cabang-cabang ilmu Hadist

KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala,  yang telah memberikan kemudahan, karunia dan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, sayyidinaa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang hamba dan utusan Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam. Tidak lupa juga kita curahkan untuk keluarga Nabi dan para sahabat Nabi, yang telah mendampingi beliau dalam menyampaikan seruan Allah. Semoga tercurah keselamatan dan kebahagiaan atas mereka. Amin.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan berbagai pihak oleh karena itu pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang selalu mendukung dalam mengerjakan tugas ini.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa  makalah ini jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran sangat diharapkan dari pembaca.



Ciputat, 05 April 2017


Tim Penyusun









DAFTAR ISI
A. PENEGERTIAN ULULUL HADIS. 5
ILMU HADIS DIRAYAH.. 5
ILMU HADIS RIWAYAH.. 6
2. ILMU JARH WA TA'DIL.. 9


Sebagai pedoman kedua umat islam setelah Quran, Hadist memiliki tempat tersendiri dalam kajian ilmu islam. Sebagai representasi dari segala sesuatu yang bersumber dari nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, sifat, dan ketentuan nabi, hadist sangat penting dikaji dan dipelajari bagi umat islam dalam memahami agama.
Sesuai perkembanganya, hadist terus melahirkan berbagai disiplin ilmu tersendiri terkait tentang hadist secara riwayat maupun dirayat. Secara sederhana ilmu hadist riwayat adalah bidang keilmuwan yang membahas tentang kandungan inti sari atau matan hadist itu sendiri, sedang ilmu hadist dirayat lebih pada pembahsan sanad, rawi, dan teori-teori kapan hadist diterima dan kapan hadist ditolak.
Dalam kesempatan kali ini, sedikit kami akan mengulas tentang cabang-cabang ilmu hadist riwayah dan dirayah. Oleh karena banyaknya cabang-cabang ilmu tersebut serta luasnya cakupan serta pembahasanya, kami disini hanya memberikan beberapa kesimpulan dan poin-poin penting tentang cabang-cabang hadist dirayah dan riwayah.

Dalam makalah ini, kami sebagai penyusun memberikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.                  Apa saja cabang-cabang ilmu hadist?
2.                  Apa yang dimaksud dengan setiap cabang-cabang ilmu hadist tersebut?
Setelah mengetahui rumusan masalah dalam makalah ini, maka dapat kita tentukan tujuan penyusunan makalah ini sebagai berikut :
1.                  Mengetahui pembagian cabang-cabang ilmu hadist.
2.                  Mengetahui definisi setiap cabang-cabang ilmu hadist.




BAB II
A.                Pengertian Ulumul Hadits
Ilmu hadits menurut as-Suyuti dalam at-Tadrib
علم يبحث فيه عن كيفية اتّصال الحديث برسول الله ص م من حيث احوالرواته ضبطاوعدالة ومن حيث كيفية السنداتصالا وانقطاعا وغير ذلك
 “ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul dari segi hal ihwal paa perawinya, yang menyangkut ke-dhabit –an dan ke-adilannya, dan dari bersambung atau terputusnya sanad.
Izz ad-Din bin Jama’ah mengatakan, bahwa ilmu hadits ialah ilmu tentang ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad dan matan hadits.
1. ilmu Hadits Dirayah
            a. pengertian Ilmu Hadis Dirayah
            علم يعرف منه حققة الرواية وشروطها وانواعها واحكا مها وحال الرواة وشروطهم وأصناف المرويات وما يتعلق بها
“ilmu hadis Dirayah adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, serta untuk mengetahui keadaan para perawi baik syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang di riwayatkan, dan segala yang berkaitan dengannya.
Hakikat periwayatan artinya penukilan hadis dan penyandarannya kepada sumber hadis, yaitu Nabi Saw, syarat-syarat periwayatan terhadap hadis yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan dan penyampaian, seperti melalui as-Sima’(pendengaran), al-Qiraah (pembacaan), al-Wasiyah (berwasiat), al-Ijazah (pemberian izin). Macam-macam periwayatan ialah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu hadis Dirayah merupakan kumpulan kaidah untuk mengetahui atau mengkaji permasalahan sanad dan matan yang berkaitan dengan kualitasnya.
            b. objek dan Signifikansinya
objek kajian ilmu Hadis Dirayah ialah sanad dan matan dari sudut diterima atau ditolaknya suatu hadis dari aspek sanadnya diteliti tentang keadilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan hadis serta bersambung tidaknya antara sanad-sanad tersebut. Sedangkan dari aspek matan diteliti tentang kejanggalan redaksi hadis sehubungan dengan adanya nas-nas lain yang berkaitan dengannya.
Dengan mempelajai ilmu Hadis Dirayah kita dapat mengetahui pertumbukan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa, yaiu sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Kita juga dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis, serta dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis dan mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum sara.
2. Ilmu Hadis riwayah
            a.pengertian hadis riwayah.
Kata riwayah,artinya periwayatan atau cerita. Maka ilmu hadis riwayah, artinya ilmu hadis berupa periwayatan. Secara terminologi yang di maksud ilmu hadis riwayah ialah:
العلم الذي يقوم على نقل ما أضيف إلى النبي ص م  من قول او فعل تقرير او صفة وما اوضيف من ذلك إلى الصحا بة والتبعين
‘’ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan kepada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya. Begitu juga yang menukilkan segala yang di sampaikan kepada sahabat dan tabi’in.
Menurut Ibn al-Akfani mengatakan bahwa yang di maksud ilmu hadis riwayah adalah,
علم يشتمل على نقل اقوال النبي ص م وافعاله ورواايتها وضبطها وتحرير الفظها
“ilmu penegetahuan yang mencakup perkataan nabi SAW periwayatan, pemeliharaan, dan penulisannya atau pembukuan lafaz-lafaznya.
            b.objek dan signifikansinya
yang menjadi objek kajian ilmu hadis ini, ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan,dan men tadwinkan hadis. Dalam menyampaikan dan membukukan hadis hanya di sebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang ‘adalah(keadilan) sanad, syadz( kejangalan), dan i’lat (kecacatan) matan. Adapun kegunaan atau signifikansinya mempelajari ilmu hadis ini, iyalah utntuk menghindari adanya penukilan yang salah salah dari sumbernya, yaitu nabi SAW. Sebab, berita yang beredar pada ummat islam bisa jadi bukan hanya hadis, melainkan juga ada berita-berita lain, yang sumbernya bukan dari nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
B. CABANG-CABANG ILMU HADIS
     1. ILMU RIJAL al-HADIS.
            Menurut bahasa, rijal artinya para kaum pria. Dimaksudkan disini yaitu ilmu yang membicarakn tentang tokoh/orang yang mebawa Hadis, semenjak Nabi  sampai dengan periwayat terahir (penulis kitab Hadis. Hal yang terpenting dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para perawi, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, di negeri mana saja tokoh itu mengembara, dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memproleh hadistdan kepada siapa saj mereka menyampaikan hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang membicarakan persoalan ini. Ada yang menyebutnya Ilmu Tarikh,ada yang menyebutnya Tarikh al Ruwat, ada juga yang menyebutnya ilmu Tarikh al-Ruwat.
Ilmu ini muncul bersamaan dengan kebutuhan para ulama akan periwayatan hadis setelah munculnya Hadis-hadis palsu, maka untuk menjaga ke sahihan hadis para ulama merasa berkepentingan untuk menelusuri para pembawa hadis dan guru-guru yang menyampaikan kepada mereka. Beberapa cara telah di tempuh para ulama untuk mengetahui para perawi hadis, salah satunya yaitu dengan menyusun buku riwayat hidup para perawi.
Kitab yang di susun berdasarkan generasi (thabaqat) seperti :
Kitab Al-Thabaqt al kubra karya Abu Abdillah Muhammmad ibn Sa’ad Katib al-Waqidi (168-230 H). Kitab ini memuat biografi para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya, sampai kepada masanya sendiri. Kitab ini di tulis menjadi delapan jilid. Kitab ini di mulai dengan perjalanan Nabi saw, peperangan beliau sampai beliau wafat. Dilanjutkan dengan biografi para sahabat yang mengumpulkan Al-Qur’an, sahabat dari kalangan muhajirin dan Anshar, serta mereka yang terlibat perang Badar. Di lanjutkan dengan sahabat yang tidak ikut perang  Badar dan lebih dahulu masuk Islam,serta sahabat yang mengikuti Fathu Makkah. Barulah kemudian buku ini menyebutkan biografi para Tabi’in dan terahir tentang sahabat yang perempuan.

-                      Thabaqat al-Riwayat karya khalifah ibn Khayyath al-Ushfuri (w 240 H)
Kitab Tadzkirat al-Huffazh karaya Muhammad ibn Ahmad al Dzahabi (w 746 H/1348 M)
Kitab yang di susun secara umum berdasarkan huruf abjad agar mudah menggunakannya,seperti Al-Tarikh al-Kabir karya imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (194-256 H). Al-Bukhari berkata ini saya susun berdasarkan huruf abjad. Hanya saj saya mulai dari nama Muhammad karena kemuliaan nama Muhammad saw, kemudian nama-nama selain Muhammad yang berdasarkan huruf abjad
-                      Disamping itu ada yang membahas biografi para sahabat nabi sperti:
Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab karya Ibn-‘abdil Barr (w .463 H/1071 M). Diantara kitab tentang biorafi para sahabat,kitab ini tergolong besar kalau bukan yang terbesar. Tidak kurang dari 3500 sahabat yang di paparkan biografinya dalam kitab ini.
-                      Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al Shahabah. Karya ‘Izzuddin ibnul Atsir (w 630 H/1232 M). Penulisnya telah mencurahkan segala kemampuannya untuk mewujudkan karya besar dan bagus ini. Biografi sahabat yang ada pada kitab ini sebanyak 7554 di masukkan di sini, di susun berdasarkan huruf abjad.bn
-                      Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, karya Ibn Hajar al_Asqalani (w 852 H/1449 M)
Kitab-kitab yang membicarakn para periwayat enam kitab (Shahih al-Bukhari, Sahih al-Muslim,Sunan Abi Daud, Sunan al Turmudzi, Sunan al Nasa’i, Sunan ibn Majah), antara lain.
Kitab Al-Kamal fi Asma al-Rijal karya ‘Abdul Ghani al Maqdisi (w 600 H/1202 M). Kitab ini di ringkas oleh Abul Hajjaj Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi (w.742 H)dengan  nama kitab Tahzib al Kamal.kemudian ada yang meringkasnya lagidengan nama Tahdzib al-Tahdzib. Setidaknya ada dua orang yang menuliskitab yang judulnya sama, yaitu ; Muhammad ibn Ahmad al Dzahabi dan Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H). Kitab ini di ringkas oleh ibn Hajar al-Asqalani dengan Taqrib al-Tahdzib
Kitab yang menyebutkan riwayat hidup para periwyat sepuluh kitab hadis (enam di tambah al-muwattha’ Malik, Musnad al Syafi’i, Musnad Ahmad dan Musnad yang berisi hadis riwayat Imam Abu Hanifah himpunan al-Husein ibn Muhammad ibn khurs) yaitu Al-Tadzkirahbi Rijal al-Asyarah.
Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya di ragukan, seperti Al-Kamil fi Dhuafa al-Rijal karaya Abu Ahmad Abdullah ibn ‘Adi al-Jurjani (w 365 H). Mizan al-I’tidad fi Naqdi al-Rijal karya Al-Zahabi, dan lisan al-Mizan karya Ibn Hajar al-Asqalani.
Kitab riwayat hidup periwayat yang menerangkan nama samaran ,seperti kiitab Nazhat al-Albab fi al-Alqab.
Dan masih banyak lagi jenis kitab riwayat periwayat Hadis, seperti Tarikh yang di kaitkan dengan negeri tertentu seperti Baghdad, Damaskus, Naisabur, dan lain-lain. Dngan menggunakan kitab-kitab yang telah di sebutkan tadi peneliti hadis akan mendapat bantuan menguak nilai mata rantai sanad sebuah hadis.

2. ILMU JARH Wa at-TA’DIL
            Menurut bahasa al-jarh artinya cacat. Istilah ini di gunakan untuk menunjukkan sifat jelek rawi yang melekat pada periwayat hadis, seperti pelupa, pembohong dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat di kemukakan maka di katakan bahwa periwayat tersebut cacat dan hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak dan hadisnya di nilai lemah (dhaif).
Ta’dil menurut bahasa artinya menilai adil kepda orang lain. Istilah ini di gunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti , kuat hafalan terpercaya  cermat dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini di sebut ‘adil sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama dan Hadisnya di  nilai sahih.
            Ilmu al-Jarh wa al-ta’dil sangat di butuhkan oleh para ahli hadis, karena dengan ilmu ini akan dapat di ketahui mana informasi yang benar datang dari Nabi dan mana yang bukan. Sesuai dengan fakta sejarah, pemalsuan hadis telah terjadi semenjak dini dan menonjol pada masa perebutan kekuasaan politik islam. Fakta itu menunjukkan bahwa ternyata tidak semua pembawa hadis itu dapat di percaya. Menunjukkan cacatnya hadis bukan di maksudkan untuk menjatuhkan martabat individu, apalagi ulama, tetapi untuk melindungi informasi dari Nabi dari kepalsuan. Para ulama sadar sepenuhnya bahwa menunjukkan aib orang lain itu di larang oleh agama. Akan tetapi bila jarh (kritik) tidak di lakukan maka bahaya yang timbul akan lebih besar,dan hadis Nabi tidak dapat di selamatkan. Al-Baghdadi mengutp penilaian Ibnl Mubarak atas kebohongan al-Ma’la ibn Hilal. Kemudian seorang sufi menegurnya, ‘’ Hai Abu Abdir Rahman, mengapa engkau berbuat ghibah (memperlihatkan aib orang lain). Ibn Mubarak menjawab, ‘’ Kalau saya tidak menjelaskan, bagaimana mungkin dapat di pilah antara yang hak dengan yang bathil.
Untuk mencela dan memuji para periwayat para ulama menggunakan kaedah al ijmal fi al-ta’dil wa al-altafshilu fi al-tajrih (global dalam memberikan pujian dan rinci dalm menunjukkan cacat), maksudnya, untuk memujinnseseorang tidak di perlukan alasan-alasan.
Contohnya Syu’bah ibn al-Hajjaj (82-160 H) pernah di tanya tentang hadis yang di bawa oleh Hakim ibn Jabir. Syu’bah menjawab seraya menunjukkan cacat periwayatnya, ‘’saya takut kepada api neraka’’. Maksud kalimat ini adalah agar orang tidak mengambil hadis dari periwayat tersebut, karena itu imam Syafi’i berkata : andaikata tidak ada Syu’bah niscaya hadis yang beredar di irak tidak dapat di pilah-pilah, mana yang asli mana yang buatan orang. Fenomena yang menggambarkan kehati-hatian ulama hadis tampak pada ungkapan al-sya’bi, ‘’Demi Allah jika aku melakukan sembilan puluh sembilan kebenaran dan satu kesalahn,niscaya yang mereka perperhitungkan buat saya adalah yang sekali salah itu. Artinya untuk menerima hadis para ulama tampak sangat berhati-hati. Pemberi informasi hadis harus benar-benar orang pilihan, sedikit melakukaan kesalahan maka kredibilitas seorang pemeberi Informasi hadis tidak di akui.
Namun demikian para ulama menggunakan tatakrama dalam menunjukkan cacatnya periwayat, misalnya bila dengan sebuah ungkapan target menunjukkan cacat itu sudah terpenuhi mereka tidak akan membuka cacat yang lain walaupun mereka mengetahuinya.[1]

3. ILMU ‘ILAL al-HADITS (ilmu tentang cacat hadits)
            Menurut bahasa ‘Ilat artinya penyakit. Dalm ilmu Hadits terdapat beberapa hadits yang sekilas dari runtutan persambungan sanad hadis, dapat di simpulkan bahwa hadis itu shahih. Tetapi sebenarnya hadits itu tidak sahih, dengan kata lain ada beberapa hadits yang tidak shahih setelah di adakan manipulasi menjadi kelihatan shahih. Ketidak shahihan sebuah hadits di sebabkan mengandung ‘Ilat (penyakit). Peranan ilmu ini adalah menyingkap cacat yang tersembunyi yang setelah cacat itu di buka dapat di ketahui bahwa hadits yang kelihatannya shahih sebenarnya tidak shahih. Seperti hadis yang kelihatannya mempunyai sanad yang bersambung, namun setelah di periksa oleh ahli hadis ternyata sanadnya terputus, atau nama periwayat yang tercantum dalam sanad hadis ternyata setelah di teliti di ketahui tidak sesuai dengan nama yang sebenarnya. Demikian juga yang berkaitan dengan matan hadits, redaksi hadits, apakah semuanya berasal dari Nabi atau sebagian dari Nabi dan sebagian dari periwayat.
            Al-Imam Ibn Abi Hatim menjelaskan ada sebuah hadis berikut :
Sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Ibrahim ibn Tahhan dari Hysam bin Hisan Ibn Sirin dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasululah pernah bersabda, ‘’Bila salah seorang kamu bangun tidur, hendaknya membasuh tangannya tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bak air. Sebab ia tidak tau, dimana tangan itu bermalam, kemudian ia mengambil air di bejana dengan tangannya, lalu menuangkannya pada tangan kirinya.
Menurut penelitian Ibn Abi Hatim al-Razi, sebenarnya redaksi hadis tersebut tidak semuanya dari Nabi, begitulah ungkapan Ibrahim ibn Tahhan yang menyambung hadits dengan ungkapannya sendiri.[2]
Masih hasil penelitian Ibn Abi Hatim ada sebuah hadits sebagai berikut :
Sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Baqiyyah dari Yunus dari Al-Zuhri dari Salim dari Ibn Umar, beliau mengatakan, ‘’Barang siapa mendapatka satu rakaat pada Shalat Jum’at dan shalat lain, maka ia mendapatkan jama’ah.
Ia mengatakan, ada dua kesalahan dalam periwayatan hadits ini pada sanad dan matan. Pada sanad al-Alzuhri menerima hadits dari Abu Salamah bukan dari Salim.
Penulisan ilmu ini dalam buku tersendiri di mulai pada ahir abad ke 2 dan awal abad ke 3 H. Buku yang di maksud antara lain :
1.                  Al-Tarikh wa al-‘ilal, karya Imam Yahya ibn Ma’in (158-233 H)
2.                  ‘Ilalul Hadis, karya imam ahmad bin Hanbal (164-241 H)
3.                  Al-musnad al-Mu’allal, karya al-Hafiz Ya’qub ibn Saybah al-Sudusi al-Bisri                                 (182-262 H)
4.                  Al-‘Ilal karya al-Imam Mhammad ibn ‘Isa al-Turmudzi (209-279 H)

4. Asbab al-Wurud
             Secara etimologis ” asbabul wurud ” merupakan susunan idlofah, yang berasal dari kata asbab dan wurud. Kata ” asbab adalah bentuk jama’ dari kata “sabab”, yang berarti segala sesuatu yang dapat mehubungkan pada sesuatu yang lain, (sunan turmudzi dalam kitab thoharoh: 1/151.) atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wurud” merupakan bentuk isim masdar dari waroda, yaridu, wuruudan yang berarti dating atau sampai .(Shohih Bukhori dalam kitabul ilmi: 1/23)
Secara terminologi menurut As-suyuti asbabul wurud diartikan sebagai berikut:
“sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqoyyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatuhadits”.(MusnadAhmad:VI/3)
Jika diteliti secara kritis pendefinisian As-suyuti lebih mengacuh kepada fungsi asbab wurudul hadits yakni, untuk menentukan tahsish dari yang ‘amm (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada dan tidaknya naskh dan mansukh dalam suatu hadits dan lain sebagainya Nampaknya kurang tepat jika pendefinisian tersebut dipakai untuk merumuskan pengertian asbabul wurud. Menurut hemat saya perlu menoleh pada pendapat Hasbi as-sidiqi beliau mendefinisikan sebagai berikut:
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW.menuturkan firmannya dan masa-masa Nabi SAW.menuturkannya”(Imam Malik, dalam kitab Al-jumah: 1/102).
Sebagian ulama berpendapat bahwa pengertian asbabul wurud mirip dengan pengertian asbabul nuzul
“Sesuatu baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada waktu hadits itu di firmankan oleh Nabi SAW”.(Al-bukhori kitab mawakit as-sholah: 1/346).
Dari ketiga definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang lainnya yang terjadi pada saat hadits tersebut di sabdakan oleh Nabi SAW, dapat berfungsi sebagai acuan analisis dalam menentukan apakah hadits tersebut bersifat khusus, umum, mutlak atau muqoyyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Adapun sasaran dalam mempelajari ilmu ini adalah Setiap hadits yang secara tegas mempunyai asbabul wurud.[1]

Menurut Imam  As-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
 Pertama : sebab yang berupa ayat al-Qur’an, kedua : sebab yang berupa Hadits itu sendiri, ketiga : sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
1.         Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :

tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ  
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An’am: 82)

Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu”  yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan  dalam surat al-Luqman:

øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S al-Luqman: 13)

2.         Sebab yang berupa Hadits. Artinya pada waktu  itu terdapat suatu hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadits tersebut. Contoh adalah Hadits yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)
Dalam memahami Hadits tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya Rasul !, Bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
3.         Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.[2]
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi bersabda: “Shalat Di Siniyakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nyaseandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid IniYaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[3]



5. GHARIB al-HADIST
Gharib al-Hadits adalah lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis yang sulit dikenal dan dipahami maknanya.
            Mengetahui makna lafal-lafal tersebut dalam ilmu hadis merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting bagi ahli hadis agar ia tidak tergolong sebagai rawi yang tidak tahu apa yang diriwayatkannya. Para ulama mengingatkan akan wajibnya berhati-hati dalam membahas gharib al-hadits itu, agar peneliti tidak tertipu oleh suatu kata dari makna sebenarnya kemudian berkata tentang Allah tanpa ilmu.
            Imam Ahmad pernah ditanya tentang suatu huruf yang gharib maka ia menjawab, “Tanyakanlah kepada ulama yang mengetahui gharib al-hadits, karena saya sungguh tidaksenang berkata tentang sabda Rasulullah saw. dengan dugaan semata lalu saya salah.”
            Abu Qilabah bertanya kepada al-Ashmu’i, seorang ahli bahasa yang agung. Ia berkata : ”Ya Abu Sa’id, apakah makna sabda Rasulullah saw., الجَا رُاَحَقُّ بِسَقْبِهِ ؟ , al-Ashmu’i menjawab, “saya tidak akan menafsirkan hadis Rasulullah, tetapi orang arab menganggap bahwa al-saqb adalah at-laziq (orang yang berdempetan tempat tinggalnya).”
            Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) berserita tentang kitabnya Gharib al-Hadits, “sesungguhnya saya mengumpulkan bahan kitabku ini selama empat puluh tahun, dan kitab itu merupakan seluruh kesimpulan seluruh umurku,”
            Keterangan yang paling kuat untuk menafsirkan gharib al-hadits adalah penafsiran yang terdapat dalam sebagian riwayat, seperti hadis :
من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثمّ راح فكأنّماقرّب البدن نة
Barang siapa mandi pada hari jumat seperti mandi janabah, kemudian ia berangkat (menuju salat jumat), maka seakan akan ia berkurban dengan seekor unta. (HR. Muttafaq ‘alaih).
Lafal al-badanah berarti unta dan sapi. Para ulama berkata bahwa yang dimaksud kalimat itu dalam hadis ini adalah unta. Hadis tersebut diriwayatkan dalam Mushannaf  Abdurrazzaq dengan redaksi:
فله من الاجرمثل الجزور
...maka ia akan mendapat pahala semisal unta.
Kalimat ini merupakan penafsiran terhadap lafal al-badanah.[3]
Hadis Imran bin Husain tentang salat orang sakit:
صلّ قائمافان لم تستطع فقاعدافان لم تستطع فعلى جنب
Salatlah dengan berdiri. Apabila kamu tidak kuasa, maka salatlah sambil duduk. Apabila kamu tidak kuasa, maka salatlah sambil berbaring di atas lambungmu (miring). (HR. Al-Bukhari dan lainnya.)
Lafal ‘ala janbin ditafsirkan dalam hadis ‘Ali r.a. dengan redaksi:
على جنبه الأيمن مستقبل القبلة بوجهه
...di atas lambungnya sebelah kanan dengan menghadap ke arah kiblat dengan wajahnya.
Para ulama telah berupaya menyusun kitab untuk mensyarah Gharib al-Hadits, dan ulama yang pertama kali menyusunnya adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna (w. 210 H). Kitabnya sangat kecil. Kemudian pada generasi demi generasi berikutnya senantiasa ada ulama yang menghimpun bahan serupa dan kemudian menyusunnya sehingga datanglah Imam Ibnu al-Atsir Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari (w. 606 H). Ia menyusun kitab al-Nihayah. Kitab ini dimaksudkan untuk menghimpun keterangan-keterangan yang berserakan pada kitab-kitab yang lainnya. Kata-kata yang gharib dalam kitab ini diuraikan dengan panjang lebar sehingga memberikan gambaran umum hadis yang bersangkutan. Oleh karena itu kitab ini sangat komplet dan merupakan kesimpulan uraian hadis-hadis Nabi.
6. ILMU NASIKH MANSUKH
Naskh secara etimologi berarti menghilangkan, mengutip, dan menyalin. Menurut ulama Ushul naskh adalah penghapusan oleh syar’i terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.[4]
            Ilmu  Nasikh dan Mansukh hadits adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai ‘Nasikh’ dan sebagian lainnya sbagai ‘Mansukh’. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sabagai nasikh.[5]
            Naskh terjadi pada zaman rasulullah saw. terhadap sejumlah besar hukum, yang sebagian diantarnya disebabkan oleh berangsurnya perubahan pola hidup manusia meninggalkan pola hidup jahiliah yang batil menuju pengamalan ajaran islam yang luhur.
            Mengetahui hadis yang mengandung naskh adalah salah satu ilmu yang sangat penting dan tidak tertarik kepadanya kecuali para tokoh imam fiqih. Al-Zuhri berkata, para fuqaha telah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hadis Rasulullah. Yang berkedudukan sebagai nasikh (yang menghapus) dan berkedudukan sebagai mansukh (yang dihapus).
            Imam ‘Ali pernah bertemu dengan seorang qadhi lalu bertanya, “apakah kamu dapat membedakan antara hadis yang nasikh dan hadis yang mansukh?”  ia menjawab, “Tidak.” Imam berkata, “Kamu celaka dan mencelakakan.”
            Nasakh dapat diketahui melalui beberapa hal berikut.
a.                   Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah saw., seperti hadis:
نهيتكم عن زيارة القبورفزوروها
            Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, tetapi (sekarang berziarahlah).
b.                  Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadis Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata,
كان اخرالأمرين من رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ترك الوضوء ممّا مسّت النّار
            Dua perintah terakhir Rasulullah saw. adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang tersentuh api. (HR. Abu Daud dan al-Nasa’i).
c.                   Melalui fakta sejarah, seperti hadis syidad bin Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
افطرالحاجم والمحجوم
            Orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya.
Dan hadis Ibnu Abbas r.a., ia berkata:
انّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم احتجم وهو صائم
Sesungguhnya Rasulullah saw. berbekam, padahal beliau sedang berpuasa.
            Al-Imam al-Muththailibi Muhammad bin Idris al-Syafi’i menjelaskan bahwa hadis yang kedua merupakan nasikh  terhadap hadits yang pertama buktinya cukup unik, yakni diriwayatkan kepadanya bahwa syidad pada masa-masa penaklukan kota Makkah bersama Rasulullah saw. ketika Rasul melihat seseorang berbekam pada siang hari bulan Ramadhan maka beliau berkata:
افطر الحاجم والمحجوم

Dan diriwayatkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas berkata:
انّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم احتجم وهوصائم
Sesungguhnya Rasulullah saw. berbekam, padahal beliau sedang berihram dan berpuasa.[6]
Dengan demikian, jelas bahwa hadis yang pertama (hadis syidad) itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yitu pada tahun 8 Hijriah, dan hadis kedua (hadis ibnu abbas) terjadi pada waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriah. Jadi, hadis yang kedua merupakan hadis nasikh bagi hadis yang pertama.
            Bidang kajian ilmu nasikh dan mansukh ini termasuk kebutuhan utama bagi para ahli fiqih dan ijtihad. Sungguh salah besar dan akan menemukan kesulitan yang tinggi orang yang jiwanya terdorong untuk berfatwa dengan hadis sesuai dengan anggapannya tanpa menguasai ilmu ini, terlebih lagi syarat-syarat yang lainnya.
            Diriwayatkan dari Ibnu Sirin,ia berkata, “Hudzaifah pernah ditanya oleh seseorang tentang sesuatu, maka ia menjawab, ‘orang yang memberi fatwa itu ada tiga macam, yaitu orang yang mengetahui nasikh dan mansukh.’ Orang-orang bertanya, ‘Siapakah orang yang demikian itu?’ Ia menjawab, ‘Umar; dan orang yang menjadi sultan karena karena jawaban harus memberikan fatwa; dan orang yang memaksakan diri untuk berfatwa.”’
            Para ulama telah menyusun banyak kitab tentang masalah ini; dan yang termasyhur diantaranya adalah al-I’tihar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazami (w. 584 H).[7]
7. ILMU FAN al-MUBHAMAT
    Pengertiannya ilmu fan al-mubhamat adalah:
علم ةتيعرف به المبهم الذي وقع فى المتن او فى السند
Artinya: Ilmu yang membahas tentang seseorang yang samar namanya dalam matan atau sanad.
 Misalnya dalam hadits banyak didapatkan hanya disebutkan seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, demikian juga dalam sanad disebutkan seorang laki-laki meriwayatkannya, dan seterusnya. Ibnu hajar al Atsqolani juga menjelaskan nama-nama perawi yang belum disebutkan didalam kitab Shahih al-Bukhari dalam kitabnya Hidayat as Sari Muqoddimah Fath al-Bari.
Tujuan ilmu ini adalah mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang disebutkan dalam matan atau sanad yang masih samar atau tersembunyi.
Diantara yang menyusun kitab ini adalah al Khatib al Baghdadi yang kemudian diringkas oleh an Nawawi dalam kitabnya  al-Isyarah ila Bayani Asma al-Mubhamat.


























DAFTAR PUSTAKA

Nuruddin ‘itr. Ulumul Hadis. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2012
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib. Ushul al-Hadits. Gaya Media Pratama.Jakarta.1998
Ibn Abi Hatim al-Razi. Ilalul Hadits. al-Mathba’ah al Salafiyah. Mesir. 1343
Muh. Zuhri. Telaah Historis dan Metodologis Hadist Nabi. Yogyakarta. 2011
Ranuwijaya utang, ilmu Hadis, Jakarta, 1999



[1] Muh. Zuhri, ‘telaah historis dan metodologis hadist nabi” (Yogyakarta:2011), hal.117-121      
[2] Ibn Abi Hatim al-Razi, ‘Ilalul Hadits (al-Mathba’ah al Salafiyah, :Mesir 1343), .hal. 65      
[3] Nuruddin ‘itr, ‘ulumul hadis, (Remaja Rosdakarya, Bandung : 2012), hal. 345.
[4] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ushul al-hadits, (Gaya Media Pratama, Jakarta : 1998), hlm. 258.
[5] , ushul al-hadits, hlm. 259.
[6] ‘ulumul hadis, hal. 349.
[7] ulumul hadis, hal. 350

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir