batal puasanya.
Dan hadis Ibnu Abbas r.a., ia berkata:
انّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم احتجم وهو صائم
Sesungguhnya Rasulullah saw. berbekam, padahal beliau sedang berpuasa.
Al-Imam al-Muththailibi
Muhammad bin Idris al-Syafi’i menjelaskan bahwa hadis yang kedua merupakan nasikh
terhadap hadits yang pertama
buktinya cukup unik, yakni diriwayatkan kepadanya bahwa syidad pada masa-masa
penaklukan kota Makkah bersama Rasulullah saw. ketika Rasul melihat seseorang
berbekam pada siang hari bulan Ramadhan maka beliau berkata:
افطر الحاجم والمحجوم
Dan diriwayatkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas berkata:
انّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم احتجم وهوصائم
Sesungguhnya Rasulullah saw. berbekam, padahal beliau sedang berihram
dan berpuasa.[6]
Dengan demikian, jelas bahwa hadis yang pertama (hadis syidad) itu
terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yitu pada tahun 8 Hijriah, dan
hadis kedua (hadis ibnu abbas) terjadi pada waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun
10 Hijriah. Jadi, hadis yang kedua merupakan hadis nasikh bagi hadis yang
pertama.
Bidang kajian ilmu nasikh
dan mansukh ini termasuk kebutuhan utama bagi para ahli fiqih dan
ijtihad. Sungguh salah besar dan akan menemukan kesulitan yang tinggi orang
yang jiwanya terdorong untuk berfatwa dengan hadis sesuai dengan anggapannya
tanpa menguasai ilmu ini, terlebih lagi syarat-syarat yang lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu
Sirin,ia berkata, “Hudzaifah pernah ditanya oleh seseorang tentang sesuatu,
maka ia menjawab, ‘orang yang memberi fatwa itu ada tiga macam, yaitu orang
yang mengetahui nasikh dan mansukh.’ Orang-orang bertanya,
‘Siapakah orang yang demikian itu?’ Ia menjawab, ‘Umar; dan orang yang menjadi
sultan karena karena jawaban harus memberikan fatwa; dan orang yang memaksakan
diri untuk berfatwa.”’
Para ulama telah
menyusun banyak kitab tentang masalah ini; dan yang termasyhur diantaranya
adalah al-I’tihar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar karya Abu
Bakar Muhammad bin Musa al-Hazami (w. 584 H).[7]
7. ILMU FAN al-MUBHAMAT
Pengertiannya ilmu fan
al-mubhamat adalah:
علم ةتيعرف به المبهم الذي وقع فى المتن او فى السند
Artinya: Ilmu yang membahas tentang seseorang yang samar namanya
dalam matan atau sanad.
Misalnya dalam hadits banyak
didapatkan hanya disebutkan seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW,
demikian juga dalam sanad disebutkan seorang laki-laki meriwayatkannya, dan
seterusnya. Ibnu hajar al Atsqolani juga menjelaskan nama-nama perawi yang
belum disebutkan didalam kitab Shahih al-Bukhari dalam kitabnya
Hidayat as Sari Muqoddimah Fath al-Bari.
Tujuan ilmu ini adalah mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau
identitas orang-orang yang disebutkan dalam matan atau sanad yang masih samar
atau tersembunyi.
Diantara yang menyusun kitab ini adalah al Khatib al Baghdadi yang
kemudian diringkas oleh an Nawawi dalam kitabnya al-Isyarah ila Bayani Asma al-Mubhamat.
DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin ‘itr. Ulumul Hadis. Remaja
Rosdakarya. Bandung. 2012
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib. Ushul al-Hadits. Gaya Media
Pratama.Jakarta.1998
Ibn Abi Hatim al-Razi. Ilalul Hadits. al-Mathba’ah al
Salafiyah. Mesir. 1343
Muh. Zuhri. Telaah Historis dan Metodologis Hadist Nabi. Yogyakarta. 2011
Ranuwijaya utang, ilmu Hadis, Jakarta, 1999
[1] Muh. Zuhri, ‘telaah historis dan metodologis hadist nabi”
(Yogyakarta:2011), hal.117-121
[2] Ibn Abi Hatim al-Razi, ‘Ilalul Hadits (al-Mathba’ah al
Salafiyah, :Mesir 1343), .hal. 65
[3] Nuruddin ‘itr, ‘ulumul hadis, (Remaja Rosdakarya, Bandung :
2012), hal. 345.
[4] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ushul al-hadits, (Gaya Media
Pratama, Jakarta : 1998), hlm. 258.
[5] , ushul al-hadits, hlm. 259.
[7] ulumul hadis, hal. 350
Komentar
Posting Komentar