Aspek-aspek yang melemahkan Tafsir bil Ma'tsur

“ASPEK YANG MELEMAHKAN TAFSIR BI AL-MA’TSUR”
Tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok matakuliah Metode Kitab Tafsir








Disusun Oleh :
Kelompok 5
NO
Nama
NIM
1
Arif Maulana
11160340000052
2
Ikhsan Lakallo
11160340000080
3
Mujilaturrohmah
11160340000045

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017


KATA PENGANTAR
Alhamdulillâh wasyukru lillâh walâhawla walâquwwata illa billâh, segala syukur bagi Allah swt yang telah memberi nikmat iman, islam dan ihsan sehingga kita masih dapat merasakan nikmat iman dan islam, begitupun akan nikmat sehat jasmani dan rohani. Semoga senantiasa dapat memegang teguh keimanan dan islam dalam menjalankan kehidupan.
Shalawat serta salam mari kita curahkan ke baginda dan panutan kita dan pahlawan revolusi Islam yang membawa agama Islam sehingga tersebar ke sluruh alam yakni Nabi Muhammad saw., semoga kita diakui sebagai umatnya dan mendapat syafa’atnya di yaumul qiyamah.
Pemakalah banyak mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu matakuliah metode tafsir, yang telah mempersediakan kita untuk memberi pembahsan mengenai aspek yang melemahkan tafsir bi al-ma’tsur untuk mengulasnya pada makalah ini.
Pemakalah pada pembahasan ini akan memaparkan aspek  yang melemahkan tafsir bi al-Ma’tsur yakni dimana membuat tafsir bi al ma’tsur menjadi cacat sehingga para ulama’ tafsir ada yang mergaukan, apa yang diragukan? Yakni terkait akan cerita Isra’illiyat  merupakan pengaruh pertama, pengaruh kedua yakni timbulnya hadits-hadits maudhu' dan pengaruh ketiga yakni penghapusan sanad pada riwayat riwayat tafsir.
Pemakalah memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kekurangan pada makalah ini baik segi penulisan dan penyampaian, pemakalah membuka tangan terbuka selebar-lebarnya atas kritikan dari para pembaca yang kritis.

Ciputat, 03 Oktober 2017
Pemakalah,






DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................... ii
Bab I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang ......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah .................................................................... 1
Bab II
Pembahasan
·         Tafsir Bil Ma’tsur .................................................................... 2
·         Aspek yang melemahkan tafsir bil ma’tsur ............................. 2
A.    Isra’illiyat .......................................................................... 2
B.     Pembahasan Hadits Maudhû’ ............................................ 5
C.     Penghapusan sanad pada riwayat-riwayat tafsir ................ 10
Bab III
Penutup ............................................................................................... 13
Daftar Pustaka ..................................................................................... 14


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa ketika para sahabat tidak mengetahui akan bahasa suatu ayat al-Qur’an yang global mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah saw, sehingga permasalahan dapat diatasi karena Rasulullah saw memahami al-Qur’an  dan pada saat itu Isra’illiyat memang sudah ada namun belum digunakan dan diperhatikan pada saat itu.
 Pada masa sahabat mereka menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang teguh pada al-Qur’an, Nabi Muhammad saw dan juga pemahaman dan ijtihad. Sehingga tafsir bil ma’tsur yang berasal dari sahabat memiliki nilai tersendiri karena memiliki status hukum marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah saw) dan juga pada asbabun nuzul tidak menggunakan ra’y dan jika dimasuki ra’y akn berstatus mauquf.
Berbeda akan pada zaman Tabi’in yang dimana Tabi’in ini merupakan murid-murid para sahabat, mereka menafsirkan al-Qur’an sebagaimana menurut adz-Dzahabi, para mufassir kalangan tabi’in berpegang pada al-Qur’an, riwayat para sahabat, yang berasal dari Rasulullah saw, dan juga mengambil dari Ahli Kitab. Sehingga mereka perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini, dengan pengetahuan bahasa Arab dan tutur kata, peristiwa-peristiwa pada masa turunnya al-Qur’an yang mereka pandang valid, dan alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya,   karena pada masa Rasulullah dan sahabat mereka hanya menafsirkan pada bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka.    
Sehingga tafsir tabi’in ini memiliki pandangan yang berbeda-beda dari para ulama’ ada yang dapat diterima dan ada pula yang ditolak dengan argumen-argumen para ulama’ tafsir dengan dipandang dari keilmuannya. Namun pendapat-pendapat tersebut hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.
B.     Rumusan Masalah
1.      Penjelasan mengenai Isra’illiyat
2.      Penjelasan hadits Maudhu’
3.      Penjelasan mengenai penghapusan sanad pada riwayat tafsir
BAB II
Pembahasan
A.    Aspek Yang Melemahkan Tafsir Bi al-Ma’tsur
I.                   Tafsir Bi al-Ma’tsur
Tafsir secara etimologi berasal dari kata al fasr yakni idhah dan tabyin yakni menjelaskan (menerangkan). Menurut terminologi “suatu ilmu yang didalamnya dibahas tentang cara-cara menyebut lafal al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik secara ifrat maupun secara tarkib dan makna-maknanya yang ditampung oleh tarkib dan yang selain itu, seperti mengetahui nasakh , sebab nuzul dan sesuatu yang menjelaskan pengertian , seperti kisah dan matsal (perempumaan).[1] Sedangkan menurut etimologi kata al-matsur berasal dari asal kata atsara tang berarti memindahkan berita, mengutip. [2] jadi tafsir bi al ma’tsur ialah tafsir yang mengutip atau mengambil rujukan berdasarkan pada al-Qur’an,hadits Nabi Muhammad Saw, kutipan atau penjelas shahih dari sahabat serta tabi’in.[3]
Nmun singkat kata, pada tafsir ini menuai kontroversi pada masa tabi’in dan seterusnya sehingga ada beberapa aspek yang melemahkan tafsir ini yakni sebagai berikut :
A.    Isra’illiyat
Al-Isra’iliyat adalah berita-berita yang dinukil dari Bani Israil dari kalangan yahudi dan Nashrani, namun secara umum dari Bani Israil.[4] Ketika ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) masuk islam, mereka masih membawa wawasan keagamaan mereka, seperti berita dan kisah agama. Berita-berita yang diceritakan ahli kitab yang masuk islam inilah yang disebut israiliyat, dengan lebih mengedepankan pihak Yahudi daripada pihak Nashrani. Sebab, kisah-kisah yang dinukil dari kaum Yahudi lebih banyak, mengingat mereka ini sangat membaur dengan kaum muslimin sejak islam mulai muncul dan ketika peristiwa hijrah ke Madinah terjadi.[5]
Para sahabat tidak menukil berita-berita kecil apapun dari ahli kitab terkait penafsiran Al-Qur’an, selain hanya sedikit. Namun, ketika era tabi’in muncul dan banyak dari kalangan ahli kitab masuk islam, para tabi’in menukil banyak kisah dan berita-berita dari mereka, hingga pada generasi berikutnya, kegemaran para mufassir terhada israiliyyat kian besar. Ibnu Khaldun berkata, “manakala mereka ingin mengetahui sesuatu yang membuat jiwa penasaran terkait sebab-sebab terbentuknya alam raya, awal mula penciptaan, dan rahasia-rahasia wujud, mereka menanyakan hal-hal tersebut kepada ahli kitab dan mereka mendapatkan informasi dari mereka; para penganut kitab Taurat dari kalangan Yahudi dan Nashrani yang mengikuti agama mereka, hingga kitab-kitab tafsir dipenuhi nukilan-nukilan dari mereka.[6]
Para mufassir tidak memilah-milah kebenaran berita israiliyat yang mereka nukil, dimana diantara kisah-kisah israiliyat ada yang rusak dan batil. Untuk itu, bagi yang membaca kitab-kitab tafsir mereka ini, ia tidak perlu menghiraukan bagian kisah-kisah dan keterangan-keterangan yang tidak bermanfaat, serta tidak menukil kisah-kisah israiliyat selain yang diperlukan saja, itu pun yang terbukti sahih penukilannya dan terbukti berita tersebut benar.[7]
       
*      Israiliyat terbagi menjadi tiga macam:[8]
1.      Berita yang dikuatkan oleh islam dan diakui kebenarannya, maka berita itu dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Contohnya kisah yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan lainnya bahwa Ibn Mas’ud r.a berkata : datanglah seorang pendeta kepada Rasulullah saw lalu berkata : “Ya Muhammad, sesungguhmya kami menemukan bahwa Allah menciptakan langit dengan satu jari, air dan mebun dengan satu jari, dan seluruh makhluk dengan satu jari lalu ia berkata: ‘Aku adalah seorang raja’. Rasulullah saw pun tertawa sampai gigi geraham beliau terlihat karena membenarkan perkataan pendeta itu. Kemudian beliau membaca:
67. dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.
2.      Berita yang diingkari oleh islam dan diakui kedustaannya, maka itu batil.
Contohnya, kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Jabir ra berkata : seorang Yahudi mengatakan: “jika ia menggauli istrinya dari belakang niscaya anaknya lahir dengan mata juling”. Maka turunlah ayat:
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur
 ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 Ì
Ïe±o0ur šúüÏZÏB÷sßJø9$#  
223. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
3.      Berita yang tidak dikuatkan atau ditetapkan oleh islam dan tidak diingkari, maka wajib tawaqquf (diam) tentangnya.
Sebagaimana yang kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Abu Hurairah ra, berkata: “Ahlukitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka mentafsirkannya untuk kaum muslimin dengan bahasa Arab.” Rasulullah saw bersabda: “janganlah kalian mempercayai ahlu-kitab dan jangan pula mendustakannya, namun katakanlah:
136. Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".

Namun boleh menceritakannya jika tidak bahaya, sebagaimana sabda Nabi :
(( بلّغواعنّي ولوآية, وحدّثواعن بني إسرآئيل ولاحرج, ومن كذّب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار))

*      Sikap Ulama Tafsir Terhadap Kisah Isra’iliyat[9]
Sikap para ulama, apalagi mufassir, berbeda-beda terhadap kisah-kisah israiliyat ini, sehingga pendapat-pendapat para ulama tafsir ataupun mufassirin  terbagi menjadi empat kelompok:
a.       Sebagian mereka adalah orang yang memperbanyak kisah-kisah tersebut disertai dengan sanad-sanadnya, dan dia berpendapat bahwa dengan menyebutkan sanad-sanadnya, maka dia lepas tanggung jawabnya. Contoh: Ibnu Jarir Ath-Thabari.
b.      Dan sebagian mereka adalah orang yang memperbanyak kisah-kisah tersebut dengan tanpa menyertakan sanad-sanadnya, maka dia seperti hathibu lail (pencari kayu bakar di malam hari) seperti: Al-Baghawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang tafsirnya: “Sesungguhnya dia (Al-Baghawi) meringkas dari Ats-Tsa’labi, akan tetapi dia tetap mempertahankan hadits-hadits maudhu’ dan pendapat-pendapat yang bid’ah”. Dan beliau (juga) berkata tentang Ats-Tsa’labi: “Sesungguhnya dia itu hathibul lail, dia menukil apa-apa yang dia dapati pada kitab-kitab tafsir, baik yang shahih, dhai’f maupun maudhu.”
c.       Dan sebagian mereka adalah orang-orang yang banyak menyebutkan kisah-kisah israiliyat dengan memberikan komentar dari apa yang disebutkan, apakah kisah itu dha’if atau mengingkarinya, misalnya: Ibnu Katsir.

B.     Hadits Maudhu’
*      Pengertian Hadits Maudhu’

الَحَدِ يْثُ المَوْضُوْعُ هُوَا المُخْتَلَقُ المَصْنُوْع                                           

“Hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dan dibuat-buat."

Yakni hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan dusta dan tidak ada kaitan yang hakiki dengan Rasulullah, bahkan sebenarnya ia bukan hadits, hanya saja para ulama menamainya hadits mengingat adanya anggapan rawinya bahwa hal itu adalah hadits.
Banyak sekali kata-kata ahli hikmah, kata-kata mutiara para sahabat dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW oleh para pemalsu hadits. Banyak pula mereka memalsukan hadist dengan kata-kata yang mereka ciptakan dan mereka rangkai sendiri.
Hadist maudhu adalah hadits dhaif yang paling jelek dan paling membahayakan bagi agama Islam dan pemeluknya. Para ulama sepakat bahwa tidak halal meriwayatkan hadits maudhu’ bagi seseorang yang mengetahui keadaannya, apapun misi yang diembannya kecuali disertai penjelasan tentang kemaudhu’annya dan disertai peringatan untuk tidak menggunakannya. Rasulullah bersabda:

مَنْ حَدَثَ عَنِّى بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذَبَ فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنَ

“Barang siapa meriwayatkan suatu hadits dariku yang ia ketahui bahwa hadits itu dusta, maka ia adalah salah seorang pendusta.”[10]
v  Contoh hadits Maudhu’
كان رسول الله يأكل العنب خرطا
“rasulullah memakan buah anggur dengan memetik dari pohonnya”
Hadits ini maudhu’, telah diriwayatkan Ibn Adi pada kitabnya al-Kamil fit Tarikh I/280 dengan sanad dari Sulaiman bin Rabi’ dari Kadih bin Rahmah, kemudian berkata, “umumnya riwayat Kadih tidak hafizh dan tidak memperhatiakan sanad dan matan”. Sedang menurut Ibnu Jauzi pada kitabnya al-Maudhu’ telah mengeluarkan sanad dari Ibn Adi dan berkata, “Sulaiman telah dinyatakan lemah oleh Darul Quthni,sedang Kadih adalah pendusta dan Husain bukan perawi tsiqoh”.[11]
A.      Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Hadits Maudhu
Para ulama telah meneliti sebab-sebab pemalsuan hadits, dan mengklarifikasi para pemalsunya berdasarkan motif-motif mereka dalam memalsukan hadits. Hal ini berfungsi sebagai penerangan untuk mengungkap hakikat hadits-hadits maudhu.
1.   Adanya perselisihan yang melanda kaum muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya, yakni umat Islam menjadi beberapa kelompok. Kemudian, pengikut setiap kelompok dengan leluasa memalsukan hadits-hadits untuk membela diri dalam menghadapi kelompok yang beranggapan bahwa merekalah yang berhak memegang khilafah. Suatu hal yang sangat disayangkan adalah berpalingnya sebagian orang yang berkecimpung di dunia hadits lalu menyerang orang-orang dan kelompok yang telah berpaling dengan hadits-hadits yang mereka ciptakan untuk memperkuat posisi tradisi dan kelompoknya.
2.   Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekannya. Yaitu upaya yang di tempuh oleh orang-orang zindik, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang terkalahkan oleh umat Islam. Semula mereka bangga dengan negara dan pemerintahan mereka yang sangat kuat dan karenanya mereka meremehkan orang Arab. Ketika pemerintahan mereka hilang dan berpindah ke tangan orang-orang Arab, maka hal itu merupakan beban yang sangat berat bagi mereka. Kemudian mereka berusaha sedapat mungkin untuk merusak urusan kaum muslim dengan menyelipkan ajaran-ajaran batil ke dalam Islam dengan harapan kaum muslim tidak dapat menghindarinya walau dengan berbagai kemampuan, argumentasi, dan bukti-bukti.
Mereka mendapati Al-Quran telah terpelihara secara mutawatir. Oleh karena itu, mereka berpaling kepada hadits untuk menyalurkan niat jahatnya yakni memalsukan hadits dan membaurkannya dengan hadits-hadits yang benar, guna merusak agama dimata para pemeluknya, merusak pola fikir mereka, mengkafirkan mereka, menghalangi agama Allah, dan mencampurkannya dengan hadits-hadits yang indah tetapi penuh kepalsuan.[12] Sebagaimana Hamdan bin Zaid berkata “orang-orang Zindik memalsukan hadis Nabi SAW sebanyak 14.000 buah hadits.”
3.   Al-targib wa al-Tahrib untuk mendorong manusia berbuat kebaikan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang bodoh yang berkecimpung dalam bidang zuhud dan tekun beribadah. Semangat keagamaan mereka yang bercampur  dengan kebodohan itu mendorong mereka memalsukan hadits-hadits al-targib wa al-tahrib agar dapat memberi rangsangan kepada orang untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan kejahatan menurut anggapan mereka yang rusak.
Muslim dalam mukadimah kitab shahihnya[13] mengeluarkan hadits dari Yahya bin Sa’id al-Qathan, ia berkata : 
لَمْ تَرَ أَهْلَ الخَيْرِ فِى شَيْئٍ أَكْذَبَ مِنْهَمْ فِى الحَدِيْثِ
“Tidak dapat kau lihat ahli kebajikan melakukan sesuatu lebih dusta dari pada tindakan mereka terhadap hadits.”
Muslim berkata: selanjutnya Yahya bin Said berkata:
يَجْرِي الكَذِبُ عَلَى لِسَانِهِمْ وَلاَ يَتَعَمَّدُوْنَ الكَذِبَ
Kedustaan senantiasa meluncur dari lidahnya, tetapi mereka tidak sengaja berdusta”
Sebagaimana keterangan Putra al-Khalil yang disebutkan oleh Ibnu Rajab itu menempuh Zuhud dan menjauhi seluruh kesenangan duniawi dan hanya memakan kacang-kacangan sebagai makanan pokok. Ditanyakan kepadanya “Mengapa hadits-hadits yang kamu riwayatkan ini begitu mengerikan?” ia menjawab “Aku membuat hadits-hadits itu untuk meluluhkan hati orang awam” Abu Dawud berkata “Saya khawatir bahwa ia menjadi Dajjal di Baghdad”
Adapun Zakariya bin Yahya al-Waqqar adalah seorang faqih yang mempunyai majlis ta’lim. Suatu keterangan menjelaskan bahwa ia adalah seorang fuqaha yang rajin beribadah. Ia meninggalkan Mesir pada waktu terjadinya fitnah terhadap al-qur’an kemudian menuju Tripoli (Libya Barat). Ibnu Adi berkata “Ia memalsukan hadis”. Shahih Jazrah al-Hafizhberkata “Meriwayatkan kepada kami Zakariya al-Waqqar. Ia adalah seorang pembohong besar....”
Kelompok pemalsu hadits kedua inilah yang paling membahayakan, sebab bagi orang awam, hadits-haditsnya mirip hadits yang dapat diterima sehingga mereka sama sekali tidak menyangka kelompok ini berdusta dengan hadits tersebut. Ada suatu kata mutiara bagi mereka:
عَدُوٌّ عَاقِلٌ خَيْرٌ مِنْ صَدِيْقٍ جَاهِلٍ
“Musuh yang berakal lebih baik daripada teman yang bodoh”
Banyak sekali kita lihat keanehan kelompok ini yang memisahkan ibadah dan pembersihan jiwa dari ilmu, sehingga mereka menjadi hujjah yang merugikan atas agama dan merusak pola pikir umat Islam.
4.   Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah atau upaya mengumpulkan manusia ke dalam majelis, seperti  yang dilakukan oleh para juru cerita dan para peminta-minta. Dampak  negatif kelompok ini sangat besar.
Diantara rawi yang termasuk kelompok ini adalah Ghiyats  bin Ibrahim yang datang menghadap al-Mahdi, seorang khalifah yang senang burung merpati dan suka bermain dengannya. Waktu itu ada seekor burung merpati dihadapannya, lalu dikatakan kepada Ghiyats “ Riwayatkanlah hadist pada amirul mu’minin! “ maka ia berkata  “ meriwayatkan kepada kami pulan, katanya : meriwayatkan kepada kami pulan bahwa Rasulullah SAW berkata :  لَا سَبْقَ إِلَّا ِفي نَصْلٍ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ( tidak ada perlombaan kecuali pada mata lembing, larinya unta, larinya kuda, dan pada terbangnya burung )
Ghiyats menambahkan kata-kata أَوْ جَنَاحٍ   ( atau pada terbangnya burung ) kedalam hadist tersebut. Maka al-Mahdi memberinya uang sebanyak 10.000 dirham. Ketika Ghiyats berdiri, maka al-Mahdi berkata, “ saya bersaksi bahwa punukmu adalah punuk pendusta kepada Rasulullah “. Kemudian al-Mahdi berkata, “ akulah yang menyebakan ia berbuat demikian “. Kemudian al-Mahdi memerintahkan agar burung merpati itu disembelih dan kata-kata yang berkaitan dengan merpati itu dihilangkan.
5.   Kepalsuan yang terjadi pada hadits seorang perawi tanpa disengaja , seperti kesalahannya menyandarkan kepada Nabi SAW. Kata-kata yang sebenarnya di ucapkan oleh sahabat atau lainnya. Seperti orang yang tidak sengaja menyisipkan sesuatu yang bukan hadits ke dalam hadits yang diriwayatkannya, sebagaimana yang telah terjadi pada Sufyan bin Waki’ yang bekerja sebagai  pedagang sayur.
Hadits maudhu’ yang terakhir ialah yang paling samar, karena para rawinya tidak sengaja memalsukannya padahal mereka sebenarnya adalah orang-orang yang jujur. Oleh karena itu mengungkap kepalsuan hadits yang demikian sangat sulit kecuali bagi para imam yang kritis dan analistis.
B.     Ciri-Ciri Hadits Maudhu
Ciri-ciri yang dimaksud merupakan kesimpulan pengkajian para muhadditsin terhadap hadits-hadits maudhu satu persatu. Ciri-ciri itu dapat mempermudah pengenalan terhadap hadits maudhu dan menghindari resiko pembahasan yang panjang lebar. Pedoman-pedoman itu meliputi telaah atas keadaan rawi dan keadaan riwayat, sebagaimana perincian tersebut.
·         Ciri-ciri hadits madhu’ pada rawinya [14]
a)   Mengaku telah memalsukan hadits
b)   Tidak sesuai dengan fakta sejarah
c)   Ada gejala-gejala para perawi bahwa ia berdusta dengan hadits yang bersangkutan.
·         Ciri-ciri hadist maudhu’ pada matan
a)   Kerancuan redaksi atau makna hadist
b)   Setelah diadakan penelitian terhadap suatu hadist ternyata menurut ahli hadist tidak terdapat dalam hafalan para rawi dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadist, setelah penelitian dan pembukuan hadist sempurna
c)   Hadistnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti menyalahi ketentuan akal dan tidak dapat ditakwil atau mengandung hal-halyang ditolak oleh perasaan, kejadian empiris dan fakta sejarah
d)   Hadistnya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an yang pasti, sunnah yang mutawttir, atau ijma’ yang pasti dan tidak dapat dikompromikan
e)   Penelitian hadits per bab.

*      Contoh Hadits Maudhu’
Sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Al Khathib Al Baghdadi di dalam Tarikh Al Baghdad, (5/297)
مُحَمَّدٌ بْنُ سَلْمَانَ بْنِ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَسْرَى بِي إِلَى السَّمَاءِ: فَصُرْتُ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ سَقَطَ فِي حُجْرِي تُفَّاحَةٌ، فَأَخَذْتُهَا بِيَدِيْ، فَانْفَلَقَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا حَوْرَاءَ تَقَهْقَهَ، فَقُلْتُ لَهَا: تَكَلَّمِيْ، لِمَنْ أَنْتَ؟ قَالَتْ لِلْمَقْتُوْلِ شَهِيْدًا عُثْمَانَ
Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, Waki’ mengajarkan hadits kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ketika Allah mengisra’kan aku ke langit, aku memasuki langit keempat, punggungku kejatuhan buah apel, lalu ia kuambil dengan tanganku, lalu merekah, dari buah itu keluar bidadari tertawa terbahak-bahak lalu aku tanya ia, “Jawablah, untuk siapakah kamu diciptakan?" Bidadari itu berkata; “Untuk yang terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman".
Pada hadits diatas merupakan penjelasan yang terpotong-potong, yang diambil oleh seorang pendusta untuk melanjutkan sambungan haditsnya yaang dibuat-buat untuk memperkuat. Karena pada kalimat hadits tersebut terdapat kata apel yang jatuh entah darimana. 
Hadits ini maudhu’, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, Al Khathib Al Baghdadi menyatakan bahwa ia telah memalsukan hadits, dan adz-Dzahabi mendustakannya di dalam Mizan Al I’tidal (3/57). Ibnu Adi berkata, “Dia menyambungkan hadits dan mencurinya".
C.  Penghapusan Sanad Pada Riwayat Tafsir
Menghilangkan sanad adalah sebab ke-3 yang mengakibatkan lemahnya tafsir matsur.
Pada penghapusan sanad atau penyandaran terhadap suatu riwayat,  bahwa banyak sekali riwayat yang disisipkan oleh musuh-musuh Islam yakni orang-orang zindiq , baik dari bangsa Yahudi maupun dari bangsa Persia. Dimana mereka bermaksud merusak agama Islam dari dalam dengan menyisipkan hal-hal  yang tidak ada di dalam ajaran agama Islam, karena mereka tak mampu mengacak-ngacak Islam dengan mengangkat senjata melainkan mereka dengan jalan kekuatan dalil. Sehingga bercampur-baurlah riwayat-riwayat yang shahih dengan tidak shahih, yang kemudian banyak riwayat yang tidak disandarkan pada sahabat maupun tabi’in bahkan menghapus sanad dan tidak menyebutkan sanad, bahkan sanad riwayat digantikan dengan nama orang yang tidak pernah mendengar hadits tersebut dan bahkan juga untuk memperkuat pemahaman-pemahaman atau politik-politik aliran-aliran mereka.  Sehingga mempengaruhi orang yang berpegang kepada suatu pendapat tanpa menyebutkan sanad dan diterima baik oleh orang-orang yang datang kemudian yang mereka anggap pendapat tersebut ada dasarnya, sedang ia tak mencari sumber pendapat dari riwayat tersebut.[15]
v  Contoh Hadits Penghapusan Sanad
روي عبد الرّزاق عن الثورى عن أبي إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفة مرفوعا: إن وليتموها أبا بكر فقويٌّ أمين.

Diriwayatkan Abdurrazzaq, dari ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dan Yazid bin Yutsai’, dari Hudzaifah secara marfu’, “jika kalian mengengkat Abu Bakr, maka ia adalah seorang yang kuat lagi amanah”.
Pada hadits penjelasan mengenai pengangkatan khalifah sebagai penerus dakwah Nabi Saw.
Riwayat ini telah hilang/gugur dalam sanadnya seorang perawi dipertengahan sanad, yaitu Syuraik, yang gugur diantara ats-Tsauri dan Abu Ishaq. Karena ats-Tsauri tidak pernah mendengar secara langsung dari Abu Ishaq, namun hanya mendengarkan dari Syuraik dan Syuraiklah yang mendengar langsung dari Abu Ishaq.
a.       Sahabat
Pada masa ini, Mereka sudah pasti shahih karena mereka pasti ‘udul dan amanah ,tidak meriwayatkan hadits kecuali sudah yakin dengan kesaksian dan sumpah. Sebab mereka menyaksikan turunnya wahyu , memahami hal-hal yang melatar belakangi wahyu, selain itu para sahabat pernah berkumpul dengan Nabi Saw, mereka mengambil sumbernya langsung yang murni yakni al-Qur’an dan Hadits, para sahabat menyaksikan turunnya wahyu Al-Qur’an, mengetahui asbab al-nuzul, sehingga tak dipungkiri riwayat para sahabat shohih dan tsiqoh
Walaupun metode tafsir tabi’in sama dengan sahabat , namun pada masa tabi’in sudah mulai berkembang kepalsuan dan kebohongan karena timbulnya perpecahan aliran-aliran dan juga sudah mempercayai isra’illiyat dari ahl kitab yang masuk islam,  yakni yang dimana mereka tidak menerima hadits kecuali dengan sanadnya. Sehingga kemudian seperti inilah sampai  kemudian  tiba ke masa orang-orang  yang mengarang tafsir dan meringkas sanad atau disebut sebagai penghimpun tafsir sahabat dan tabi’in. Sejak inilah setelah zaman tabi’in, mereka tidak menshahihkan apa yang mereka riwayatkan dan tak ada sanad yang menguatkan suatu riwayat, sehingga bercampurlah antara yang shahih dan cacat.
 Kesimpulan[16] : sesungguhnya inilah sebab yang paling berbahaya dari semuanya karena orang akan menyangka atau beranggapan bahwa  keshahihan suatu hadits dalam suatu buku tanpa melihat sanad. Padahal bisa saja kisah-kisah israilliyat tersebut yang dimana tidak berdasarkan dengan al Qur’an dan tidak masuk akal
































BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas bisa kita mengambil kesimpulan, dimana aspek-aspek yang melemahkan tafsir bi ma’tsur ada 3 bagian yakni pengaruh isra’illiyat, pengaruh hadits maudhu’ dan pengaruh penghapusan sanad. Pada masing-masing pengaruh memiliki satu sumber sehingga timbul masalah 3 aspek ini yakni adanya perpecahan aliran-aliran atau madzhab dan pada selain itu juga banyak orang yahudi dan nasrani yang masuk Islam, tapi dimana kita tidak mengetahui betul alasan mereka masuk kedalam apakah mereka memiliki misi untuk mengobrak-abrik Islam dari dalam?.
Selain itu, banyak sekali perbedaan pendapat mengenai pendapat riwayat tafsir yakni pada masa tabi’in yang dimana pada masa ini timbul menuai kontroversi mengenai isra’illiyat maupun riwayat maudhu’ dan hadzfu isnad yang dimana banyak sekali riwayat yang tak masuk akal dan di buat-buat oleh orang yang bermaksud untuk memuaskan hawa nafsu.
Sehingga dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Syekh Husain adz-Dzahabi memberi kesimpulan yang paling berbahaya dari semua aspek yakni penghapusan akan isnad, yang dimana akan berbuah terus menerus dari seorang yang mengambil suatu riwayat yang ia anggap tsiqqoh/shohih sedang ia tak mau meneliti atau mentabayuninya akan berefek kepada orang yang berada di zaman setelahnya.
Walaupun menuai kontroversi pada tafsir bil ma’tsur, namun kita harus tetap berpandangan dan mengambil riwayat tafsir tabi’in sebagai riwayat tafsir meriwayatkan al-Qur’an jikalau pada riwayat tabi’in memang berdasar atas riwayat sahabat dan juga ijtihad yang mereka sepakati dan tidak bertentangan dengan al-Quran maupun as-Sunnah. Sebagaimana dalam buku pengantar studi ilmu al-Qur’an pendapat yang kuat yakni jika para tabi’in sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalan yang lain.



DAFTAR PUSTAKA
adz-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al Mufassir, (Mesir Dar al-
Kutub wa al-Hadits, 1976) jilid I
al-Qathan, Syekh Manna. 2006. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Cet.I, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
al-Qathan, Syekh Manna. 2016. Dasar-Dasar Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Ulumul Qura  
al-Hakim Al-Naisaburi.Ma’rifat Ulum al-Hadits, Mesir.
Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad.2013. Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an). Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Ibn Shalih al-Utsaimin, Syekh Muhammad. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Darussunnah Press
Ibn Shalih al-Utsaimin, Muhammad. Ushulun Fit Tafsir. (Grogol : al-Qowam)



[1] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an). Eds. 3. Hlm 195,197
[2] ابو خالد. قاموس عرب الهدى (عرب-اندونسيا).ح.6
[3] Manna al-Qathan. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Hlm. 434
[4] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), hlm 130
[5] Syaikh Manna’ Al-Qatthan, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Ummul Qura, 2016), hlm 540
[6] Syaikh Manna’ Al-Qatthan, hlm 540
[7] Syaikh Manna’ Al-Qatthan, hlm 541
[8] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Ushulun Fit Tafsir. (Grogol : al-Qowam) Hlm. 106-108
[9] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hlm 134
[10] Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: Rosda, 2014), hlm. 309.
[11] M. Nashiruddin al-Albani. Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) hlm. 106

[13] Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: Rosda, 2014), hlm. 312
[14] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: Rosda, 2014), hlm. 320 - 322
[15] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an). Ed 3. Hlm 212
[16] حسين الذّهب. التّفسير والمفسّرون. صفحة. 178

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzahir dan Ta'wil dalam studi ilmu ushul fiqih.

Tafsir Maudhu'i dalam perkembangan ilmu tafsir

Makalah metode tafsir Ijmali dalam studi Ilmu Tafsir